Share

Membalas Pembunuh Suamiku
Membalas Pembunuh Suamiku
Author: pipitxomi

Mei 1

Author: pipitxomi
last update Last Updated: 2022-10-24 16:08:02

"Mei, maaf aku harus memberi kabar buruk untukmu hari ini." Mei sedang di kamar, menyortir laporan restorannya. Mendengar kalimat Dimas yang mencurigakan, dia langsung menghentikan kegiatannya.

"Ada apa, Dimas? Katakan!" desak Mei. Hatinya mendadak menjadi gundah.

Dimas adalah pemilik bengkel mobil langganan Mei. Dan Dimas tidak pernah meneleponnya seperti ini. Sepertinya Mei benar-benar akan mendengar berita yang sangat buruk hari ini.

"Beberapa hari yang lalu kau memintaku untuk memperbaiki mobilmu yang rusak akibat kecelakaanmu waktu itu. kau ingat?"

"Tentu! Tentu saja! Ada apa dengan mobil itu?"

"Ada yang aneh. Sepertinya ada yang sengaja meledakkan ban mobilmu hingga kau mengalami kecelakaan dengan suamimu."

Pensil yang sedang dipegang Mei langsung patah begitu saja karena dia meremasnya begitu kuat. Nafasnya seketika sesak seakan ada ratusan batu menghantam dadanya. Air matanya sudah terkumpul di ujung matanya. Dia harus melakukan sesuatu sebelum depresinya kembali muncul dan dia akan mengamuk.

Bayangan Albert, suaminya, meregang nyawa di depannya saat kecelakaan tunggal yang melibatkan mobil mereka melintas dengan cepat di pikirannya tanpa bisa dia cegah. Wajah tampan Albert penuh dengan darah. Kemejanya yang berwarna biru berubah merah karena darah. Mobil mereka berguling, menabrak semak-semak dan akhirnya berhenti setelah menghantam sebuah pohon di pinggir jalan. 

Luka Mei tidak cukup parah. Untung saja perutnya yang berisi janin berumur empat bulan selamat dengan ajaib. Namun tidak untuk Albert. Matanya tertutup untuk selamanya tidak lama setelah kecelakaan itu.

Meski sudah lebih dari satu tahun, tapi bayang-bayang kecelakaan itu tidak bisa hilang sepenuhnya. Tangan Mei bergetar hebat. Dia sangat ingin bertemu Dimas sekarang, tapi itu tidak mungkin. Mungkin besok. Ya, besok saja. Sekarang dia harus segera bertemu Erik untuk menyalurkan rasa frustrasinya.

--

Seorang wanita tampak begitu fokus memberikan jab dan hook pada samsak di depannya. Peluhnya bercucuran membasahi kaos longgar dan celana panjang olah raga yang dipakainya. Matanya yang tampak dingin tidak dapat menutupi wajahnya yang cantik khas Indonesia. Dia tengah berkonsentrasi penuh meluapkan segala amarah yang terpendam di dalam dirinya, berharap benda mati yang tergantung di depannya itu mampu menyerap segala emosinya yang terpedam.

Pelatihnya yang bernama Erik setia berdiri di depannya sambil memegangi samsak. Berbagai instruksi dia ucapkan untuk wanita itu.

“Jab!”

“Lagi!”

“Left hook!”

“Right hook!”

“Again!

“Do it again, Mei! Fokus! Jangan kendor!”

Meilina nama wanita itu. Beberapa pasang mata memerhatikannya yang terus berlatih. Mei cukup populer di kalangan mereka karena Erik selalu memperlakukannya berbeda. Tekadnya yang kuat membuat kemampuan tinjunya berkembang sangat pesat.

Sang wanita tidak memedulikan tatapan laki-laki lain yang juga berlatih di sasana tinju itu. Dia adalah seorang ibu muda berusia dua puluh lima tahun yang ditinggal oleh dua orang terkasihnya, suami dan ayahnya. Kematian kedua orang itu yang berdekatan membuat Mei merasakan kesedihan yang mendalam. Hal itu memicu depresi dan baby blue. 

“Kak, tolong biarkan aku membantumu. Jangan kau pendam sendiri seperti ini. Tidakkah kau merasa ayah dan Kak Albert bersedih jika melihatmu seperti ini?” Begitu kata Lili dulu. “Pikirkan Alan juga, Kak. Dia bukti cinta Kak Albert padamu. Jangan sia-siakan putramu!”

Mei yang merasa hidupnya sudah tidak berarti, tiba-tiba merasa tertampar dengan kalimat Lili. Ya, Alan, putranya dengan sang kekasih hati, Albert, yang baru berumur satu bulan memang membutuhkan dirinya, kasih sayangnya. Albert akan sangat sedih di atas sana melihat putra yang dia cintai justru disia-siakan oleh mamanya sendiri. Mei tidak ingin hal itu terjadi. Dia harus bangkit untuk merawat buah hatinya. Apalagi kini Alan sengaja dititipkan pada mertuanya karena mentalnya yang tidak stabil.

Mei langsung menyetujui kalimat Lili. Sang adik melonjak kegirangan. Akhirnya kakaknya yang terkena depresi dan baby blues kini mempunyai semangat untuk bangkit. Lili pun mengajaknya ke sebuah sasana yang direkomendasikan oleh temannya. Lili yakin olahraga adalah salah satu terapi terbaik untuk kakaknya. Itulah pertama kalinya Meli mengenal Erik. Lebih tepatnya, Erik adalah kakak Poppy, teman sekolah Lili.

Pria berumur dua puluh tujuh tahun itu menyambut hangat kedatangan Mei. Lili sudah menceritakan padanya tentang keadaan Mei meski hanya garis besarnya saja. Kesungguhan Mei untuk sembuh dan sehat membuat Erik selalu menatapnya dengan raut berbeda. Dan kini dia sudah sembilan bulan lamanya berlatih di sasana ini.

“Arghh!!” Dengan sekuat tenaga Mei memukul samsak sampai benda itu terpelanting.

Seluruh tenaganya sudah terkuras. Nafasnya memburu. Mei memejamkan matanya sebentar untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Sudah mendingan?” Erik mendekati Mei dan memberikan handuk serta satu botol air.

“Terima kasih,” ucap Mei tanpa menjawab pertanyaan sang pelatih, Erik.

Mei duduk di bangku tidak jauh dari samsak, mengelap keringatnya, dan meminum air di botol hingga menyisakan separuh.

“Mau menceritakannya padaku?" tanya Erik lagi.

Mei mengambil nafas dalam-dalam. "Dimas mengatakan kalau kecelakaan itu hasil rekayasa."

"Kecelakaanmu dan Albet?" Kening Erik berkerut. Dia tampak tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Mei mengangguk.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Mencari pelakunya, tentu saja!"

“Itu akan sangat berbahaya, Mei.”

Mei menatap Erik lekat-lekat. “Aku perlu meluapkan seluruh rasa frustrasiku, Erik! Bukankah kau selalu mengatakan itu? Aku harus mencari siapa pelakunya agar hidupku lebih tenang.”

Erik mengangguk. Pada akhirnya, dia setuju dengan Mei. "Aku akan membantumu."

Mei sontak menoleh. "Rik, ini tidak akan mudah. Siapa pun pelakukanya jelas menargetkan aku dan Albert. Kau bisa saja terluka."

Erik langsung terkekeh. "Apa kau lupa aku pelatih tinju dan mua thay?"

Mei terdiam. Erik memang ahlinya. Dan jujur saja sepertinya Mei memang akan membutuhkan tenaga Erik. Selain itu, Erik sudah menjadi sahabat yang baik untuknya selama sembilan bulan berlatih di sini.

"Baiklah. Kau ikut."

Senyum Erik langsung terbit. “Mau jalan?”

“Ke mana? Aku nggak mau terlalu jauh.”

“Nggak kok. Jalan kaki aja. Nggak jauh dari sini ‘kan ada banyak orang jualan. Masih sore juga. Jadi aku nggak ngajak kamu makan. Kita beli seblak atau pentol kesukaanmu. Kita juga butuh makan untuk mengejar penjahat.”

Membayangkan kuah gurih dan pedas seblak membuat air liur Mei menetes. Oh, betapa nikmatnya. “Oke,” jawabnya tanpa ragu. Matanya bahkan berbinar saat menjawab Erik.

Erik segera mengambil tas kecilnya. Begitu juga dengan Mei. Mereka pun keluar sasana setelah memakai jaket.

Sesuai rencana, Mei memilih seblak. Erik lebih memilih rujak buah. Mereka makan dengan lahap di sebuah bangku. Sore ini ada banyak orang di sini. Mungkin mereka baru pulang bekerja dilihat dari seragam yang mereka pakai. Ada juga anak-anak muda yang sedang berkumpul dengan teman-teman mereka. Untung saja Mei dan Erik masih bisa menemukan satu bangku kosong.

Selesai menghabiskan makanan, mereka pun kembali ke sasana.

 “Sebaiknya aku pulang sekarang sebelum Lili pulang,” ucap Mei sambil membuka pintu. 

“Aku lihat restoranmu semakin ramai," ucap Erik tiba-tiba.

Ya, uang pensiunan ayah dan suaminya sengaja Mei kelola menjadi rumah makan untuk menghidupi dirinya dan juga Lili. Karena mentalnya yang belum stabil, dia menunjuk manajer untuk mengelola rumah makan itu. Dan Lili sangat setuju dengan keputusan kakaknya.

Mei memiliki restoran yang menawarkan masakan khas Indonesia dengan tampilan modern dan artistik. Restoran itu cukup terkenal karena selain tampilannya yang menarik, gedung dan desain ruang yang nyaman, cita rasanya juga tidak mengecewakan. Rumah makan berkonsep industrial itu kini sudah memiliki tiga cabang, dua cabang di Surabaya dan satu lagi di Malang.

“Itu semua berkat manajernya. Aku hanya sesekali menengok,” sahut Mei.

“Kapan-kapan kau harus mentraktirku makan di sana,” goda Erik.

“Tentu! Setelah semua hal ini selesai, kita akan ke sana,” jawab Mei yakin. “Sudah ya! Aku juga belum menelepon Alan. Putraku itu pasti sudah menunggu.”

“Kau masih sering meneleponnya?”

Mei mengangguk. “Dia sudah hampir satu tahun. Sudah mulai mengerti dan mengenalku. Dia benar-benar anak yang pintar. Grandpa dan grandmanya merawatnya dengan baik. Aku berhutang budi pada mereka.”

“Alan cucu mereka juga. Jangan terlalu keras pada dirimu.”

Mei mengangguk. “Mungkin suatu saat aku akan mengajak Alan untuk tinggal denganku.”

“Kau akan menjadi ibu yang baik,” ucap Erik sambil menatap wajah di sampingnya dalam-dalam.

Mei menoleh. Mata mereka bertemu. “Terima kasih, Erik. Kau benar-benar sahabat yang baik.”

Erik hanya tersenyum dan mengangguk. "Keadaanmu sudah semakin baik, tapi kau masih harus tetap semangat!"

Mei mengangguk pasti.

Entah sampai kapan Mei menganggapnya sahabat. Erik berharap suatu saat Mei akan benar-benar bisa melihatnya sebagai seorang pria yang bisa diandalkan.

Mei pun berjalan ke arah loker untuk mengambil tas dan baju gantinya sebelum akhirnya pergi menjauh.

Erik terdiam. Dia hanya mampu menatap punggung wanita yang dia kagumi dari belakang. Mei, wanita cantik yang jatuh terpuruk karena kematian suami dan ayahnya dan kini mencoba bangkit. Bagi Erik, tidak ada wanita lain yang membuatnya terpaku selain wanita kuat seperti Meli.

“Aku berharap suatu saat kau mampu melihatku bukan sebagai sahabat atau coach-mu,” ucapnya dalam hati.

“Bos, jangan melamun terus! Ada yang perlu dilatih ini!” seru anak buahnya dari belakang.

Erik menoleh dan tertawa. Sebelum kembali melatih yang lain, dia menyempatkan kembali menoleh ke arah pintu yang baru saja menelan tubuh Mei dengan sempurna.

"Kau harus berjuang keras jika menyukainya, Bos! Dia tidak mudah ditaklukkan," goda anak buahnya.

Erik semakin tertawa keras mendengarnya. "Apa sekarang kau berperan menjadi mak comblang?" 

Related chapters

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 2

    Dua setengah tahun yang lalu Di sebuah kapal pesiar Dream Asia Cruise, Mei dan Lili benar-benar menikmati liburan mereka. Kapal pesiar yang akan membawa mereka berkeliling Asia Tenggara ini mempunyai banyak fasilitas yang tidak akan dilewatkan oleh kakak beradik itu. Berbagai macam kemewahan terpatri sempurna di setiap sudut kapal. Kamar tidur yang mewah, makan ala restoran bintang lima, juga segala fasilitas kemewahan yang ada. Mereka berdua serasa benar-benar dimanjakan. Liburan ini adalah hadiah dari ayahnya karena Mei baru saja diwisuda dan Lili baru lulus SMA. Ayahnya mengizinkan mereka bersenang-senang di kapal pesiar selama lima hari. Dan malam ini, Meli dan Lili ingin sedikit menikmati hidup. Jadi, mereka memutuskan untuk mendatangi The Ambo Room, sebuah bar yang cukup terkenal di antara pengunjung. Mei sangat penasaran karena di dalamnya banyak lampu berwarna-warni yang indah juga banyak bambu yang ditata sedemikian rupa dan menambah nilai estetik. Mei dan Lili sudah duduk

    Last Updated : 2022-10-24
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 3

    Baru saja sampai di rumah, Mei bergeas menuju kamar mandi. Badannya sudah sangat lengket setelah berlatih tadi di sasana bersama Erik. Belum lagi dia harus kembali mampir ke restoran untuk mengambil laporan. Kini dia ingin berendam air hangat sebentar sebelum adiknya pulang kuliah. Mei keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tangannya memegang satu handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Kakinya yang indah melangkah menuju meja rias. Dia pun duduk. Saat menggosok rambutnya, dia mendengar suara motor memasuki halaman. Itu pasti Lili. Senyum Mei terkembang. Dia segera menyelesaikan rutinitasnya dan keluar kamar. Di luar, Mei melihat Lili berjalan menuju dapur. Sepertinya dia hendak menata makan malam. “Sudah pulang?” tanya Mei. Lili menoleh. “Eh, Kak. Iya, baru saja.” Mei mendekat untuk membantu Lili menata meja. “Wow, banyak banget! Emang bisa habis? ‘Kan kita Cuma berdua, Kak.” Mei melihat ada lima menu di meja. Ada capcay, mi goreng, ayam bakar, balado telur,

    Last Updated : 2022-10-24
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 4

    Satu minggu telah berlalu. Lili telah selesai melaksanakan ujiannya dengan baik. Rumah makan Mei juga beroperasi dengan lancar tanpa hambatan berarti. Sesuai dengan rencana, mereka akan terbang ke Singapura besok. “Kau sudah mengepak kopermu?” tanya Mei. Dia baru saja selesai menata kopernya dan kini hendak ke dapur untuk mengambil air dingin. Lili sendiri tengah menonton televisi yang menampilkan pria-pria berkulit putih yang tampan dari negara Korea Selatan yang sedang beryanyi dan berjoget. “Sudah, Kak. Aku sudah sangat siap berangkat,” jawab Lili penuh semangat. Matanya bersinar cerah. Sepertinya dia benar-benar ingin liburan. Ya, mereka memang sudah cukup lama tidak berlibur semenjak ayah mereka meninggal. Mei menggeleng. Entah bagaimana bisa Lili menyukai dan tergila-gila dengan boyband itu. Memang kulit mereka begitu bersih dan mulus. Hanya saja, Mei benar-benar tidak bisa membedakan nama mereka. Berkali-kali Lili bercerita, Mei tetap kesulitan membedakan V, Tae Hyung, Jungk

    Last Updated : 2022-10-26
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 5

    Dua setengah tahun yang lalu.. Mei dan Albert tidak bisa menyembunyikan percikan di hati mereka. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama, Albert pun memantapkan hatinya. Dengan penuh keyakinan, Albert akhirnya meminta Mei untuk menjadi istrinya. Tentu saja Mei menerima pria bule itu dengan penuh suka cita. Lima minggu setelah pelayaran itu, sebuah resepsi mewah diadakan di sebuah hotel di Surabaya. Mei tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dari bahan heavy silk yang jatuh tepat di kaki Mei. Dengan model one shoulder dan pita di bahunya juga menyempit di pinggang dan lebar di bawah membuat Mei terlihat seperti putri, sangat cantik. Albert tidak kalah memukau dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi pita yang membuatnya tampak seperti James Bond di dunia nyata. Otot-otot kerasnya terbungkus indah. Tidak membuatnya seperti raksasa, tapi terlihat liat dan fit. Mei berkali-kali melirik kapten tampan yang kini telah resmi menjadi suaminya di atas pelaminan.

    Last Updated : 2022-10-29
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 6

    Suara nyanyian burung membangunkan Mei. Wanita dua puluh lima tahun itu perlahan mengerjapkan matanya. Saat dia hendak berguling ke samping, tubuhnya mengenai sesuatu. Refleks, dia membuka matanya lebar-lebar. Siapa yang tidur di kasurnya? Tidak pernah ada orang lain di kasurnya –selain Albert tentu saja. Saat matanya terbuka lebar, dia mendapati sesosok mungil tertidur lelap di sampingnya. Senyum Mei langsung terbit. Alan! Bayi mungilnya tidur di sampingnya dengan begitu tenang. Ini adalah pertama kalinya mereka tidur bersama. Matanya terkunci pada wajah imut di sisinya. Kulit halus, hidung mancung, tangan dan kaki yang kecil dan menggemaskan. Rasa-rasanya Mei ingin waktu berhenti agar dia bisa menikmati pemandangan indah ini lebih lama. Namun sayangnya, Mei tiba-tiba merasa kantung kemihnya penuh. Mau tidak mau, dia harus bangkit dan pergi ke kamar mandi. Selesai buang air kecil, menyikat gigi, dan membasuh wajahnya, Mei keluar. Matanya berbinar saat melihat putranya sudah bangun

    Last Updated : 2022-11-01
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 7

    “Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya. Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas. Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk. “Udah, Kak?” tanya Lili. Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.” “Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada. “Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili. Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili. Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup. Baru saja keluar dar

    Last Updated : 2022-11-11
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 8

    Flashback satu setengah tahun yang lalu.. Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau. “Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert. Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya. “Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei. “Yakin cuma itu?” “Memangnya apa lagi?” Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman. “Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istr

    Last Updated : 2022-11-11
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 9

    Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin

    Last Updated : 2022-11-16

Latest chapter

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 43

    Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 42

    Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 40

    “Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 39

    “Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 38

    Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 38

    Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 37

    Bolet sudah dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Toni tidak mungkin ikut ke sana meski setengah mati dia ingin menguak apa yang terjadi dua tahun lalu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke hotel dan meminta Malik untuk memantau perkembangan Bolet. Jika sampai besok dia belum siuman, Toni terpaksa kembali ke Jakarta tanpa berbicara dengan Bolet.“Malik, jangan lupa juga untuk mencari tahu dengan detail kasus kecelakaan yang melibatkan Bolet dua tahun lalu.” Toni memberi perintah pada Malik melalui telepon.“Maksud Bos kecelakaan yang itu?”“Memangnya kecelakaan yang mana lagi yang aku maksud?”“Baik, Bos. Akan langsung diantar ke hotel. Tunggu saja sebentar!”“Maksudmu semua detail kecelakaan sudah ada di tanganmu??”“I-iya, Bos. Baru tadi pagi saya dapatnya, Bos. Rencananya tadi mau saya kasihkan setelah bertemu Bolet. Tapi akhirnya lupa karena ada insiden itu. Hehe,, maaf ya, Bos.”Toni menggeram. “Antarkan segera!!”“Baik, Bos!”Toni menutup panggilannya begitu saja dan meletakkan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 36

    Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 35

    Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status