Flashback satu setengah tahun yang lalu..
Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau.
“Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert.
Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya.
“Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei.
“Yakin cuma itu?”
“Memangnya apa lagi?”
Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman.
“Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istrinya. Hal ini jelas membuat Mei merasa geli.
"Tidak," jawab Mei. Dia mencoba mengontrol tawanya. Dadanya naik turun, berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin. Kini dia sudah terlentang. Matanya terpejam, lelah karena tertawa. Namun bibirnya masih saja membentuk senyuman.
Albert memiringkan tubuhnya menghadap Mei. Dia mengangkat kepala dan menyanggahnya dengan tangan. Dia menikmati wajah terpejam Mei. Matanya menelisik, menyapu bersih bentuk wajah istrinya yang cantik khas Asia itu.
Saat Mei membuka matanya, wajah Albert yang tampan tampak berada dekat. Mei tidak bisa membohongi dirinya kalau dia benar-benar jatuh pada pesona kapten kapal itu. Matanya, rambutnya, pipinya, dan jangan lupakan bulu-bulu halus di rahangnya yang membuatnya semakin tampan dan seksi. Pernah suatu ketika Albert mencukur bersih rahangnya. Dan Mei langsung meluangkan protes. Mei sangat suka dengan jambang-jambang itu. Dan Meihat bulu-bulu yang seksi dan halus itu seketika membuat darahnya terpompa lebih cepat, berdesir halus.
Tangan Mei terulur, meraba, dan merasai wajah Albert. Matanya memancarkan cinta dan kasih yang mendalam. Albert meraih tangan itu dan mengecupnya dalam-dalam sambil terus menatap mata Mei.
Mata mereka saling terpaku. Mei tidak tahu bagaimana mulanya, tapi kini mereka sudah berciuman mesra. Albert menciumnya dengan lembut dan dalam. Merasakan kehangatan istrinya melalui bibir manisnya. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Mei.
Mei kembali memejamkan matanya. Kali ini karena ingin merasai suaminya, bibirnya, ciumannya, tangannya, semuanya. Dan Mei sama sekali tidak menolak saat Albert kembali membawanya ke awang-awang, mereguk nikmatnya cinta dan surga dunia.
Suara nafas yang berat dan desah kenikmatan menggantikan suara tawa yang lebih dulu tercipta. Tangan Mei meremas lengan Albert yang setia memompa dari atas. Dan saat dia tidak bisa lagi menahan semua sensasi ledakan itu, Mei terpekik. Kali ini sambil mencengkeram seprei.
Albert tersenyum tipis. Dia tahu istrinya baru saja sampai. Rasanya ia ingin membuat istrinya itu menjerit lima kali lagi seperti biasa tapi itu tidak mungkin. Kasihan bayi yang masih ada di perut jika terlalu lama terguncang.
“Sayang, aku tidak bisa lama. Kasihan anak kita,” bisik Albert.
Mei mengangguk. Dia mengerti. Dan sangat bersyukur karena suaminya bisa memahami.
“Lakukan, Sayang,” pinta Mei.
Albert kembali mencium Mei. Kali ini dengan sedikit menuntut dan brutal. Dan saat dia merasa akan sampai di puncak, dia menambah sedikit temponya.
“I’m coming, Honey!” ucap Albert sebelum akhirnya matanya terpejam menikmati sensasi indah yang diberikan Mei.
Albert lalu berguling ke samping, mengambil tisu basah di nakas. Dengan telaten, dia membersihkan dirinya dan Mei.
Setelah bersih, dia kembali berbaring di samping Mei. “Istirahatlah! Besok pagi kita jalan-jalan. Kau yakin tidak ingin ke tempat yang lebih jauh?”
Mei menggeleng. “Aku tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di jalan daripada menikmati waktu itu sendiri saat bersamamu.”
“Ya Tuhan, kau benar-benar membuatku kembali jatuh cinta!” Albert mengecupi pipi istrinya. Dia gemas sekaligus salah tingkah dengan ucapan Mei yang menurutnya luar biasa itu. Membuatnya terbang, merasa sangat dicintai.
Mei kembali terkekeh. Albert berhenti menciumi Mei. Dia tidak ingin istrinya semakin kelelahan.
Apa kau ingin aku juga mencukur habis rambutku agar seperti agen itu?”
“Jangan! Kau tampan seperti ini. Jangan pernah mengubah apa pun!”
“Tampan seperti Janis Danner, huh?” goda Albert sambil menaikkan satu alisnya.
Mei tertawa mendengarnya. Ia jadi teringat awal kali mereka bertemu di kapal pesiar.
“Sudah malam. Tidurlah. Kita berangkat besok pagi.” Albert melabuhkan ciuman selamat malam pada Mei sebelum mematikan lampu kamar. Mereka berdua pun tidur dalam dekapan penuh cinta.
--
Albert dan Mei sudah di dalam mobil. Mereka dalam perjalanan menuju tempat rekreasi itu.
“Sayang, kau mau membeli sesuatu?” tanya Albert.
“Tidak perlu. Kita tadi baru saja sarapan,” tolak Mei.
“Aku ingin permen. Kita mampir sebentar ya.”
“Oke.”
Albert menepikan mobilnya di depan sebuah toko. “Aku akan sebentar.” Albert mengecup pipi Mei sebelum turun.
“Aku ikut! ”sahut Mei.
“Ayo!” Albert menggandeng tangan Mei dan bersama memasuki toko. Albert mengambil permen dan Mei mengambil beberapa kotak jus buah berbagai rasa. Tiba-tiba saja dia menginginkannya.
Selesai membeli segala yang dibutuhkan, Albert kembali menjalankan mobilnya. Mei tampak antusias dengan perjalanan mereka kali ini. Mereka akan berkencan seharian!!!
Mereka melewati jalanan yang menurun dengan berbagai pohon-pohon besar di kana dan kirinya. Sangat sejuk dan indah. Mei dan Albert membuka jendela mereka dan membiarkan oksigen segar memasuki mobil. Lalu tiba-tiba saja saat melewati jalanan yang mulai sepi dan menanjak, ban belakang mobil mereka meletus. Albert kehilangan kendali mobil. Rem juga tidak berfungsi. Mobil mereka melaju semakin kencang karena jalanan yang sedang menurun.
Mei terkejut dan mulai menjerit ketakutan. Setir berbelok tajam ke kiri. Albert berusaha kuat membantingnya ke kanan. Saat berhasil, mobil otomatis melayang berputar sebelum akhirnya menabrak semak-semak dan pohon.
Darah membanjiri tubuh Albert. Wajahnya juga dipenuhi darah karena beberapa kali terbentur body mobil.
“S-sa sayang.” Tangan Albert berusaha menggapai Mei. Dia tidak kuat mengangkat tangannya yang terasa remuk. Dadanya sangat sesak dan sakit karena terbentur setir berkali-kali. Darah segar mengalir di pelipisnya, melewati matanya. Membuatnya harus menutup satu matanya. Dia terus berusaha menjaga kesadarannya, menggapai sabuk pengamannya sebelum akhirnya perlahan kesadarannya menghilang.
Mei hanya bisa terisak. Badannya terasa remuk tapi dia terlalu khawatir dengan keadaan suaminya juga dengan calon bayinya. Tangannya refleks memegang perutnya. Untung dia tidak merasakan darah mengalir di kakinya. Mei bersyukur bayinya baik-baik saja.
Pikirannya tiba-tiba kalut saat melihat banyaknya darah yang mengalir di pelipis suaminya. Dan saat Albert perlahan menutup matanya, tangis Mei semakin kencang.
“Ya Tuhan, tolong selamatkan suami dan anakku. Tolong, Tuhan! Tolong kami!!” jerit Mei dalam hati sebelum akhirnya dia juga kehilangan kesadaran. Hanya pada Tuhan dia berserah. Semoga saja ada mobil yang segera lewat agar mereka bisa mendapat pertolongan.
“Tolong!! Tolong!!”
Jangan lupa add Fb Pipit Xomi dan follow instagram pipitxomi untuk cerita lebih lanjut. Terima kasih..
Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin
Hari ini Mei akan mulai penyelidikannya. Dia sudah siap dengan celana panjang, kaos, dan jaket. Lili masih libur kuliah, jadi dia akan menemani kakaknya. Dia juga sudah siap. Dia bahkan sudah membuat roti lapis untuk sarapan bersama Mei.“Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, Kak!”Mei mengangguk. Kakinya melangkah menuju meja makan dan duduk dengan tenang. Mei harus menjaga emosinya tetap tenang agar bisa memecahkan kasus ini dengan cepat. “Kau yakin akan menemani kakak, Lili?”“Tentu saja, Kak. Aku juga sangat penasaran siapa orang yang tega menyakiti hatimu seperti ini.” Lili tampak mengetatkan rahangnya.“Terima kasih,” sahut Mei tulus.Lili tersenyum manis dan menatap kakaknya. “Kita bersaudara, Kak. Jika aku dala masalah, aku yakin Kakak juga akan menolongku.”“Tentu saja!” sahut Mei.Setelah sarapan, Mei dan Lili langsung menuju bengkel Dimas. Lili tidak lupa membawa laptop kesayangannya. Dia adalah seorang hacker. Dia yakin dia bisa membantu kakaknya dengan keahliannya itu.Tig
Di layar laptop Lili kini terpampang foto seorang pria muda dengan rambut panjang yang dikuncir. Sebuah tato tengkorak terbakar terlihat jelas di tangan kirinya."Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?" tanya Dimas.Lili berdecak. "Jangan meremehkan aku!"Jari Lili langsung bergerak lincah di atas keyboard, mengetik sesuatu yang Mei dan Dimas tidak mengerti.Mata Dimas melirik gadis muda yang duduk di sebelahnya. Dalam hati, dia kagum dengan kehebatan yang dimilikinya. Tidak dia sangka gadis mungil ini memiliki kemampuan yang tidak biasa."Ini!" seru Lili.Dalam beberapa detik, mereka sudah mengetahui nama preman itu."Alif Satria, biasa dipanggil Bolet. Mantan napi narkoba yang bebas dua tahun lalu. Semenjak keluar dari penjara, dia menjadi kuli di Pelabuhan Perak. Tidak menikah dan tidak punya anak. Tinggal di kos sekitar Dupak," terang Lili."Bagaimana bisa seorang preman menargetkan kamu, Kak?" tanya Lili pada Mei.Mei menatap Lili. "Aku tidak mengenalnya. Dan aku sangat yakin Albert
Erik meluncur menuju pelabuhan, tempat Bolet bekerja. Dia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pos satpam. Erik ingin menyusuri area pelabuhan dari depan. Dia tidak ingin melewatkan satu tempat pun untuk mencari Bolet. Turun dari mobil, Mei dan Erik langsung mencari sosok preman itu. Dengan berbekal foto dan nama, mereka menyisir pelabuhan.Luasnya area pelabuhan membuat Mei dan Erik kesulitan mencari sosok Bolet. Keringat sudah membanjiri tubuh keduanya. Erik sudah bertanya pada beberapa kuli panggul yang ditemuinya, tapi tidak ada satu pun yang mengenal bolet.Mei mulai merasa kakinya kaku dan wajahnya penuh dengan keringat. Mereka berdua sudah berputar-putar hingga kembali lagi di area prkir. Dia mengajak Erik duduk di bangku area parkir.“Apa mungkin informasinya salah?” keluh Mei. Tangannya mengelap keringat yang membanjiri keningnya.“Entah.” Erik membuka botol air dan langsung meminumnya. Setelahnya, dia memberikan satu lagi botol yang masih utuh pada Mei.Mei pun langs
Flashback...Mei menikmati semilir angin pantai di Lombok. Dia membiarkan kakinya basah oleh air laut. Sudah sejak lama dia tidak merasakan sensasi air asin itu. Satu tangannya memegang topi jerami lebar yang melindungi wajahnya dan satu lagi mengusap perutnya yang sudah membuncit. Suasana pantai ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Itu pun jarak mereka berjauhan karena memang pantai ini adalah pantai pribadi. Vila yang sedang ditempat Mei dan keluarganya ini disewakan beserta pantainya. Budi sengaja mengajak Mei liburan ke sini untuk menyenangkan hatinya. Sebagai seorang ayah, dia sedikit mengkhawatirkan keadaan Mei yang lebih sering murung daripada tersenyum. Putrinya itu bahkan selalu menangis setiap malam, memukuli dadanya, dan menyalahkan dirinya atas kematian Albert. Budi berharap suasana vila dan pantai yang cukup private bisa mengobati suasana hatinya. Sudah berbulan-bulan sejak Mei kembali ke rumah ayahnya, dia belum pernah sekali pun memberi kabar pada mertuanya.
“Shh!! Tenang, Sayang. Jangan menangis terus! Nanti Pak Dokter datang. Kamu pasti nggak mau diusir, ‘kan? Makanya diam dulu.” Mei berusaha menenangkan Alan. Ditepuk-tepuk pelan pahanya agar dia berhenti menangis. Namun, tangisan Alan tidak juga berhenti.“Alan, anak pintar, sudah nangisnya. Jangan nangis lagi ya?”Bayi merah itu seakan tidak mendengar perkataan mamanya. Dia masih saja menangis.Mei menjadi bingung dan panik. Dia tidak tahu apa yang salah. Alan tidak mau menyusu juga tidak kunjung memejamkan matanya. Tiba-tiba saja terbersit ide saat melihat bantal. Dia pun segera mengambil bantal dan diarahkan ke wajah Alan.“Lan, mama tutup sebentar saja ya. Biar kamu nggak nangis lagi. Mama takut kamu dianggap mengganggu oleh dokter. Kalau kamu ditegur dan dimarahi, mama tidak akan tega,” ucap Mei dengan wajah letih dan melas.Bantal sudah di atas wajah Alan. Mei menekannya sedikit agar suara tangis Alan tidak terdengar keluar. Bayi itu mulai terengah-engah. Tendangan kaki dan tanga
Perkelahian tidak dapat lagi dielakkan. Erik menggasak preman yang ada di dekatnya. Dia menangkis dan memberi jab. Mei juga tidak tinggal diam. Tangannya lincah memukul dan menangkis. Kakinya lincah menghindar dan sekali-kali membanting musuhnya. Tidak sia-sia dia belajar tinju. Kini akhirnya dia bisa mempraktekkan apa yang sudah dia pelajari dari Erik selama sembilan bulan ini.Karena yang dia hadapi adalah kumpulan preman yang mencelakakan Albert, maka Mei tidak mengendor sama sekali. Wanita itu merasa ini adalah saatnya dia menumpahkan segala rasa frustrasi dan amarah yang menumpuk di dadanya sekaligus membabat penjahat. Bukanah itu rasanya luar biasa?Suara tendangan dan pukulan meramaikan depot makan di dekat pos satpam pelabuhan. Tidak ketinggalan riuh gelas dan piring pecah juga meja dan bangku yang terbalik. Mei dan Erik bahu membahu mengalahkan musuh yang berjumlah enam orang itu. Teriakan kesakitan jelas terdengar di sana. Untung saja depot itu sudah sepi, menyisakan delapan
Gumaman terdengar dari mulut Bolet. Erik yang baru saja selesai mengoles salep di luka Mei segera mendekati pria itu. Dengan kasar, dia menarik kresek yang menutupi wajah Bolet ke atas. Terdengar umpatan dari Bolet. Erik tidak terganggu sama sekali. Dia kembali menarik paksa kain yang menutupi mata Bolet.“Jan**k!!” Kali ini Bolet mengumpat lebih keras.Erik terkekeh mendengarnya.Bolet menutup matanya rapat-rapat. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya menyakitinya. Setelah beberapa saat, matanya mulai terbiasa. Matanya pun terbuka perlahan. Di depannya sudah berdiri seorang wanita. Matanya tampak dingin, angkuh, dan menyimpan dendam membara. Seketikaa Bolet merasa tengkuknya merinding melihat betapa kuat tekad wanita ini untuk menghancurkannya.Bolet melirik sekitarnya. Dia merasa asing dengan ruangan ini. Dia menyadari mereka sudah tidak lagi berada di warung makan.“Sial!!” batinnya. Jika mereka masih di warung pelabuhan, Bolet yakin dia akan cepat mendapat pertolongan. Di sini???
Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan
Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya
“Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.
“Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu
Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar
Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan
Bolet sudah dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Toni tidak mungkin ikut ke sana meski setengah mati dia ingin menguak apa yang terjadi dua tahun lalu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke hotel dan meminta Malik untuk memantau perkembangan Bolet. Jika sampai besok dia belum siuman, Toni terpaksa kembali ke Jakarta tanpa berbicara dengan Bolet.“Malik, jangan lupa juga untuk mencari tahu dengan detail kasus kecelakaan yang melibatkan Bolet dua tahun lalu.” Toni memberi perintah pada Malik melalui telepon.“Maksud Bos kecelakaan yang itu?”“Memangnya kecelakaan yang mana lagi yang aku maksud?”“Baik, Bos. Akan langsung diantar ke hotel. Tunggu saja sebentar!”“Maksudmu semua detail kecelakaan sudah ada di tanganmu??”“I-iya, Bos. Baru tadi pagi saya dapatnya, Bos. Rencananya tadi mau saya kasihkan setelah bertemu Bolet. Tapi akhirnya lupa karena ada insiden itu. Hehe,, maaf ya, Bos.”Toni menggeram. “Antarkan segera!!”“Baik, Bos!”Toni menutup panggilannya begitu saja dan meletakkan
Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu
Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo