Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Mas Adam keluar dari dalam sana. Ia sudah selesai menelepon dengan selingkuhannya itu. Sementara aku terduduk lemas tidak berdaya tepat di depan pintu kamar mandi. Mas Adam sontak terkejut setengah mati. Aku sempat melihat wajah paniknya sekilas. Tentu ia panik karena takut aku mendengar semuanya."S-sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Ia jongkok dan memeriksa keadaanku. Aku benar-benar lemas. Kenyataan ini membuat tubuhku langsung down seketika. Aku rapuh. Benar-benar tidak mampu berdiri tegak untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mencaci Mas Adam.Aku terdiam. Tidak menjawab pertanyaan si bajingan ini. Karena aku masih bersusah payab untuk mengontrol napas yang mendadak sesak tak karuan.Mas Adam dengan sigap mengangkat tubuhku untuk dibaringkan di atas ranjang. Ingin sekali rasanya aku memukul dada bidangnya atau bahkan menampar wajahnya saat ini juga. Tapi, untuk berkata sepatah kata saja aku benar-benar tidak berdaya. Hanya bulir-bulir air mata yang
Hotel Adiguna, room 24 lantai 3. Aku sudah menghapalnya sedari tadi. Ku lihat ke bagasi, tidak ada mobil disana. Itu artinya Mas Adam pergi menaiki mobil. Maka, aku pergi dengan memesan ojek online.Sebelumnya, aku menghubungi Birana. Sahabatku sedari SMA. Teman curhatku. Aku menangis tersedu-sedu, mengadu padanya. Ia sungguh bereaksi tidak terima, juga tidak menyangka Mas Adam bisa seberengsek itu padaku."Ghinda! Kamu harus bisa kontrol diri kalau mau ngelabrak mereka, Ghin. Jangan dipaksa kalau kamu nggak sekuat itu mentalnya," katanya padaku berulang kali. Ia lebih mencemaskan kesehatan mentalku."Nggak, Ra. Aku harus balas perbuatan mereka ke aku! Aku nggak bisa diam aja. Aku nggak peduli kalau setelah itu kesehatanku memburuk. Yang penting aku harus balas!" jawabku sembari terisak seperti orang yang sudah tidak waras lagi. Berkali-kali ku sapu air mata yang jatuh membasahi pipi."Ghin, kalau emang itu kemauan kamu yaudah. Aku cuma bisa dukung. Nanti aku nyusul ya ke alamat hotel
Keduanya tampak terkejut dan dengan reflek menghentikan goyangan yang membuat aku jijik itu. Secara bersamaan mereka memandang ke arah pintu. Tepatnya ke arahku.Sementara aku dengan santai dan anggun melangkahkan kaki ke depan untuk mendekati mereka. Tatapan mataku datar, fokus memandang mereka secara bergantian. Ku lipatkan kedua tangan di atas dada yang semakin bergemuruh. "Lho, kok kalian berhenti? Kan aku pengen nonton secara langsung." Aku bersuara santai. Meskipun saat ini sebenarnya tangisku ingin meledak sekarang juga. Tapi ku tahan. Aku harus bisa kuat."D-dek, ngapain kesini?" Mas Adam bertanya dengan suara parau dan gugupnya."Ayo, Mas! Dilanjut dong. Aku mau tahu selangkangan si penggoda ini secantik apa, sampai kamu bisa tergoda sama dia!" ujarku sembari menunjuk ke arah Tere yang mendadak menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hotel yang berwarna putih itu. Ia menundukkan kepalanya. Tidak berani menatapku."Kok nunduk aja kamu, Tere? Kemana muka manismu yang selama in
Aku membuka mata secara perlahan. Ku lihat langit-langit ruangan bernuansa putih. Tentu aku mengenalnya. Ini adalah kamarku. Jarum pendek di jam dinding ke arah angka 8. Ku lihat di balik tirai, sudah terang. Berarti ini sudah pagi. Aku sudah lama tidak sadarkan diri. Sekilas teringat kejadian tadi malam. Membuatku muak dan mengundang luka yang menganga di ulu hati."Ghin? Pusing nggak kepala kamu?" Sebuah pertanyaan langsung ku dengar dari suara seorang wanita. Bisa ku rasakan tangannya menggenggam erat jemariku. Aku mengenalnya. Dia pasti Birana.Aku menggeleng. Dengan pelan menjawab, "Mendingan.""Ghin, ayo minum dulu. Bu bidan suruh kamu banyak-banyak minum." Bira mengambil segelas air dan membantuku untuk sedikit duduk.Aku menurutinya. Lagi pula kerongkonganku memang kering. Aku butuh minum air.Setengah gelas sudah ku teguk. Bira membantuku untuk kembali dalam posisi semula. Ia dengan telaten menyelimuti kakiku juga. Sudah ku duga, pasti Bira menginap di rumahku."Tadi malam ka
Setelah Tara menampar Mas Adam, suasana mendadak hening beberapa saat. Tak ada satupun yang bersuara. Sementara aku menahan suara isak tangis di balik selimut. Agar tidak terdengar. Air mataku sudah ku cegah untuk tidak turun. Tapi, aku tak bisa menahannya."Tega kamu, Adam! Kenapa nyakitin sahabatku? Kenapa juga kamu kepincut sama adikku? Hah? Kenapa Adam?" tanya Tara menggebu-gebu diiringi suara isakan tangisnya.Aku tahu persis bagaimana Tara. Hatinya baik. Orangnya sangat lembut. Apalagi, dia orang yang tidak enakan. Sudah pasti dia merasa posisinya serba salah dalam masalah ini. Posisi sebagai seorang sahabat yang diselingkuhi. Dan posisi sebagai seorang kakak yang ternyata adiknya pelakor.Mas Adam berani menjawab pertanyaan Tara dengan suara baritonnya. Terdengar tegas, tanpa ada penyesalan. "Kami saling jatuh cinta. Apa mencintai itu salah? Aku adalah suami yang bosan dengan istri. Apakah rasa bosanku salah? Aku juga manusia.""Kalian karena nggak ngerasain diposisiku. Makanya
"Tapi aib kamu itu memang pantas di umbar, Mas," balasku tak mau kalah. Meskipun suaraku bergetar. Ku tahan sekuat-kuatnya agar air mata tidak lagi luruh di depan bajingan ini.Birana memberi kode kepada Nira untuk membawa Xabi masuk ke dalam kamar. Akhirnya, si sulungku itu tidak jadi ikut dengan ayahnya. Aku lega. Mas Adam tidak membawa Xabi pergi."Kamu ya! Kalau aja dua sahabat kamu ini nggak ada di sini, sudah tak habisin kami." Mata Mas Adam memerah. Aku seperti disambar petir di siang bolong begini. Tega hati Mas Adam mengucapkan kalimat itu setelah tujuh tahun pernikahan tidak pernah kasar kepadaku.Aku tidak berdaya membalasnya. Tentu saja Bira yang mengambil alih. "Heh! Gila kamu ya, Adam! Kami lihat, nggak ada tuh itikad baik kamu untuk sekedar minta maaf sama Ghinda. Dimana urat malu kamu itu. Udah putus ya!""Dia nggak akan butuh maaf dari aku, suami yang cuma bisa jadi benalu di hidup dia. Iya kan?" Mas Adam menatap mataku. Ia menyindir dirinya sendiri. Benar dugaanku, p
"Ghin, yakin mau datang ke rumah orang tuanya Mas Adam?" tanya Bira lagi. Pertanyaan itu berulang kali ia ucapkan padaku. Padahal aku sudah mantap menjawabnya. "Iya, Ra. Aku mau kesana sekarang juga. Ikut ya. Jagain aku kalau mendadak pingsan lagi.""Kamu mau ngapain kesana? Mau kasih tahu orang tuanya kalau anaknya selingkuh? Kan bisa lewat telepon aja, Ghin." Bira tahu, jarak ke kampung Mas Adam lumayan jauh. Sekitar 3 jam perjalanan darat. Aku tahu dia bukan mempermasalahkan jarak, tapi dia mencemaskanku.Kami akan berkunjung berdua kesana. Ke kampung halamannya Mas Adam. Sementara Tara harus pulang lebih dulu ke rumahnya karena aku yang meminta. Aku tahu dan paham, Tara punya suami dan anak yang harus ia urus. Berbeda dengan Bira, sahabatku yang satu ini belum pernah menikah. Usianya sama denganku. Tapi pilihan hidupnya begitu. Katanya, ada seseorang yang masih dia tunggu."Iya aku mau kasih tau ke keluarganya. Sekalian silaturahmi. Udah dua tahun nggak kesana." Aku menghitung wak
Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ketika aku melihat ibuk, aku segera mencium tangannya dengan takzim. Aku berusaha untuk tersenyum di depannya. Meskipun saat ini tangisku akan meledak karena sakit yang kurasa tidak bisa tertahankan lagi. Aku menjawab pertanyaannya. "Iya, Bu. Aku baru aja sampai ke sini. Ini teman aku. Kenalin Bu, namanya Birana."Birana langsung mengulurkan jabatan tangannya kepada Ibuk. Lalu, dia memperkenalkan dirinya sendiri. "Perkenalkan, aku Birana. Sahabat dekatnya Ghinda, Bu.""Oh iya salam kenal, Birana," jawab ibuk dengan ramah. "Ayo kita masuk dulu," imbuhnya lagi mempersilahkan kami masuk.Aku dan Bira melangkahkan kaki mengikuti Ibuk dari belakang untuk masuk kedalam rumahnya. Benar yang dikatakan Mbak Ayu, di dalam rumah itu sudah banyak makanan yang tersaji dan juga sanak keluarga jauh yang sempat ku kenal hadir di sini. Ada sebagian dari mereka tampak kebingungan ketika melihatku. Mungkin mereka bertanya-tanya mengapa aku bisa hadir di acara persia
"Sampai tadi pagi pun aku tahu bahwa keadaan Ibu masih belum stabil. Itu makanya saya masih belum berani bilang ke ibu. Saya takut kalau keadaan Ibu semakin memburuk," kata Nira lagi. Dia memberi tahu alasannya padaku mengapa ia tidak memberitahuku bahwa Xabiru mengigau serius."Oh ya sudah enggak apa-apa, Nira. Saya minta tolong ya sama kamu. Tolong panggilkan dokter pribadi untuk memeriksa Xabiru. Okay? Tunggu saya pulang. Sebentar lagi ya saya akan pulang." Begitu kataku kepada Nira. "Baik. Siap laksanakan," ucapnya.Aku mengakhiri telepon. Ternyata Birana sudah berdiri dibelakangku. Wajahnya terlihat sedih melihat air di kedua sudut mataku sudah turun. "Ra, aku gagal jadi ibu. Aku nggak tahu kalau dia sakit," kataku pilu.Birana langsung mendekatiku dan memelukku. "It's okay. Nggak papa. Kamu bukan gagal jadi ibu. Cuman Tuhan kasih kamu waktu buat sendiri dulu untuk mewaraskan diri kamu yang lagi ditimpa masalah ini.***Tidak terasa waktu ku sudah habis 10 menit. Polisi memanggil
Aku dan Birana langsung saja menuju kantor Polisi. Sesampainya di sana, benar saja mas Adam sudah duduk di depan polisi untuk dimintai keterangan."Ibu Ghida, silakan duduk disebelah Bapak Adam," kata polisi tersebut. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya lagi. "Kami sudah mencoba menghubungi bapak Ginanjar, namun beliau sedang ada kesibukan lain. Jadi beliau menitipkan semuanya kepada ibu Ghinda."Aku membalasnya dengan anggukan kepala. "Oh iya pak terima kasih."Selama proses pemeriksaan, aku sama sekali tidak menoleh ke arah kananku tepatnya ke arah mas Adam. Aku hanya bisa mendengar suaranya."Jika Bapak tahu hasil pemeriksaan visum dari bapak Ginanjar dan juga Ibu Ghinda sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka sedang habis melakukan hubungan seksual. Maka dengan ini kami menyatakan bahwa pelaporan yang bapak buat kemarin adalah sebuah fitnah. Bapak telah menuduh tanpa bukti. Jadi kami akan mengenakan Bapak sanksi," ujar polisi tersebut kepada mas Adam.Mas Adam hanya terdiam tida
"Lho! Itu ya bukan urusan aku dong. Itu karena kamu udah jahat sama aku. Kamu udah merebut suamiku. Sekarang kamu yang harus menikmati hukuman itu. Hukuman langsung dari Tuhan untuk kamu," kataku dengan ketus.Sementara Tere terus menangis. Malah tangisannya kini semakin kencang. Ia terlihat seperti orang yang tidak waras lagi."Kak tolong maafkan aku. Aku bisa ngelakuin apa aja yang kakak suruh asalkan kakak bisa memaafkanku dan membersihkan nama baik ku di sekolah. Di tempat kerjaku," pintanya.Ia menambahkan kalimatnya lagi sebelum aku membalas ucapannya. "Aku nggak ada kerjaan lagi, Kak. Cuman itu satu-satunya harapanku. Mohon kak jangan seperti ini.""Kamu aneh ya! Apa yang bisa aku lakuin?" tanyaku dengan sewot. Aku sudah sangat risih."Kakak bisa datang ke sekolahan. Kemudian kakak temui kepala sekolah dan katakan bahwa kasus ini nggak benar. Tolong bersihkan nama baikku. Tolong, aku tidak ingin dicap buruk."Aku tertawa kencang. "Hahaha. Kok ada ya orang kayak kamu, Tere? Kamu
Aku dan Mas Ginan memasuki ruangan yang dimaksud oleh polisi wanita tersebut. Dua polisi pria juga mengawal kami.Setelah masuk ke dalam, seorang perempuan yang mengenakan jas putih mempersilakan kami untuk duduk tepat dihadapannya. Ia adalah seorang dokter yang telah memeriksa visum kami. "Bapak dan Ibu hasil visumnya bisa dibaca disini," katanya sembari memberikan beberapa lembar kertas kepada kami.Aku dan mas Ginan melihat secara bersamaan. "Bapak dan Ibu hasil visumnya aman. Tidak terjadi terjadi tanda-tanda telah melakukan hubungan seksual. Jadi kalian dinyatakan bebas tidak melakukan perzinahan," katanya.Aku dan mas Ginan bernafas lega. Akhirnya tuduhan perzinahan tidak terbukti."Kalau begitu saya minta dibuatkan surat laporan karena mas Adam yang masih berstatus suami saya sudah menuduh saya berbuat zina," kataku meminta kepada polisi pria yang sedang berdiri di sebelah kami."Apakah itu tidak masalah, Bu?" tanya salah satu dari polisi tersebut. Wajahnya tampak bingung. Kemu
Mataku tidak sengaja melihat ke arah luar. Dibalik pohon akasia yang letaknya tepat di pinggir jalan rumahku, aku melihat Mas Adam sedang berdiri di balik sana dan memerhatikan kami di dalam. Mata kami sempat bertemu beberapa detik. Tampak Mas Adam terkejut. Ia malah lari setelah itu."Oh itu dia! Malah kabur!" kataku bereaksi spontan sembari menunjuk ke arahnya yang sedang berlari.Mas Ginan dan ketiga polisi tersebut secara bersamaan menoleh ke arah yang aku tunjuk. Mereka juga sempat melihat Mas Adam berlari."Tuh lihat, Pak! Kalau memang benar kami berzinah, kenapa dia nggak ikut masuk ke sini? Malah dia yang melarikan diri," kataku ketus kepada ketiga polisi tersebut.Ketiga polisi tersebut terlihat bingung. Lalu salah satu diantaranya bersuara. "Maaf, Bu. Kami tidak tahu yang dilaporkan oleh beliau benar atau tidaknya. Tapi karena negara kita adalah negara hukum sebaiknya Bapak dan Ibu harus membuktikan bahwa kalian benar-benar tidak sedang berzina."Au tercengang. Bisa-bisanya
"Gila kamu ya!" kata mas Adam kepadaku. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Tapi tiba-tiba tanpa berkata apapun mas Adam pergi begitu saja. Dia melangkahkan kaki untuk keluar gerbang rumahku. Mungkin dia takut dengan ancamanku yang akan melaporkannya ke polisi atas dugaan kekerasan karena sudah memukul Mas Ginan.Ku biarkan dia pergi begitu saja. Sementara aku langsung menolong Mas Ginan. Kulihat rahang pipi Mas Ginan merah dan pria itu tampak sedari tadi harus menahan sakit."Mas, ayo masuk dulu ke dalam rumah. Aku akan mengompresnya. Biar aku obati ya," kataku.Mas Ginan melambaikan tangannya. "Aku nggak apa-apa kok. Aku bisa sendiri nanti ngobatinnya di hotel. Bener deh." Begitu kata Mas Ginan dengan napas yang tersengal-sengal.Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Aku harus tanggung jawab karena ini kesalahanku juga. Biar aku obatin ya, Mas. Tolong Mas mau terima sebagai permintaan maaf ku." Aku memaksa mas Ginan untuk mengobatinya di rumahku karena aku benar-benar merasa bersalah.Mas Ginan
Akhirnya karena dipaksa oleh Bira dan juga Mas Ginan, aku kini berada di dalam mobil Mas Ginan. Beliau mengantarkanku ke rumah. Sementara Bira bersama dengan temannya membawa mobilku ke bengkel dan ia akan kembali ke rumahku diantar oleh temannya itu. Sebab birana menginap di rumahku.Selama di perjalanan, aku dan Mas Ginan tidak banyak bicara. Mas Ginanjar hanya fokus menyetir mobil dan melihat ke depan jalan. Sementara aku merasa sungkan saat ini.Hanya 20 menit lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di depan halaman rumahku."Ini rumah kamu, Ghin?" tanya Mas Ginan memastikan. Aku menggangguk. "Iya, MasIni rumah aku.""Wah, rumahnya minimalis tapi modern ya. Selera kamu emang bagus," kata Mas Ginan memujiku."Ah biasa saja, Mas. Rumahnya masih belum ada apa-apanya kayaknya dibandingkan sama rumah Mas Ginan," balasku. Aku yakin pasti pria ini memiliki rumah yang besar daripada mikku. Karena tentu saja Mas Ginan adalah orang yang sukses. Apalagi beliau tinggal di kota sudah pasti tem
Aku mendadak terdiam sejenak dan tidak berani sama sekali menatap mata Mas Ginan. Karena aku merasa tersindir ketika dia mengatakan masa lalu. Aku tahu apa yang dia maksud. Dari tatapan matanya Mas Ginan sedang menyindirku. Tatapan mata itu tidak pernah berubah sejak 8 tahun lamanya, ketika pertama kali aku menolaknya untuk menjadi kekasih halalnya."Tapi namanya sudah takdir. Dia juga sudah menjadi milik orang lain. Aku bisa apa? Aku nggak bisa ngelawan takdir. Iya kan?" Lagi-lagi Mas Ginan membuatku merasa tertampar berulang kali.Aku berusaha untuk tersenyum dan menanggapinya hanya dengan menganggukkan kepala.Dan yang membuatku yakin bahwa dia benar-benar menyedihkan adalah ketika Mas Ginan melanjutkan kalimatnya lagi, "Aku udah berusaha buat ngelupain dia bertahun-tahun. Terus udah sedikit bisa mengalihkan pikiranku ke dari dia, eh tiba-tiba Tuhan mempertemukan aku lagi dengannya. Dengan keadaan yang tidak terduga sebelumnya.""Tapi apa daya. Aku enggak bisa berbuat apa-apa. Kare
“Ghinda, kita mau ketemu sama siapa sih sebenarnya?” tanya Bira. Ia mengerutkan dahinya dari tadi. Pertanyaan itu selalu ia lontarkan padaku. Aku memang sengaja tidak memberitahu Birana bahwa kami akan bertemu dengan siapa. Karena sulit menjelaskan padanya.Setelah aku berpusing ria memikirkan bagaimana caranya untuk bertemu dengan Mas Ginan, maka aku terbersit ide untuk mengajak Bira sebagai orang yang menemaniku. Sebab aku tidak mungkin sendiri bertemu dengannya dan juga tidak mungkin ajakan dari Mas Ginan kutolak. Aku sungkan.“Udah deh jangan banyak tanya. Nanti kamu juga tahu kita ketemuan sama siapa. Aku lagi males banget ngejelasinnya. Nanti aja ya setelah ketemu, aku kasih penjelasan kenapa kita harus ketemu sama dia,” jelasku sembari fokus menyetir mobil.Birana memasang wajah kesalnya. Ia benar-benar sangat penasaran. “Ya udah deh,” katanya pasrah.Butuh waktu 20 menit perjalanan untuk kami sampai ke sebuah restoran ternama di dekat daerah rumahku tinggal. Restoran ini dipil