Siella mengiyakan saja ajakan sang sahabat. Ia sudah kalang kabut memikirkan bahwa suaminya tersebut berselingkuh di rumahnya sendiri. Wajahnya lebih banyak melamun, dan juga pandangannya selalu saja kosong.
Esok harinya, mereka mendatangi sebuah rumah yang cukup besar sekali. Siella hanya memandangi ke sana dan kemari melihatnya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya yang kacau tersebut.
Tok… Tok… Tok…
Hani mengetuk pintu besar tersebut. Dan tak lama kemudian, melihat seseorang yang keluar dari balik pintu sana. Seorang pria yang membukanya membuat wajah dari Siella seketika berubah seketika.
Dengan ekspresi terkejut, Siellan menunjuk ke arah si pria dengan suara yang cukup besar nadanya. “Kamu?!”
Pria tersebut memandangi Siella dengan tatapan yang jengkel dan juga nampak sedikit kesal. Ia tidak menghiraukan ucapan dari Siella, dan kemudian menatap ke arah Hani yang ada di depannya.
“Ada apa sampai kamu datang kemari?” tanya si pria.
“Aku mau minta tolong, boleh?” tanya Hani, memberikan jawaban.
Dengan tatapan sinis, pria tersebut melirik ke arah Siella, seolah sudah tahu maksud dari Hani mengenai apa yang akan menjadi permintaan tolongnya tersebut.
“Jangan bilang orang yang kamu katakan perlu pertolonganku itu dia,” ucap dari pria itu sambil menunjuk kasar menggunakan sorot matanya.
“Hah?! Tidak! Aku tidak mau!” Siella langsung menolak.
Seketika Hani langsung menyiku lengan Siella sampai membuat Siella terkaget karena sahabatnya tersebut. Dia sampai melotot karena tidak paham kenapa sahabatnya seperti demikian.
“Hehe, ayolah, sepupumu satu ini jarang-jarang meminta bantuanmu,” pinta dari Hani.
Hani tampak tidak perlu meminta pendapat kepada Siella, karena jelas sekali bahwa Hani sedang memikirkan sesuatu yang sangat besar sekali.
“Oh, iya, kenalkan dia ini-“ Baru saja Hani hendak mengenalkan Siella, pria itu langsung memotong dengan nada suara yang sangat kesal sekali.
“Siella, kan? Dulu julukanmu Si Gadis Mandiri nan Cerdas. Jelas aku tahu dia. Wanita paling menyebalkan yang pernah aku temui di olimpiade debat nasional,” ketus dari si pria tersebut.
“Lho? Kamu kenal Devan La?”
Siella sempat terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana pertanyaan dari sang sahabat barusan. Rasanya benar-benar semua seperti berjalan sangat cepat sekali dalam pikirannya.
Tanpa mengucapkan kata apa pun dan menjawab pertanyaan dari Hani, Siella langsung berbalik badan dan mencoba meninggalkan mereka. Karena dia benar-benar tidak mau bekerja sama dengan Devan! Baginya itu lebih memalukan ketimbang hanya diselingkuhi.
“Lho, LA! Kamu mau kemana?!” Hani hendak menghentikannya dengan berusaha menarik tangan Siella.
Devan yang melihat Siella pergi tersebut memandangi dengan kedua tangan menyilang ke depan dan tatapan mata yang cukup tajam sekali. Dengan tatapan yang sangat menukik tersebut, Devan berucap,
“Pergi saja. Maka kamu akan tetap melihat suami brengsekmu berselingkuh dan tinggal membuang waktu untuk membuangmu.”
Seketika langkah Siella langsung berhenti dan merasa seperti mendapatkan sebuah tembakan tepat di hatinya tersebut. Tampaknya Hani sudah menceritakan masalahnya kepada Devan. Memalukan, Siella merasa benar-benar seperti orang bodoh sekarang ini.
Ia mengepalkan tangannya dengan kuat sekali. Berusaha menahan emosinya yang begitu besar dan juga ingin segera menghilangkan diri saja kala tersebut.
Hani yang menghampirinya langsung memegang lengan Siella supaya dia mendengarkan dahulu kenapa mereka akhirnya datang ke sini.
“Siella, kita bicarakan dulu. Kamu tidak harus langsung setuju, tapi dengarkan dulu bagaimana rencananya,” pinta Hani.
Siella langsung menepis tangan Hani yang memegangnya tersebut. Ia merasa tidak bisa percaya bahwa sahabatnya membawanya ke sini.
“Kamu tidak tahu?! Dia orang yang aku ceritakan dulu! Orang yang membuatku malu di depan banyak orang sampai aku mengambil cuti semester karena takut melihat keramaian!” Siella kesal.
Hani mendengarnya nampak sedikit tersentak, karena selama ini dia mendengar cerita dari Siella tidak beserta dengan namanya, jadi dia tidak tahu kalau ternyata orang yang dibicarakan oleh Siella adalah Devan sendiri. Rasanya benar-benar seperti sebuah sambaran petir.
Kembali dicoba, Hani kembali memegang tangan Siella, dan berusaha membuatnya lebih tenang supaya mau mendengarkan kembali.
“Siella…., maaf aku tidak tahu soal itu, tapi, untuk kali ini bisa kita kesampingkan itu? Sekarang pikirkan bahwa kepercayaanmu sedang dikhianati, ketulusanmu sedang dihancurkan. Apa kamu kamu terpuruk sendirian sementara Vano masih menikmati kejayaannya yang selama ini kamu bantu?” Hani membeberkannya.
Perasaan Siella yang mendengarnya seketika langsung luluh. Yang dikatakan oleh Siella benar. Ia mengikuti Hani kemari karena dia berkata ada seseorang yang bisa membantunya.
Emosinya perlahan mulai tenang dan juga merasa sedikit bisa dikendalikan. Tetapi amarah kesal akan perbuatan Vano muncul kembali. Ia bahkan tidak bisa bernapas tenang karena memikirkan ini semua.
“Bagaimana? Aku bukan menolak untuk membantumu. Tapi aku tahu kamu mungkin tak mau bantuanku,” Devan yang ada jauh di belakang berucap dengan nada suara yang tinggi.
Benar, sekarang ini Siella tidak punya power apa-apa untuk bisa melawan Vano. Suaminya sekarang pengusaha yang sudah punya nama, dan relasinya jelas sudah luas. Kalau melawan sendiri, yang ada Siella bisa dilindas sampai tidak bersisa olehnya.
Dengan mencoba menebalkan wajahnya, Siella berbalik badan dan melihat ke arah Devan serta Hani yang berada di belakangnya tersebut. Ia harus membuang harga dirinya yang tinggi untuk saat ini.
“Baiklah, akan aku dengarkan dulu apa yang kalian pikirkan untuk membantuku.”
Devan kemudian mengajak Siella dan Hani masuk ke dalam rumahnya. Ia memberikan teh hangat sebagai minuman pendamping, dan juga sedikit biskuit di atas meja.
Auranya benar-benar terasa tidak enak sekali. Siella yang tertimpa perasaan sedih, Devan yang terasa memberikan atmosfer datar, dan Hani yang bingung harus bersikap bagaimana melihat mereka berdua yang seperti ini.
“Hani sudah cerita, kalau Vano selingkuh darimu. Dan sepertinya, aku tahu siapa selingkuhannya,” celetuk dari Devan.
“SIAPA?!” Siella dengan sangat cepat menyambar hendak mengetahui orang yang dimaksud oleh Devan barusan.
Wajah Siella yang bersungguh-sungguh ingin tahu jelas membuat Devan hanya bisa menghela napas panjang. Karena dengan melihat respon Siella yang demikian, jelas perasaan suka masih dimiliki oleh Siella pada saat itu.
“Aku hanya menerka, karena aku salah satu member Crown Boss yang dimana itu isinya perkumpulan para pebisnis dan pengusaha yang benar-benar mendapatkan keemasannya. Aku beberapa kali melihat Vano, jalan dengan salah satu anak pengusaha ternama,” jelas dari Devan.
Sedikit skeptis Siella mendengar penjelasan dari Devan. Rasa-rasanya orang ini bisa saja berbohong. Namun, melihat tatapan Devan yang tampak datar dan tidak menunjukkan candaan, membuat Siella ingin percaya.
“Kalau kamu tahu, kenapa kamu tidak bilang padaku?”
Diam sejenak, Devan menjawab, “Karena aku ingin membiarkan kamu tahu sendiri. Sakit kan??” Datarnya.
“Apa?! Dasar gila! Kalau kamu tahu seharusnya kamu bilang supaya aku bisa menyiapkan diri dan bisa marah padanya! Sakit?! Kamu gila! Aku sampai tidak bisa tidur dan bahkan duduk saja aku merasa gemetar! Dan kamu masih bertanya sakit?!” pekik dari Siella yang langsung berdiri dari duduknya.
Masih dengan santai sekali Devan menatapnya. Dia tidak menunjukkan perlawanan, bahkan sedikit pun Devan tidak menunjukkan rasa bersalah karena dia sudah tahu duluan perihal ini.
Dengan napas yang ngos-ngosan setelah berbicara begitu, Siella ingin sekali pergi dari sana. Tetapi, kode Hani yang memintanya untuk duduk dan memintanya menarik napas untuk menenangkan diri membuat Siella kembali mengingat tujuannya ke sini.
Akhirnya ia kembali duduk dan menarik napas dengan sangat tenang sekali. Lagi dan lagi, harga dirinya harus ia turunkan dan juga ia murahkan.
“Memang kalau kamu dengar dari aku, kamu akan percaya? Paling kamu akan bilang kalau itu hanya akal-akalanku yang ingin membuatmu curiga, kan?” ujar dari Devan sembari bersandar dengan kedua tangan menyilang di dada.
SRINGGG. Sebuah siluet seperti lewat di depan kedua mata dari Siella. Ia merasakan debaran hebat yang menandakan bahwa apa yang dikatakan olehnya benar.
“Aku ini orang yang kamu benci. Memang ada kemungkinan kamu percaya padaku kalau aku bilang lebih awal?” sambung Devan.
Terbata mulut Siella hendak menjawab pertanyaan dari Devan. Ia sama sekali tidak tahu kalau ternyata Devan mengetahui perasaan bencinya yang begitu besar tersebut.
Namun, lagi dan lagi, Siella tidak dapat membantah atau menolak ucapan dari Devan barusan. Benar, ia sangat membenci Devan, dan sekarang juga dengan muka temboknya ia datang meminta bantuan kepadanya.
“Jadi bagaimana, sekarang kamu masih berpikiran untuk tidak menerima pertolonganku karena aku musuhmu?” tanya Devan.
Terdiam sejenak Siella mendengar ucapan dari Devan, ia kembali memikirkan, apakah dia harus menerimanya atau tidak? Saat melirik ke arah Hani, dia kelihatan berusaha meyakinkan Siella supaya tidak mundur lagi.
Dengan sedikit menggulum lidahnya, dan juga menelan salivanya, Siella mengambil keputusan yang mau tidak mau memang harus dirinya ambil dengan segera.
“Katakan dulu apa rencanamu, dan apa motifmu mau membantuku padahal kamu tahu aku sangat membencimu,” pintanya.
Masih dengan tatapan yang sama, Devan menjawab dengan nada suara yang santai saja sembari menjelaskan, “Aku benci dengan suamimu. Aku masih ingat bagaimana dia memukuliku selama sekolah hanya karena masalah uang jajan. Aku tidak senang melihatnya mencapai di titik ini sekarang. Menunggu Tuhan memberikan karma terlalu lama, lebih baik aku yang bergerak sendiri.”
Rasanya hubungan ini jadi rumit setelah mendengar ucapan dari Devan. Siella sangat membenci Devan saat pertemuan olimpiade, sementara Devan ternyata membenci Vano yang merupakan suami dari Siella.
Rasa curiga jadi makin membesar karena mengetahui bahwa alasan Devan membantunya karena ingin membalas dendam.
“Kamu pasti ingin menjatuhkan dan mempermalukanku juga, kan? Makanya kamu mau membantuku?” Tuduh dari Siella yang masih belum bisa percaya sepenuhnya.
Mendengar ucapan dari Siella, Devan kedengaran menghela napas sambil menyisiri rambutnya menggunakan jari tangannya tersebut.
“Terserah padamu mau menafsirkan bagaimana. Kalau kamu mau terima, ayo. Kalau tidak, silakan pergi dari rumahku dan hadapi sendiri masalahmu!” tegas dari Devan.
Harga dirinya benar-benar sudah dibuat remuk oleh segala situasi yang ada. Semua terjadi begitu cepat sampai Siella tidak sempat menyiapkan diri dan tidak sempat mencoba untuk lebih bisa berpikir kritis. Hanya emosi saja yang dia miliki saat ini.
Lama sekali Siella tidak menjawab pertanyaan dari Devan yang kedengaran sangat mengancam tersebut. Sampai akhirnya Devan yang juga punya batas kesabaran bangun dari duduknya, mulai berjalan melewati mereka berdua.
“Selesaikan saja masalah kalian sendiri. Aku sudah tidak punya hati-“
Siella tiba-tiba menarik baju dari Devan dengan perlahan, mencoba untuk memberanikan diri. Rasa-rasanya ia tidak mungkin akan menang melawan Vano, yang ada bisa Siella yang dibuang jauh-jauh, dan bisa dibuat lebih di bawah daripada tanah.
“A- Aku minta tolong padamu….,” Siella berkata dengan sedikit ragu.
Devan yang melirik jelas langsung tahu bahwa Siella masih belum sepenuhnya bisa percaya. Tatapan matanya yang menghindari itu saja sudah menunjukkan dengan jelas bagaimana dia tidak sanggup.
Dengan kasar ia tepis tangan dari Siella yang memegang bajunya tersebut. Wajah ketus dan mimik yang sangat sinis tersebut menunjukkan perasaan tidak ikhlas Devan yang sudah tidak sudi.
“Munafik. Sudah tak punya pilihan baru kamu berpikir?”
Devan langsung kembali berjalan lagi. Siella yang panik mampus dan tidak bisa berpikir tenang tersebut akhirnya mau tidak mau mengejar Devan yang hendak keluar dari rumah sana. Ia berdiri tepat di depan si pria itu, menghadangnya.
Tatapan mata mereka yang bertemu menunjukkan perasaan yang berbeda. Siella yang menunjukkan perasaan panik, sementara Devan yang kelihatan sudah sangat muram sekali tersebut memandangi sekali wanita di depannya.
“Kalau masih tidak mau bicara, menyingkir! Kamu menghalangi jalanku!”
Pikiran Siella benar-benar kacau, karena Devan kelihatan sudah kehilangan minat hendak membantunya, dan Siella malah baru mengeluarkan niatnya untuk menerima tawaran tersebut, mau tidak mau langsung bertekuk lutut.
“A- Aku mohon! Aku…., aku bersujud di depanmu demi kesungguhanku! Atau aku perlu mencium kakimu untuk menunjukkan bahwa aku sangat membutuhkan bantuanmu?!”
Melihat bagaimana Siella benar-benar berlutut di depan Devan, dengan kedua tangan yang ada di atas pahanya dan dengan kepala yang menunduk juga, membuat suasana jadi sangat mencengkam.Hani yang melihat sahabatnya sampai sujud tersebut mencoba untuk memintanya bangun, dan tidak sampai seperti ini. namun Devan dengan segera menghentikan Hani supaya tidak melakukan itu. Dia akan menguji.“Beri aku alasan logis dan juga keuntungan apa yang bisa kamu berikan padaku kalau aku membantumu. Selain karena kamu ingin membalas suamimu,” tanya Devan.Siella mendongakkan kepala melihat ke arah Devan yang menatapi wajahnya dengan sangat serius juga. Siella sampai menggigit bibir karena ingin menunjukkan kesungguhannya.“Aku akan menuruti apa pun permintaanmu! Selama kamu bisa membantuku membuat suamiku serta selingkuhannya terpuruk! Aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah orang dengan nilai tinggi yang tidak pantas mendapatkan perlakuan ini! Akan aku tunjukkan bahwa aku bisa berdiri dengan kakiku se
Siella tersenyum dengan lebar memandangi wanita tersebut, ini jelas sekali adalah bagian dari rencananya yang berjalan sangat mulus sekali.“Iya. Silakan duduk,” Siella mempersilakan sambil menunjuk kursi depannya.Wajah Rifia yang kelihatan kikuk tersebut jelas tahu siapa Siella ini. dan Siella berusaha berpura-pura bahwa ini adalah kali pertama mereka bertemu satu sama lain.Rifia duduk di depannya, dan jelas sekali dia merasa canggung saat berhadapan dengan Siella.“Kamu sudah tahu, kan? Kalau aku mencari pengganti untuk posisi sekretaris di perusahaan tempatku bekerja? Dan kamu orang yang mengajukan diri, kan?” tanya Siella.Rifia menganggukkan kepalanya, kelihatan berusaha sangat sopan. Padahal sifatnya jelas sekali seperti orang licik yang berusaha mengubur bangkainya.“Sebelumnya kamu pernah punya pengalaman menjadi sekretaris pribadi? Atau mungkin ini pertama kali? Karena perusahaan yang akan kamu pegang cukup besar,” Siella sedikit memancing.“O- oh, belum. Kebetulan ini pert
Vano yang mendengar Rifia marah tersebut, berusaha untuk membujuk sang pacar yang marah karena melihat dirinya dicium sang istri sendiri tadinya.“Tidak sayang. Aku juga terkejut, kenapa dia bisa seperti itu? Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya!” tegas dari Vano.Mendelik tajam Rifia melihat wajah sang pria yang merupakan kekasihnya tersebut, tengah memohon kepadanya supaya tidak salah paham atas apa yang baru saja terjadi tersebut.Api cemburu melahap akal sehatnya, dan itu membuatnya jadi benar-benar marah tidak terima dengan apa yang terjadi di depan mereka kala tersebut.“Sayang…,” Vano membujuk dengan memegang tangan Rifia dengan halus, “percaya padaku, aku hanya mencintaimu sepanjang hidupku,” sambung Vano.Hanya dengan ucapan manis bak buaya yang sedang mencari mangsa tersebut, Rifia benar-benar luluh dengan apa yang dikatakan oleh Vano barusan. Dia sampai tersipu malu karena merasa bahwa pria di depannya jauh lebih memilihnya.“Pokoknya aku tidak mau dia menyentuhmu lagi! K
Siella yang sudah dibuang di tepi jalan tersebut hanya bisa merenung selama beberapa saat. Ia sama sekali tidak tahu harus berkata apa, dan harus melakukan apa lagi.Sadar akan tindakannya yang setengah-setengah, jelas membuat Siella merasa malu kepada Devan yang mau membantunya.Padahal mereka tidak sepaham dan sejalan, tetapi karena Devan punya dendam tersendiri dengan Vano, membuatnya mau membantu Siella yang merupakan orang yang tidak ia senangi.Tapi mau bagaimana lagi? Melawan perasaan adalah perlawanan paling berat dan sulit untuk Siella lakukan. Move on itu perlu proses yang tidak singkat, dan tidak bisa terjadi hanya dalam waktu semalam.‘Sekarang aku harus apa?’ batinnya yang bertanya-tanya.Ia melangkah perlahan ke depan dengan kepala menunduk. Segala isi pikirannya yang buruk dan juga kosong benar-benar membuat Siella tidak bisa berpikir jernih.TINNNNNNN. Bunyi klakson mobil dari arah kanan yang mendatanginya dengan kecepatan yang tidak bisa dikendalikan.Siella yang menol
Mendengar ucapan dari Devan, membuat Siella sama sekali tidak bisa menjawab apa yang brausan dikatakan kepada dirinya tersebut.Meski ucapan dari Devan benar, dan jelas saja mencoba untuk membuat Siella sadar dan tidak tutup mata lebih jauh mengenai apa kenyataan yang ada. Namun, hati Siella seolah menolak untuk menerimanya.Tatapan Siella yang bergetar penuh keraguan itu disadari oleh Devan yang daritadi berada di depannya. Dia sebagai pria hanya bisa terheran dengan logika wanita yang tidak jalan kalau sudah urusan perasaan.Segera Devan menarik tangan Siella, supaya masuk ke dalam mobil. Siella sama sekali tidak melawan. Dia mengikuti kemana perginya Devan. Ia banyak terdiam tanpa melawan sama sekali meski Devan sudah sampai sedemikian rupa.Tatapan mata yang melihat ke jalanan tersebut membuat Siella sadar, bahwa Devan mengarahkan mobil yang mereka naiki ke salah satu hotel dekat sana.Dengan mata yang terbelalak, dirinya menoleh ke arah Devan dengan raut wajah yang terkejut sekali
Tekad Siella kali ini berusaha untuk lebih bulat daripada sebelumnya. Karena selama ini dia benar-benar berada di titik yang tidak menyenangkan sedikit pun.Napasnya yang menggebu terasa panas menguasai seluruh isi pikirannya dan juga menghantam hati kecilnya untuk berhenti berharap kepada Vano. Sudah jelas-jelas dirinya ini diselingkuhi! Bisa-bisanya ia masih berusaha untuk berpikiran positif.“Apa yang harus aku lakukan supaya mereka benar-benar jera?!” kesal Siella yang menatap dengan penuh amarah.“Coba saja hancurkan hubungan mereka dari dalam,” jawab dari Devan.“Maksudmu? Aku ini orang yang memiliki hubungan resmi dengan Vano! Bukan wanita itu!” pekik Siella.“Aku tahu. Maksudku, coba kamu buat mereka bertengkar karena ulahmu. Entah itu kompori atau terserahlah, kamu yang jadi pemain, kamu yang menentukan,” jawab dari Devan.Bertengkar? Jadi Devan memintanya melakukan hal seperti tadi, yang dimana emosi dari Rifia akhirnya meledak karena tidak terima atas apa yang dilakukannya k
Segelintir senyuman ditunjukkan oleh Siella saat mendengar ucapan sahabatnya tersebut. Benar, ia tidak boleh memakai hatinya lagi untuk persoalan ini. Vano sudah melampau terlalu jauh.“Tapi, tadi katamu kamu kan mau mendekati Rifia juga, bagaimana kalau kamu juga pakai ini untuk ancaman perusahaan ayahnya?”“Ha?” Siella sedikit kaget dengan saran dari Hani yang cukup berisiko tersebut.“Iya. Perusahaan ayah Rifia itu besar sekali! Jelas citra perusahaan akan hancur kalau sampai ada skandal di keluarganya. Apalagi aku dengar desas-desusnya, kalau keluarga Rifia menjunjung tinggi kedisiplinan,” jelas Hani.Siella yang sama sekali tidak kepikiran ke sana mereasa sedikit tersentak selama beberapa saat. Dirinya tidak punya masalah dengan keluarga Rifia, jadi kenapa harus membawanya juga?“Aku rasa itu ide buruk. Aku tidak punya masalah dengan mereka, aku hanya punya masalah dengan Rifia,” jawab dari Siella.“Justru itu! Rifia bisa saja dibuang oleh keluarganya demi menjaga citranya. Kamu m
Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, Siella segera berlari ke kamarnya yang dimana memang sudah lama berpisah dengan Vano. Ia berlari sekencang yang ia bisa sebelum akhirnya menutup pintu dengan sangat keras.Sementara itu Vano membukakan pintu ke orang gila yang memencet bel rumahnya secara gila-gilaan di kala tersebut. Rasanya benar-benar gila hanya dengan memikirkannya saja.“Siapa sih?!” kesal dari Vano.“Halo, kami dari Chicken Go Delivery ingin mengirimkan pesanan ayam anda!” Seru dari seorang kurir dengan baju warna merah di depan rumahnya tersebut.Terkejut Vano mendengar ucapan orang yang mengirimkan ayam tersebut. Siapa yang memesannya? Vano yakin tidak memesannya. Apa jangan-jangan Siella yang memesannya?Segera Vano menoleh ke belakang, hendak bertanya kepada sang istri mengenai pesanan yang datang tersebut. Siapa tahu dia adalah orang yang memesannya.“Sayang, apa kam-“ BRAKHHH. Pintu kamar Siella tertutup sesaat setelah Vano menoleh ke belakan
Devan yang mendengarnya merasa sangat menggebu sekali. Benar, seharusnya dia tidak membuat Siella berada di titik yang tidak seharusnya. Seharusnya dia adalah orang yang bisa diandalkan bagi Siella, dan juga menjadi orang yang bisa bersamanya setiap saat.Dengan penuh keberanian yang meski sudah terlambat ini, Devan tidak mau menyia-nyiakan kembali apa yang belum bisa ia lakukan. Apa pun hasilnya, ia akan menerima semua keputusan Siella.Devan segera mengendarai mobil dan menuju ke bandara, sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Ina, bahwa Siella sebentar lagi akan pergi dari negara ini.Masih belum terlambat selama ia masih mau mencoba. Ia benar-benar berharap bahwa Siella belum pergi dari sana. Ia masih harus menebus hutang pertanggungjawaban kepada Siella.Di bandara, Devan benar-benar tidak tahu harus mencarinya kemana. Ia menelepon Siella berkali-kali, setelah sekian lama ia berusaha menghindari komunikasi dengannya. Ia tidak akan membuang masa lagi.‘Kumohon Siella…, angkat,’ batin
Siella yang mendengarnya langsung mematung tidak bisa berkata selama beberapa saat. Hamil? Dirinya ini hamil? Ia merasakan tangannya gemetar setelah mendengar ucapan dari Dokter barusan.“Aku akan memberikanmu vitamin untuk bayi dalam kandunganmu. Harus rajin diminum untuk calon bayinya ya?” seru dari sang Dokter yang kelihatan sangat senang.Sementara Siella masih belum bisa berkata apa-apa. Dia benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana kabar barusan. Antara tidak percaya, atau mungkin dirinya harus percaya dengan hal barusan.Perlahan ia memegangi perutnya, dan terus berpikir bahwa ini adalah mimpi saja. Ia masih belum bisa mencernanya dengan baik. Jadi, selama ini dirinya sudah hamil? Tapi ia sama sekali tidak sadar?“Apa suamimu ada? Apa yang di depan itu-““Bu- Bukan, na- nanti aku beritahu padanya,” Siella langsung menolak.Ia tidak tahu bagaimana Devan akan meresponnya. Siella hanya pernah berhubungan dengan Devan, jadi ia yakin kalau Devan adalah anak dari dalam kandunga
Siella merasa sepertinya memang masih ada yang mengganjal dari pihak Vano. Tetapi ia menolak bertemu, karena sejatinya, bagi Siella ini sudah berakhir sepenuhnya.Biarlah Vano harus berdamai dengan sendirinya dengan emosi yang juga masa lalu yang tidak ia bisa terima sama sekali. Tugas Siella sekarang ini benar-benar sudah tidak ada lagi. Ia kini sudah tidak boleh ikut campur lebih jauh.“Kamu merasa sedih?” tanya Devan kepadanya.“Entahlah. Padahal penyebab awalnya bukan aku. Tapi kenapa aku seperti dibuat mendapatkan semua karmanya?” Siella merasa tidak adil.Di dalam mobil suasana jadi sangat hening dan tidak ada yang memecah sama sekali. Sepertinya mereka berdua dalam kondisi perasaan yang sama-sama tidak nyaman sama sekali.Tetapi, entah kenapa Devan yang kala itu sedang menyetir tidak mengantarkan Siella pulang sebagai mana seharusnya. Dia malah berbelok ke Danau yang tidak jauh dari sana. Jelas sekali Siella terkejut.“H- Hei! Kita kemana?!” terkejut Siella.
Devan sebenarnya setengah senang hati mendengar ucapan dari Siella yang memilih mengajaknya. Tetapi, tahu bahwa dia akan diajak menemui Vano, jelas membuat Devan merasa agak sedikit jengkel.Mereka kemudian pergi setelah berpamitan dengan Rifia. Sudah usai perasaan terpendam dan juga masalah internal yang jelas membuat mereka jadi seperti ini. sekarang semua sudah baik-baik saja di antara mereka berdua.Mereka pergi ke tempat Vano dengan mengendarai mobil. Rasanya sedikit gugup memikirkan bahwa dirinya akan menemui orang itu lagi. Padahal dia sudah bertekad yang waktu ini akan menjadi yang terakhir bagi dirinya itu.“Kamu takut dia akan melakukan hal buruk?” tanya Vano kepadanya.“Ah, tidak, hanya saja, aku kepikiran apa yang mungkin dia lakukan kalau melihatku lagi,” balas Siella.Devan yang melihat ke depan dengan tatapan kosong itu selama beberapa saat sempat tidak memberikan jawaban yang pasti. Perasaan jengkelnya lebih besar ketimbang perasaan khawatirnya.Ketika mereka sudah sam
Siella membawakan buah tangan untuk Rifia, dan juga sedikitnya susu ketika ia hendak mengunjungi Rifia. Bukan tanpa alasan. Anggap saja ini sebagai formalitas karena dirinya akan menengoki orang sakit. Jadi dia tidak mungkin datang dengan tangan kosong, kan?“Kamu sungguh tak apa mendatangi Rifia?” tanya Devan yang khawatir.Siella menganggukkan kepala, ia jelas tidak merasa masalah kalau memang begitu perlunya dirinya untuk saat ini. Ia sudah memantapkan diri untuk bertemu dengan Rifia, jadi tidak seharusnya ia membatalkannya.Ruangan Rifia benar-benar dijaga dengan sangat ketat. Mungkin karena dia sempat bersekutu dengan Vano, jadi dia juga mendapatkan label berbahaya dari pihak keamanan yang ada.Masuk ke dalam sana, Siella terus mengatur napas untuk bisa menenangkan dirinya. Ia akan menahan segala emosi yang ada, baik atau buruk pun akan dia coba bendung di dalam dirinya.Di dalam sana, ia melihar Rifia berbaring dengan perban di kepalanya. Entah apa yang dilakukan oleh Vano sampa
Siella menikmati bagaiman Devan mengajaknya berkeliling, dan juga sesekali melihat berbagai binatang kecil yang tersedia di dekat sana. Devan tidak pernah melepas kamera di tangannya, dan selalu siaga untuk mengambil gambar untuk Siella.“Kamu tak mau aku foto juga?” Siella menawarkan diri.Devan yang sedang mencoba membidik gambar tersebut menurunkan kamera, dan melihat ke arah Siella. Dia tampak lebih bahagia daripada sebelum-sebelumnya.“Tidak apa. Aku tidak terlalu suka foto,” tolaknya dengan lembut sekali.Siella merasa agak terpukau mendengar jawabannya, rasanya seperti melihat orang yang berbeda, padahal baru kemari Devan sangat menyebalkan sekali. Tetapi, sekarang jauh berbeda, dia seperti menjadi orang lain yang belum pernah Siella lihat sebelumnya. Sungguh mengagetkan sekali.“Jarang-jarang kita bisa keluar begini, kamu serius tidak mau?” ucap Siella, lagi.Devan sekali lagi menolak sambil menggelengkan kepala dan tersenyum cukup tipis kepada dirinya ini. “Tenang, aku akan m
Siella merasa benar-benar sendiri sekarang ini. ia memang berhasil pergi dari hidup Vano dan terlepas dari pernikahan yang tidak sehat itu. Tetapi, kini ia kehilangan tempatnya untuk pulang dan menceritakan isi hatinya.Rasanya remuk sekali perasaan Siella. Ia lebih banyak berdiri di dekat jembatan dan sesekali ke danau juga. Bukan untuk menyerah pada segalanya, melainkan ingin menenangkan diri dengan merasakan dinginnya angin yang berembus kepadanya.Tak ada pikiran Siella untuk segera menyusul Hani. Karena belum tentu ia bisa bertemu dengannya. Tetapi, Siella akan memanfaatkan hidupnya dengan baik, dan ingin mendedikasikan sisa hidupnya untuk menjadi orang berguna.‘Huhhh, setelah ini apa?’ batin Siella merasa sangat kesal.Semuanya memang berakhir dengan baik, hanya saja, di setiap prosesnya Siella mendapatkan pembelajaran dan juga hasil yang tidak diinginkan sama sekali.Sesekali Siella melemparkan batu ke sungai untuk bisa meredakan kekesalannya. Sesekali juga ia melemparkan sebu
Siella sudah duduk rapi di kursinya, dan kini sedang menunggu Vano masuk ke bilik kaca untuk bisa berbicara engannya. Entah apa yang sebenarnya dia ingin bicarakan dengan Siella di saat seperti ini sebenarnya.Devan, Pak Romi, dan Bu Ina berdir di belakangnya mengawasi. Kali ini mereka akan mendengarkan semua yang dibicarakan oleh Vano.Vano masuk ke dalam, dan duduk tepat di kursi yang sudah disediakan. Sesuai dengan permintaan, Vano diborgol dengan kuat pada kursinya, dan tidak dibiarkan bisa bangun dari tempat itu.Melihat bahwa Siella tidak datang sendirian membuat Vano tertawa, dia jelas merasa dibohongi karena ingin bertemu dengan Siella saja.“Heuuuhhh, lihat, kamu datang membawa pasukan,” ucap Vano.“Kenapa memangnya? Ada obrolan yang kamu tidak ingin mereka ketahui?” Siella langsung mengatakannya.“Kalau memang ada kenapa?” Vano menyeringai licik.“Aku tidak mau mendengarnya kalau begitu,” Siella segera membalas.“Ahhh, kalau begitu kamu pasti marah padaku, ya? Memang seberap
Siella lebih banyak berada di rumahnya tanpa keluar sama sekali. Rumah kecil yang ia tinggali sementara itu kini terasa makin menyesakkan dan juga begitu membuatnya tidak tenang.Ting… Tong… Bunyi bel rumahnya yang membuat seisi ruangan jadi terisi penuh akan suaranya.Siella segera keluar, dan melihat siapa yang datang. Dia mendapati Devan sedang berdiri di depan sana. Wajahnya masih layu dan menunjukkan bagaimana kesedihannya.“Ada apa?” Siella bertanya dengan suara yang lemah.“Rumah Hani akan segera dibersihkan oleh pemilik. Kamu mau ambil beberapa barangnya?” tawar dari Devan.Mendengarnya membuat Siella makin merasa sedih. Air matanya jadi kembali dan membuat Siella tidak bisa mengendalikan diri.“Aku tahu bagimu ini berat, tetapi bukan aku yang minta rumah itu segera dibersihkan,” sambing Devan.Siella segera membersihkan air matanya dan mengiyakan ajakan dari Devan, “Ya, baiklah, aku ikut,” Siella menyetujui.Mereka yang pergi ke rumah Hani sudah membawa segala kardus pakaian