Share

Mei 2

Author: pipitxomi
last update Last Updated: 2022-10-24 16:27:22

Dua setengah tahun yang lalu

Di sebuah kapal pesiar Dream Asia Cruise, Mei dan Lili benar-benar menikmati liburan mereka. Kapal pesiar yang akan membawa mereka berkeliling Asia Tenggara ini mempunyai banyak fasilitas yang tidak akan dilewatkan oleh kakak beradik itu. Berbagai macam kemewahan terpatri sempurna di setiap sudut kapal. Kamar tidur yang mewah, makan ala restoran bintang lima, juga segala fasilitas kemewahan yang ada. Mereka berdua serasa benar-benar dimanjakan.

Liburan ini adalah hadiah dari ayahnya karena Mei baru saja diwisuda dan Lili baru lulus SMA. Ayahnya mengizinkan mereka bersenang-senang di kapal pesiar selama lima hari.

Dan malam ini, Meli dan Lili ingin sedikit menikmati hidup. Jadi, mereka memutuskan untuk mendatangi The Ambo Room, sebuah bar yang cukup terkenal di antara pengunjung. Mei sangat penasaran karena di dalamnya banyak lampu berwarna-warni yang indah juga banyak bambu yang ditata sedemikian rupa dan menambah nilai estetik.

Mei dan Lili sudah duduk di atas sofa yang lembut. Dua gelas minuman non-alkohol sudah tersedia di meja. Mereka membicarakan apa saja yang keluar di kepala mereka.

“Kak, kau sudah menghubungi ayah? Seharian ini aku lupa karena asyik mengambil gambar.” Lili berkata sambil meringis. Jari telunjuk dan tengah mengacung seperti simbol damai.

“Sudah tadi sore, selepas ayah pulang dari kantor. Ayah juga berpesan agar kita berhati-hati siapa tahu ada pencopet di sini,” kata Mei sambil menahan tawa.

Lili sontak tertawa. “Memangnya siapa yang mau mencopet di kapal pesiar seperti ini? Tiket naiknya saja mahal. Ayah ada-ada saja.”

Mei ikut tertawa mendengar perkataan adiknya. Tiba-tiba seorang pelayan datang dan memberikan minuman pada Mei.

“Permisi, tapi kami tidak memesan apa pun lagi.” Mei berkata dengan sopan.

“Ini free, Nona,” jawab sang pelayan.

“Oh ya? Lalu kenapa adikku tidak mendapatkannya?” tanya Mei penasaran.

“Maaf, ini hanya berlaku untuk satu meja.”

“O begitu. Baiklah. Terima kasih.”

“Sama-sama, Nona. Saya permisi dulu.” Pelayan itu pun pergi.

Mei memperhatikan minuman di gelas itu. “Kau mau mencobanya?”

Lili menggeleng. “Tidak. Kakak saja. Malam ini aku mau mengedit foto dan mengunggahnya di media sosialku. Aku ingin membuat semua temanku iri.” Lili pun tertawa membayangkan wajah-wajah teman sekelasnya yang pasti akan penasaran. Lalu tidak lama, pesan-pesan dan komentar akan membanjiri sosial media dan aplikasi pesannya. Lili sudah sangat bahagia membayangkan itu semua.

Tanpa berpikir panjang, Mei langsung menenggak minuman itu. Panas. Itu yang dirasakan Meli pertama kali. Tenggorokannya seperti tercekat dan terbakar. Namun setelahnya, mulai muncul rasa manis dan mint yang sejuk dan segar.

“Gimana?” tanya Lili.

“Panas tenggorokanku. Tapi enak kok, manis. Aku ke toilet sebentar. Sepertinya kantung kemihku sudah penuh gara-gara minum terus.”

Mei segera menuju toilet. Dia sempat mengantre sebentar, tapi tidak lama. Setelah semua hajatnya terpenuhi, Mei keluar.

Tiba-tiba dia merasa inti tubuhnya menghangat. Dia juga merasa tubuhnya sangat sensitif. Saat bersenggolan dengan penumpang lain, dia merasa intinya semakin basah dan ingin disentuh. Mei menjadi bergairah! Dia tidak bisa berpikir lurus karena dia tidak pernah merasakan gairah seperti ini!

Mei berjalan sempoyongan keluar dari The Ambo Room. Keringat mulai keluar dari telapak tangannya. Dia harus kembali ke kamar sebelum melakukan hal bodoh di luar sini. Entah apa nanti yang akan dilakukannya di kamar, dia tidak tahu. Yang penting dia harus segera menyingkir untuk menyelamatkan diri.

Saat sudah mencapai pintu, Mei membukannya dengan paksa. Dia melepas sepatunya sembarangan, melempar tasnya di sofa, dan bergegas menuju kamar mandi. Tapi kenapa pintu kamar mandinya berubah? Mungkin ini hanya efek dari gairahnya yang tidak tertahankan. Mei tidak ambil pusing. Dia segera membuka pintu kamar mandi dan melepas pakaiannya. Tiba-tiba sebuah suara yang dalam dan berat mengagetkannya.

“Apa yang kau lakukan, Nona?” Seorang pria dengan handuk yang menggantung di pinggangnya mengagetkan Meli.

“Aaahhh!! Apa yang kau lakukan di kamar mandiku?” Meli berteriak pada pria itu.

“Ini kamar mandiku. Nona siapa? Kamarmu di mana? Dan tolong, pakai bajumu.”

“Kamar mandimu? Tap-tapi, aku-akuuhhh...” Mei tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Gairahnya lebih meledak dari sebelumnya. Aroma sabun dan sampo yang menguar dari tubuh pria di depannya menggelitik hidungnya dan seketika meningkatkan gairahnya. Hal ini tentu membuat yang di bawah sana semakin basah.

“Nona, apa kau baik-baik saja? Jawab aku, Nona!” Pria itu melihat Mei seperti sedang mabuk tapi tidak mabuk. Namun dia seperti kehilangan kesadarannya. Entah bagaimana menggambarkannya.

“Aku. Aku..”

Mei tidak lagi bisa berbicara. Matanya meredup dan menggelap penuh dengan gairah yang harus segera diselesaikan. Dia bahkan sudah menyentuh dirinya sendiri. Pria itu kini mengerti apa yang terjadi pada Mei.

Dia segera mengisi bathup dengan air dingin. Lalu dia membawa Mei masuk ke dalamnya. Butuh perjuangan berat membawa Mei karena Mei terus saja mencium leher dan tengkuknya. Tangan Mei bahkan dengan kuat mengalungkannya di leher dan memaksa pria itu untuk masuk juga ke bathup. Pria itu sekuat tenaga menahan kedua tangannya agar tidak tercebur ke dalam bathup.

“Tolong! Tolong aku! Airnya dingin sekali. Kenapa kau memasukkanku ke dalam air? Apa kau tidak ingin menyentuhku?”

“Nona, kau berada di bawah pengaruh obat.”

“Tidak. Aku ingin berada di bawahmu. Lihatlah! Kau tidak ingin menyentuhnya?” Mei melebarkan pahanya dan menunjukkan intinya. Mei benar-benar kehilangan kewarasannya. Yang dia inginkan hanyalah disentuh.

Mei melihat pria itu hanya memejamkan matanya. Tangannya semakin erat menekan tengkuk pria itu dan menciumi wajah serta lehernya. Pria itu masih saja berusaha menahan diri dan berusaha melarikan diri. Kenapa dia ingin melarikan diri? Apa dia tidak tertarik?

Saat membuka matanya, pria itu melihat sabuknya di dekat wastafel. Dia segera berdiri dan meraihnya lalu mengikat tangan Meli agar tidak banyak bergerak. Dia pria normal. Melihat wanita setengah bugil dalam keadaan bergairah, adalah sebuah godaan yang nyata.

Mei tentu saja memberontak saat tangannya hendak diikat. Dia menjerit histeris dan memaki-maki pria itu tapi si pria seakan tuli dan tidak peduli. Setelah mengikat kedua tangan Mei, baru dia bisa bernafas lega.

Mei menangis sejadi-jadinya. Dia kedinginan, dia bergairah, tapi tidak ada yang menolongnya. Meli terus saja menangis dan meronta. Tubuhnya sakit, panas, tapi kedinginan. Tiba-tiba dia teringat mama dan ayahnya. Kini dia menangis sambil menyebut kedua orang tuanya. Entah berapa lama dia menangis hingga dia menjadi lemas dan capek. Lalu dia tidak mengingat apa pun.

Esoknya, Mei bangun dengan rasa capek dan penat di sekujur tubuhnya. Dia juga merasa sangat pusing. Perlahan-lahan dia mengerjapkan mata. Saat matanya sudah bisa menangkap sinar dengan baik, dia membuka matanya lebar-lebar. Ternyata hari sudah pagi. Tadi malam dia tidur jam berapa ya?

Tunggu dulu!

Kenapa kamarnya berbeda? Kamar ini lebih mewah daripada kamarnya sendiri. Kasurnya lebih luas dan sepreinya sangat lembut. Di mana ini?

“Kau sudah bangun?” Sebuah suara mengejutkannya. Mei menoleh.

“Kapten?” Mei menganga tidak percaya. Kenapa dia bisa bersama kapten? Mei cepat melirik bajunya.

“Semalam tiba-tiba saja kau masuk ke kamar mandi dan menyerangku. Seluruh bajumu basah. Jadi aku memanggil salah satu kru kapal perempuan untuk meminjamkan baju untukmu. Dia juga yang menggantikanmu. Jangan salah sangka!” terang Albert.

Dia baru saja menerima telepon. Seorang gadis mengaku kehilangan kakaknya dan Albert yakin gadis di depannya ini adalah kakak si penelepon.

Mei menatap wajah pria di depannya ini, sang kapten. Dia melihatnya kemarin saat pertama kali check in. Pria bule di depannya ini cukup tampan. Tunggu dulu!!

“Ak-aku pasti sudah melakukan hal gila padamu semalam. Maafkan aku! Aku pasti sangat merepotkan.” Wajah Mei sudah sangat memerah. Dia menunduk dalam-dalam, malu dengan perbuatannya sendiri.

Albert menggeleng. “Jangan membahas itu. Ada hal lain yang lebih penting. Siapa yang sudah memberimu obat perangsang?”

“Entahlah! Aku tidak mengenal siapa pun di kapal ini. Eh, tunggu! Apa benar kita tidak melakukan itu semalam?? Lalu bagaimana kau tahu aku menggunakan bahasa? Aku rasa kau bukan orang Indonesia.”

Albert tertawa tipis. “Tidak terjadi apa pun semalam. Kamu bisa mengeceknya. Lalu kenapa aku tahu kau menggunakan bahasa? Well, ayahku asli Singapura dan ibuku Yogyakarta. Saat ini aku memang tinggal di Singapura. Tapi tidak sulit untuk mengetahui kalau kau orang Indonesia atau Malaysia.”

Tiba-tiba saja sebuah ketukan di pintu terdengar. Albert berdiri untuk membukakan pintu. Mei berharap itu adalah adiknya. Dia segera menegakkan tubuhnya. Kepalanya sudah tidak sepusing tadi. Dia sudah lebih baik.

“Lili?? Itu kamu??” Mei sedikit berteriak karena Albert tidak kunjung kembali.

Namun sayangnya ternyata Albert tidak kembali dengan Lili. Seorang wanita cantik dengan wajah bule berjalan bersama Albert. Dia sangat cantik dengan matanya yang bulat dan berwarna abu-abu.

“Hai, aku Mary. Kaptenmu ini temanku,” sapa sang tamu. Dia mengulurkan tangannya. Bibirnya tersenyum menambah kecantikan wanita itu.

Mei menerima uluran itu dengan kikuk. Dia bahkan tersenyum sangat kaku. “Aku Mei.”

“Jadi Albert bagaimana bisa seorang penumpang tidur di kamarmu? Jangan-jangan -,” goda Mary. Matanya berkedip dan tersenyum.

“Tidak, Mary. Tidak begitu. Ada sedikit insiden semalam.”

Mei segera mengkonfirmasi pernyataann Albert. Dia takut kalau wanita cantik ini adalah gadis incaran sang kapten. “Iya! Kapten benar. Aku yang bersalah. Aku tidak sadar telah masuk ke kamar yang salah. Maafkan aku.”

Mary tersenyum lebar, tapi Mei merasa kali ini senyum Mary tidak tulus. Ada seringai licik di sana.

Sebuah ketukan kembali terdengar. Mei sangat berharap kali ini adiknya yang datang. Dia tidak ingin terlalu lama di sini. Kali ini Mei bisa bernafas lega karena Lili benar-benar datang dengan seorang pria di belakangnya.

“Ya ampun, Kak. Kau membuatku khawatir sepanjang malam.” Lili langsung berlari memeluk kakaknya, meninggalkan Jack, anak buah Albert yang ditugaskan memanggil Lili.

Setelah puas memeluk kakaknya, Lili pun duduk di samping Mei. “Jadi gimana ceritanya, Kak?” tanya Lili penasaran.

Dia duduk di samping kasur. Albert, Mary, dan Jack yang baru datang, duduk di sofa tidak jauh dari kasur. Mereka semua penasaran dengan cerita Mei.

“Hmm. Lili, kau tahu ‘kan semalam aku setelah minum welcome drink dari pelayan, aku pergi ke toilet. Keluar dari sana, aku tiba-tiba merasa aneh dengan tubuhku.” Meli mulai bercerita dengan gugup sambil memilin jarinya.

 “Aneh bagaimana?”

“Ya pokoknya aneh saja. Untung kapten menolongku.”

Mei tidak ingin berterus terang. Dia jelas malu pada adiknya, pada orang-orang di ruangan itu. Mereka tidak saling kenal. Akan sangat canggung jika Mei mengatakan kalau dia merasa sangat bergairah semalam. Namun sayangnya, mereka semua sudah dewasa. Jadi, mereka bisa mengira apa yang terjadi pada Mei, kecuali Lili tentu saja.

“Kapten menolongmu???” Lili berteriak histeris.

Tiba-tiba Albert langsung berdehem. “Ehm!!”

“Eh?” Lili pun menoleh ke belakang, mendapati sang kapten dan dua orang lainnya. Lili langsung terseyum kikuk dan meminta maaf.

Albert berdiri. “Jack, selidiki kasus ini. Pantau CCTV semalam. Cari pelayan yang memberinya minuman.”

Jack berdiri hendak melaksanakan tugasnya. “Baik, Kapten. Ada lagi?”

“Itu dulu. Kabari aku secepatnya!”

Jack mengangguk dan berlalu dari kamar Albert.

Mary yang mendengar itu lalu berucap, “Kenapa harus mencari pelakunya? Mungkin itu kerjaan sepasang kekasih atau suami istri yang ingin memberikan kejutan. Jangan dibuat serius, Albert.”

“Aku tidak bisa membiarkannya, Mary. Seorang penumpangku baru saja mengalami musibah. Untung saja dia bertemu denganku. Jika dia bertemu dengan orang brengsek, bisa jadi dia akan menjadi korban dua kali. Ini tidak bisa dibiarkan. Harus diadakan penyelidikan!”

“Baik. Terserah padamu saja. Sebaiknya aku juga keluar dan bersenang-senang. Sampai bertemu, Albert. Sampai bertemu, Mei. Semoga pelakunya segera ketemu.”

Mary menepuk pundak Mei sebentar sambil tersenyum. Dia lalu menyalami Lili.

“Iya. Terima kasih,” jawab Mei dan Lili. Albert hanya menjawab dengan anggukan. Setelahnya, Mary keluar dari kamar Albert.

Mei berdiri. Tubuhnya sudah semakin kuat. “Aku pamit, Kapten. Terima kasih banyak. Kapten benar. Jika semalam aku bertemu pria lain, mungkin nasibku sudah berubah. Terima kasih banyak.”

“Namamu Mei, ‘kan?”

“Iya. Bagaimana Kapten bisa tahu nama kakakku?” tanya Lili keheranan.

Albert menatap Lili dengan kening berkerut. “Bukankah kita sudah berkenalan waktu awal itu?”

Ya, saat pertama kali naik kapal, Albert memang ikut menyambut para penumpang di lobi saat check-in.

“Kau mengingatnya, Kapten?” tanya Lili tidak percaya.

Albert tersenyum. “Sulit melupakan seorang perempuan dengan wajah cantik khas Indonesia,” ucapnya sambil matanya menatap Mei tanpa kedip.

Mendengar itu, sontak wajah Mei memerah. Dia tidak menyangka sang kapten akan menggombalinya. Dan itu membuat jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.

Sejak saat itu, Mei dan Albert sering menghabiskan waktu berdua. Dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling menyukai dan memutuskan untuk menikah.

Related chapters

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 3

    Baru saja sampai di rumah, Mei bergeas menuju kamar mandi. Badannya sudah sangat lengket setelah berlatih tadi di sasana bersama Erik. Belum lagi dia harus kembali mampir ke restoran untuk mengambil laporan. Kini dia ingin berendam air hangat sebentar sebelum adiknya pulang kuliah. Mei keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tangannya memegang satu handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Kakinya yang indah melangkah menuju meja rias. Dia pun duduk. Saat menggosok rambutnya, dia mendengar suara motor memasuki halaman. Itu pasti Lili. Senyum Mei terkembang. Dia segera menyelesaikan rutinitasnya dan keluar kamar. Di luar, Mei melihat Lili berjalan menuju dapur. Sepertinya dia hendak menata makan malam. “Sudah pulang?” tanya Mei. Lili menoleh. “Eh, Kak. Iya, baru saja.” Mei mendekat untuk membantu Lili menata meja. “Wow, banyak banget! Emang bisa habis? ‘Kan kita Cuma berdua, Kak.” Mei melihat ada lima menu di meja. Ada capcay, mi goreng, ayam bakar, balado telur,

    Last Updated : 2022-10-24
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 4

    Satu minggu telah berlalu. Lili telah selesai melaksanakan ujiannya dengan baik. Rumah makan Mei juga beroperasi dengan lancar tanpa hambatan berarti. Sesuai dengan rencana, mereka akan terbang ke Singapura besok. “Kau sudah mengepak kopermu?” tanya Mei. Dia baru saja selesai menata kopernya dan kini hendak ke dapur untuk mengambil air dingin. Lili sendiri tengah menonton televisi yang menampilkan pria-pria berkulit putih yang tampan dari negara Korea Selatan yang sedang beryanyi dan berjoget. “Sudah, Kak. Aku sudah sangat siap berangkat,” jawab Lili penuh semangat. Matanya bersinar cerah. Sepertinya dia benar-benar ingin liburan. Ya, mereka memang sudah cukup lama tidak berlibur semenjak ayah mereka meninggal. Mei menggeleng. Entah bagaimana bisa Lili menyukai dan tergila-gila dengan boyband itu. Memang kulit mereka begitu bersih dan mulus. Hanya saja, Mei benar-benar tidak bisa membedakan nama mereka. Berkali-kali Lili bercerita, Mei tetap kesulitan membedakan V, Tae Hyung, Jungk

    Last Updated : 2022-10-26
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 5

    Dua setengah tahun yang lalu.. Mei dan Albert tidak bisa menyembunyikan percikan di hati mereka. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu bersama, Albert pun memantapkan hatinya. Dengan penuh keyakinan, Albert akhirnya meminta Mei untuk menjadi istrinya. Tentu saja Mei menerima pria bule itu dengan penuh suka cita. Lima minggu setelah pelayaran itu, sebuah resepsi mewah diadakan di sebuah hotel di Surabaya. Mei tampak cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih dari bahan heavy silk yang jatuh tepat di kaki Mei. Dengan model one shoulder dan pita di bahunya juga menyempit di pinggang dan lebar di bawah membuat Mei terlihat seperti putri, sangat cantik. Albert tidak kalah memukau dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi pita yang membuatnya tampak seperti James Bond di dunia nyata. Otot-otot kerasnya terbungkus indah. Tidak membuatnya seperti raksasa, tapi terlihat liat dan fit. Mei berkali-kali melirik kapten tampan yang kini telah resmi menjadi suaminya di atas pelaminan.

    Last Updated : 2022-10-29
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 6

    Suara nyanyian burung membangunkan Mei. Wanita dua puluh lima tahun itu perlahan mengerjapkan matanya. Saat dia hendak berguling ke samping, tubuhnya mengenai sesuatu. Refleks, dia membuka matanya lebar-lebar. Siapa yang tidur di kasurnya? Tidak pernah ada orang lain di kasurnya –selain Albert tentu saja. Saat matanya terbuka lebar, dia mendapati sesosok mungil tertidur lelap di sampingnya. Senyum Mei langsung terbit. Alan! Bayi mungilnya tidur di sampingnya dengan begitu tenang. Ini adalah pertama kalinya mereka tidur bersama. Matanya terkunci pada wajah imut di sisinya. Kulit halus, hidung mancung, tangan dan kaki yang kecil dan menggemaskan. Rasa-rasanya Mei ingin waktu berhenti agar dia bisa menikmati pemandangan indah ini lebih lama. Namun sayangnya, Mei tiba-tiba merasa kantung kemihnya penuh. Mau tidak mau, dia harus bangkit dan pergi ke kamar mandi. Selesai buang air kecil, menyikat gigi, dan membasuh wajahnya, Mei keluar. Matanya berbinar saat melihat putranya sudah bangun

    Last Updated : 2022-11-01
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 7

    “Aku udah selesai. Kamu udah?” tanya Mei. Dia baru kembali dari wastafel dan meremat bungkus nasinya. Erik mengangguk. Dia pun meraih gelas cola-nya dan meminumnya hingga tandas. Mei menoleh keluar. Untung saja saat itu Lili juga tengah menoleh padanya. Mei segera melambaikan tangannya. Lili pun mengangguk. “Udah, Kak?” tanya Lili. Mei mengulurkan tangannya, meraih Alan dan memangkunya. “Udah. Itu Erik juga udah.” “Ayo!” Erik berdiri, mengambil tas-tas belanja yang ada. “Wah, terima kasih banyak. Memang Mas Erik luar biasa!” puji Lili. Yang dipuji pun langsung tersenyum manis. “Aku udah nolongin kamu bawa belanjaan. Jangan lupa terus kasih info tentang kakakmu, ya!” bisik Erik pada Lili. Lili tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya tanda setuju. Lili yakin Erik adalah pria yang tepat untuk kakaknya. Buktinya, Erik tetap menemani Mei meski dia berada di titil terbawah dalam hidupnya. Gadis itu berharap suatu saat Mei bisa menerima Erik sebagai teman hidup. Baru saja keluar dar

    Last Updated : 2022-11-11
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 8

    Flashback satu setengah tahun yang lalu.. Kehamilan adalah berita bahagia yang ditunggu-tunggu pasangan suami istri. Meskipun Albert dan Mei tidak memasang target memiliki anak, tetap saja mereka sangat antusias menyambut kabar kehamilan itu. Saking bahagianya, Albert sampai berencana membawa Mei babymoon ke mana pun yang Mei mau. “Kenapa memilih ke Batu Malang, Sayang?” tanya Albert. Mereka kini sedang di atas kasur sambil berpelukan erat. Albert sengaja memeluk Mei dari belakang karena takut mengimpit calon bayi di perut istrinya. “Mmm, aku hanya ingin memanjakan mataku dengan melihat kebun teh dan berbagai macam bunga-bunga di sana,” jawab Mei. “Yakin cuma itu?” “Memangnya apa lagi?” Mei semakin memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel sempurna di dada sang suami. Sungguh, berpelukan seperti ini dengan suami memang sangat nyaman. “Bukan karena alasan yang lain?” tanya Albert sambil menciumi bahu dan tengkuk istrinya. Sesekali, jambangnya digesekkan ke bahu polos istr

    Last Updated : 2022-11-11
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 9

    Pagi ini Mei bangun dengan semangat baru. Siang ini dia akan kembali ke Surabaya. Lili sudah memesan tiket untuk mereka bertiga –Erik termasuk.Mei sempat mencium pipi Alan sebelum dia beranjak ke kamar mandi. Mei hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi. Saat dia kembali, Alan masih memejamkan matanya. Dengan gemas, Mei mendekati putranya.“Sayangnya mama, nggak ingin bangun nih? Hm?” Mei menciumi pipi Alan. Yang dicium justru mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengelap pipi yang baru saja dicium Mei.Sontak saja hal ini membuat Mei tertawa. Alan tampak semakin menggemaskan di matanya. Semakin besar Alan semakin mirip dengan papanya. Tiba-tiba saja mata Mei mulai memanas. Air mata mulai mengumpul di sudut matanya. Mei menatap wajah Alan tanpa kedip. “Apa kamu tahu betapa miripnya wajahmu dengan papamu?” ucapnya lirih. Tangannya mengelus lembut pipi dan alis Alan. Bayi itu seperti terhipnotis. Dia tidak bergerak seakan usapan mamanya adalah nina bobok untuknya.“Maaf, mama harus menin

    Last Updated : 2022-11-16
  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 10

    Hari ini Mei akan mulai penyelidikannya. Dia sudah siap dengan celana panjang, kaos, dan jaket. Lili masih libur kuliah, jadi dia akan menemani kakaknya. Dia juga sudah siap. Dia bahkan sudah membuat roti lapis untuk sarapan bersama Mei.“Ayo sarapan dulu sebelum berangkat, Kak!”Mei mengangguk. Kakinya melangkah menuju meja makan dan duduk dengan tenang. Mei harus menjaga emosinya tetap tenang agar bisa memecahkan kasus ini dengan cepat. “Kau yakin akan menemani kakak, Lili?”“Tentu saja, Kak. Aku juga sangat penasaran siapa orang yang tega menyakiti hatimu seperti ini.” Lili tampak mengetatkan rahangnya.“Terima kasih,” sahut Mei tulus.Lili tersenyum manis dan menatap kakaknya. “Kita bersaudara, Kak. Jika aku dala masalah, aku yakin Kakak juga akan menolongku.”“Tentu saja!” sahut Mei.Setelah sarapan, Mei dan Lili langsung menuju bengkel Dimas. Lili tidak lupa membawa laptop kesayangannya. Dia adalah seorang hacker. Dia yakin dia bisa membantu kakaknya dengan keahliannya itu.Tig

    Last Updated : 2022-11-16

Latest chapter

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 43

    Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 42

    Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 40

    “Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 39

    “Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 38

    Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 38

    Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 37

    Bolet sudah dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Toni tidak mungkin ikut ke sana meski setengah mati dia ingin menguak apa yang terjadi dua tahun lalu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke hotel dan meminta Malik untuk memantau perkembangan Bolet. Jika sampai besok dia belum siuman, Toni terpaksa kembali ke Jakarta tanpa berbicara dengan Bolet.“Malik, jangan lupa juga untuk mencari tahu dengan detail kasus kecelakaan yang melibatkan Bolet dua tahun lalu.” Toni memberi perintah pada Malik melalui telepon.“Maksud Bos kecelakaan yang itu?”“Memangnya kecelakaan yang mana lagi yang aku maksud?”“Baik, Bos. Akan langsung diantar ke hotel. Tunggu saja sebentar!”“Maksudmu semua detail kecelakaan sudah ada di tanganmu??”“I-iya, Bos. Baru tadi pagi saya dapatnya, Bos. Rencananya tadi mau saya kasihkan setelah bertemu Bolet. Tapi akhirnya lupa karena ada insiden itu. Hehe,, maaf ya, Bos.”Toni menggeram. “Antarkan segera!!”“Baik, Bos!”Toni menutup panggilannya begitu saja dan meletakkan

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 36

    Toni terpaksa menjadwal ulang kepulangannya ke Jakarta karena dia baru mendapat informasi kalau Bolet ternyata benar-benar berada di penjara. Semalam, dia menginap di sebuah hotel yang sudah disiapkan Malik untuknya. Dan Toni berencana untuk menginap selama yang dia butuhkan.“Rupanya wanita itu tahu benar apa yang dia lakukan. Dia benar-benar menjebloskan Bolet ke penjara meski dengan tuduhan ringan, bukan pembunuhan. Dia tahu Bolet hanya pelaku, bukan dalang kecelakaan itu. Dia masih mencari pelaku sebenarnya.” Toni memainkan kuping cangkir kopinya. Pikirannya terus berputar, menghubungkan kepingan-kepingan puzzle yang muncul.Pagi ini, Toni akan mendatangi Bolet di penjara. Dia harus segera mencari tahu kebenarannya. Hanya Bolet yang tahu hal itu. Dia adalah saksi kunci.Dengan gerakan yang anggun, Toni menyesap kopinya hingga tandas. Setelah itu, dia berdiri, mengambil jaketnya, dan melangkah keluar kamar.Sebuah mobil telah menunggunya di lobi. Wawan setia mengantarnya ke mana pu

  • Membalas Pembunuh Suamiku   Mei 35

    Toni sedang berkendara menuju pelabuhan Perak. Dia harus segera bertemu dengan Bolet atau salah satu anak buahnya. Sopir yang diutus menjemputnya di Bandara Juanda malam ini hanyalah remahan yang tidak tahu apa pun tentang rencana-rencana rumit kelompoknya.Mata Toni terus tertuju pada jendela. Pikirannya rumit.“Apa benar Bolet tidak ada di markas?” pertanyaan Toni memecah keheningan setelah beberapa lama.“Benar, Bos!” jawab si sopir antusias. Dia begitu bersemangat karena diberi tugas menjemput bos besarnya dari Jakarta. Sopir itu masih begitu muda. Umurnya sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Wawan namanya. Wajahnya manis dengan kulit cokelat eksotis. Rambutnya sepanjang telinga, lurus. Seandainya saja dia bukan preman, banyak orang tua yang mau menjadikannya menantu.“Sudah berapa lama?” pandangan Toni beralih pada Wawan.Wawan melirik spion.“Bearapa lama Bolet tidak ke markas?” ulang Toni.“Mmm, tidak yakin, Bos. Mungkin tiga atau dua hari ini saya tidak bertemu Bos Bo

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status