Siella yang tidur dengan perasaan yang marah tersebut, jelas tidak akan langsung reda begitu saja. Esok harinya, kemarahan kembali membesar dan memuncak sampai tidak bisa dipikir lagi bagaimana dirinya bisa menanggapi perasaan tersebut.
Esok harinya, Siella berangkat bekerja masih dengan perasaan yang tidak senang. Devan membalas pesan Siella dengan sangat santai dan seolah tidak ada salah sama sekali. Itu membuat Siella merasa kesal.
Baru saja keluar dari rumah, Siella mendapati Devan sudah berdiri di sana menunggunya sambil bersandar di mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Pria itu kelihatan senang melihat Siella.
“Siella!” sapanya dengan senyuman yang sangat lebar sekali.
Wajah Siella jelas saja masih muram sekali. Bahkan kekesalannya sama sekali tidak memudar meski sudah melihat Devan pada saat itu. Rasanya ingin ditonjok saja.
Devan mendatanginya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam mobilnya, dengan tangan yang mengulur. Siell
Siella yang mendengarnya sangat kaget dan terdiam selama beberapa saat. Mertuanya ini memang sangat cuek, tetapi perhatiannya sama sekali tidak tertandingi sama sekali. Gengsinya terlalu besar, sampai-sampai orang-orang tutup mata melihatnya.Pandangan itu, garis bibirnya, bahkan raut wajahnya benar-benar tidak seperti orang marah. Sepertinya Bu Ina sudah tahu bahwa anaknya sendiri akan berlaku seperti demikian.“Apa Vano melakukan sesuatu yang buruk kepada kalian?” tanya Bu Ina.Sedikit ambigu rasanya pertanyaan yang barusan dilontarkan kepada dirinya itu. Seperti menanyakan soal perusahaan, atau hubungan.“Ma- Maksudnya, bu?”“Iya. Kalian pasti diganggu, kan? Apalagi perusahaan yang makin besar, jelas bagi Vano itu adalah ancaman juga. Jadi, apa dia mengganggu?”Pertanyaan itu terasa lebih lega setelah didengar lebih dalam lagi. Siella merasa tenang, seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu dari orang lain.“Tidak.”“Sebenarnya iya,” Devan langsung menyela setelah mendengar
Sebenarnya Siella merasakan debaran jantung yang begitu hebat dan juga terasa tidak begitu nyata sama sekali. Tetapi ia menahan dirinya sendiri. Dalam pikirannya muncul reaksi ingin melihat bagaimana Devan akan menanggapi Rifia.Devan yang sedang duduk tersebut merasa kesal saat didatangi oleh Rifia, padahal dia sedang makan siang bersama Siella saat ini.Rusak sudah mood-nya yang baru saja dia coba bangun untuk lebih baik dan juga pastinya lebih kokoh daripada sebelumnya. Tetapi ambyar karena orang ini.“Apa?” tanya dari Devan dengan nada dingin.“Hei….,” Rifia membalas dengan nada menjengkelkan dan kemudian duduk di kursi Siella.Devan sinis menatapnya.“Jangan menatapku buruk begitu. Aku datang untuk menemanimu. Lagipula, kamu sendiri, kan?” ujar Rifia.“Itu kursi Siella, dan pergi dari hadapanku!” tegas Devan.Rifia agak terkejut mendengar bentakan dari Devan yang terbilang cukup spontan tersebut. Dan ia merasa tersinggung karena Devan malah membicarakan Rifia di depannya.“Devan…
Wajah Rifia jadi seperti seekor kepiting rebus yang sedang berada di uap panas yang tidak terduga sama sekali. Dia benar-benar menjadi orang yang sangat agresif sekali sekarang.“Jadi, ada apa? Apa urusanmu sampai datang ke sini?” Siella bertanya dengan nada yang sangat lembut.Rifia kembali membulatkan tekadnya, dan mencoba untuk ikut menyulut Siella yang baru saja membakarnya tersebut.“Aku datang menemui Devan. Apa urusanmu di sini? Jangan bilang kamu datang hanya untuk mengganggu kami!” tegasnya.Siella tertawa kecil mendengarnya. Wanita tersebut benar-benar sangat percaya diri, tapi otaknya dangkal sekali. Akal sehat dan logikanya tidak kelihatan.“Benarkah?”Siella menoleh ke arah Devan.“Kita kan pergi berdua, jadi yang pengganggu itu aku atau dia?” tanya Siella sambil bergantian menunjuk ke arah dirinya sendiri dan juga Rifia.Tertegun Rifia mendengar ucapan dari Siella. Dia benar-benar lupa bahwa Devan sudah mengatakan kalau dia datang kemari dengan Siella, jadi jelas Siella
Siella yang mendengarnya merasa sangat tersipu. Secara mendadak sekali Devan memuji dan membuat sekujur tubuh Siella terasa terbang sampai ke langit yang begitu tinggi sekali.“Be- Benarkah? Ka- kamu tidak bohong?” Siella merasa malu sambil sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.“Ya…, kamu sangat berbeda dari biasanya,” puji dari Devan, lagi.Pria tersebut melihat dari atas sampai bawah bagaimana Siella pada saat itu. Benar-benar mengagumi dan merasa sangat amat terpukau sekali.Padahal hanya pujian seperti biasanya. Tetapi Siella menerimanya dengan cara yang berbeda. Ia sangat menghargai bagaimana cara Devan memuji barusan.Dua orang yang sama-sama terpukau pada satu sama lain terasa seperti berada di dunia yang berbeda, dan jelas di tempat masing-masing.“A- Ah, mau jalan dulu?” ajak dari Devan, sambil mengulurkan tangan untuk dipegang.Siella tersenyum lebar. Ia menerima ajakan tersebut dan memegang erat tangan Devan. Untuk pertama kalinya, mereka berdua saling berpega
Bahkan ada banyak bunga indah terpajang di sana. Belum lagi bagaimana eloknya laut membuat dekorasi tersebut terlihat sangat amat bagus sekali. Perasaan Siella terasa banyak memiliki banyak pertanyaan di dalam sana.“Ini apa, Devan?” tanya Siella sambil menoleh setelah mereka berjalan mendekati dekorasi tersebut.Entah hembusan angin macam apa yang barusan melewatinya, yang pasti Siella nyaris kehilangan kata-kata setelah melihat Devan berlutut sebelah kaki sambil menyodorkan sebuah cincin pada kotak merah.Rasa terkejutnya membuat Siella berpindah tempat sedikit ke belakang. Ia benar-benar tidak bisa bicara selama beberapa saat.“Siella. Aku tahu ini sangat mendadak, But, will you marry me?”Rasanya seperti mimpi mendengar Devan berkata begitu kepadanya. Tidak terduga sedikit pun bahwa Devan akan melamar selang beberapa jam setelah menembaknya menjadi pacarnya.Masih dalam posisi tidak percaya, ternganga merasa kehilangan seluruh isi pikiran setelah melihat bagaimana keseriusan Devan
Meski sebenarnya sangat memalukan dan juga tidak tahu diri, Vano nekat bertemu dengan ibunya untuk bisa mendapatkan bantuan, setikdanya supaya dia tidak jatuh dalam kebangkrutan.Dan yang paling mengerikan dari pertemuan ini ialah, Ibunya mengajaknya berbicara pada ruang meditasi. Yang dimana Vano merasakan kalau tempat itu sangat lah dingin dan begitu membangun tekanan pada dadanya.Dengan posisi bersimpuh, dan kedua tangan berada di atas lutut dengan badan yang tegak, Vano duduk di depan ibunya dengan perasaan setengah-setengah.“Apa yang membawamu datang kemari, Vano?” tanya dari sang ibu dengan suara yang sangat mengintimidasi.“A- Anu, itu bu…, aku-““Jangan ibu. Kamu sudah melanggar janjimu, sebaiknya kamu panggil aku seperti sebelumnya.”DEGH. Vano bisa langsung menyadari bahwa ibunya sudah memutus hubungan dengannya, lagi. Dan kali ini tidak perlu bilang lagi, karena mereka sudah pernah membuat janji, dan janjinya sekarang telah dilanggar.Sambil menelan ludah dan berusaha memb
Mendengar ucapan dari Vano membuat Rifia menyeringai. Jelas ini adalah kesempatan dalam kesempitan yang tidak diduga sama sekali. Perasaannya senang sekali karena bisa mendapatkan kesempatan mendekati Devan.“Apa aku harus tidur dengannya?” tanya dari Rifia.“Kamu gila?! Kamu mau jadi wanita murahan?!” pekik dari Vano yang dengan sengaja mengatai.Agak kaget Rifia mendengar ucapan dari Vano. Padahal dia pikir ini bisa menjadi ide yang bagus untuk merusak hubungan dari Siella dan Devan, tapi Vano tidak berpikir sampai di sana.“Kalau begitu kamu saja yang coba ajak tidur Siella. Dengan begitu Devan pasti tidak akan senang dengan Siella lagi,” saran dari Rifia.Vano agak mempertimbangkan saran dari Rifia tersebut. Idenya terdengar sangat bagus, hanya saja rasanya bodoh sekali kalau dirinya mau tidur lagi dengan Siella.Rasa dendam dan juga benci sudah mendarah daging dalam dirinya. Rasanya turun harga dirinya kalau tidur dengan wanita itu lagi.“Kamu rela aku tidur dengan Siella lagi?”
Siella dan Devan menyeringai mendengar bagaimana Rifia tidak mau sama sekali berurusan dengan ayahnya sendiri. Lagipula juga sudah sangat mustahil sekali Rifia akan dibantu oleh ayahnya tersebut.Seringai puas atas pilihan yang dilakukan oleh Rifia membuat Siella benar-benar merasa makin tertantang dan juga ingin terus mempermainkan wanita yang sedang bersimpuh di depannya tersebut.“Kenapa? Kamu takut?” tanya Siella.“Tidak. Aku tidak mau menyeret papaku dalam masalahku lagi,” Rifia memberikan alibi.Rasanya ingin tertawa mendengar alasan tersebut. Padahal sebenarnya Rifia sudah tidak bisa mendapatkan bantuan dari ayahnya sendiri, karena dia sudah tidak dianggap olehnya.“Ahhh, kamu sudah tahu kalau ayahmu sudah tidak memperdulikanmu, kan? Tenang, aku dan Devan sudah tahu duluan soal itu, jadi kamu tidak perlu repot-repot menutupinya lagi,” ujar Siella.Rifia yang menunduk itu hanya bisa menelan ludah selama beberapa saat. Harga dirinya sudah mati, dan sudah hilang bagaimana citranya
Devan yang mendengarnya merasa sangat menggebu sekali. Benar, seharusnya dia tidak membuat Siella berada di titik yang tidak seharusnya. Seharusnya dia adalah orang yang bisa diandalkan bagi Siella, dan juga menjadi orang yang bisa bersamanya setiap saat.Dengan penuh keberanian yang meski sudah terlambat ini, Devan tidak mau menyia-nyiakan kembali apa yang belum bisa ia lakukan. Apa pun hasilnya, ia akan menerima semua keputusan Siella.Devan segera mengendarai mobil dan menuju ke bandara, sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Ina, bahwa Siella sebentar lagi akan pergi dari negara ini.Masih belum terlambat selama ia masih mau mencoba. Ia benar-benar berharap bahwa Siella belum pergi dari sana. Ia masih harus menebus hutang pertanggungjawaban kepada Siella.Di bandara, Devan benar-benar tidak tahu harus mencarinya kemana. Ia menelepon Siella berkali-kali, setelah sekian lama ia berusaha menghindari komunikasi dengannya. Ia tidak akan membuang masa lagi.‘Kumohon Siella…, angkat,’ batin
Siella yang mendengarnya langsung mematung tidak bisa berkata selama beberapa saat. Hamil? Dirinya ini hamil? Ia merasakan tangannya gemetar setelah mendengar ucapan dari Dokter barusan.“Aku akan memberikanmu vitamin untuk bayi dalam kandunganmu. Harus rajin diminum untuk calon bayinya ya?” seru dari sang Dokter yang kelihatan sangat senang.Sementara Siella masih belum bisa berkata apa-apa. Dia benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana kabar barusan. Antara tidak percaya, atau mungkin dirinya harus percaya dengan hal barusan.Perlahan ia memegangi perutnya, dan terus berpikir bahwa ini adalah mimpi saja. Ia masih belum bisa mencernanya dengan baik. Jadi, selama ini dirinya sudah hamil? Tapi ia sama sekali tidak sadar?“Apa suamimu ada? Apa yang di depan itu-““Bu- Bukan, na- nanti aku beritahu padanya,” Siella langsung menolak.Ia tidak tahu bagaimana Devan akan meresponnya. Siella hanya pernah berhubungan dengan Devan, jadi ia yakin kalau Devan adalah anak dari dalam kandunga
Siella merasa sepertinya memang masih ada yang mengganjal dari pihak Vano. Tetapi ia menolak bertemu, karena sejatinya, bagi Siella ini sudah berakhir sepenuhnya.Biarlah Vano harus berdamai dengan sendirinya dengan emosi yang juga masa lalu yang tidak ia bisa terima sama sekali. Tugas Siella sekarang ini benar-benar sudah tidak ada lagi. Ia kini sudah tidak boleh ikut campur lebih jauh.“Kamu merasa sedih?” tanya Devan kepadanya.“Entahlah. Padahal penyebab awalnya bukan aku. Tapi kenapa aku seperti dibuat mendapatkan semua karmanya?” Siella merasa tidak adil.Di dalam mobil suasana jadi sangat hening dan tidak ada yang memecah sama sekali. Sepertinya mereka berdua dalam kondisi perasaan yang sama-sama tidak nyaman sama sekali.Tetapi, entah kenapa Devan yang kala itu sedang menyetir tidak mengantarkan Siella pulang sebagai mana seharusnya. Dia malah berbelok ke Danau yang tidak jauh dari sana. Jelas sekali Siella terkejut.“H- Hei! Kita kemana?!” terkejut Siella.
Devan sebenarnya setengah senang hati mendengar ucapan dari Siella yang memilih mengajaknya. Tetapi, tahu bahwa dia akan diajak menemui Vano, jelas membuat Devan merasa agak sedikit jengkel.Mereka kemudian pergi setelah berpamitan dengan Rifia. Sudah usai perasaan terpendam dan juga masalah internal yang jelas membuat mereka jadi seperti ini. sekarang semua sudah baik-baik saja di antara mereka berdua.Mereka pergi ke tempat Vano dengan mengendarai mobil. Rasanya sedikit gugup memikirkan bahwa dirinya akan menemui orang itu lagi. Padahal dia sudah bertekad yang waktu ini akan menjadi yang terakhir bagi dirinya itu.“Kamu takut dia akan melakukan hal buruk?” tanya Vano kepadanya.“Ah, tidak, hanya saja, aku kepikiran apa yang mungkin dia lakukan kalau melihatku lagi,” balas Siella.Devan yang melihat ke depan dengan tatapan kosong itu selama beberapa saat sempat tidak memberikan jawaban yang pasti. Perasaan jengkelnya lebih besar ketimbang perasaan khawatirnya.Ketika mereka sudah sam
Siella membawakan buah tangan untuk Rifia, dan juga sedikitnya susu ketika ia hendak mengunjungi Rifia. Bukan tanpa alasan. Anggap saja ini sebagai formalitas karena dirinya akan menengoki orang sakit. Jadi dia tidak mungkin datang dengan tangan kosong, kan?“Kamu sungguh tak apa mendatangi Rifia?” tanya Devan yang khawatir.Siella menganggukkan kepala, ia jelas tidak merasa masalah kalau memang begitu perlunya dirinya untuk saat ini. Ia sudah memantapkan diri untuk bertemu dengan Rifia, jadi tidak seharusnya ia membatalkannya.Ruangan Rifia benar-benar dijaga dengan sangat ketat. Mungkin karena dia sempat bersekutu dengan Vano, jadi dia juga mendapatkan label berbahaya dari pihak keamanan yang ada.Masuk ke dalam sana, Siella terus mengatur napas untuk bisa menenangkan dirinya. Ia akan menahan segala emosi yang ada, baik atau buruk pun akan dia coba bendung di dalam dirinya.Di dalam sana, ia melihar Rifia berbaring dengan perban di kepalanya. Entah apa yang dilakukan oleh Vano sampa
Siella menikmati bagaiman Devan mengajaknya berkeliling, dan juga sesekali melihat berbagai binatang kecil yang tersedia di dekat sana. Devan tidak pernah melepas kamera di tangannya, dan selalu siaga untuk mengambil gambar untuk Siella.“Kamu tak mau aku foto juga?” Siella menawarkan diri.Devan yang sedang mencoba membidik gambar tersebut menurunkan kamera, dan melihat ke arah Siella. Dia tampak lebih bahagia daripada sebelum-sebelumnya.“Tidak apa. Aku tidak terlalu suka foto,” tolaknya dengan lembut sekali.Siella merasa agak terpukau mendengar jawabannya, rasanya seperti melihat orang yang berbeda, padahal baru kemari Devan sangat menyebalkan sekali. Tetapi, sekarang jauh berbeda, dia seperti menjadi orang lain yang belum pernah Siella lihat sebelumnya. Sungguh mengagetkan sekali.“Jarang-jarang kita bisa keluar begini, kamu serius tidak mau?” ucap Siella, lagi.Devan sekali lagi menolak sambil menggelengkan kepala dan tersenyum cukup tipis kepada dirinya ini. “Tenang, aku akan m
Siella merasa benar-benar sendiri sekarang ini. ia memang berhasil pergi dari hidup Vano dan terlepas dari pernikahan yang tidak sehat itu. Tetapi, kini ia kehilangan tempatnya untuk pulang dan menceritakan isi hatinya.Rasanya remuk sekali perasaan Siella. Ia lebih banyak berdiri di dekat jembatan dan sesekali ke danau juga. Bukan untuk menyerah pada segalanya, melainkan ingin menenangkan diri dengan merasakan dinginnya angin yang berembus kepadanya.Tak ada pikiran Siella untuk segera menyusul Hani. Karena belum tentu ia bisa bertemu dengannya. Tetapi, Siella akan memanfaatkan hidupnya dengan baik, dan ingin mendedikasikan sisa hidupnya untuk menjadi orang berguna.‘Huhhh, setelah ini apa?’ batin Siella merasa sangat kesal.Semuanya memang berakhir dengan baik, hanya saja, di setiap prosesnya Siella mendapatkan pembelajaran dan juga hasil yang tidak diinginkan sama sekali.Sesekali Siella melemparkan batu ke sungai untuk bisa meredakan kekesalannya. Sesekali juga ia melemparkan sebu
Siella sudah duduk rapi di kursinya, dan kini sedang menunggu Vano masuk ke bilik kaca untuk bisa berbicara engannya. Entah apa yang sebenarnya dia ingin bicarakan dengan Siella di saat seperti ini sebenarnya.Devan, Pak Romi, dan Bu Ina berdir di belakangnya mengawasi. Kali ini mereka akan mendengarkan semua yang dibicarakan oleh Vano.Vano masuk ke dalam, dan duduk tepat di kursi yang sudah disediakan. Sesuai dengan permintaan, Vano diborgol dengan kuat pada kursinya, dan tidak dibiarkan bisa bangun dari tempat itu.Melihat bahwa Siella tidak datang sendirian membuat Vano tertawa, dia jelas merasa dibohongi karena ingin bertemu dengan Siella saja.“Heuuuhhh, lihat, kamu datang membawa pasukan,” ucap Vano.“Kenapa memangnya? Ada obrolan yang kamu tidak ingin mereka ketahui?” Siella langsung mengatakannya.“Kalau memang ada kenapa?” Vano menyeringai licik.“Aku tidak mau mendengarnya kalau begitu,” Siella segera membalas.“Ahhh, kalau begitu kamu pasti marah padaku, ya? Memang seberap
Siella lebih banyak berada di rumahnya tanpa keluar sama sekali. Rumah kecil yang ia tinggali sementara itu kini terasa makin menyesakkan dan juga begitu membuatnya tidak tenang.Ting… Tong… Bunyi bel rumahnya yang membuat seisi ruangan jadi terisi penuh akan suaranya.Siella segera keluar, dan melihat siapa yang datang. Dia mendapati Devan sedang berdiri di depan sana. Wajahnya masih layu dan menunjukkan bagaimana kesedihannya.“Ada apa?” Siella bertanya dengan suara yang lemah.“Rumah Hani akan segera dibersihkan oleh pemilik. Kamu mau ambil beberapa barangnya?” tawar dari Devan.Mendengarnya membuat Siella makin merasa sedih. Air matanya jadi kembali dan membuat Siella tidak bisa mengendalikan diri.“Aku tahu bagimu ini berat, tetapi bukan aku yang minta rumah itu segera dibersihkan,” sambing Devan.Siella segera membersihkan air matanya dan mengiyakan ajakan dari Devan, “Ya, baiklah, aku ikut,” Siella menyetujui.Mereka yang pergi ke rumah Hani sudah membawa segala kardus pakaian