Bagian 43
PoV dr. Vadi
Rasa puas menyeruak. Membuncah dalam dada. Aku tenang, aku senang. Risa juga harus merasakan yang sama. Tak boleh ada tangisan lagi di wajah manisnya.
Kami berdua bergegas masuk ke mobil. Aku sedikit mengempaskan pintu saat menutupnya. Melampiaskan rasa dendam yang masih membara. Andai saja aku tak sabaran, mungkin sudah kutinju geligi milik lelaki sok jagoan itu.
“Mas … yang tadi,” kata Risa sembari mencengkeram lengan kausku.
“Kenapa lagi?” tanyaku sembari menghidupkan mesin.
“Terlalu banyak,” lanjutnya lagi.
Bagian 44PoV dr. Vadi Malam ini adalah malam paling panjang sekaligus membahagiakan untukku. Bertahun-tahun hidup tanpa sentuhan cinta, sebagai lelaki aku terus menua dengan rasa cuek yang terlampau. Namun, malam ini Risa mengubah segalanya. Kebekuan yang membuat sikapku dingin, perlahan dapat mencair. Pintu yang semula tertutup, kini terbuka lebar hanya untuk menyambut kehadirannya. Usai mengantar perempuan berpenampilan kasual itu tepat di depan pintu kamarnya, aku langsung bergegas naik ke lantai dua. Masuk kamar, menguncinya rapat. Kali ini, tak bakal ada lagi kesempatan buat Fino masuk untuk sekadar basa basi busuk. Apalagi kalau membahas tentang Ela. Sembari duduk di kursi meja kerjaku, aku langsung menyalakan ponsel dan bermaksud untuk menghubungi se
Bagian 45PoV dr. Vadi “Pagi,” sapaku pada Risa. Perempuan itu tampak cerah ceria. Dia mengenakan sapuan blush on di kedua pipi putihnya. Make up-nya tak begitu tebal. Sangat pas dengan wajah cantiknya. “Pagi juga, Mas,” jawab perempuan bercelana denim yang sama dengan tadi malam. Kemejanya sama yang dipakai saat kami ke mal tempo lalu. Sebuah kemeja panjang kotak-kotak berwarna marun. Ah, astaga. Aku sampai lupa untuk mengajaknya berbelanja pakaian tadi malam. Kasihan dia. Pakaiannya cuma itu-itu saja. “Kenapa lihatin aku sampe bengong begitu?” Risa salah tingkah. Perempuan itu membenarkan letak rambutnya ke belakang telinga. “Ng
Bagian 46PoV Risa Aku merasa sangat-sangat kaget saat pagi ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dr. Vadi menyewakan dua orang pengacara hanya untuk mengurus perceraianku. Ya Tuhan, kebaikan lelaki itu, kurasa aku tak bakal sanggup untuk membalasnya satu per satu. Mas Deny dan Mas Robyn sangat membantuku hari ini. Mereka yang memperkenalkan kepada pihak pengadilan agama. Membantu untuk proses pendaftaran serta menjelaskan tahapan apa saja yang bakal kulalui berikutnya. Urusan sangat gampang dan relatif sebentar hari ini. Tahu-tahu, pihak pengadilan mengatakan bahwa pendaftaran perceraian yang kuajukan akan segera diproses. Mas Rauf sebagai pihat tergugat akan mendapatkan surat panggilan untuk tahap mediasi bersama hakim nanti. Aku rasa-rasanya ingin men
Bagian 47PoV Rauf 250 juta? Apa? 250 juta? Kupingku langsung berdiri. Mataku setengah membelalak. Mana pernah aku memegang uang sebanyak itu dalam satu waktu dan lelaki itu dengan santainya melemparkan kartu warna emas tak jauh dariku. Saat Risa dan si dokter songong tersebut pergi, aku langsung ambir gerak 1000. Kuraih kartu ATM tersebut dan menyimpannya ke dalam saku celana. Gila! Aku kaya mendadak. Apa dokter itu sinting? Bisa-bisanya dia memberikanku uang segitu banyaknya hanya untuk menebus si Risa. Hahaha gila! Sangat edan luar biasa! Ini sudah seperti mimpi indah di tengah siang bolong. Kutoleh kiri dan kanan. Tak ada yang melihat. Mama, Indy, dan Lestari sepertinya sedang berkumpul di kamar Mama atau di ruang tengah. Syukurlah. Jadi, tak ada yang ta
Bagian 48PoV dr. Vadi Seharian tanpa kehadiran Risa, membuat aku benar-benar hampa. Kosong. Seperti gelas tak ada isi. Tak berguna. Serasa tak dibutuhkan. Sedang Vianti, duduk mendampingiku, membantu menganamnesa pasien yang silih berganti keluar masuk ruangan. Pukul 13.00 tugasku selesai. Hari ini pasien tak begitu ramai. Aku merasa lega sebab tak harus berlama-lama di sini. “Dok, mau pulang, ya?” tanya Vianti sembari bangkit dari kursi milik Risa. “Ya.” Aku merasa tak perlu panjang lebar menjawab pertanyaannya. Sudah tahu tidak ada kerjaan lagi. Ya, pasti aku pulang. “Dok, saya ng
Bagian 49PoV Risa Siang yang indah, pikirku. Setiap ucapan dr. Vadi semakin ke sini, semakin berbeda di telinga. Seakan penuh mantra cinta yang membuatku tak henti berbunga. Bahkan dia sudah berani untuk mengajak ke kampung halamannya segala. Sungguh, tak dapat kutebak betapa indah jalah hidup yang ternyata bakal kutempuh. Obrolan di mobil antara kami berdua terus berlangsung, hingga tanpa terasa kami sudah tiba di halam parkir resto tempat pertama kali kami makan berdua sejak aku kabur dari rumah Mas Rauf. Resto Sambisari, seperti biasa selalu akan dipadati oleh para pengunjung yang berniat untuk mengisi kampung tengah. Apalagi siang-siang begini. Aku jadi pesimis, apakah masih ada tempat yang tersisa di sana saat parkiran saja penuh luar biasa. Ketika kel
Bagian 50PoV Risa “Risa?” Perempuan 40 tahunan dengan wajah yang semakin tampak awet muda, putih, dan berkulit kencang itu menatap dengan mata yang membelalak. Wajahnya langsung pias. Mendengar dia menyebut namaku, aku semakin yakin bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk belaka. “I-ibu ….” Bibirku bergetar. Air mataku tanpa sadar luruh membasahi pipi. Ada gejolak kemarahan yang tiba-tiba termantik dari dalam hatiku. “Lho, kalian saling kenal?” Pertanyaan Abah diiringi dengan tatapan heran ke arah wanita di sampingnya yang tak lain adalah sosok ibu kandungku yang beberapa tahun lalu kabur meninggalkan kami dalam kondisi terpuruk. “Ris,&rdqu
Bagian 51PoV Lestari Pagi-pagi sekali, Mas Rauf sudah mengantarku ke kontrakan untuk mengambil barang-barang. Hari ini kami sepakat untuk pulang ke kampungku yang jaraknya sangat lumayan itu. Kata Mas Rauf, dia sanggupnya kalau kami naik motor saja. Padahal, aku tahu bahwa dia semalam baru saja menerima uang sebanyak ratusan juta dari pacar istrinya. Namun, aku bisa apa? Sekadar uang pengangan untuk pulang kampung naik bis, aku tak ada. Beberapa hari yang lalu uangku sudah ditransfer ke kampung untuk biaya makan sehari-hari orangtua. “Aku tunggu di luar,” kata Mas Rauf dengan wajah yang masam. Lelaki itu masih bertahan di atas motornya. Segera aku masuk ke rumah. Siti dan Rizka yang sedang sarapan di ruang tamu, syok mendapati kedatanganku.
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba