Bagian 38
PoV Risa
Tangisanku semakin tergugu. Rasanya aku benar-benar sedih luar biasa. Mengetahui bahwa dr. Vadi berasal dari kota di mana Ibu kini hidup Bahagia Bersama suami barunya, membuatku entah mengapa sesentimental ini. Memang taka da hubungannya. Namun, aku jadi teringat akan Ibu. Bagaimana kalua aku kelak bias menemukannya kembali di sana? Apa yang akan terjadi ketika kami bersitatap lagi setelah sekian tahun kami dibuang olehnya?
Hap! Tubuhku kemudian dipeluk erat oleh dr. Vadi. Bagaimana aku tak makin menangis apabila diperlakukan begini? Kupeluk kembali tubuhnya. Menumpahkan deras air mata di atas dada bidang lelaki itu. Air mataku telah membasahi kemejanya, tetapi lelaki itu semakin mendekap. Seperti aku tak bakal lagi dia lepaskan.
“Ke
Bagian 39PoV Risa Aku tetap diam. Ogah menjawab. Beranjak pun aku tak ingin. Biar dia tahu, bahwa bukan cuma dia yang bias ngambek atau keberatan. “Kamu mau tidur di sini?” Pertanyaan dari dr. Vadi sungguh membuatku jengkel. “Kenapa?” tanyaku dengan nada kesal. Kutatap wajahnya. Tanpa sadar bibirku mengerucut. Pria yang tampak lelah itu mengurungkan niatnya untuk turun. Pintu yang telah terbuka sedikit celahnya, kembali dia tutup. Wajah dr. Vadi kini menatapku. Aku tak menoleh. Memandang lurus saja ke depan sambal melipat tangan di depan dada. “Aku suka padamu. Sudah dengar?”
Bagian 40PoV Risa “Buka pintumu, aku di depan.” Deg! Aku luar biasa terperanjat. Secepat itu dia berada di depan sana? Oh, dr. Vadi, kamu sekarang memang bagaikan jailangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Bagai hantu yang kehadirannya tiba-tiba dan membuatku terkejut luar biasa. “I-iya,” jawabku dengan tergagap. Kuusap air mata. Beranjak dari tempat tidur dengan posisi ponsel yang masih menempel di telinga. Sebelum membuka pintu, kutenangkan diri sesaat dengan mengambil napas panjang. Huft, semoga dia tak marah karena melihatku belum mandi dan berganti pakaian begini. “Kamu bahkan belum ganti pakaian?” Lelaki yang baru saja menurunkan po
Bagian 41PoV dr. Vadi Tangisan Risa yang bertubi-tubi dari siang hingga malam ini, tentu membuat hatiku ikut gerimis. Dusta bila aku hanya cuek. Memang mata ini tak ikut menitik, tetapi jiwa? Sungguh aku sesak dibuatnya. Gemetar bibirnya yang jujur bercerita, membuat hatiku menangis dalam sunyi sejadi-jadinya. Tanganku bahkan tremor saat menyentuh pundak dan puncak kepalanya. Risa bagiku bukan hanya sekadar partner bekerja. Sejak dia kubawa tinggal di kost Anugrah, entah bagaimana separuh jiwa adalah dia. Berlebihan? Tidak. Aku rasa sama sekali tidak. Terlalu cepat jatuh cinta? Aku akan tegas menjawab, no! Hati yang menyeleksi. Raga mengamini. Lantas, aku bisa apa? Waktu yang membuatku rela bertaruh, bahwa perasaan ini sama sekali bukan hanya sesaa
Bagian 42PoV dr. Vadi Meski lama, Risa berhasil juga menghabiskan seluruh isi piring dan gelasnya. Aku memang sudah tak sabar lagi untuk mengusaikan semua. Malam ini harus kelar, begitu pikirku. Apa pun yang terjadi, Risa harus lekas kembali ceria. Tak boleh lagi ada saputan awan mendung di mata beningnya. “Ayo,” kataku pada Risa setelah membayar bon makan kami. Risa gelagapan. Matanya bagai penuh tanya. “K-kita …?” “Kita ke rumah suamimu. Sekarang.” Aku menggandeng tangannya. Menyebrangi jalan dan membukakan pintu mobil untuk perempuan tersebut. Aku duduk di kursi kemu
Bagian 43PoV dr. Vadi Rasa puas menyeruak. Membuncah dalam dada. Aku tenang, aku senang. Risa juga harus merasakan yang sama. Tak boleh ada tangisan lagi di wajah manisnya. Kami berdua bergegas masuk ke mobil. Aku sedikit mengempaskan pintu saat menutupnya. Melampiaskan rasa dendam yang masih membara. Andai saja aku tak sabaran, mungkin sudah kutinju geligi milik lelaki sok jagoan itu. “Mas … yang tadi,” kata Risa sembari mencengkeram lengan kausku. “Kenapa lagi?” tanyaku sembari menghidupkan mesin. “Terlalu banyak,” lanjutnya lagi.
Bagian 44PoV dr. Vadi Malam ini adalah malam paling panjang sekaligus membahagiakan untukku. Bertahun-tahun hidup tanpa sentuhan cinta, sebagai lelaki aku terus menua dengan rasa cuek yang terlampau. Namun, malam ini Risa mengubah segalanya. Kebekuan yang membuat sikapku dingin, perlahan dapat mencair. Pintu yang semula tertutup, kini terbuka lebar hanya untuk menyambut kehadirannya. Usai mengantar perempuan berpenampilan kasual itu tepat di depan pintu kamarnya, aku langsung bergegas naik ke lantai dua. Masuk kamar, menguncinya rapat. Kali ini, tak bakal ada lagi kesempatan buat Fino masuk untuk sekadar basa basi busuk. Apalagi kalau membahas tentang Ela. Sembari duduk di kursi meja kerjaku, aku langsung menyalakan ponsel dan bermaksud untuk menghubungi se
Bagian 45PoV dr. Vadi “Pagi,” sapaku pada Risa. Perempuan itu tampak cerah ceria. Dia mengenakan sapuan blush on di kedua pipi putihnya. Make up-nya tak begitu tebal. Sangat pas dengan wajah cantiknya. “Pagi juga, Mas,” jawab perempuan bercelana denim yang sama dengan tadi malam. Kemejanya sama yang dipakai saat kami ke mal tempo lalu. Sebuah kemeja panjang kotak-kotak berwarna marun. Ah, astaga. Aku sampai lupa untuk mengajaknya berbelanja pakaian tadi malam. Kasihan dia. Pakaiannya cuma itu-itu saja. “Kenapa lihatin aku sampe bengong begitu?” Risa salah tingkah. Perempuan itu membenarkan letak rambutnya ke belakang telinga. “Ng
Bagian 46PoV Risa Aku merasa sangat-sangat kaget saat pagi ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dr. Vadi menyewakan dua orang pengacara hanya untuk mengurus perceraianku. Ya Tuhan, kebaikan lelaki itu, kurasa aku tak bakal sanggup untuk membalasnya satu per satu. Mas Deny dan Mas Robyn sangat membantuku hari ini. Mereka yang memperkenalkan kepada pihak pengadilan agama. Membantu untuk proses pendaftaran serta menjelaskan tahapan apa saja yang bakal kulalui berikutnya. Urusan sangat gampang dan relatif sebentar hari ini. Tahu-tahu, pihak pengadilan mengatakan bahwa pendaftaran perceraian yang kuajukan akan segera diproses. Mas Rauf sebagai pihat tergugat akan mendapatkan surat panggilan untuk tahap mediasi bersama hakim nanti. Aku rasa-rasanya ingin men