Bagian 88
PoV Lestari
Aku sungguh terkesiap mendengarkan ucapan Mas Tama. Jawaban yang sungguh membuat hatiku sangat bebesar. Sempat berkecil hati sebab memikirkan perasaan Mas Tama yang bisa saja terganggu sebab terus dijodoh-jodohkan denganku, ternyata jawaban yang dilontarkannya malah membuatku begitu terperangah.
“Ssst, jangan bilang seperti itu, Ri. Semua orang punya masa lalu. Tentang omongan Mama … ya, bagiku tidak masalah. Kita tidak tahu garis takdir, Ri.” Begitu katanya. Membuatku tak jadi berkecil hati atau rendah diri. Bagaikan tetes air yang menyirami kuntum layu, ucapan Mas Tama benar-benar berlaku sebagai booster untuk krisis kepercayaan diri yang kualami.
“M-maaf, Mas ….” Namun, hanya itu yang bisa kukata
Bagian 89 “Tidak hamil, katamu?” tanyaku dengan nada yang mulai meninggi. Bahkan mulutku masih menganga sambil menatapnya tak percaya. Mata wanita itu tampak berkaca. Wajahnya yang kulihat tambah glowing ketimbang saat kami berjumpa di depan minimarket, kini basah dengan air mata. Dia menggeleng lemah. Terisak dengan suara lirih. “T-tidak … tanda kehamilan palsu, Mbak. Dua hari setelah kecelakaan Mas Rauf, aku … langsung haid.” Bagaikan tersambar petir, pernyataan dari perempuan itu benar-benar membuatku hampir saja ambruk. Dia bahkan setelah itu mendapatkan haid. Sungguh hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.&n
Bagian 90 “Maaf, Bu, sebelumnya. Maaf juga Tari. Sepertinya semua harus kita clear-kan dulu.” Aku mencoba untuk mulai membuka semua rahasia ini di hadapan orangtuaku. Bukan bermaksud membuka aib, menyibak luka lama, atau membuat Ibu ikut membenci Tari. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang memang harus diluruskan. Wajah Ibu mulai tampak resah. Sebelum mulai bercerita, aku berdehem sembari menoleh ke arah Tari yang terlihat pias. Aku harus tenang. Semoga Ibu bisa menerima ceritaku ini, tanpa timbul sakit hatinya. “Tari adalah orang ketiga penyebab perceraian aku dan Mas Rauf, Bu. Namun, Ibu tak perlu marah. Tak perlu sakit hati juga. Aku malah berterima kasih kepada Tari. Sebab kehadirannyalah, akhirnya aku berpisah dengan lelaki itu dan kini akan
Bagian 91 Seusai semuanya melaksanakan salat, kami semua turun ke bawah. Pacar Tari masih mengenakan seragamnya. Dia bilang, selepas dari bertemu Mas Rauf, pria tersebut akan langsung berangkat piket kembali. Ada satu hal yang menarik di sini. Saat Mas Vadi dan Tama saling berkenalan, keduanya tampak santai saja. Biasa. Seperti orang baru dan langsung menjadi akrab. “Salam kenal. Vadi.” Bagitu Mas Vadi memperkenalkan dirinya kepada Tama saat mereka berdua berjumpa di halaman parkir ruko. “Salam kenal juga. Saya Tama.” Tama terlihat tersenyum sangat ramah. Pria itu sempat mengguncang jabatan Mas Vadi dengan ayunan yang mantap. “Baik, kita langsung ke tempatnya Rau
Bagian 92 “Aduh, bagaimana ini?” Aku langsung panik. Tari lebih lagi. Dia langsung menggigil ketakutan. Wajahnya bersimbah air mata dengan mulut yang memanggil-manggil lirih nama Mama. “Ma .” “Jangan dikerubuti biar dapat pasokan oksigen yang cukup. Kita bawa ke kamarnya saja. Sini aku gendong beliau.” Mas Vadi langsung berinisiatif untuk mengangkat Mama menuju kamarnya. Aku yang sangat terkejut sebab mendapati Mama sampai jatuh pingsan, langsung merasa begitu bersalah. Semoga beliau tidak apa-apa, pikirku. “Risa, buatkan mamanya Rauf teh manis cepat.” Aku yang berjalan tergopoh-gopoh mengikuti Mas Vadi dan Mas Tama yang saling bantu
Bagian 93 “Aku … t-tidak h-ha-mil, Mas ….” Tari terbata-bata sekaligus tersedu saat mengatakan kalimat memilukan tersebut. Mata Mas Rauf kulihat semakin berkaca. Air matanya pun akhirnya sudah tak dapat lagi terbendung. Lelaki itu menangis. Namun, kulihat sudut di bibirnya melengkungkan senyuman. “Jadi, kamu hanya berbohong, Ri? Kamu tidak benar-benar hamil karena hanya menjebakku, begitu?” Pertanyaan Mas Rauf bernada sindiran. Lelaki itu mengangkat sebelah tangannya dengan lemah untuk menghapus air mata. Sementara tangan kanannya yang digenggam oleh Tari pelan-pelan dia tarik. “Tidak, Mas! Bukan begitu. Hasil test pack yang kugunakan memang positif, tetapi tidak ada janin di dalam rahimku. Dokter bilang … hanya ta
Bagian 94 “Maaf ya, Ma. Maafkan aku. Semoga Mama bisa kuat dan tabah dalam menghadapi segala cobaan yang sedang diberikan oleh Allah.” Aku mencoba untuk memberikan support kepada Mama. Mengulas senyum ke arahnya, kemudian bangkit dari lantai untuk mengemasi kotak-kotak makan yang telah tandas isinya. “Biar aku bantu beresin ya, Ma,” ujarku dengan nada yang lembut. Wanita tua itu pun langsung tampak berbinar matanya. Terlihat begitu senang dengan apa yang kulakukan. “Bu, Tari, kalian ke depan aja. Aku sebelum pulang mau bantu Mama beres-beres sebentar.” Kutatap ke arah Ibu dan Tari yang kini ikut bangkit dari duduk. Keduanya sama-sama mengangguk dan keluar dari kamar.&n
Bagian 95 “Saya terima nikahnya, Risa Sarasdewi binti Mono dengan maskawin gedung beserta isi dari Rumah Sakit Umum Saras Medika dan logam mulia 24 karat seberat 100 gram, tunai!” “Sah!” “Alhamdulillah Ya Allah!” Seruan keras dari Abah sontak membuat air mataku jatuh bersimbah membasahi pipi yang telah bersaput make up ini. Kedua tanganku yang telah berhias dengan henna berwarna putih langsung menengadah memanjatkan doa dengan kondisi tremor akibat terharu yang luar biasa. Aku menangis sesegukan. Duduk di samping pria yang mengenakan jas dan celana serba putih. Lelaki berkopiah putih dengan hiasan manik-manik kristal tersebut lantas menoleh ke arahku. Dia sempat-sempatnya menghapus air mata ini meskipun doa belum usai di
Bagian 1 “Iya, Ma. Kami selalu mendoakan untuk kebaikan Mas Rauf.” Seketika itu, Mama pun langsung memeluk erat tubuhku. Wanita itu menumpahkan air matanya di bahu ini. Tersedu-sedu seolah sedang menangisi nasib malang putra sulungnya. “Makasih, Ris. Makasih banyak untuk bantuannya selama ini. Berkat kamu juga, Mama bisa buka usaha lagi dan Indy bisa tetap sekola, meskipun kamu bukan istri Rauf lagi.” Pelukan kami pun saling terlepas. Aku melihat wajah Mama benar-benar basah dengan air mata. Wanita itu buru-buru mengusap sisa air matanya dengan ujung hijab yang ia kenakan. Aku sebenarnya jadi tak enak hati dengan suamiku. Ini adalah hari bahagia kami berdua. Bukan saatnya lagi untuk bermelo ria membahas tentang masa lalu, apalagi tentang kes