Bagian 36
PoV Mama
“Kami mencari saudara Rauf. Apakah dia ada di rumah?”
“Kami membawa surat penangkapan untuknya. Ada kasus yang dia harus selesaikan di kantor polisi.”
Kalimat-kalimat itu masih terngiang di telinga. Kepala mau pecah. Lebih-lebih jantungku. Kalau bisa melompat, dia pasti sudah melompat.
Aku yang sejam lalu tiba-tiba merasa antara hidup dan mati akibat terkejut, kini masih merasa sesak napas yang sama. Aku sudah tua. Beberapa tahun lagi bakal kepala enam. Berita begini tentu membuat hidupku seketika tak tenang. Rauf, anakku yang paling tampan sejagat Jalan Rambutan ini. Rasanya tak mungkin dia sampai berurusan dengan hukum.
Bagian 37PoV Vadi Senyumnya. Beliak matanya. Perempuan bernama Risa Sarasdewi, jelas-jelas sudah berhasil mencuri hatiku. Sempurna tanpa meninggalkan sisa. Aku jadi takut. Bisakah aku hidup dengan hati yang dia bawa pergi, tanpa kutahu apakah perasaan ini akan berbalas atau tidak. “Udah, ah! Aku kenyang.” Risa menutup mulutnya rapat dengan tangan. Menolak suapan berikutnya yang hendak mendarat. Aku kecewa. Padahal masih ingin lebih lama lagi menatapnya saat sendok masuk ke mulutnya. “Oke.” Sendok sudah kuletakkan. Kali pertama aku menyuapi seorang wanita setelah sekian lama tak melakukannya. Terakhir sekitar empat tahun yang lalu saat aku masih merenda angan bersama Nadya.
Bagian 38PoV Risa Tangisanku semakin tergugu. Rasanya aku benar-benar sedih luar biasa. Mengetahui bahwa dr. Vadi berasal dari kota di mana Ibu kini hidup Bahagia Bersama suami barunya, membuatku entah mengapa sesentimental ini. Memang taka da hubungannya. Namun, aku jadi teringat akan Ibu. Bagaimana kalua aku kelak bias menemukannya kembali di sana? Apa yang akan terjadi ketika kami bersitatap lagi setelah sekian tahun kami dibuang olehnya? Hap! Tubuhku kemudian dipeluk erat oleh dr. Vadi. Bagaimana aku tak makin menangis apabila diperlakukan begini? Kupeluk kembali tubuhnya. Menumpahkan deras air mata di atas dada bidang lelaki itu. Air mataku telah membasahi kemejanya, tetapi lelaki itu semakin mendekap. Seperti aku tak bakal lagi dia lepaskan. “Ke
Bagian 39PoV Risa Aku tetap diam. Ogah menjawab. Beranjak pun aku tak ingin. Biar dia tahu, bahwa bukan cuma dia yang bias ngambek atau keberatan. “Kamu mau tidur di sini?” Pertanyaan dari dr. Vadi sungguh membuatku jengkel. “Kenapa?” tanyaku dengan nada kesal. Kutatap wajahnya. Tanpa sadar bibirku mengerucut. Pria yang tampak lelah itu mengurungkan niatnya untuk turun. Pintu yang telah terbuka sedikit celahnya, kembali dia tutup. Wajah dr. Vadi kini menatapku. Aku tak menoleh. Memandang lurus saja ke depan sambal melipat tangan di depan dada. “Aku suka padamu. Sudah dengar?”
Bagian 40PoV Risa “Buka pintumu, aku di depan.” Deg! Aku luar biasa terperanjat. Secepat itu dia berada di depan sana? Oh, dr. Vadi, kamu sekarang memang bagaikan jailangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Bagai hantu yang kehadirannya tiba-tiba dan membuatku terkejut luar biasa. “I-iya,” jawabku dengan tergagap. Kuusap air mata. Beranjak dari tempat tidur dengan posisi ponsel yang masih menempel di telinga. Sebelum membuka pintu, kutenangkan diri sesaat dengan mengambil napas panjang. Huft, semoga dia tak marah karena melihatku belum mandi dan berganti pakaian begini. “Kamu bahkan belum ganti pakaian?” Lelaki yang baru saja menurunkan po
Bagian 41PoV dr. Vadi Tangisan Risa yang bertubi-tubi dari siang hingga malam ini, tentu membuat hatiku ikut gerimis. Dusta bila aku hanya cuek. Memang mata ini tak ikut menitik, tetapi jiwa? Sungguh aku sesak dibuatnya. Gemetar bibirnya yang jujur bercerita, membuat hatiku menangis dalam sunyi sejadi-jadinya. Tanganku bahkan tremor saat menyentuh pundak dan puncak kepalanya. Risa bagiku bukan hanya sekadar partner bekerja. Sejak dia kubawa tinggal di kost Anugrah, entah bagaimana separuh jiwa adalah dia. Berlebihan? Tidak. Aku rasa sama sekali tidak. Terlalu cepat jatuh cinta? Aku akan tegas menjawab, no! Hati yang menyeleksi. Raga mengamini. Lantas, aku bisa apa? Waktu yang membuatku rela bertaruh, bahwa perasaan ini sama sekali bukan hanya sesaa
Bagian 42PoV dr. Vadi Meski lama, Risa berhasil juga menghabiskan seluruh isi piring dan gelasnya. Aku memang sudah tak sabar lagi untuk mengusaikan semua. Malam ini harus kelar, begitu pikirku. Apa pun yang terjadi, Risa harus lekas kembali ceria. Tak boleh lagi ada saputan awan mendung di mata beningnya. “Ayo,” kataku pada Risa setelah membayar bon makan kami. Risa gelagapan. Matanya bagai penuh tanya. “K-kita …?” “Kita ke rumah suamimu. Sekarang.” Aku menggandeng tangannya. Menyebrangi jalan dan membukakan pintu mobil untuk perempuan tersebut. Aku duduk di kursi kemu
Bagian 43PoV dr. Vadi Rasa puas menyeruak. Membuncah dalam dada. Aku tenang, aku senang. Risa juga harus merasakan yang sama. Tak boleh ada tangisan lagi di wajah manisnya. Kami berdua bergegas masuk ke mobil. Aku sedikit mengempaskan pintu saat menutupnya. Melampiaskan rasa dendam yang masih membara. Andai saja aku tak sabaran, mungkin sudah kutinju geligi milik lelaki sok jagoan itu. “Mas … yang tadi,” kata Risa sembari mencengkeram lengan kausku. “Kenapa lagi?” tanyaku sembari menghidupkan mesin. “Terlalu banyak,” lanjutnya lagi.
Bagian 44PoV dr. Vadi Malam ini adalah malam paling panjang sekaligus membahagiakan untukku. Bertahun-tahun hidup tanpa sentuhan cinta, sebagai lelaki aku terus menua dengan rasa cuek yang terlampau. Namun, malam ini Risa mengubah segalanya. Kebekuan yang membuat sikapku dingin, perlahan dapat mencair. Pintu yang semula tertutup, kini terbuka lebar hanya untuk menyambut kehadirannya. Usai mengantar perempuan berpenampilan kasual itu tepat di depan pintu kamarnya, aku langsung bergegas naik ke lantai dua. Masuk kamar, menguncinya rapat. Kali ini, tak bakal ada lagi kesempatan buat Fino masuk untuk sekadar basa basi busuk. Apalagi kalau membahas tentang Ela. Sembari duduk di kursi meja kerjaku, aku langsung menyalakan ponsel dan bermaksud untuk menghubungi se