Pelakor's POVAku mengunci pintu kamar dengan rapat. Sedangkan Mas Adam langsung berbaring di atas ranjang."Maksdunya lahan sawit tadi gimana, Mas?" tanyaku masih belum mengerti.Mas Adam memandangku dan mengedipkan satu matanya dengan genit ke arahku. Ia memberiku kode untuk berbaring juga di sebelahnya. Aku langsung mendekatinya.Mas Adam memelukku ketika aku sudah berada di sebelahnya. "Aku kangen banget sama kamu, Sayang." Ia mengatakan itu padaku sembari terus mengecup seluruh bagian wajahku dengan penuh nafsu."Mas ceritain dulu yang tentang lahan sawit tadi," kataku mengerucutkan bibir. Aku tidak suka jika seseorang mengatakan sesuatu padaku, tapi tidak selesai."Jangan setengah-setengah dong," imbuhku lagi.Mas Adam membenarkan posisi tidurnya menjadi miring ke arahku. "Ghinda akan memberikan dua lahan sawit itu padaku, Sayang. Itu bisa kita jadikan bekal kita untuk berumah tangga."Aku tersenyum sumringah. Akhirnya rencana yang telah jauh-jauh hari kami inginkan terwujud jug
Istri Sah POVAku terbangun dari tidur karena kerongkonganku terasa kering. Seperti biasa, untung saja segelas air putih sudah tersedia di atas nakas. Jadi, aku segera duduk dan bangun untuk meneguk air itu.Setelah habis setengah gelas, mataku beralih ke sebelah. Tidak ada Mas Adam."Kemana Mas Adam?" tanyaku dalam hati."Mas? Mas?" sapaku ke arah kamar mandi. Karena aku pikir suamiku itu sedang berada di kamar mandi. Namun ku lihat pintu kamar mandi tidak tertutup. Aku segera menyibakkan selimut dan berdiri untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi. Mencari keberadaan suamiku.Nihil. Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi.Aku memutuskan untuk mencarinya ke bawah. "Mungkin Mas Adam nonton tv di ruang keluarga. Atau lagi duduk termenung di ruang tamu. Maybe." Begitu pikirku. Maka, aku menurunkan satu persatu anak tangga sembari menekan saklar untuk menyalakan lampu."Mas?" Aku memanggilnya lagi. Tapi, setelah aku sampai di ruang tv dan juga ruang tamu, tidak ada siapapun di sana."H
Aku terdiam sejenak. Lebih tepatnya, aku memastikan apakah dia benar-benar memanggilku dengan sebutan Addri? Tapi, lelaki itu malah tersenyum. Wajahnya masih sama seperti dulu, tampak teduh dipandang. Membuat detak jantungku berdetak tak karuan. Tapi aku tersadar sesuatu, “Astaga, Ghinda! Ingat, kamu sudah bersuami. Mengagumi lelaki lain itu dosa!” Aku berusaha untuk mengingatkan diriku.“Kamu bener Addri?” tanyanya lagi memastikan. Kali ini aku tidak salah dengar, lelaki ini memang menyebutkan nama akhirku. Dengan gugup, aku menjawab, “I-iya. Saya Addri.”Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia memang benar-benar Mas Ginan. Lelaki yang dari dulu mengejar cintaku, tapi aku tolak berulang kali dan lebih memilih Mas Adam. Padahal, seluruh keluargaku lebih setuju jika aku menikah dengannya. Namun, waktu itu aku sangat mencintai Mas Adam. Tidak peduli meskipun Mas Ginan terdengar lebih mapan dalam finansial. Itu lah cinta yang sifatnya buta.“Dunia sempit sekali ya. Fina
Pelakor's POVSetelah mendengar suara teriakan Cleo memanggil Ayahnya, aku dan Mas Adam menghentikan perbuatan hina kami. Terlebih lagi ketika kami sama-sama menoleh ke sumber suara, Cleo berdiri di pintu dengan wajah polosnya. Sontak kami berdua saling menjauh.Aku dapat merasakan rasa kepanikan yang dirasakan Mas Adam juga."C-cleo? Ada apa, Nak?" Mas Adam dengan segera menghampiri Cleo. Ia langsung menggendong putera bungsunya itu. Namun, Cleo terdiam. Ia mungkin masih terkejut karena baru saja melihat Ayahnya memelukku."Cleo?" Mas Adam menyapanya lagi, karena tidak ada tanggapan dari Cleo. Sementara mata Cleo secara gantian menatapku dan Mas Adam."Cleo? Cleo dima-?" Kini suara Nira yang terdengar. Ujung kalimat yang ia ucapkan menggantung karena melihat kami dari luar yang berada di dalam kamar. Lagi-lagi bisa ku terka wajah Nira yang terkejut dan sudah menaruh curiga pada kami. Sebab, tadi malam saja ia sudah memergoki Mas Adam keluar dari kamarku. Dan kini ia harus menyaksikan
Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan apa yang dimaksud oleh Cleo. Mengapa anakku mengatakan hal seperti itu? “M-maksud Cleo apa ya?” Aku bertanya kepada si bungsuku itu.Mas Adam langsung bersuara. “Cleo, maksudnya gimana? Kapan Ayah kayak gitu?” Wajah Mas Adam tampak bingung juga. Ia memandang Cleo dengan intens. Alhasil, Cleo menangis mendadak. Ia menangis sangat kencang dan meminta Nira untuk menggendongnya. Babysitter baru itu pun dengan sigap langsung menggendong Cleo. Ia berdiri dan berusaha untuk mendiamkan tangisan Cleo.“Kenapa dia, Mas?” tanyaku pada Mas Adam sembari memandangnya dengan serius. Sebab, wajah Mas Adam tampak pucat. Entah sesuatu apa yang terjadi ketika aku tidak di rumah tadi.Mas Adam tampak gugup. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang aku tahu itu tidak gatal. Ia menggeleng berulang kali dan menaikkan kedua bahunya. “Mas nggak tahu, Dek. Entah kenapa Cleo ngomong begitu.”Aku beralih memandang si bungsuku yang tangisnya malah semakin kencang. Tidak bias
Nira mengangguk dengan yakin. Namun, ia agak takut ketika mendengar suaraku yang lumayan besar. Mungkin Nira takut jika Mas Anton mendengar percakapan kami."Kamu beneran?" tanyaku lagi untuk memastikan. Mungkin berulang kali aku mengucapkan kata yang sama. Berulang kali juga Nira menjawab hal itu-itu aja.Aku berusaha untuk mengontrol diri agar tidak langsung menandatangani Mas Adam. Aku masih ingin mencari bukti yang kuat, alias aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Meskipun pengakusn Cleo dan Nira sudah cukup jelas membuatku percaya."B-bu, saya takut. Soalnya Mbak Tere ngasih saya uang biar nggak cerita sama ibu," kata Nira menambahkan sebuah informasi yang baru aku tahu."Oh ya? Terus, uangnya kamu terima?" tanyaku. Nira mengangguk polos. Aku menjawab, "Bagus deh. Kamu mihak ke saya. Nanti saya kasih uang tambahan."Tidak masuk akal. Jika memang Mas Anton memasuki kamar yang ditempati Tere hanya untuk menolongnya dari kecoak, gadis itu tidak akan repot-repot mengelua
Aku berdehem. "Hmm. Gitu ya. Tumben, Mas. Biasanya kamu selalu mengenalkan teman-temanmu ke aku. Kok yang ini nggak kamu kasih tahu ke aku."Aku menambahkan kalimatku lagi. "Biasanya juga kamu si paling excited nunjukin foto temen kamu yang aku belum kenal. Kok yang ini nggak?"Mas Adam terdiam sejenak. Ia tampak berpikir untuk mencari alasan lagi. Lalu, tak lama setelah itu bibirnya tersungging. "Hm. Ya karena temenku yang ini private banget hidupnya. Mana punya dia media sosial. Makanya nggak ada foto dia yang mau aku tunjukin ke kamu, Sayang."Sejauh ini, alasannya masih masuk akal. Aku dapat menerimanya."Dek, besok bisa nggak di urus cepet sertifikaf lahan sawit itu?" tanya Mas Adam tiba-tiba. Pembasahan tentang lahan sawit ini sudah dibahas tadi, tapi ia membahasnya lagi.Keningku berkerut. Merasa heran, entah kenapa suamiku ingin sekali cepat-cepat aku urus lahan sawit itu untuknya. "Kenapa, Mas?""Hmm. Ya kalau lama-lama, nanti aku dibully terus sama temen-temenku kalau ngumpu
Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Mas Adam keluar dari dalam sana. Ia sudah selesai menelepon dengan selingkuhannya itu. Sementara aku terduduk lemas tidak berdaya tepat di depan pintu kamar mandi. Mas Adam sontak terkejut setengah mati. Aku sempat melihat wajah paniknya sekilas. Tentu ia panik karena takut aku mendengar semuanya."S-sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Ia jongkok dan memeriksa keadaanku. Aku benar-benar lemas. Kenyataan ini membuat tubuhku langsung down seketika. Aku rapuh. Benar-benar tidak mampu berdiri tegak untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mencaci Mas Adam.Aku terdiam. Tidak menjawab pertanyaan si bajingan ini. Karena aku masih bersusah payab untuk mengontrol napas yang mendadak sesak tak karuan.Mas Adam dengan sigap mengangkat tubuhku untuk dibaringkan di atas ranjang. Ingin sekali rasanya aku memukul dada bidangnya atau bahkan menampar wajahnya saat ini juga. Tapi, untuk berkata sepatah kata saja aku benar-benar tidak berdaya. Hanya bulir-bulir air mata yang