Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan apa yang dimaksud oleh Cleo. Mengapa anakku mengatakan hal seperti itu? “M-maksud Cleo apa ya?” Aku bertanya kepada si bungsuku itu.Mas Adam langsung bersuara. “Cleo, maksudnya gimana? Kapan Ayah kayak gitu?” Wajah Mas Adam tampak bingung juga. Ia memandang Cleo dengan intens. Alhasil, Cleo menangis mendadak. Ia menangis sangat kencang dan meminta Nira untuk menggendongnya. Babysitter baru itu pun dengan sigap langsung menggendong Cleo. Ia berdiri dan berusaha untuk mendiamkan tangisan Cleo.“Kenapa dia, Mas?” tanyaku pada Mas Adam sembari memandangnya dengan serius. Sebab, wajah Mas Adam tampak pucat. Entah sesuatu apa yang terjadi ketika aku tidak di rumah tadi.Mas Adam tampak gugup. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang aku tahu itu tidak gatal. Ia menggeleng berulang kali dan menaikkan kedua bahunya. “Mas nggak tahu, Dek. Entah kenapa Cleo ngomong begitu.”Aku beralih memandang si bungsuku yang tangisnya malah semakin kencang. Tidak bias
Nira mengangguk dengan yakin. Namun, ia agak takut ketika mendengar suaraku yang lumayan besar. Mungkin Nira takut jika Mas Anton mendengar percakapan kami."Kamu beneran?" tanyaku lagi untuk memastikan. Mungkin berulang kali aku mengucapkan kata yang sama. Berulang kali juga Nira menjawab hal itu-itu aja.Aku berusaha untuk mengontrol diri agar tidak langsung menandatangani Mas Adam. Aku masih ingin mencari bukti yang kuat, alias aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Meskipun pengakusn Cleo dan Nira sudah cukup jelas membuatku percaya."B-bu, saya takut. Soalnya Mbak Tere ngasih saya uang biar nggak cerita sama ibu," kata Nira menambahkan sebuah informasi yang baru aku tahu."Oh ya? Terus, uangnya kamu terima?" tanyaku. Nira mengangguk polos. Aku menjawab, "Bagus deh. Kamu mihak ke saya. Nanti saya kasih uang tambahan."Tidak masuk akal. Jika memang Mas Anton memasuki kamar yang ditempati Tere hanya untuk menolongnya dari kecoak, gadis itu tidak akan repot-repot mengelua
Aku berdehem. "Hmm. Gitu ya. Tumben, Mas. Biasanya kamu selalu mengenalkan teman-temanmu ke aku. Kok yang ini nggak kamu kasih tahu ke aku."Aku menambahkan kalimatku lagi. "Biasanya juga kamu si paling excited nunjukin foto temen kamu yang aku belum kenal. Kok yang ini nggak?"Mas Adam terdiam sejenak. Ia tampak berpikir untuk mencari alasan lagi. Lalu, tak lama setelah itu bibirnya tersungging. "Hm. Ya karena temenku yang ini private banget hidupnya. Mana punya dia media sosial. Makanya nggak ada foto dia yang mau aku tunjukin ke kamu, Sayang."Sejauh ini, alasannya masih masuk akal. Aku dapat menerimanya."Dek, besok bisa nggak di urus cepet sertifikaf lahan sawit itu?" tanya Mas Adam tiba-tiba. Pembasahan tentang lahan sawit ini sudah dibahas tadi, tapi ia membahasnya lagi.Keningku berkerut. Merasa heran, entah kenapa suamiku ingin sekali cepat-cepat aku urus lahan sawit itu untuknya. "Kenapa, Mas?""Hmm. Ya kalau lama-lama, nanti aku dibully terus sama temen-temenku kalau ngumpu
Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Mas Adam keluar dari dalam sana. Ia sudah selesai menelepon dengan selingkuhannya itu. Sementara aku terduduk lemas tidak berdaya tepat di depan pintu kamar mandi. Mas Adam sontak terkejut setengah mati. Aku sempat melihat wajah paniknya sekilas. Tentu ia panik karena takut aku mendengar semuanya."S-sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Ia jongkok dan memeriksa keadaanku. Aku benar-benar lemas. Kenyataan ini membuat tubuhku langsung down seketika. Aku rapuh. Benar-benar tidak mampu berdiri tegak untuk mendobrak pintu kamar mandi dan mencaci Mas Adam.Aku terdiam. Tidak menjawab pertanyaan si bajingan ini. Karena aku masih bersusah payab untuk mengontrol napas yang mendadak sesak tak karuan.Mas Adam dengan sigap mengangkat tubuhku untuk dibaringkan di atas ranjang. Ingin sekali rasanya aku memukul dada bidangnya atau bahkan menampar wajahnya saat ini juga. Tapi, untuk berkata sepatah kata saja aku benar-benar tidak berdaya. Hanya bulir-bulir air mata yang
Hotel Adiguna, room 24 lantai 3. Aku sudah menghapalnya sedari tadi. Ku lihat ke bagasi, tidak ada mobil disana. Itu artinya Mas Adam pergi menaiki mobil. Maka, aku pergi dengan memesan ojek online.Sebelumnya, aku menghubungi Birana. Sahabatku sedari SMA. Teman curhatku. Aku menangis tersedu-sedu, mengadu padanya. Ia sungguh bereaksi tidak terima, juga tidak menyangka Mas Adam bisa seberengsek itu padaku."Ghinda! Kamu harus bisa kontrol diri kalau mau ngelabrak mereka, Ghin. Jangan dipaksa kalau kamu nggak sekuat itu mentalnya," katanya padaku berulang kali. Ia lebih mencemaskan kesehatan mentalku."Nggak, Ra. Aku harus balas perbuatan mereka ke aku! Aku nggak bisa diam aja. Aku nggak peduli kalau setelah itu kesehatanku memburuk. Yang penting aku harus balas!" jawabku sembari terisak seperti orang yang sudah tidak waras lagi. Berkali-kali ku sapu air mata yang jatuh membasahi pipi."Ghin, kalau emang itu kemauan kamu yaudah. Aku cuma bisa dukung. Nanti aku nyusul ya ke alamat hotel
Keduanya tampak terkejut dan dengan reflek menghentikan goyangan yang membuat aku jijik itu. Secara bersamaan mereka memandang ke arah pintu. Tepatnya ke arahku.Sementara aku dengan santai dan anggun melangkahkan kaki ke depan untuk mendekati mereka. Tatapan mataku datar, fokus memandang mereka secara bergantian. Ku lipatkan kedua tangan di atas dada yang semakin bergemuruh. "Lho, kok kalian berhenti? Kan aku pengen nonton secara langsung." Aku bersuara santai. Meskipun saat ini sebenarnya tangisku ingin meledak sekarang juga. Tapi ku tahan. Aku harus bisa kuat."D-dek, ngapain kesini?" Mas Adam bertanya dengan suara parau dan gugupnya."Ayo, Mas! Dilanjut dong. Aku mau tahu selangkangan si penggoda ini secantik apa, sampai kamu bisa tergoda sama dia!" ujarku sembari menunjuk ke arah Tere yang mendadak menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hotel yang berwarna putih itu. Ia menundukkan kepalanya. Tidak berani menatapku."Kok nunduk aja kamu, Tere? Kemana muka manismu yang selama in
Aku membuka mata secara perlahan. Ku lihat langit-langit ruangan bernuansa putih. Tentu aku mengenalnya. Ini adalah kamarku. Jarum pendek di jam dinding ke arah angka 8. Ku lihat di balik tirai, sudah terang. Berarti ini sudah pagi. Aku sudah lama tidak sadarkan diri. Sekilas teringat kejadian tadi malam. Membuatku muak dan mengundang luka yang menganga di ulu hati."Ghin? Pusing nggak kepala kamu?" Sebuah pertanyaan langsung ku dengar dari suara seorang wanita. Bisa ku rasakan tangannya menggenggam erat jemariku. Aku mengenalnya. Dia pasti Birana.Aku menggeleng. Dengan pelan menjawab, "Mendingan.""Ghin, ayo minum dulu. Bu bidan suruh kamu banyak-banyak minum." Bira mengambil segelas air dan membantuku untuk sedikit duduk.Aku menurutinya. Lagi pula kerongkonganku memang kering. Aku butuh minum air.Setengah gelas sudah ku teguk. Bira membantuku untuk kembali dalam posisi semula. Ia dengan telaten menyelimuti kakiku juga. Sudah ku duga, pasti Bira menginap di rumahku."Tadi malam ka
Setelah Tara menampar Mas Adam, suasana mendadak hening beberapa saat. Tak ada satupun yang bersuara. Sementara aku menahan suara isak tangis di balik selimut. Agar tidak terdengar. Air mataku sudah ku cegah untuk tidak turun. Tapi, aku tak bisa menahannya."Tega kamu, Adam! Kenapa nyakitin sahabatku? Kenapa juga kamu kepincut sama adikku? Hah? Kenapa Adam?" tanya Tara menggebu-gebu diiringi suara isakan tangisnya.Aku tahu persis bagaimana Tara. Hatinya baik. Orangnya sangat lembut. Apalagi, dia orang yang tidak enakan. Sudah pasti dia merasa posisinya serba salah dalam masalah ini. Posisi sebagai seorang sahabat yang diselingkuhi. Dan posisi sebagai seorang kakak yang ternyata adiknya pelakor.Mas Adam berani menjawab pertanyaan Tara dengan suara baritonnya. Terdengar tegas, tanpa ada penyesalan. "Kami saling jatuh cinta. Apa mencintai itu salah? Aku adalah suami yang bosan dengan istri. Apakah rasa bosanku salah? Aku juga manusia.""Kalian karena nggak ngerasain diposisiku. Makanya