Bagian 51
PoV Lestari
Pagi-pagi sekali, Mas Rauf sudah mengantarku ke kontrakan untuk mengambil barang-barang. Hari ini kami sepakat untuk pulang ke kampungku yang jaraknya sangat lumayan itu. Kata Mas Rauf, dia sanggupnya kalau kami naik motor saja. Padahal, aku tahu bahwa dia semalam baru saja menerima uang sebanyak ratusan juta dari pacar istrinya. Namun, aku bisa apa? Sekadar uang pengangan untuk pulang kampung naik bis, aku tak ada. Beberapa hari yang lalu uangku sudah ditransfer ke kampung untuk biaya makan sehari-hari orangtua.
“Aku tunggu di luar,” kata Mas Rauf dengan wajah yang masam. Lelaki itu masih bertahan di atas motornya.
Segera aku masuk ke rumah. Siti dan Rizka yang sedang sarapan di ruang tamu, syok mendapati kedatanganku.
Bagian 52PoV Lestari “Lama banget kamu ke WC!” Mas Rauf membentakku saat aku kembali ke meja. Aku mencoba untuk tenang. Hanya membalasnya dengan senyuman kecil dan duduk untuk menghadap sarapan yang tak membuat selera. “Habiskan cepat! Perjalanan kita masih panjang.” Mas Rauf melahap hidangannya dengan penuh semangat. Sementara aku? Hanya dapat menahan air mata yang kembali mau menetes. Kusuap nasi dan lauk tempe tersebut. Meski rasanya pilu, aku tetap memakan sedikit demi sedikit agar perut kosongku terisi penuh. Bukan apa-apa, perjalanan ke kampung masih sekitar tiga jam lagi. Itu pun kalau jalanan tak macet. Mana harus melewati deretan hutan jati, menaiki daerah perbukitan, dan jalanan rusak berbatu sepanjang sepuluh kilometer seb
Bagian 53PoV Lestari “Lho, kenapa pacarmu nggak disuruh mampir dulu, Ri?” Mamak tampak masih bingung. Wajahnya penuh heran sambil menoleh ke arah jalan sana saat aku memaksa untuk menutup pintu. “Dia kan sudah capek-capek nganterin dari kota ke sini, Nak? Kasihan Nak Rauf. Dia capek sekali pasti.” Nada Mamak dipenuhi dengan kekhawatiran. Sementara aku masih memasang wajah tak peduli, sembari menarik tangannya dan membimbing Mamak untuk duduk di kursi rotan. Kami saling berhadap-hadapan. “Mak, Tari ingin cerita. Namun, Mamak janji, ya, tidak bakal terkejut mendengarkannya.” Aku meraih tangan Mamak. Meremasnya sesaat dan mencium tangan kurus keriput tersebut. Bukannya tenang, Mamak malah memasang wajah tegang. Air mukanya p
Bagian 54 Aku benar-benar syok saat Lestari menyuruh untuk pulang, padahal masuk saja belum ke rumah reotnya. Penuh tanda tanya, apa yang diinginkan perempuan miskin tersebut? Bukankah dia ingin aku menikahinya? Dasar jal*ng! perempuan tak jelas. Namun, sedikit banyak aku lega dan bersyukur bahwa tak harus repot-repot untuk menikahinya. Kepalaku sudah sangat pening seharian ini sebab memikirkan nasib masa depan yang bakal kuarungi bersama Lestari. Apalagi saat melihat kondisi rumahnya yang memprihatinkan dan rupa dari ibu kandungnya tadi. Ternyata, semiskin-miskinnya Risa, lebih miskin dan mengenaskan si Lestari. Aku sempat bergidik tadi. Bagaimana bisa aku menginap di rumah sejelek itu. Sudah pasti debu di dalam sana menumpuk dan bau apek. Cepat kupacu sepeda moto
Bagian 55PoV Mama Memandang Rauf yang terbaring lemah selama enam belas hari di pesakitan, membuat hatiku sebagai seorang ibu hancur berantakan. Penyesalanku tak ada hentinya saat membiarkan Rauf berpamitan untuk mengantar Lestari ke kampungnya hanya demi menikah secara siri. Perempuan itu jelas-jelas pembawa sial dalam kehidupan kami. Aku benar-benar tak bakal memaafkannya sampai kapan pun. Patah tulang betis, rahang, dan luka-luka di sekujur tubuh serta cidera pada bagian kepala, membuat Rauf memiliki harapan hidup 50:50. Aku tak tahu betapa kiamatnya dunia ini saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani anak sulungku. Hidup bagai tiada artinya, sementara aku hanya seorang janda yang tak memiliki kekuatan apa pun selain Rauf dan Indy. Seminggu pert
Bagian 56 Usai makan siang bersama, aku dan dr. Vadi kemudian melanjutkan perjalanan ke pusat perbelanjaan. Lelaki itu bilang mau membelikanku beberapa potong pakaian. Sebenarnya aku tidak enak dengan ide dari dr. Vadi. Dia sudah terlalu banyak keluar uang hanya untuk kebutuhanku. Padahal, siapalah aku? Hanya karena kami saling suka? Sedang aku tidak pernah memberikan apa pun padanya selain kerepotan. “Mas, nggak usah, ah. Aku banyak ngerepotin kamu,” kataku saat mobilnya terus melaju. “Suka-suka aku,” jawabnya ketus. Padahal dia tadi baru saja menangis memintaku untuk tetap tinggal bersamanya. Bisa-bisanya dr. Vadi sekarang malah dingin lagi. Huh, dasar! “Nanti
Bagian 57 Gerakanku santai. Bagai tak sedang terjadi apa pun di dunia ini. Mas Rauf mau kecelakaan atau tidak, itu sama sekali bukan menjadi tanggung jawabku lagi. Lagi pula, mengapa Mama repot-repot meneleponku segala? Bukankah sudah ada perempuan selingkuhan anaknya di rumah mereka? Perempuan itu sudah menjadi bagian dari mereka, kan? Ngapain harus memberi tahuku segala, sih? Selesai mencoba dua buah celana denim di kamar pas, aku segera keluar dan membawanya ke pramuniaga tadi. “Cocok, Kak,” kataku sambil menyodorkan dua buah celana tersebut. “Baik. Saya bawa ke kasir, ya.” Aku pun berjalan me
Bagian 58PoV Ibu “Irma, siapa perempuan tadi?” Mata Abah Haji membelalak galak kepadaku. Lelaki tua itu seperti terkejut sekaligus marah. “A-anu, Bah,” kataku terbata-bata. Dadaku kencang berdegup. Matilah aku. Matilah! Suamiku bakal tahu segala rahasia yang kusimpan rapat selama ini. “Katakan cepat, Irma! Jangan bikin aku penasaran.” Si tua itu mengguncang-guncang lenganku. Aku sampai memejamkan mata rapat-rapat sebab ketakutan. Risa, mengapa kamu tiba-tiba muncul di depan kami berdua? Apa kamu punya rencana untuk menjebak ibumu sendiri? Tahu dari mana dia tentang Abah dan anaknya si Vadi? “D-dia … anakku, Bah.” Kutarik napas dal
Bagian 59PoV Risa “Iya, Ma. Aku sudah memaafkan Mas Rauf,” ucapku pelan sembari mengusap punggung Mama. Hari ini perempuan paruh baya tersebut mengenakan jilbab rapi berwarna abu-abu. Tampilannya anggun dengan gamis warna senada, meski dalam kondisi yang serba darurat. Sempat berdandan juga, pikirku. Ah, Risa. Mengapa kamu malah mengomentari hal yang sama sekali tak penting. Mama lalu melepaskan pelukku. Dia kembali duduk di samping kiri Indy. Sementara aku pun ikut duduk juga di samping kanan gadis remaja yang sedang menangis sedih tersebut. Dr. Vadi yang berjalan bagai siput, kini telah tiba dan duduk di sampingku. Jadi, bangku gandeng yang terbuat dari besi ini penuh buat kami berempat.&
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba