Fabrizio mendekatkan bibirnya ke telinga Theodore lalu menyebutkan satu nama yang membuat Theodore mengembangkan senyum licik."Hmm, aku akan mempertimbangkannya Fabrizio, untuk saat ini aturlah strategi agar rencana kita ke depannya berjalan dengan mulus," sahut Theodore, kemudian menyesap kembali rokok.Fabrizio menegakkan badan lalu menyeringai tajam. "Baik Mister, serahkan saja semuanya padaku. Mister tidak usah khawatir."Theodore tak menanggapi, malah membuang asap kelabu ke udara. "Martin, inilah waktunya kau hancur," desisnya pelan sambil menyeringai tipis. ***Kembali ke mansion Martinez. Akibat ketegangan tadi, Lauren diancam Martin untuk jangan mendekati Angelo dan Angela. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun, Lauren berlalu pergi dengan raut wajah merah padam.Usai kepergian Lauren, penghuni rumah kembali ke aktivitasnya masing-masing. Martin memilih pergi ke kamar hendak tidur kembali. Diana pun pergi ke kamarnya ingin membersihkan diri. Sementara Angelo dan Angela ten
Martin mengepalkan kedua tangannya seketika. Sorot matanya begitu tajam dan dingin sekarang. "Iya, benar biarkan B saja yang mengajari Diana!" seru Cordelia menyetujui rencana B. Tadi, sebelum mamanya pergi dari mansion. Lauren berpesan untuk berhati-hati pada Diana. Diana memiliki rencana terselubung. Cordelia penasaran lantas bertanya. Tetapi, Lauren hanya diam saja. Mungkin bermaksud menjaga perasaannya yang tengah berbadan dua sekarang. Dengan muka tak berdosa, B mengangguk cepat sambil tersenyum sumringah."Hei, jangan, bial Daddy saja!" Angela langsung angkat bicara. Tak mau jika rencananya dan Angelo akan gagal."Hei, apa aku melewatkan sesuatu!" Di belakang B, Lopez menepuk kuat pundak B. Pria itu saja tiba dan mengedarkan mata di sekitar kala merasa hawa di ruangan sedikit mencekam."Lopez!" panggil Martin, dengan rahang masih mengetat keras. Lopez melemparkan pandangan ke arah B sekilas. "Iya Mister?" "Potong gaji B 90 persen!" Martin menyeringai tajam setelahnya. Mata
Diana panik bukan main. Dengan sekuat tenaga mendorong dada Martin. Namun, tenaganya tak mampu menandingi Martin. Sosok di hadapannya itu melempar senyum aneh tiba-tiba."Martin, apa kau sudah gila! Lepaskan aku, kau mau apa?" teriak Diana, tanpa berhenti memberontak.Diana seketika membeku kala Martin memegang lehernya dan tengah melihat lehernya sekarang hingga membuat dagu Diana terangkat sedikit. "Kenapa kau panik? Aku hanya ingin periksa keadaan lehermu, biru atau tidak, aku penasaran mengapa tidak biru padahal aku mencekikmu lumayan kuat," kata Martin seraya menilik keadaan leher Diana. Yang tidak ada bekas sama sekali. Tadi, saat sudah selesai mandi, Diana menutupi bekas cekikikan dengan foundation dan concealer agar tak terlihat. Dengan susah payah Diana menelan ludah. Mencoba bersikap tenang walau jantungnya serasa ingin melompat dari sarangnya juga sekarang. "Kau tenang saja, aku baik-baik saja kok, sudah, sebaiknya kau turunkan tanganmu itu!"Diana menyentak kasar tanga
Kepala Martin memutar ke kanan sesaat. Matanya membola ketika mendapat tamparan dari Diana barusan. Dengan cepat menoleh ke depan. Melihat wajah Diana merah padam."Berhenti mengikuti aku, Martin! Apa ini rencanamu untuk membuat aku selalu dituduh istrimu itu!" seru Diana menahan amarah. "Aku tahu, aku ini hanyalah anak buangan yang kebetulan diangkat pria kaya raya lalu menggantikan putrinya untuk menikah denganmu dulu!" Diana mulai menumpahkan curahan hatinya kepada Martin. Tanpa permisi air mata membasahi kedua pipinya sekarang. "Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi, Martin, aku mohon jangan terlalu dekatku, jagalah perasaan Cordelia ...." Martin membuat Diana serba salah. Di satu sisi Diana merasa senang dengan sikap aneh Martin, yang akhir-akhir ini kerapkali menyentuhnya. Namun, di lain sisi juga ia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Cordelia dan Martin. Dia sudah berjanji pada mendiang Philip untuk menjaga Cordelia. Meski sebenarnya ada sedikit kebencian hinggap di
"Ya ampun, maafkan aku ...."Diam-diam, Cordelia menyungging senyum kemenangan. Melihat darah mengalir pelan dari ujung jari telunjuk Diana sekarang. Kali ini rencananya untuk mencelakai Diana telah berhasil. Dia baru saja sampai di ruangan. Ide brilliant melintas cepat di benaknya barusan. Lantas dengan cepat dia mengejutkan Diana dari belakang tadi. Tergesa-gesa, Martin mendekat, tak lupa memasukkan samurai ke sarung dan menaruh benda tajam itu ke lantai. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, cemas. Seraya menekan jari Diana dan mengambil alih pedang. Diana meringis sejenak. Sedikit kesal dengan sikap Cordelia. Yang bertingkah seperti anak kecil. Diana memilih diam. Martin menoleh, melihat Cordelia, dengan tatapan tajam."Cordelia, apa yang kau lakukan di sini! Bukankah sudah aku katakan jangan dekat-dekat!" Martin membentak Cordelia seketika, matanya melotot keluar. Hingga Cordelia terkejut. Niat hati ingin mencelakai namun hatinya yang terluka sekarang. "Aku tidak sengaja, Martin, a
"Gila?" Martin mengulangi perkataan Diana dengan raut wajah datar. Diana melotot. "Iya, apa kau sudah gila, mengajakku bermain kuda-kudaan di siang begini, kita ini bukan pasangan suami-istri lagi!" Martin menyeringai tipis. "Aku tahu kita tidak memiliki hubungan lagi. Maksudku, kita bermain kuda di lapangan pacuan kuda, kau tidak lupa 'kan di sisi kiri mansion ada lapangan, aku naik kuda punyaku dan kau juga naik kuda khusus punyamu, apa kau sedang membayangkan kuda-kudaan yang lain?" 'Astaga, Diana, mengapa pikiranmu mesum sekali!'Memerah muka Diana. Dia salah tanggap. Sejak tadi pikirannya sudah melanglang buana entah kemana. Salah tingkah jadinya."Mem—bayangkan kuda apa? Iya, iya, maksudku kuda yang itu!" sahutnya ketus dan agak kaku. Kemudian membuang muka ke samping.Diana tak sadar. Ada rona merah terpatri jelas di kedua pipinya sekarang.Martin telah berhasil melempar pancingan. Sayangnya sang ikan berusaha mengelak. Sambil mengulas senyum, Martin bersedekap di dada, hing
"Mister."Belum juga Martin mendengar pembicaraan dari kamar, suara seorang di belakang membuatnya memejamkan mata sesaat lalu mendengus kesal. Martin amat penasaran apa jawaban Diana. Dengan cepat memutar badan, melihat Ursula berdiri di hadapannya sambil tersenyum kikuk.Martin melototkan mata, kesal karena kegiatannya diganggu. "Apa?" tanyanya ketus. Ursula malah menyengir kuda. "Maafkan saya, menganggu waktu Mister. Saya mau menyampaikan pesan dari Nona Cordelia. Kalau Nona ingin bertemu dengan Mister sekarang, Nona muntah lagi tadi di kamarnya."Sebagai wanita single, Ursula pun kebingungan kala sang majikan memberi perintah, menyuruh Martin ke kamarnya sekarang.Martin menarik napas dalam sejenak, sama sekali tak berniat menggubris Ursula. Dengan riak muka kesal ia mengayunkan kaki menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Diana.Ursula tercengang, sang tuan tak memberi tanggapan sama sekali. Dia terlihat serba salah. "Aduh, bagaimana ini? Nanti Nona Cordelia pasti marah pa
Tanpa mengalihkan pandangan dari Martin, Cordelia melangkah masuk. Martin mengumpat di dalam hati karena lupa mengunci pintu tadi. Lantas dengan cepat ia mengambil remote control di samping lalu menekan tombol khusus agar tembok tembus pandang tersebut tak dilihat Cordelia. Ekor mata Martin dapat melihat bila Diana tengah mengosok tubuhnya dengan sabun.Sekarang, dengan dada naik dan turun, Cordelia berdiri tepat di hadapan Martin. Napasnya memburu, menahan amarah. Martin masih bergeming duduk di sofa dan sesekali melirik tembok di depan."Martin!" seru Cordelia. "Hm, ada apa?" Demi mengatasi rasa gugup melanda karena hampir ketahuan, Martin berdeham rendah."Martin, mengapa kau berubah?!" Cordelia berteriak dengan mata memerah.Alis tebal Martin bertautan, sedikit heran dengan sikap Cordelia. "Berubah apanya?"Pecah tiba-tiba tangis Cordelia. Dengan pundak bergetar pelan, secara perlahan ia merosot ke lantai dan terduduk di hadapan Martin. Kemudian menatap dalam maniknya. Kedekatan