***“Di sini suhunya dingin, jadi pastikan kalian harus memakai syal, serta jaket yang tebal ya,” ucap Aavar pada kedua kembar. Kini mereka berada di rumah kediaman Aavar yang memang tinggal di Amerika. Perusahaan yang dibangun Aavar melenjit besar di sini, pria yang masih lajang itu sukses di usia mudanya. “Oh iya, Kinar. Lusi enggak ikut?” tanya Aavar setelah sadar bahwa tak ia temukan Lusi. “Bibi Lusi kan lagi ujian sekolahnya, jadi nggak bisa ke sini lah,” jawab Khalifa menjawab pertanyaan Aavar yang seharusnya Kinara jawab. “Ahaha, begitu, padahal ajak aja, Om rindu sama dia,” celetuknya berhasil membuat Kinara mengernyit, menaikan salah satu alisnya. “Ahahah, aku bercanda.”“Cieee, om Aavar nanyain Bibi Lusi. Hahahah. “ Kedua kembar itu tergelak tawa. Cekikikan cukup lucu. “Mereka yang bilang ya, Kinar. Bukan aku lho.” Seakann tahu tatapan Kinara, Aavar hanya cengar-cengir tak jelas. Kinara hanya tersenyum, tidak membalas atau membuka suara. Yah masalahnya Ia sudah tau bag
Khalifa terduduk seorang diri di atas batu dengan pandangan menatap lurus danau. Menatap kosong danau tersebut yang tampak tidak seperti biasanya. Ucapan Aavar kala itu terngiang di telinga Khalifa. “Ketahuilah Khalifa, setelah kecelakaan itu aku sudah menduga kalau dia bukan Khanza, melainkan jiwa orang lain yang masuk menguasai raganya. Ini bukan perpindahan jiwa seperti yang ada dibuku cerita, atau film yang menayangkan seseorang masuk kedunia lain. Bukan,” ucap Aavar. “ini seperti perpindahan sifat saja. Setelah melakukan operasi itu ada kemungkinan sebelumnya Khanza sudah meninggal? Namun, secara kebetulan pula ada seseorang yang sudah meninggal, meninggalkan satu organ yang masih berfungsi. Kamu pun tau Khalifa, saat itu Khanza memiliki penyakit jantung, setelah operasi itu, apa yang terjadi? Dia bahkan bisa sembuh dari penyakitnya? Tidak lagi merasakan sakit. Bukankah itu sebuah kebetulan? Artinya, kepribadian dan sifatnya sudah berkaitan dengan jantung yang ada di tubuh Khanz
“Sudah sampai, terima kasih sudah mengantarkan,” ucap Khalifa. “Tidak usah berterima kasih, sudah menjadi tugasku untuk memastikan istriku pulang dalam keadaan baik.” Alby tersenyum tipis. “jangan lupa kabarkan aku ya? Kalau ada apa-apa kabarin.” Khalifa tampak ragu namun tak urung ia mengangguk. “aku pergi,” ucap Khalifa. “Eh tunggu?” Alby menahan pergelangan tangan Khalifa. “lupa ya?” ungkapnya membuat kening Khalifa mengerut. “salam dulu sama suami, masa mau pergi-pergi aja?”Khalifa terdiam sejenak, cukup canggung kala Alby memintanya dengan sedikit kode. “Lupa.” Khalifa cengengesan, menerima uluran yang Alby untuk Khalifa cium. Diciumnya punggung tangan sang suami, ah ralat—suami? Rasanya … masih agak canggung untuk Khalifa mengklaim bahwa Alby adalah suaminya. Tapi … ah sudahlah. Sesaat Khalifa melepaskan ciuman di punggung tangan Alby, perempuan itu menjauhkan kepalanya, namun … Cup! Khalifa membeku, terdiam dengan jantung bergejolak. Alby … dengan penuh kelembutan menc
“Kenapa kau ada di kamarku, Khalifa….”Deg! “Khanza?”Jantung Khalifa bertalu kian cepat. Sangat-sangat cepat. Mendadak tenggorokan kering, kakinya gemetar. Seperti maling yang kepergok sang pemilik, itulah yang dirasa Khalifa. “Za … ada hal yang pengen aku bicarain.” Dengan penuh keberanian itu, Khalifa membuka suara. Sumpah, walau Khanza adalah saudaranya namun untuk berbicara langsung dengan Khanza cukuplah tegang. Ya, masalahnya keduanya memang sudah jarang berkomunikasi. Apalagi ditambah Khanza yang selalu dingin padanya, memasang raut marah. “Aku bertanya, apa yang sedang kau lakukan di kamarku?” tanya Khanza dengan suara datarnya. Khalifa mengeratkan genggaman pada sebuah gelang. Jantungnya benar-benar seperti diajak main dengan hantu. “Sebenarnya … Za. Aku ….” Khalifa hendak membuka suara, namun tak sengaja pandangan matanya jatuh pada Aavar yang berada di anak tangga. Pria itu naik ke atas. Gawat! Khalifa tidak ingin masalah ini menambah sampai Aavar. Ia ingin menyeles
“Aku tidak ingin lihat kamu bahagia, Khalifa! Tidak ingin!” Khanza meluruhkan tangisnya, badannya ikut merosot ke bawah bersamaan Khalifa yang menahannya. Keduanya terduduk di lantai dengan Khalifa yang memeluk Khanza. “Jika aku tidak bahagia … maka kamu juga enggak boleh bahagia, Khalifa. Jika aku menderita … maka kamu juga harus menderita Khalifa….” Khalifa menggigit bibir bawahnya, ucapan Khanza membuatnya sakit hati, namun anehnya Khalifa tidak ingin melepaskan pelukan ini. Entah kenapa saat lihat Khanza seperti ini justru membuat Khalifa tidak ingin melepaskan pelukannya. Khalifa hanya bisa ikut menangis dengan memeluk Khanza. Merasakan rasa sakit yang keduanya rasakan. “Katakan bahwa aku jahat, Khalifa… tapi, aku ingin rasa sakit itu bukan hanya aku yang merasakannya tapi juga kamu. Aku … aku sering menahannya seorang diri,” ucap Khanza. “inilah alasanku kenapa selalu membuatmu menderita.” Kali ini Khalifa benar-benar mengerti. Atas kesalahannya yang menerima Kaden b
[Assalamu'alaikum, Khalifa? Bagaimana keadaan di sana? Bagaimana hubungan kamu dengan Khanza? Apa semuanya bisa diatasi.]Pesan yang masuk satu jam yang lalu Khalifa hiraukan. Tidak membalas ataupun berniat untuk membalasnya. Ia menghiraukan dengan perasaan campur aduk, antara ingin dan tidak, pikirannya sekarang benar-benar tidak bisa diajak kompromi. [Kenapa cuman dibaca doang? Khalifa, kamu baik-baik aja kan?] Pesan kembali masuk, terlihat dari atas layarnya saya Khanza mendapati sebuah notifikasi masuk. Khalifa termenung, masih tak ingin membalas. Sampai beberapa detik berlalu, suara dering ponsel terdengar. Alby kali ini menelponnya. Khalifa terdiam, benar-benar bingung untuk menjawab panggilan atau tidak. “Jika aku tidak bahagia maka kau juga tidak boleh bahagia ….” Ucapan itu terus terngiang di telinga Khalifa. Seperti bunyi alarm, kalimat itu penanda sebagai kesadaran dirinya. Kalau apa yang ia miliki saat ini … harus dimiliki pula oleh Khanza. Suara ponselnya masih seti
“Kak Alby?” ucap Khalifa lirih. Segera ia tutup kembali gorden. Jantungnya berdegup kencang, bingung semakin melanda hatinya. Di sisi lain ia senang tatkala melihat Alby ada di sini, kerinduan yang sempat terpendam terbayar saat melihat wajahnya. Namun tak bisa berbohong pula, rasa resah Khalifa rasakan mengingat perasaan Khanza saat ini. Sangat tidak mungkin jika ia bahagia sedang Khanza? Dia sendiri dan butuh seseorang juga. Berbeda dengan Alby, di luar sana Alby menatap kesal jendela yang masih tertutup, tidak Khalifa buka. Padahal ia sudah lempari beberapa baru kecil mengenai kaca tersebut, berharap Khalifa melihatnya dan membuka jendela tersebut. Setelah membiarkan Khalifa untuk berbicara dengan Khanza sekarang Alby yakini bahwa pasti ada masalah diantara mereka. Jika tidak, mana mungkin Khalifa mengabaikannya seperti ini. Padahal sebelumnya Alby sudah peringati Khalifa agar memberinya kabar, tapi apa? Khalifa justru tak membaca pesan satupun darinya. Marah? Tidak tahu. Alby
“Ada apa ini?” Deg! Jantung Khalifa berdetak dua kali lebih cepat. Aavar, Lusi maupun Khanza menatap intens padanya. “Khalifa, Khanza bilang ada suara seseorang, siapa?” tanya Aavar mengedarkan matanya. Khalifa menoleh ke belakang di mana Alby sudah tak ada di tempat. Syukurlah, Khalifa kira Alby ada di belakangnya. “Suara apa? Perasaan tidak ada suara apapun? Tadi aku hanya menelpon seseorang, dan lupa aku malah me-loudspeker kan suaranya,” ujar Khalifa menggaruk tengkuknya. “Yang benar? Tapi tadi—”“Khanza ini, bikin orang panik aja. Taunya nggak ada apapun,” ucap Aavar memotong ucapan gadis itu. “udah malam juga, waktunya tidur.”Khanza tampak cengengesan. “Eh iya, mungkin tadi aku salah dengar. Duh, ada-ada aja.”Khalifa hanya tersenyum, lirikan matanya sekilas menatap jendela namun kemudian ia langsung alihkan kembali. “Ah iya, Khalifa tadi aku ke sini mau ajakin kamu buat tidur di kamar aku. Mau ya? Kita gadang!” ucap Khanza dengan wajah semringah. Khalifa hendak menjawab
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug