“Aku harus ke Jakarta.” Mei mengucapkan kalimat itu saat makan malam dengan Lily.Kedua kakak beradik itu tengah menikmati santap malam dengan menu nasi goreng Jawa lengkap dengan sawi, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tidak lupa kerupuk juga di dalam stoples.“Kau serius, Kak?” Lily tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Mei mangangguk. “Aku terus saja terngiang Albert. Aku merasa bersalah karena aku sudah separuh jalan untuk mengetahui siapa penjahat aslinya.”Lily tidak bisa menjawab. Dia tahu bagaimana sukitnya kehidupan kakaknya dulu saat ditinggal Albert. Jika sekarang dia sudah menemukan petunjuk, wajar da akan terus mengejarnya.“Maaf aku tidak bisa menemanimu sekarang, Kak,” ucap Lily. “Tugas liburanku menggunung. Tapi kalau kakak butuh bantuanku dengan kamera keamanan, kirim pesan saja. Aku akan mengurusnya dari sini.”Mei menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Terima kasih kau sudah bersedia menolongku. Aku sudah memesan tiket untuk besok siang.”“Kenapa cepat sekali?
Cuaca Jakarta cukup terik. Sepasang pria dan wanita baru saja keluar dari bandara Soetta. Masing-masing dari mereka membawa satu ransel berukuran sedang. Wajah si wanita tampak tegang dengan raut dingin sedangkan si pria tampak lebih santai tapi tetap waspada.“Aku harus ke toilet,” ucap Mei sambil melirik Erik di sebelahnya.“Oke. Aku akan menunggumu di cafe itu.” Erik menunjuk satu cafe yang berada tidak jauh dari pintu toilet.Mei mengangguk. “Oke, pesankan aku latte.”“Siap. Ada lagi?”Mei menggeleng. “Itu saja.”Saat mereka hendak berpisah, tiba-tiba saja Erik menahan tangan Mei. “Mana tasmu? Biar aku bawakan,” ucapnya.Mei langsung tersenyum. “Kau memang teman terbaik,” ucapnya tulus.“Hanya teman? Yakin?” Erik mencoba menggoda Mei.Namun Mei malah berdecak. “Jangan aneh-aneh, Erik! Aku tidak ingin penggemarmu di sasana membenciku.”Jawaban yang Mei berikan justru membuat Erik semakin enggan melepas tangan Mei. “Apa itu berarti jika tidak ada penggemar, kamu mempertimbangkan unt
“Ini akan menjadi tempat tinggal kita selama berada di Jakarta.” Dengan sebuah kartu, Erik membuka pintu apartemen yang dipinjamnya dari Dodi.Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur, sebuah dapur sederhana dan satu set sofa. Dalam hati, Mei cukup bersyukur dengan tempat ini. Dia masih bisa beristrahat dengan baik tanpa takut Erik harus tidur di sofa.Mei berjalan ke arah dapur, membuka lemari esnya yang ternyata sudah terisi. Mungkin ini memang fasilitas yang diberikan Dodi.“Dodi beneran tidak tinggal di sini, ‘kan?” Mei memastikan sekali lagi.Erik mengangguk. “Tenang aja, dia punya tiga apartemen. Dia pakai satu, yang dua disewakan. Kebetulan yang baru dua minggu yang lalu dikembalikan oleh penyewa terakhir. Dan untungnya masih belum ada lagi yang menyewa. Jadi kita bisa pakai sampai semua urusan kita di sini tuntas.”“Urusan kita?” Mei menatap Erik dalam-dalam.“Urusan kita, Mei.” Erik berjalan perlahan ke arah Mei. Dia berdiri tepat di depan wanita yang sudah menawan hatinya. Ma
“Lily sudah memberiku lokasi terkini Toni Kurniawan,” ucap Mei saat sedang sibuk memasak sarapan.Erik baru saja keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan wangi sabun tercium kuat di hidung Mei. Dengan santainya, Erik duduk menghadap kitchen island¸ memperhatikan gerak-gerik wanita yang sudah mengobrak-abrik hatinya.“Di mana?” tanya Erik. Dia mengambil satu gelas jus apel tanpa es yang ada di meja. “Eh, ini memang buat aku, ‘kan?”Mei menoleh sebentar lalu mengangguk. “Ambil aja! Itu memang buat kamu. Aku lebih suka teh hangat,” jawab Mei. “Oh iya, Lily bilang Toni ada di Jakarta Selatan.”“Oke, kita bisa berangkat setelah sarapan,” sahut Erik.Mei mengangguk. Dia mulai memindahkan masakannya ke atas piring. Telur mata sapi setengah matang, sosis bakar, kentang tumbuk, dan buncis, siap dinikmati.“Tumben masak begini? Biasanya nasi,” ujar Erik sambil mencomot kentang tumbuknya. Kepalanya mengangguk tanda menikmati masakan Mei.“Aku tahu kau jarang makan nasi kalau pagi begini. Jad
Matahari telah terbenam sempurna. Mei sudah meyakinkan dirinya untuk totalitas mencari pembunuh suaminya. Dia bersumpah tidak akan membuat penjahat brengsek itu hidup dengan tenang.Tok! Tok!“Mei, sudah belum? Kenapa lama?” Erik berteriak dari luar kamar Mei.Ketukan itu sontak membuyarkan lamunan Mei. “Iya, sebentar!!” teriak Mei.Mei kembai mematut dirinya di cermin. Dia memakai atasan halter yang bawahnya dipasang karet dengan panjang tepat sampai di pinggang Mei. Baju itu terbuat dari kain sifon hingga memamerkan lekuk tubuh atasnya dengan sangat baik meski baju itu tidak ketat.Untuk bawahan, Mei tetap nyaman dengan celana panjang. Ibu satu anak itu mempercantik tampilannya dengan memakai sepatu setinggi tujuh sentimeter yang cantik meski modelnya sederhana.Mei membuka pintu kamarnya dan Erik mematung begitu saja. Pria itu merasa seakan seluruh kesadarannya tersedot pada satu sosok di depannya.“Erik!!” Mei menjentikkan jarinya di depan wajah pria yang melamun itu.“Eh?” Erik g
Mei terus diseret oleh dua pengawal itu. Sesekali, dia berpura-pura menoleh ke belakang, memastikan Erik masih mengawasinya. Bagaimana pun juga, Mei rasa dia akan bertemu dengan teman-teman penjaga yang menyeretnya ini ke mana pun dia akan dibawa. Dan Mei akan sangat kesulitan menghadapi beberapa pria besar seperti mereka ini sekaligus.Setelah menaiki dua tangga, Mama Alan itu dibawa masuk ke sebuah ruangan di lantai tiga. Ruangan itu tidak begitu luas. Dindingnya dicat merah. Kursi-kursi dan meja besar dari kayu yang dipelitur diletakkan di tengah. Gordennya yang tebal dan tinggi menggunakan kain berwarna cokelat. Ada juga lukisan-lukisan berukuran besar dipajang di tembok. Secara keseluruhan, ruangan ini cukup suram bagi Mei. Tidak ada kehangatan dalam udaranya.“Duduk!”Bahu Mei ditekan ke bawah, memaksanya untuk duduk. Mei menurut saja. lengannya sudah dilepas. Kemudian dia mendengar suara langkah menjauh disusul dengan pintu yang tertutup.Mei mengedarkan pandangannya. Sendiri.
Toni menyesap martini dalam gelasnya. Dia tengah berdiri di depan jendela. Matanya menatap keluar tapi tatapannya kosong. Sesekali, da akan menggoyang gelasnya sebelum meminumnya lagi hingga gelasnya kembali kosong. Kalimat yang diucapkan wanita itu terus terngiang di kepalanya. Otaknya mencoba mengingat peristiwa dua tahun yang lalu.Toni menyerah. Otaknya buntu. Dia pun akhirnya duduk dan membuka laci mejanya, mengambil sebuah buku jurnal agenda yang selalu menemaninya tiga tahun ini. Tangannya bergerak membuka jurnalnya, membolak-balik kertas di dalamnya, mencari petunjuk dua tahun yang lalu. Namun dia tidak menemukan apa pun. Hanya ada catatan transaksi obat dan minuman ilegal yang biasa dia lakukan di beberapa kota di Jawa, termasuk Surabaya.Toni mendengus. Ditutupnya jurnal itu dengan kasar. Dia mendadak kesal dengan dirinya sendiri. Untuk apa dia bersusah-susah membuka jurnal dan membacanya lembar demi lembar?? Untuk wanita yang dia bahkan tidak tahu namanya?? Gila!! Toni tida
Mei sudah mulai mengantuk. Beberapa kali dia tampak menutupi mulutnya saat menguap.“Tidurlah kalau mengantuk! Aku akan berjaga.” Erik mengelus rambut Mei dengan lembut.Mereka berdua masih berada di dalam mobil di seberang club milik Toni. Seperti rencana sebelumnya, mereka akan mengintai pria dingin dan dominan tersebut lalu mengikuti ke mana dia akan pergi dengan harapan mereka akan menemukan sesuatu.Mei menggeleng. “Aku akan membeli kopi saja.”“Mei, jangan dipaksakan! Kalau kamu terlalu capek, kamu akan sakit. Dan kau tidak akan bisa membalas pembunuh suamimu.” Erik mencoba memberi saran.Mei menghela nafasnya. Dia emmang sudah sangat mengantuk. Bukan kerana dia lemah, tapi karena ini memang sudah pukul satu pagi. Dia sudah meminum dua gelas kopi. Wajar saja Erik mencegahnya untuk membeli satu gelas lagi.“Kalau begitu aku ke toilet sekalian membeli air putih di mini market itu.” Mei menunjuk satu mini market yang kemarin dia datangi.Erik pun mengangguk.Tangan Mei segera membu
Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan
Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya
“Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.
“Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu
Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar
Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan
Bolet sudah dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Toni tidak mungkin ikut ke sana meski setengah mati dia ingin menguak apa yang terjadi dua tahun lalu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke hotel dan meminta Malik untuk memantau perkembangan Bolet. Jika sampai besok dia belum siuman, Toni terpaksa kembali ke Jakarta tanpa berbicara dengan Bolet.“Malik, jangan lupa juga untuk mencari tahu dengan detail kasus kecelakaan yang melibatkan Bolet dua tahun lalu.” Toni memberi perintah pada Malik melalui telepon.“Maksud Bos kecelakaan yang itu?”“Memangnya kecelakaan yang mana lagi yang aku maksud?”“Baik, Bos. Akan langsung diantar ke hotel. Tunggu saja sebentar!”“Maksudmu semua detail kecelakaan sudah ada di tanganmu??”“I-iya, Bos. Baru tadi pagi saya dapatnya, Bos. Rencananya tadi mau saya kasihkan setelah bertemu Bolet. Tapi akhirnya lupa karena ada insiden itu. Hehe,, maaf ya, Bos.”Toni menggeram. “Antarkan segera!!”“Baik, Bos!”Toni menutup panggilannya begitu saja dan meletakkan
Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu
Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo