"Hm. A-anu. Mas mau keluar sebentar untuk beli nasi padang. Tiba-tiba kepikiran pengen makan itu," jawab Mas Adam sambil menggaruk tengkuknya.Aku mengernyitkan dahi. "Sejak kapan Mas suka nasi padang?" Aku hapal betul selera makan suamiku. Tujuh tahun menjadi istrinya, ia tidak pernah sama sekali menyentuh makana tersebut. Tapi malam ini Mas Adam mendadak menginginkannya."Eh iya, Sayang. Nggak tahu nih. Tiba-tiba aja gitu kepengen. Kayaknya enak malam-malam begini makan nasi padang." Mas Adam tersenyum ke arahku. Matanya yang berbentuk bulan sabit ketika tersenyum itu membuatku gemas dan jatuh cinta berkali-kali.Aku tersenyum menggoda. "Mas lagi nyidam ya?" Satu mataku berkedip.Mas Adam terdiam sejenak. Kemudian ia terkekeh malu. "Ah masa iya sih, Dek.""Ya mana tahu Xabi dan Cleo mau punya adik lagi," ujarku lagi."Memangnya kamu ada tanda-tanda?" tanya Mas Adam. Ku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. "Belum tahu, Mas. Tapi doakan sajalah ya. Segera. Hehe."Kami memang berencana
Mas Adam segera mengambil handphonenya. Padahal aku belum sempat membaca kelanjutan isi dari notifikasi pesan WhatssAp tersebut.“Chat dari siapa, Mas?” tanyaku.“Dari temen aku, Dek.” Mas Adam menjawab tanpa menoleh ke arahku. Ia masih sibuk dengan gawainya. Sepertinya sedang membalas pesan itu.“Temen kamu check in hotel?” tanyaku lagi. Sebab, tadi aku tidak sengaja membaca ada nama hotel serta nomor kamarnya juga.Mas Adam mendadak tersedak makanan yang ia telan. Suamiku itu berulang kali terbatuk-batuk. Wajahnya tampak terkejut. Aku dengan segera menuangkan segelas air untuknya. “Ini mas minum dulu.” Aku memberikan segelas air kepada Mas Adam dan membantu untuk meminumkannya.Setelah meneguk setengah air di dalam gelas itu, Mas Adam mengucapkan, “Terimakasih, Dek.”Aku tersenyum. Mas Adam sedari dulu tidak pernah berubah. Ia selalu mengucapkan tiga kata ampuh yang bisa membuatku terkesima dan kagum terus padanya. Tiga kata itu adalah yang pertama kata tolong, yang selalu mas Adam
Pelakor's POVAku sangat kesal ketika membaca pesan dari Mas Adam. Dia tidak jadi datang menyusulku di hotel. Padahal aku sudah memesannya dan melakukan persiapan lainnya. Namun, hanya karena istrinya tiba-tiba pulang cepat. Itu penyebab kebatalannya."Aku nggak akan tinggal diam," kataku dalam hati. Aku sudah tidak tahan menjadi simpanannya."Aku harus bertemu sama Mas Adam malam ini juga. Nggak mau tahu." Aku mengirimkan pesan seperti itu kepada Mas Adam. Tidak lama setelah itu, ia membalas lagi. "Sayang, tolong mengerti aku. Ghinda baru pulang. Aku sudah cari alasan untuk pergi, tapi ada aja tingkah Ghinda yang mencegahku. Rencanaku untuk pergi selalu gagal.""Berarti Mas nggak berjuang untuk aku!" balasku lagi. Aku sangat kesal. Masa untuk keluar sebentar menemuiku saja Mas Adam tidak bisa. Pria itu tidak pintar mencari alasan yang tepat. Dia juga terlalu takut dengan istrinya. Padahal kan dia adalah seorang suami, yang harus memegang kendali atas semuanya.Aku melipatkan kedua ta
Pelakor's POVAku dengan santai mengunyah makanan. Mas Adam terus mengomel padaku. Sementara aku sama sekali tidak melirik ke arahnya. Lelaki itupun geram padaku. "Tere! Jawab!"Aku sontak berhenti mengunyah. Ku telan makananku dengan cepat dan langsung menoleh ke arah Mas Adam. Jika dia sudah memanggil namaku, maka kekesalannya itu memang benar-benar."Apa, Mas? Kok malah Mas Adam yang marah-marah sama aku? Harusnya kan aku! Aku udah nunggu kamu di hotel. Tapi, kamu nggak dateng, Mas! Kamu malah lebih milih istri kamu," ujarku berbisik tepat di telinganya.Mas Adam mengacak rambutnya sembarangan. Ia terlihat frustasi menghadapi situasi seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Ini memang kesalahannya. Dan aku tidak akan mengalah."Ya, tapi kenapa harus nginep di sini? Kamu mau ngaduin ke Ghinda tentang kita? Hah?" tanyanya lagi. Mukanya sebagian sudah memerah. Kepanikannya tergambar jelas.Aku melipatkan kedua tanganku di atas dada. "Jadi, kamu nggak suka kalau aku nginep di sini? Bukan
Istri Sah POV"Mas, mau langsung tidur? Atau main dulu?" tawarku kepada suamiku sembari melepas piyama kimono yang ku kenakan. Aku mencoba menggodanya. Tapi, Mas Adam menggelengkan kepalanya. Ia menolak tawaranku. "Nggak, Dek. Mas capek. Mau tidur aja.""Hmm. Tumben," kataku kembali mengenakan piyama kimono yang tadi sudah ku lepas."Nggak tahu nih. Capek aja.""Memangnya Mas seharian ngapain aja tadi?" tanyaku. Aku kan memang tidak tahu persis apa yang tengah dilakukan suamiku ketika aku tidak berada di rumah. Yang ku tahu, tugas pokok mas Adam adalah menjaga anak-anak. Namun, sejak ada Babysitter baru, pasti tidak sepenuhnya Mas Anton menjaga Cleo dan Xabi."Mas ke perkebunan sawit kita. Ngeliat orang mupuk," jawabnya. Kami memang memiliki dua lahan sawit yang dihandle oleh Mas Adam. Meskipun itu atas namaku, sebab dua lahan tersebut adalah hasil jerih payahku sebelum aku menikah dengan Mas Adam. Namun, daripada suamiku tidak ada kerjaan, maka aku serahkan semuanya pada dirinya. Kar
Pelakor's POVAku mengunci pintu kamar dengan rapat. Sedangkan Mas Adam langsung berbaring di atas ranjang."Maksdunya lahan sawit tadi gimana, Mas?" tanyaku masih belum mengerti.Mas Adam memandangku dan mengedipkan satu matanya dengan genit ke arahku. Ia memberiku kode untuk berbaring juga di sebelahnya. Aku langsung mendekatinya.Mas Adam memelukku ketika aku sudah berada di sebelahnya. "Aku kangen banget sama kamu, Sayang." Ia mengatakan itu padaku sembari terus mengecup seluruh bagian wajahku dengan penuh nafsu."Mas ceritain dulu yang tentang lahan sawit tadi," kataku mengerucutkan bibir. Aku tidak suka jika seseorang mengatakan sesuatu padaku, tapi tidak selesai."Jangan setengah-setengah dong," imbuhku lagi.Mas Adam membenarkan posisi tidurnya menjadi miring ke arahku. "Ghinda akan memberikan dua lahan sawit itu padaku, Sayang. Itu bisa kita jadikan bekal kita untuk berumah tangga."Aku tersenyum sumringah. Akhirnya rencana yang telah jauh-jauh hari kami inginkan terwujud jug
Istri Sah POVAku terbangun dari tidur karena kerongkonganku terasa kering. Seperti biasa, untung saja segelas air putih sudah tersedia di atas nakas. Jadi, aku segera duduk dan bangun untuk meneguk air itu.Setelah habis setengah gelas, mataku beralih ke sebelah. Tidak ada Mas Adam."Kemana Mas Adam?" tanyaku dalam hati."Mas? Mas?" sapaku ke arah kamar mandi. Karena aku pikir suamiku itu sedang berada di kamar mandi. Namun ku lihat pintu kamar mandi tidak tertutup. Aku segera menyibakkan selimut dan berdiri untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi. Mencari keberadaan suamiku.Nihil. Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi.Aku memutuskan untuk mencarinya ke bawah. "Mungkin Mas Adam nonton tv di ruang keluarga. Atau lagi duduk termenung di ruang tamu. Maybe." Begitu pikirku. Maka, aku menurunkan satu persatu anak tangga sembari menekan saklar untuk menyalakan lampu."Mas?" Aku memanggilnya lagi. Tapi, setelah aku sampai di ruang tv dan juga ruang tamu, tidak ada siapapun di sana."H
Aku terdiam sejenak. Lebih tepatnya, aku memastikan apakah dia benar-benar memanggilku dengan sebutan Addri? Tapi, lelaki itu malah tersenyum. Wajahnya masih sama seperti dulu, tampak teduh dipandang. Membuat detak jantungku berdetak tak karuan. Tapi aku tersadar sesuatu, “Astaga, Ghinda! Ingat, kamu sudah bersuami. Mengagumi lelaki lain itu dosa!” Aku berusaha untuk mengingatkan diriku.“Kamu bener Addri?” tanyanya lagi memastikan. Kali ini aku tidak salah dengar, lelaki ini memang menyebutkan nama akhirku. Dengan gugup, aku menjawab, “I-iya. Saya Addri.”Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia memang benar-benar Mas Ginan. Lelaki yang dari dulu mengejar cintaku, tapi aku tolak berulang kali dan lebih memilih Mas Adam. Padahal, seluruh keluargaku lebih setuju jika aku menikah dengannya. Namun, waktu itu aku sangat mencintai Mas Adam. Tidak peduli meskipun Mas Ginan terdengar lebih mapan dalam finansial. Itu lah cinta yang sifatnya buta.“Dunia sempit sekali ya. Fina