Di layar laptop Lili kini terpampang foto seorang pria muda dengan rambut panjang yang dikuncir. Sebuah tato tengkorak terbakar terlihat jelas di tangan kirinya."Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?" tanya Dimas.Lili berdecak. "Jangan meremehkan aku!"Jari Lili langsung bergerak lincah di atas keyboard, mengetik sesuatu yang Mei dan Dimas tidak mengerti.Mata Dimas melirik gadis muda yang duduk di sebelahnya. Dalam hati, dia kagum dengan kehebatan yang dimilikinya. Tidak dia sangka gadis mungil ini memiliki kemampuan yang tidak biasa."Ini!" seru Lili.Dalam beberapa detik, mereka sudah mengetahui nama preman itu."Alif Satria, biasa dipanggil Bolet. Mantan napi narkoba yang bebas dua tahun lalu. Semenjak keluar dari penjara, dia menjadi kuli di Pelabuhan Perak. Tidak menikah dan tidak punya anak. Tinggal di kos sekitar Dupak," terang Lili."Bagaimana bisa seorang preman menargetkan kamu, Kak?" tanya Lili pada Mei.Mei menatap Lili. "Aku tidak mengenalnya. Dan aku sangat yakin Albert
Erik meluncur menuju pelabuhan, tempat Bolet bekerja. Dia sengaja memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pos satpam. Erik ingin menyusuri area pelabuhan dari depan. Dia tidak ingin melewatkan satu tempat pun untuk mencari Bolet. Turun dari mobil, Mei dan Erik langsung mencari sosok preman itu. Dengan berbekal foto dan nama, mereka menyisir pelabuhan.Luasnya area pelabuhan membuat Mei dan Erik kesulitan mencari sosok Bolet. Keringat sudah membanjiri tubuh keduanya. Erik sudah bertanya pada beberapa kuli panggul yang ditemuinya, tapi tidak ada satu pun yang mengenal bolet.Mei mulai merasa kakinya kaku dan wajahnya penuh dengan keringat. Mereka berdua sudah berputar-putar hingga kembali lagi di area prkir. Dia mengajak Erik duduk di bangku area parkir.“Apa mungkin informasinya salah?” keluh Mei. Tangannya mengelap keringat yang membanjiri keningnya.“Entah.” Erik membuka botol air dan langsung meminumnya. Setelahnya, dia memberikan satu lagi botol yang masih utuh pada Mei.Mei pun langs
Flashback...Mei menikmati semilir angin pantai di Lombok. Dia membiarkan kakinya basah oleh air laut. Sudah sejak lama dia tidak merasakan sensasi air asin itu. Satu tangannya memegang topi jerami lebar yang melindungi wajahnya dan satu lagi mengusap perutnya yang sudah membuncit. Suasana pantai ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Itu pun jarak mereka berjauhan karena memang pantai ini adalah pantai pribadi. Vila yang sedang ditempat Mei dan keluarganya ini disewakan beserta pantainya. Budi sengaja mengajak Mei liburan ke sini untuk menyenangkan hatinya. Sebagai seorang ayah, dia sedikit mengkhawatirkan keadaan Mei yang lebih sering murung daripada tersenyum. Putrinya itu bahkan selalu menangis setiap malam, memukuli dadanya, dan menyalahkan dirinya atas kematian Albert. Budi berharap suasana vila dan pantai yang cukup private bisa mengobati suasana hatinya. Sudah berbulan-bulan sejak Mei kembali ke rumah ayahnya, dia belum pernah sekali pun memberi kabar pada mertuanya.
“Shh!! Tenang, Sayang. Jangan menangis terus! Nanti Pak Dokter datang. Kamu pasti nggak mau diusir, ‘kan? Makanya diam dulu.” Mei berusaha menenangkan Alan. Ditepuk-tepuk pelan pahanya agar dia berhenti menangis. Namun, tangisan Alan tidak juga berhenti.“Alan, anak pintar, sudah nangisnya. Jangan nangis lagi ya?”Bayi merah itu seakan tidak mendengar perkataan mamanya. Dia masih saja menangis.Mei menjadi bingung dan panik. Dia tidak tahu apa yang salah. Alan tidak mau menyusu juga tidak kunjung memejamkan matanya. Tiba-tiba saja terbersit ide saat melihat bantal. Dia pun segera mengambil bantal dan diarahkan ke wajah Alan.“Lan, mama tutup sebentar saja ya. Biar kamu nggak nangis lagi. Mama takut kamu dianggap mengganggu oleh dokter. Kalau kamu ditegur dan dimarahi, mama tidak akan tega,” ucap Mei dengan wajah letih dan melas.Bantal sudah di atas wajah Alan. Mei menekannya sedikit agar suara tangis Alan tidak terdengar keluar. Bayi itu mulai terengah-engah. Tendangan kaki dan tanga
Perkelahian tidak dapat lagi dielakkan. Erik menggasak preman yang ada di dekatnya. Dia menangkis dan memberi jab. Mei juga tidak tinggal diam. Tangannya lincah memukul dan menangkis. Kakinya lincah menghindar dan sekali-kali membanting musuhnya. Tidak sia-sia dia belajar tinju. Kini akhirnya dia bisa mempraktekkan apa yang sudah dia pelajari dari Erik selama sembilan bulan ini.Karena yang dia hadapi adalah kumpulan preman yang mencelakakan Albert, maka Mei tidak mengendor sama sekali. Wanita itu merasa ini adalah saatnya dia menumpahkan segala rasa frustrasi dan amarah yang menumpuk di dadanya sekaligus membabat penjahat. Bukanah itu rasanya luar biasa?Suara tendangan dan pukulan meramaikan depot makan di dekat pos satpam pelabuhan. Tidak ketinggalan riuh gelas dan piring pecah juga meja dan bangku yang terbalik. Mei dan Erik bahu membahu mengalahkan musuh yang berjumlah enam orang itu. Teriakan kesakitan jelas terdengar di sana. Untung saja depot itu sudah sepi, menyisakan delapan
Gumaman terdengar dari mulut Bolet. Erik yang baru saja selesai mengoles salep di luka Mei segera mendekati pria itu. Dengan kasar, dia menarik kresek yang menutupi wajah Bolet ke atas. Terdengar umpatan dari Bolet. Erik tidak terganggu sama sekali. Dia kembali menarik paksa kain yang menutupi mata Bolet.“Jan**k!!” Kali ini Bolet mengumpat lebih keras.Erik terkekeh mendengarnya.Bolet menutup matanya rapat-rapat. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya menyakitinya. Setelah beberapa saat, matanya mulai terbiasa. Matanya pun terbuka perlahan. Di depannya sudah berdiri seorang wanita. Matanya tampak dingin, angkuh, dan menyimpan dendam membara. Seketikaa Bolet merasa tengkuknya merinding melihat betapa kuat tekad wanita ini untuk menghancurkannya.Bolet melirik sekitarnya. Dia merasa asing dengan ruangan ini. Dia menyadari mereka sudah tidak lagi berada di warung makan.“Sial!!” batinnya. Jika mereka masih di warung pelabuhan, Bolet yakin dia akan cepat mendapat pertolongan. Di sini???
Mei tidak bisa tenang. Dia terus saja memikirkan pengakuan Bolet tentang seorang wanita yang menginginkan kematiannya. Siapa dan siapa terus menggerogoti pikirannya. Ingin rasanya dia menelepon Retno dan bertanya pada ibu mertuanya itu tentang kenalan Albert yang mungkin tinggal di Jakarta. Namu Mei tidak ingin wanita yang sangat baik itu mengetahui kalau dia sedang mengejar seorang pembunuh. Dia yakin Retno akan histeris dan menyuruhnya mundur.Malam sudah semakin larut dan matanya tetap saja terbuka lebar. Angin malam menerobos melalui jendelanya yang sengaja tidak dia tutup sempurna. Gordennya berkibar-kibar tertiup angin. Semakin dia menutup matanya erat, dia semakin teringat Bolet yang kini masih berada di gudang sasana. Ingin rasanya dia memaksa preman itu untuk mengatakan yang sebanyak-banyaknya. Namun Erik melarangnya. Pria itu masih memiliki hati nurani untuk tidak menyiksa Bolet lebih hebat.Ponsel Bolet sudah dia serahkan pada Lili tadi. Adiknya berjanji akan memberikan jaw
“Aku harus ke Jakarta.” Mei mengucapkan kalimat itu saat makan malam dengan Lily.Kedua kakak beradik itu tengah menikmati santap malam dengan menu nasi goreng Jawa lengkap dengan sawi, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tidak lupa kerupuk juga di dalam stoples.“Kau serius, Kak?” Lily tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Mei mangangguk. “Aku terus saja terngiang Albert. Aku merasa bersalah karena aku sudah separuh jalan untuk mengetahui siapa penjahat aslinya.”Lily tidak bisa menjawab. Dia tahu bagaimana sukitnya kehidupan kakaknya dulu saat ditinggal Albert. Jika sekarang dia sudah menemukan petunjuk, wajar da akan terus mengejarnya.“Maaf aku tidak bisa menemanimu sekarang, Kak,” ucap Lily. “Tugas liburanku menggunung. Tapi kalau kakak butuh bantuanku dengan kamera keamanan, kirim pesan saja. Aku akan mengurusnya dari sini.”Mei menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Terima kasih kau sudah bersedia menolongku. Aku sudah memesan tiket untuk besok siang.”“Kenapa cepat sekali?
Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan
Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya
“Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.
“Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu
Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar
Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan
Bolet sudah dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Toni tidak mungkin ikut ke sana meski setengah mati dia ingin menguak apa yang terjadi dua tahun lalu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke hotel dan meminta Malik untuk memantau perkembangan Bolet. Jika sampai besok dia belum siuman, Toni terpaksa kembali ke Jakarta tanpa berbicara dengan Bolet.“Malik, jangan lupa juga untuk mencari tahu dengan detail kasus kecelakaan yang melibatkan Bolet dua tahun lalu.” Toni memberi perintah pada Malik melalui telepon.“Maksud Bos kecelakaan yang itu?”“Memangnya kecelakaan yang mana lagi yang aku maksud?”“Baik, Bos. Akan langsung diantar ke hotel. Tunggu saja sebentar!”“Maksudmu semua detail kecelakaan sudah ada di tanganmu??”“I-iya, Bos. Baru tadi pagi saya dapatnya, Bos. Rencananya tadi mau saya kasihkan setelah bertemu Bolet. Tapi akhirnya lupa karena ada insiden itu. Hehe,, maaf ya, Bos.”Toni menggeram. “Antarkan segera!!”“Baik, Bos!”Toni menutup panggilannya begitu saja dan meletakkan
Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu
Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo