Bagian 56
Usai makan siang bersama, aku dan dr. Vadi kemudian melanjutkan perjalanan ke pusat perbelanjaan. Lelaki itu bilang mau membelikanku beberapa potong pakaian. Sebenarnya aku tidak enak dengan ide dari dr. Vadi. Dia sudah terlalu banyak keluar uang hanya untuk kebutuhanku. Padahal, siapalah aku? Hanya karena kami saling suka? Sedang aku tidak pernah memberikan apa pun padanya selain kerepotan.
“Mas, nggak usah, ah. Aku banyak ngerepotin kamu,” kataku saat mobilnya terus melaju.
“Suka-suka aku,” jawabnya ketus. Padahal dia tadi baru saja menangis memintaku untuk tetap tinggal bersamanya. Bisa-bisanya dr. Vadi sekarang malah dingin lagi. Huh, dasar!
“Nanti
Bagian 57 Gerakanku santai. Bagai tak sedang terjadi apa pun di dunia ini. Mas Rauf mau kecelakaan atau tidak, itu sama sekali bukan menjadi tanggung jawabku lagi. Lagi pula, mengapa Mama repot-repot meneleponku segala? Bukankah sudah ada perempuan selingkuhan anaknya di rumah mereka? Perempuan itu sudah menjadi bagian dari mereka, kan? Ngapain harus memberi tahuku segala, sih? Selesai mencoba dua buah celana denim di kamar pas, aku segera keluar dan membawanya ke pramuniaga tadi. “Cocok, Kak,” kataku sambil menyodorkan dua buah celana tersebut. “Baik. Saya bawa ke kasir, ya.” Aku pun berjalan me
Bagian 58PoV Ibu “Irma, siapa perempuan tadi?” Mata Abah Haji membelalak galak kepadaku. Lelaki tua itu seperti terkejut sekaligus marah. “A-anu, Bah,” kataku terbata-bata. Dadaku kencang berdegup. Matilah aku. Matilah! Suamiku bakal tahu segala rahasia yang kusimpan rapat selama ini. “Katakan cepat, Irma! Jangan bikin aku penasaran.” Si tua itu mengguncang-guncang lenganku. Aku sampai memejamkan mata rapat-rapat sebab ketakutan. Risa, mengapa kamu tiba-tiba muncul di depan kami berdua? Apa kamu punya rencana untuk menjebak ibumu sendiri? Tahu dari mana dia tentang Abah dan anaknya si Vadi? “D-dia … anakku, Bah.” Kutarik napas dal
Bagian 59PoV Risa “Iya, Ma. Aku sudah memaafkan Mas Rauf,” ucapku pelan sembari mengusap punggung Mama. Hari ini perempuan paruh baya tersebut mengenakan jilbab rapi berwarna abu-abu. Tampilannya anggun dengan gamis warna senada, meski dalam kondisi yang serba darurat. Sempat berdandan juga, pikirku. Ah, Risa. Mengapa kamu malah mengomentari hal yang sama sekali tak penting. Mama lalu melepaskan pelukku. Dia kembali duduk di samping kiri Indy. Sementara aku pun ikut duduk juga di samping kanan gadis remaja yang sedang menangis sedih tersebut. Dr. Vadi yang berjalan bagai siput, kini telah tiba dan duduk di sampingku. Jadi, bangku gandeng yang terbuat dari besi ini penuh buat kami berempat.&
Bagian 60 “Iya, Bu.” Hanya dua kata itu saja yang mampu kuberikan pada Ibu. Aku masih melayang-layang di udara rasanya. Antara sadar dengan tidak. Bertemu dengan Ibu, sanggupkah aku? “Baik-baik di sana, ya. Masalah dengan Rauf, apakah kamu sudah bercerai darinya, Ris?” Pertanyaan Ibu sungguh membuat hatiku sedikit marah. Mengapa dia jadi peduli dengan hidupku setelah empat tahun belakangan ini kami bagai dua kutub yang jauh berpisah? “Ya. Masih tahap proses.” Terpaksa aku sedikit terbuka padanya. Biar tak disangka berselingkuh saat statusku masih menjadi istri orang. “Dia selingkuh dan menghamili wanita lain. Saat ini sedang koma sebab kecelakaan. Jangan pernah berpikir kalau aku berselingkuh dengan Mas Vadi, ya. Aku tidak
Bagian 61 Sengaja tak kubalas pesan dari Ibu. Segera aku memejamkan mata sembari berusaha untuk tidak memikirkan apa yang bakal terjadi esok. Jujur saja, aku tak siap dengan semua. Segala apa yang terjadi dalam beberapa hari ini, sungguh di luar dugaanku. Tak bakal kusangka bila ujung perselingkuhan Mas Rauf, bisa berdampak hingga sebesar ini. Takdir seolah mulai menunjukkan titik terang dari misteri yang lama belum terungkap. Ya, akhirnya aku tahu juga siapa dan seperti apa pertemuan Ibu dengan suami keduanya. Napasku rasanya tercekat. Bila kuingat-ingat lagi tiap episode yang telah terjadi, betapa hidupku terasa sangat ajaib. Betapa tidak, tiba-tiba saja aku begitu dekat dan jatuh hati pada bos sendiri. Padahal, dulu kami hanya biasa saja. Seperti partner kerja p
Bagian 62 Hari Jumat jam pelayanan poli hanya sampai pukul 11.00 siang. Jumlah pasien pun dibatasi. Hari ini totak hanya ada 18 pasien yang periksa. Pekerjaan pun beres dengan sekejap mata tanpa drama pegal-pegal akibat menulis status dan menensi pasien. Aku dan dr. Vadi keluar ruangan poli tepat jam 11.05. Lelaki itu hari ini tak banyak berbicara. Irit kata, begitu kesimpulanku. Mungkin sebab grogi mau berjumpa Abah dan Ibu? Entahlah. Aku tak bisa menebak. “Makan siang, yuk,” katanya saat di parkiran. “Kamu kan harus salat Jumat,” jawabku tenang sembari mengikuti langkahnya menuju mobil sedan yang dia parkirkan di ujung.&nbs
Bagian 63 “Ris, aku sudah selesai.” Pria yang rambutnya disisir ke arah belakang dan tampak lembab bekas air wudu tersebut duduk di kursi kemudinya. “Iya. Aku salat dulu,” jawabku sembari menegakkan jok dan menarik napas dalam sebelum keluar mobil. “Tunggu,” cegahnya dengan wajah yang tampak mengamati. “Ada sesuatu?” Tuh, kan. Dr. Vadi lama-lama memang mirip sekali dukun atau anak indigo. Bisa-bisanya dia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. “Tadi Ibu kirim pesan. Katanya udah mau berangkat. Abah minta jemput sama kamu, Mas. Nggak mau naik taksi.” Wajah dr
Bagian 64 “Ayo, Ris. Kita tunggu di pintu kedatangan.” Pria itu bangkit dari duduknya. Aku yang masih mengenakan seragam putih-putih lengkap tanpa sebuah cardigan atau jaket yang menutupi, ikut berdiri dan mensejajarkan langkah di sampingnya. Dr. Vadi membayar beberapa ratus ribu rupiah untuk pesanan kami barusan. Wajahnya terlihat gamang. Aku tahu bukan karena uang yang berkurang dari dompet, tapi tibanya Abahlah yang membikin dia bisa seperti itu. Kugenggam tangan dr. Vadi saat kami berjalan beriringan. Lelaki itu meremas genggamanku, seolah ingin memberi tahu bahwa dia sedang tak baik-baik saja saat ini. “Mas, kamu harus tersenyum,” kataku padanya dengan suara yang