Bagian 89
“Tidak hamil, katamu?” tanyaku dengan nada yang mulai meninggi. Bahkan mulutku masih menganga sambil menatapnya tak percaya.
Mata wanita itu tampak berkaca. Wajahnya yang kulihat tambah glowing ketimbang saat kami berjumpa di depan minimarket, kini basah dengan air mata. Dia menggeleng lemah. Terisak dengan suara lirih.
“T-tidak … tanda kehamilan palsu, Mbak. Dua hari setelah kecelakaan Mas Rauf, aku … langsung haid.”
Bagaikan tersambar petir, pernyataan dari perempuan itu benar-benar membuatku hampir saja ambruk. Dia bahkan setelah itu mendapatkan haid. Sungguh hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.
&n
Bagian 90 “Maaf, Bu, sebelumnya. Maaf juga Tari. Sepertinya semua harus kita clear-kan dulu.” Aku mencoba untuk mulai membuka semua rahasia ini di hadapan orangtuaku. Bukan bermaksud membuka aib, menyibak luka lama, atau membuat Ibu ikut membenci Tari. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang memang harus diluruskan. Wajah Ibu mulai tampak resah. Sebelum mulai bercerita, aku berdehem sembari menoleh ke arah Tari yang terlihat pias. Aku harus tenang. Semoga Ibu bisa menerima ceritaku ini, tanpa timbul sakit hatinya. “Tari adalah orang ketiga penyebab perceraian aku dan Mas Rauf, Bu. Namun, Ibu tak perlu marah. Tak perlu sakit hati juga. Aku malah berterima kasih kepada Tari. Sebab kehadirannyalah, akhirnya aku berpisah dengan lelaki itu dan kini akan
Bagian 91 Seusai semuanya melaksanakan salat, kami semua turun ke bawah. Pacar Tari masih mengenakan seragamnya. Dia bilang, selepas dari bertemu Mas Rauf, pria tersebut akan langsung berangkat piket kembali. Ada satu hal yang menarik di sini. Saat Mas Vadi dan Tama saling berkenalan, keduanya tampak santai saja. Biasa. Seperti orang baru dan langsung menjadi akrab. “Salam kenal. Vadi.” Bagitu Mas Vadi memperkenalkan dirinya kepada Tama saat mereka berdua berjumpa di halaman parkir ruko. “Salam kenal juga. Saya Tama.” Tama terlihat tersenyum sangat ramah. Pria itu sempat mengguncang jabatan Mas Vadi dengan ayunan yang mantap. “Baik, kita langsung ke tempatnya Rau
Bagian 92 “Aduh, bagaimana ini?” Aku langsung panik. Tari lebih lagi. Dia langsung menggigil ketakutan. Wajahnya bersimbah air mata dengan mulut yang memanggil-manggil lirih nama Mama. “Ma .” “Jangan dikerubuti biar dapat pasokan oksigen yang cukup. Kita bawa ke kamarnya saja. Sini aku gendong beliau.” Mas Vadi langsung berinisiatif untuk mengangkat Mama menuju kamarnya. Aku yang sangat terkejut sebab mendapati Mama sampai jatuh pingsan, langsung merasa begitu bersalah. Semoga beliau tidak apa-apa, pikirku. “Risa, buatkan mamanya Rauf teh manis cepat.” Aku yang berjalan tergopoh-gopoh mengikuti Mas Vadi dan Mas Tama yang saling bantu
Bagian 93 “Aku … t-tidak h-ha-mil, Mas ….” Tari terbata-bata sekaligus tersedu saat mengatakan kalimat memilukan tersebut. Mata Mas Rauf kulihat semakin berkaca. Air matanya pun akhirnya sudah tak dapat lagi terbendung. Lelaki itu menangis. Namun, kulihat sudut di bibirnya melengkungkan senyuman. “Jadi, kamu hanya berbohong, Ri? Kamu tidak benar-benar hamil karena hanya menjebakku, begitu?” Pertanyaan Mas Rauf bernada sindiran. Lelaki itu mengangkat sebelah tangannya dengan lemah untuk menghapus air mata. Sementara tangan kanannya yang digenggam oleh Tari pelan-pelan dia tarik. “Tidak, Mas! Bukan begitu. Hasil test pack yang kugunakan memang positif, tetapi tidak ada janin di dalam rahimku. Dokter bilang … hanya ta
Bagian 94 “Maaf ya, Ma. Maafkan aku. Semoga Mama bisa kuat dan tabah dalam menghadapi segala cobaan yang sedang diberikan oleh Allah.” Aku mencoba untuk memberikan support kepada Mama. Mengulas senyum ke arahnya, kemudian bangkit dari lantai untuk mengemasi kotak-kotak makan yang telah tandas isinya. “Biar aku bantu beresin ya, Ma,” ujarku dengan nada yang lembut. Wanita tua itu pun langsung tampak berbinar matanya. Terlihat begitu senang dengan apa yang kulakukan. “Bu, Tari, kalian ke depan aja. Aku sebelum pulang mau bantu Mama beres-beres sebentar.” Kutatap ke arah Ibu dan Tari yang kini ikut bangkit dari duduk. Keduanya sama-sama mengangguk dan keluar dari kamar.&n
Bagian 95 “Saya terima nikahnya, Risa Sarasdewi binti Mono dengan maskawin gedung beserta isi dari Rumah Sakit Umum Saras Medika dan logam mulia 24 karat seberat 100 gram, tunai!” “Sah!” “Alhamdulillah Ya Allah!” Seruan keras dari Abah sontak membuat air mataku jatuh bersimbah membasahi pipi yang telah bersaput make up ini. Kedua tanganku yang telah berhias dengan henna berwarna putih langsung menengadah memanjatkan doa dengan kondisi tremor akibat terharu yang luar biasa. Aku menangis sesegukan. Duduk di samping pria yang mengenakan jas dan celana serba putih. Lelaki berkopiah putih dengan hiasan manik-manik kristal tersebut lantas menoleh ke arahku. Dia sempat-sempatnya menghapus air mata ini meskipun doa belum usai di
Bagian 1 “Iya, Ma. Kami selalu mendoakan untuk kebaikan Mas Rauf.” Seketika itu, Mama pun langsung memeluk erat tubuhku. Wanita itu menumpahkan air matanya di bahu ini. Tersedu-sedu seolah sedang menangisi nasib malang putra sulungnya. “Makasih, Ris. Makasih banyak untuk bantuannya selama ini. Berkat kamu juga, Mama bisa buka usaha lagi dan Indy bisa tetap sekola, meskipun kamu bukan istri Rauf lagi.” Pelukan kami pun saling terlepas. Aku melihat wajah Mama benar-benar basah dengan air mata. Wanita itu buru-buru mengusap sisa air matanya dengan ujung hijab yang ia kenakan. Aku sebenarnya jadi tak enak hati dengan suamiku. Ini adalah hari bahagia kami berdua. Bukan saatnya lagi untuk bermelo ria membahas tentang masa lalu, apalagi tentang kes
Bagian 2 Pagi-pagi sekali kami berdua bangun. Tepatnya sebeluma azan Subuh berkumandang. Aku yang membangunkan Mas Vadi. Ya, meskipun lelaki itu awalnya tampak keberatan untuk membuka mata. “Ayo kita mandi bersama, Sayang,” kataku membisikinya saat Mas Vadi hendak menarik selimut kembali. Entah mengapa, mata Mas Vadi langsung membelalak lebar. Dia buru-buru bangun dan menyibak bedcover tebal milik hotel. Lelaki tak berpakaian itu pun langsung mendaratkan kecupannya dan memeluk tubuhku erat-erat. “Kamu paling bisa membuatku semangat, Ris,” ucapnya mesra dengan sungging senyum yang merekah. Betapa kemalu-maluannya aku. Mas Vadi, tak kusangka dia begitu sangat agresif saat berduaan di ranjang begini. Hangat, romantis, dan penuh inisiatif.
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba