Share

59

Author: Meisya Jasmine
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bagian 59

PoV Risa

            “Iya, Ma. Aku sudah memaafkan Mas Rauf,” ucapku pelan sembari mengusap punggung Mama. Hari ini perempuan paruh baya tersebut mengenakan jilbab rapi berwarna abu-abu. Tampilannya anggun dengan gamis warna senada, meski dalam kondisi yang serba darurat. Sempat berdandan juga, pikirku. Ah, Risa. Mengapa kamu malah mengomentari hal yang sama sekali tak penting.

            Mama lalu melepaskan pelukku. Dia kembali duduk di samping kiri Indy. Sementara aku pun ikut duduk juga di samping kanan gadis remaja yang sedang menangis sedih tersebut.

            Dr. Vadi yang berjalan bagai siput, kini telah tiba dan duduk di sampingku. Jadi, bangku gandeng yang terbuat dari besi ini penuh buat kami berempat.

        &

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Melawan Suami dan Mertua   60

    Bagian 60 “Iya, Bu.” Hanya dua kata itu saja yang mampu kuberikan pada Ibu. Aku masih melayang-layang di udara rasanya. Antara sadar dengan tidak. Bertemu dengan Ibu, sanggupkah aku? “Baik-baik di sana, ya. Masalah dengan Rauf, apakah kamu sudah bercerai darinya, Ris?” Pertanyaan Ibu sungguh membuat hatiku sedikit marah. Mengapa dia jadi peduli dengan hidupku setelah empat tahun belakangan ini kami bagai dua kutub yang jauh berpisah? “Ya. Masih tahap proses.” Terpaksa aku sedikit terbuka padanya. Biar tak disangka berselingkuh saat statusku masih menjadi istri orang. “Dia selingkuh dan menghamili wanita lain. Saat ini sedang koma sebab kecelakaan. Jangan pernah berpikir kalau aku berselingkuh dengan Mas Vadi, ya. Aku tidak

  • Melawan Suami dan Mertua   61

    Bagian 61 Sengaja tak kubalas pesan dari Ibu. Segera aku memejamkan mata sembari berusaha untuk tidak memikirkan apa yang bakal terjadi esok. Jujur saja, aku tak siap dengan semua. Segala apa yang terjadi dalam beberapa hari ini, sungguh di luar dugaanku. Tak bakal kusangka bila ujung perselingkuhan Mas Rauf, bisa berdampak hingga sebesar ini. Takdir seolah mulai menunjukkan titik terang dari misteri yang lama belum terungkap. Ya, akhirnya aku tahu juga siapa dan seperti apa pertemuan Ibu dengan suami keduanya. Napasku rasanya tercekat. Bila kuingat-ingat lagi tiap episode yang telah terjadi, betapa hidupku terasa sangat ajaib. Betapa tidak, tiba-tiba saja aku begitu dekat dan jatuh hati pada bos sendiri. Padahal, dulu kami hanya biasa saja. Seperti partner kerja p

  • Melawan Suami dan Mertua   62

    Bagian 62 Hari Jumat jam pelayanan poli hanya sampai pukul 11.00 siang. Jumlah pasien pun dibatasi. Hari ini totak hanya ada 18 pasien yang periksa. Pekerjaan pun beres dengan sekejap mata tanpa drama pegal-pegal akibat menulis status dan menensi pasien. Aku dan dr. Vadi keluar ruangan poli tepat jam 11.05. Lelaki itu hari ini tak banyak berbicara. Irit kata, begitu kesimpulanku. Mungkin sebab grogi mau berjumpa Abah dan Ibu? Entahlah. Aku tak bisa menebak. “Makan siang, yuk,” katanya saat di parkiran. “Kamu kan harus salat Jumat,” jawabku tenang sembari mengikuti langkahnya menuju mobil sedan yang dia parkirkan di ujung.&nbs

  • Melawan Suami dan Mertua   63

    Bagian 63 “Ris, aku sudah selesai.” Pria yang rambutnya disisir ke arah belakang dan tampak lembab bekas air wudu tersebut duduk di kursi kemudinya. “Iya. Aku salat dulu,” jawabku sembari menegakkan jok dan menarik napas dalam sebelum keluar mobil. “Tunggu,” cegahnya dengan wajah yang tampak mengamati. “Ada sesuatu?” Tuh, kan. Dr. Vadi lama-lama memang mirip sekali dukun atau anak indigo. Bisa-bisanya dia tahu bahwa aku sedang memikirkan sesuatu. “Tadi Ibu kirim pesan. Katanya udah mau berangkat. Abah minta jemput sama kamu, Mas. Nggak mau naik taksi.” Wajah dr

  • Melawan Suami dan Mertua   64

    Bagian 64 “Ayo, Ris. Kita tunggu di pintu kedatangan.” Pria itu bangkit dari duduknya. Aku yang masih mengenakan seragam putih-putih lengkap tanpa sebuah cardigan atau jaket yang menutupi, ikut berdiri dan mensejajarkan langkah di sampingnya. Dr. Vadi membayar beberapa ratus ribu rupiah untuk pesanan kami barusan. Wajahnya terlihat gamang. Aku tahu bukan karena uang yang berkurang dari dompet, tapi tibanya Abahlah yang membikin dia bisa seperti itu. Kugenggam tangan dr. Vadi saat kami berjalan beriringan. Lelaki itu meremas genggamanku, seolah ingin memberi tahu bahwa dia sedang tak baik-baik saja saat ini. “Mas, kamu harus tersenyum,” kataku padanya dengan suara yang

  • Melawan Suami dan Mertua   65

    Bagian 65 “Maafkan Ibu, Nak,” bisik Ibu lagi dengan nada yang sangat lirih. Langsung kuusap air mata ini, membalas peluknya, dan meresapi hangat tubuh beliau yang telah lama tak kuhidu. “I-iya, Bu. Aku sudah memaafkan Ibu.” Dadaku langsung plong. Lega luar biar biasa. Serasa hidupku saat ini lebih membaik dari sebelum-sebelumnya. Ibu langsung melepaskan peluk. Mencium pipiku bertubi-tubi, lalu mengusap sisa air mata ini. Dia menatapku lekat-lekat dengan perasaan penuh kasih. Entahlah apakah yang kurasakan ini benar-benar apa yang tengah Ibu rasa sesungguhnya. Yang jelas, binar mata beliau bisa kutangkap betapa dia tengah mengungkapkan rasa rindunya yang tertahan selama ini.&

  • Melawan Suami dan Mertua   66

    Bagian 66PoV dr. Vadi Kedatangan Abah bersama ibu dari Risa, semula sungguh membuatku gelisah bercampur tak senang. Sesekali muncul perasaan kalut sekaligus berkecamuk. Masih tak habis pikir. Bagaimana bisa ibu dari perempuan yang kucintai adalah perempuan yang selama ini telah Abah nikahi. Ya, masih saja pikiran itu terbesit padahal sudah kutepis sekuat tenaga. Namun, seiring melihat ekspresi Risa yang tampak makin cerah ceria, rasanya aku menyerah. Mulai kubuka hati ini untuk menerima segala kenyataan yang ada. Apalagi saat perempuan tersebut memaafkan ibunya di dalam mobil, lalu mengajak kami salat berjamaah di mushala. Hatiku makin meleleh. Abah pun tampak sangat senang dengannya. Tak seperti saat aku dekat dengan Nadya dulu. Dia malah terkesan cuek, tak peduli, dan kurang antusias. Aku pun heran. Mengapa bisa sikap si tua it

  • Melawan Suami dan Mertua   67

    Bagian 67PoV Lestari Makan siang kali itu terasa begitu berbeda bersama Mamak dan Bapak. Ada haru yang membiru, sekaligus rasa syukur yang tiba-tiba tumbuh di tengah-tengah cobaan berat. Aku sekarang sudah tak apa-apa. Terlebih ketika kedua orangtuaku tampaknya telah ikhlas menerima keadaanku yang tengah berbadan dua. Tak terlihat sedikit pun rasa marah di dalam manik mata mereka. Memang, keduanya sampai menangis. Namun, aku tahu itu bukanlah suatu tanda bahwa mereka sudah membenciku. Mereka tetap orangtuaku yang memberikan kasih sayang seluas samudra kepada kami bertiga beradik. Usai makan bersama, aku membantu Mamak untuk membereskan dapur kami yang dulunya menggunakan tungku api untuk memasak, tapi sekarang telah memakai kompor gas yang tak menimbulkan abu serta asap tebal. Kondisi dapur Mamak juga sudah rapi. Atapnya tak lagi

Latest chapter

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 15

    Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 14

    Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 13

    Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 12

    Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 11

    Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 10

    Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 9

    Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 8

    Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 7

    Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba

DMCA.com Protection Status