Kepala Martin memutar ke kanan sesaat. Matanya membola ketika mendapat tamparan dari Diana barusan. Dengan cepat menoleh ke depan. Melihat wajah Diana merah padam."Berhenti mengikuti aku, Martin! Apa ini rencanamu untuk membuat aku selalu dituduh istrimu itu!" seru Diana menahan amarah. "Aku tahu, aku ini hanyalah anak buangan yang kebetulan diangkat pria kaya raya lalu menggantikan putrinya untuk menikah denganmu dulu!" Diana mulai menumpahkan curahan hatinya kepada Martin. Tanpa permisi air mata membasahi kedua pipinya sekarang. "Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi, Martin, aku mohon jangan terlalu dekatku, jagalah perasaan Cordelia ...." Martin membuat Diana serba salah. Di satu sisi Diana merasa senang dengan sikap aneh Martin, yang akhir-akhir ini kerapkali menyentuhnya. Namun, di lain sisi juga ia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Cordelia dan Martin. Dia sudah berjanji pada mendiang Philip untuk menjaga Cordelia. Meski sebenarnya ada sedikit kebencian hinggap di
"Ya ampun, maafkan aku ...."Diam-diam, Cordelia menyungging senyum kemenangan. Melihat darah mengalir pelan dari ujung jari telunjuk Diana sekarang. Kali ini rencananya untuk mencelakai Diana telah berhasil. Dia baru saja sampai di ruangan. Ide brilliant melintas cepat di benaknya barusan. Lantas dengan cepat dia mengejutkan Diana dari belakang tadi. Tergesa-gesa, Martin mendekat, tak lupa memasukkan samurai ke sarung dan menaruh benda tajam itu ke lantai. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, cemas. Seraya menekan jari Diana dan mengambil alih pedang. Diana meringis sejenak. Sedikit kesal dengan sikap Cordelia. Yang bertingkah seperti anak kecil. Diana memilih diam. Martin menoleh, melihat Cordelia, dengan tatapan tajam."Cordelia, apa yang kau lakukan di sini! Bukankah sudah aku katakan jangan dekat-dekat!" Martin membentak Cordelia seketika, matanya melotot keluar. Hingga Cordelia terkejut. Niat hati ingin mencelakai namun hatinya yang terluka sekarang. "Aku tidak sengaja, Martin, a
"Gila?" Martin mengulangi perkataan Diana dengan raut wajah datar. Diana melotot. "Iya, apa kau sudah gila, mengajakku bermain kuda-kudaan di siang begini, kita ini bukan pasangan suami-istri lagi!" Martin menyeringai tipis. "Aku tahu kita tidak memiliki hubungan lagi. Maksudku, kita bermain kuda di lapangan pacuan kuda, kau tidak lupa 'kan di sisi kiri mansion ada lapangan, aku naik kuda punyaku dan kau juga naik kuda khusus punyamu, apa kau sedang membayangkan kuda-kudaan yang lain?" 'Astaga, Diana, mengapa pikiranmu mesum sekali!'Memerah muka Diana. Dia salah tanggap. Sejak tadi pikirannya sudah melanglang buana entah kemana. Salah tingkah jadinya."Mem—bayangkan kuda apa? Iya, iya, maksudku kuda yang itu!" sahutnya ketus dan agak kaku. Kemudian membuang muka ke samping.Diana tak sadar. Ada rona merah terpatri jelas di kedua pipinya sekarang.Martin telah berhasil melempar pancingan. Sayangnya sang ikan berusaha mengelak. Sambil mengulas senyum, Martin bersedekap di dada, hing
"Mister."Belum juga Martin mendengar pembicaraan dari kamar, suara seorang di belakang membuatnya memejamkan mata sesaat lalu mendengus kesal. Martin amat penasaran apa jawaban Diana. Dengan cepat memutar badan, melihat Ursula berdiri di hadapannya sambil tersenyum kikuk.Martin melototkan mata, kesal karena kegiatannya diganggu. "Apa?" tanyanya ketus. Ursula malah menyengir kuda. "Maafkan saya, menganggu waktu Mister. Saya mau menyampaikan pesan dari Nona Cordelia. Kalau Nona ingin bertemu dengan Mister sekarang, Nona muntah lagi tadi di kamarnya."Sebagai wanita single, Ursula pun kebingungan kala sang majikan memberi perintah, menyuruh Martin ke kamarnya sekarang.Martin menarik napas dalam sejenak, sama sekali tak berniat menggubris Ursula. Dengan riak muka kesal ia mengayunkan kaki menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Diana.Ursula tercengang, sang tuan tak memberi tanggapan sama sekali. Dia terlihat serba salah. "Aduh, bagaimana ini? Nanti Nona Cordelia pasti marah pa
Tanpa mengalihkan pandangan dari Martin, Cordelia melangkah masuk. Martin mengumpat di dalam hati karena lupa mengunci pintu tadi. Lantas dengan cepat ia mengambil remote control di samping lalu menekan tombol khusus agar tembok tembus pandang tersebut tak dilihat Cordelia. Ekor mata Martin dapat melihat bila Diana tengah mengosok tubuhnya dengan sabun.Sekarang, dengan dada naik dan turun, Cordelia berdiri tepat di hadapan Martin. Napasnya memburu, menahan amarah. Martin masih bergeming duduk di sofa dan sesekali melirik tembok di depan."Martin!" seru Cordelia. "Hm, ada apa?" Demi mengatasi rasa gugup melanda karena hampir ketahuan, Martin berdeham rendah."Martin, mengapa kau berubah?!" Cordelia berteriak dengan mata memerah.Alis tebal Martin bertautan, sedikit heran dengan sikap Cordelia. "Berubah apanya?"Pecah tiba-tiba tangis Cordelia. Dengan pundak bergetar pelan, secara perlahan ia merosot ke lantai dan terduduk di hadapan Martin. Kemudian menatap dalam maniknya. Kedekatan
"Martin, cepat jawab aku! Kenapa kau membawa aku ke sini hah?!" Martin tak menjawab namun tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat bulu kuduk Diana berdiri tiba-tiba. Merasa ada yang tidak beres, Diana berlari menuju pintu hendak memutar gagang. Namun, sayang gerakannya kalah cepat. Martin telah berhasil mencekal tangannya dan menyudutkannya ke sudut ruangan."Martin, please, kau mau apa sih?" Diana sedang memberi ruang sedikit di antara mereka. "Menurutmu aku mau apa?" Martin menekan tubuh Diana hingga Diana membuang muka ke samping. "Aku tidak tahu, makanya aku bertanya padamu!" lontar Diana seraya mendorong dada bidang Martin dengan kedua tangan. Diana tak mau Martin sampai mendengar detak jantungnya yang berdegup cepat seperti lomba pacuan kuda sekarang. Martin malah terkekeh."Jangan seperti ini Martin, kau membuat aku takut tahu!" Diana mulai jengkel. Deru napas Martin mengenai kulit lehernya membuat Diana meremang. Senyum jahil tiba-tiba mengembang di wajah Martin. D
Diana membola kala bibirnya dibungkam Martin seketika. Pupil mata seindah pasir di tepi laut itu melebar, tubuhnya mendadak kaku sekarang. Apa dia sedang bermimpi? Martin menciumnya sekarang? Benar-benar gila. Martin sedang melumat pelan bibir tipisnya sekarang dengan mata terpejam. 'Argh! Bagaimana ini!' jerit Diana dengan tubuh mematung tanpa perlawanan. Diana hendak mendorong tetapi tak bisa. Tangannya membeku. Batin dan tubuhnya tak terkoneksi dengan baik. Sampai pada akhirnya manik Diana tertutup perlahan-lahan. Dia membiarkan Martin mengecup-ecup bibirnya. Dalam cumbuannya Martin dapat merasakan jantung Diana berdetak cepat. Sejak tadi dia sudah tak tahan melihat bibir ranum Diana, yang nampak menantang dan menggoda iman. Martin dapat merasakan Diana hanya diam saja. Lama Martin memagut sampai pada akhirnya menjauhkan wajah kala Diana tak membalas sama sekali. Dia pun menatap seksama wajah Diana, yang tengah mengatur napasnya. Mata Diana terbuka cepat. Sepasang mata insan m
"Martin!" Sekali lagi Diana berteriak dengan mata melebar. Dengan cepat dia menarik celana panjangnya yang sekarang ditarik-tarik Martin. Namun, sungguh sangat disayangkan gerakannya kalah cepat. Martin berhasil meloloskan celananya dan hanya menyisakan celana dalam berwarna pink. Seringai tipis terbingkai wajah Martin seketika. Ia melempar celana jeans Diana ke sembarang arah. Melihat paha dan betis seputih susu membuat jakun Martin naik dan turun sekarang. Tatapannya pun mulai sayu.Diana semakin panik lantas memundurkan tubuh dan menutup bagian bawah dengan kedua tangannya. "Jangan Martin!" Tapi, Martin seakan tuli. Pria beralis tebal itu malah menarik kedua kaki Diana dalam sekali hentakan hingga sekarang ia berada di atas tubuh Diana. Ia menekan tubuh Diana lalu menurunkan tangan kirinya dan jari-jarinya mulai bergerak di atas titik puncak kepuasaan Diana.Diana merem melek, mulai terbawa arus. "Ahk, jan–hmf!"Martin melabuhkan kecupan singkat agar Diana tak menolak. "Kenapa ja
"Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin
21+++***(Maaf tidak sesuai ekspetasi) ~~~Sepasang mata bulat Jane langsung membola, hendak melawan. Namun, Angelo mengekang tubuhnya. Terlebih, bibirnya dibungkam Angelo sekarang. Kali ini Jane tak bisa menolak. Mungkin karena rindu yang mengebu-gebu. Dia mulai pasrah terhadap perlakuan Angelo.Bibirnya dikecup, disesap dan lidahnya pun dililit-lilit Angelo hingga keduanya saling bertukar saliva. Jane memejamkan mata, menikmati kecupan ganas yang dilakukan Angelo saat ini. Sementara Angelo amat tak tahan. Sejak tadi menahan diri, melihat bibir ranum Jane bergerak-gerak. Di mata Angelo, wanita bertubuh mungil ini amat menggemaskan. Kini lelaki bermata cokelat tersebut. Dengan mata menutup mencekal pergelangan tangan Jane. Napasnya memburu, jantungnya pun berdetak kencang, seakan-akan organ dalamnya akan meledak. Sampai pada akhirnya ia menjauhkan sedikit wajah kala mendengar Jane kesulitan mengambil napas. Angelo membuka mata, menatap seksama wajah Jane yang masih berusaha mera
Sampai keluar mata Angelo kala mendengar perkataan Martin barusan. Dia terperangah sejenak."Daddy." Angelo menahan geram karena Martin tak dapat diajak berkompromi saat ini. "Ck, berkerjasamalah denganku, Dad, ayo cepat ralat ucapan Daddy barusan."Martin tak menyahut, malah mendengus lalu melipat tangan di dada. Angelo menghela napas lelah kemudian. Dengan cepat ia menekan bell rumah lalu berkata,"Maaf Tuan Georgio, Daddyku hanya bercanda tadi, sebenarnya dia ingin meminta maaf pada Tuan.""Cih, aku tidak bercanda! Aku memang mengajakmu berduel, sialan!" protes Martin cepat membuat Angelo semakin kalang kabut.Angelo menatap tajam Martin, memberi bahasa isyarat untuk diam. Lagi dan lagi Martin balas dengan mengeluarkan dengkusan kesal.Tak ada tanda-tanda pagar akan terbuka. Angelo pun mulai memarahi Martin. Tak lupa ia berulang kali melontarkan kata maaf dengan berbicara melalui alat di dekat pagar, yang di mana itulah adalah kamera pengintai berupa suara yang terhubung ke dalam m
Jane terbelalak. Dengan cepat meloncat dari atas ranjang kemudian bergegas menghidupkan lampu ruangan. Angelo meringis pelan tatkala mendapat pukulan di rahangnya barusan. Seumur-umurnya baru kali ini dia dipukul oleh seorang wanita. Sambil memegangi pipi, dia memandang ke sudut ruangan, di mana Jane berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Angelo, kenapa kau bisa di sini?" Jane heran mengapa Angelo bisa masuk ke dalam kamarnya. Padahal setahunya keamanan di mansion sudah diperketat Georgio. Namun, detik selanjutnya dia sadar bila Angelo adalah tentara yang memiliki kemampuan khusus di dunia militer. "Pergilah Angelo, sebelum ketahuan Daddyku," ujar Jane kemudian sambil membuang muka ke samping. Jujur saja, ia ingin sekali berlari kencang ke arah Angelo dan memeluknya erat-erat sekarang. Namun, mengingat pesan yang dikirim Claudia tadi, Jane urungkan. Angelo mendengus lalu menghampiri Jane hendak meraih tangan pujaan hatinya. Akan tetapi, Jane segera menepis tangannya dengan cepat