Bagian 44
PoV dr. Vadi
Malam ini adalah malam paling panjang sekaligus membahagiakan untukku. Bertahun-tahun hidup tanpa sentuhan cinta, sebagai lelaki aku terus menua dengan rasa cuek yang terlampau. Namun, malam ini Risa mengubah segalanya. Kebekuan yang membuat sikapku dingin, perlahan dapat mencair. Pintu yang semula tertutup, kini terbuka lebar hanya untuk menyambut kehadirannya.
Usai mengantar perempuan berpenampilan kasual itu tepat di depan pintu kamarnya, aku langsung bergegas naik ke lantai dua. Masuk kamar, menguncinya rapat. Kali ini, tak bakal ada lagi kesempatan buat Fino masuk untuk sekadar basa basi busuk. Apalagi kalau membahas tentang Ela.
Sembari duduk di kursi meja kerjaku, aku langsung menyalakan ponsel dan bermaksud untuk menghubungi se
Bagian 45PoV dr. Vadi “Pagi,” sapaku pada Risa. Perempuan itu tampak cerah ceria. Dia mengenakan sapuan blush on di kedua pipi putihnya. Make up-nya tak begitu tebal. Sangat pas dengan wajah cantiknya. “Pagi juga, Mas,” jawab perempuan bercelana denim yang sama dengan tadi malam. Kemejanya sama yang dipakai saat kami ke mal tempo lalu. Sebuah kemeja panjang kotak-kotak berwarna marun. Ah, astaga. Aku sampai lupa untuk mengajaknya berbelanja pakaian tadi malam. Kasihan dia. Pakaiannya cuma itu-itu saja. “Kenapa lihatin aku sampe bengong begitu?” Risa salah tingkah. Perempuan itu membenarkan letak rambutnya ke belakang telinga. “Ng
Bagian 46PoV Risa Aku merasa sangat-sangat kaget saat pagi ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dr. Vadi menyewakan dua orang pengacara hanya untuk mengurus perceraianku. Ya Tuhan, kebaikan lelaki itu, kurasa aku tak bakal sanggup untuk membalasnya satu per satu. Mas Deny dan Mas Robyn sangat membantuku hari ini. Mereka yang memperkenalkan kepada pihak pengadilan agama. Membantu untuk proses pendaftaran serta menjelaskan tahapan apa saja yang bakal kulalui berikutnya. Urusan sangat gampang dan relatif sebentar hari ini. Tahu-tahu, pihak pengadilan mengatakan bahwa pendaftaran perceraian yang kuajukan akan segera diproses. Mas Rauf sebagai pihat tergugat akan mendapatkan surat panggilan untuk tahap mediasi bersama hakim nanti. Aku rasa-rasanya ingin men
Bagian 47PoV Rauf 250 juta? Apa? 250 juta? Kupingku langsung berdiri. Mataku setengah membelalak. Mana pernah aku memegang uang sebanyak itu dalam satu waktu dan lelaki itu dengan santainya melemparkan kartu warna emas tak jauh dariku. Saat Risa dan si dokter songong tersebut pergi, aku langsung ambir gerak 1000. Kuraih kartu ATM tersebut dan menyimpannya ke dalam saku celana. Gila! Aku kaya mendadak. Apa dokter itu sinting? Bisa-bisanya dia memberikanku uang segitu banyaknya hanya untuk menebus si Risa. Hahaha gila! Sangat edan luar biasa! Ini sudah seperti mimpi indah di tengah siang bolong. Kutoleh kiri dan kanan. Tak ada yang melihat. Mama, Indy, dan Lestari sepertinya sedang berkumpul di kamar Mama atau di ruang tengah. Syukurlah. Jadi, tak ada yang ta
Bagian 48PoV dr. Vadi Seharian tanpa kehadiran Risa, membuat aku benar-benar hampa. Kosong. Seperti gelas tak ada isi. Tak berguna. Serasa tak dibutuhkan. Sedang Vianti, duduk mendampingiku, membantu menganamnesa pasien yang silih berganti keluar masuk ruangan. Pukul 13.00 tugasku selesai. Hari ini pasien tak begitu ramai. Aku merasa lega sebab tak harus berlama-lama di sini. “Dok, mau pulang, ya?” tanya Vianti sembari bangkit dari kursi milik Risa. “Ya.” Aku merasa tak perlu panjang lebar menjawab pertanyaannya. Sudah tahu tidak ada kerjaan lagi. Ya, pasti aku pulang. “Dok, saya ng
Bagian 49PoV Risa Siang yang indah, pikirku. Setiap ucapan dr. Vadi semakin ke sini, semakin berbeda di telinga. Seakan penuh mantra cinta yang membuatku tak henti berbunga. Bahkan dia sudah berani untuk mengajak ke kampung halamannya segala. Sungguh, tak dapat kutebak betapa indah jalah hidup yang ternyata bakal kutempuh. Obrolan di mobil antara kami berdua terus berlangsung, hingga tanpa terasa kami sudah tiba di halam parkir resto tempat pertama kali kami makan berdua sejak aku kabur dari rumah Mas Rauf. Resto Sambisari, seperti biasa selalu akan dipadati oleh para pengunjung yang berniat untuk mengisi kampung tengah. Apalagi siang-siang begini. Aku jadi pesimis, apakah masih ada tempat yang tersisa di sana saat parkiran saja penuh luar biasa. Ketika kel
Bagian 50PoV Risa “Risa?” Perempuan 40 tahunan dengan wajah yang semakin tampak awet muda, putih, dan berkulit kencang itu menatap dengan mata yang membelalak. Wajahnya langsung pias. Mendengar dia menyebut namaku, aku semakin yakin bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk belaka. “I-ibu ….” Bibirku bergetar. Air mataku tanpa sadar luruh membasahi pipi. Ada gejolak kemarahan yang tiba-tiba termantik dari dalam hatiku. “Lho, kalian saling kenal?” Pertanyaan Abah diiringi dengan tatapan heran ke arah wanita di sampingnya yang tak lain adalah sosok ibu kandungku yang beberapa tahun lalu kabur meninggalkan kami dalam kondisi terpuruk. “Ris,&rdqu
Bagian 51PoV Lestari Pagi-pagi sekali, Mas Rauf sudah mengantarku ke kontrakan untuk mengambil barang-barang. Hari ini kami sepakat untuk pulang ke kampungku yang jaraknya sangat lumayan itu. Kata Mas Rauf, dia sanggupnya kalau kami naik motor saja. Padahal, aku tahu bahwa dia semalam baru saja menerima uang sebanyak ratusan juta dari pacar istrinya. Namun, aku bisa apa? Sekadar uang pengangan untuk pulang kampung naik bis, aku tak ada. Beberapa hari yang lalu uangku sudah ditransfer ke kampung untuk biaya makan sehari-hari orangtua. “Aku tunggu di luar,” kata Mas Rauf dengan wajah yang masam. Lelaki itu masih bertahan di atas motornya. Segera aku masuk ke rumah. Siti dan Rizka yang sedang sarapan di ruang tamu, syok mendapati kedatanganku.
Bagian 52PoV Lestari “Lama banget kamu ke WC!” Mas Rauf membentakku saat aku kembali ke meja. Aku mencoba untuk tenang. Hanya membalasnya dengan senyuman kecil dan duduk untuk menghadap sarapan yang tak membuat selera. “Habiskan cepat! Perjalanan kita masih panjang.” Mas Rauf melahap hidangannya dengan penuh semangat. Sementara aku? Hanya dapat menahan air mata yang kembali mau menetes. Kusuap nasi dan lauk tempe tersebut. Meski rasanya pilu, aku tetap memakan sedikit demi sedikit agar perut kosongku terisi penuh. Bukan apa-apa, perjalanan ke kampung masih sekitar tiga jam lagi. Itu pun kalau jalanan tak macet. Mana harus melewati deretan hutan jati, menaiki daerah perbukitan, dan jalanan rusak berbatu sepanjang sepuluh kilometer seb