Kinara merasakan perasaan tak enak. Pasalnya sekarang ia tengah bersama Vanzo. Selepas perdebatan pagi tadi pada akhirnya Aarav menurut, pergi ke kantor dengan Devan yang katanya akan bekerja di sana juga. Awalnya Aarav menolak. Meminta jawaban dari maksud Vanzo yang tiba-tiba memutuskan sesuatu secara sepihak, namun karena Kinara yang menenangkan pria itu membuat Aarav pada akhirnya menurut juga. Dan sekarang di sinilah Kinara berada, di sebuah taman yang luasnya beberapa hektare. Dibanyaki tumbuh-tumbuhan hijau, selain itu bunga-bunga bermekaran di sisi-sisinya. Indah, namun menakutkan. Tidak menakutkan bagaimana? Vanzo tiba-tiba membawanya ke sini? Mau apa coba? Seharusnya Kinara tidak berpikiran jauh ke sana, namun tidak memungkinkan hatinya juga merasakan firasat buruk. Namun, berusaha mungkin Kinara menghempaskan pikiran buruk itu. Lagipula tadi Aarav sudah mengancam kakeknya, mengancam untuk tidak menakut-nakuti istrinya ini.“Kalian sudah saling jujur?” tanya Vanzo membuka
Mobil Vanzo kembali melintas jalan raya. Setelah mengatakan akan menunjukkan sesuatu membuat Kinara menurut saja. Dan inilah ia sekarang, berdiam dengan pikiran yang banyak dipenuhi berbagai pertanyaan. Kira-kira apa yang akan Vanzo tunjukan pada Kinara? Kenapa harus berpindah tempat lagi? Bukankah sebuah jawaban tidak harus berpindah tempat lebih dulu? Tapi, kenapa Vanzo malah membawa Kinara pada tempat lain? Ah, membuat Kinara takut saja namun juga penasaran. Mobil akhirnya berhenti dari laju, di depan, Vanzo sudah keluar membuat Kinara ikut keluar. “Sudah sampai Kek?” tanya Kinara selepas ia keluar dari dalam mobil. “Heum, ayo kakek akan menunjukkan hal lain padamu,” ucap Vanzo, Kinara lagi-lagi menurut, benar-benar penasaran apa yang akan ditunjukan Vanzo padanya. Dalam langkah mengikuti kakeknya Kinara mengerlingkan mata, menatap sebuah objek yang dipenuhi dengan pohon hijau. Tempat yang tidak jauh berbeda dengan yang tadi, hanya saja bedanya ini lebih bersih dan terawat. Da
“Kinar, katakan, apa yang tadi Kakek bicarakan padamu? Ke mana kau diajak olehnya? Apa yang dia lakukan? Berapa jam kalian bersama?” tanya Aarav beruntun. Pria itu baru pulang dari kantor, tanpa mengenal lelah Aarav langsung menuju Kinara. Memeluknya kemudian bertanya dengan pertanyaan yang tak cukup satu. “Kakek hanya ajak aku jalan-jalan kok Mas,” jawab Kinara. Dia tersenyum tipis. “Mas gak usah khawatir gitu, kakek gak apa-apain aku kok,” lanjutnya kembali. Bukan, bukan masalah itu yang Aarav khawatirkan. Melainkan ia takut apabila Vanzo menceritakan mengenai dirinya yang memiliki masalalu dengan Ayah Kinara. Sungguh, kebenaran itu untuk saat ini akan Aarav sembunyikan dari Kinara. Dan ia takut apabila Vanzo keceplosan dalam berkata. “Apa ada hal lain yang kakek bicarakan?” tanya Aarav. Entah mengapa hatinya mengatakan kalau Vanzo mengatakan sesuatu. Tapi apa? Tidak mungkin kan kalau berhanyakan jalan-jalan saja? “Banyak sih, tapi eum … ini … ini hanya aku dan Kakek yang tau.”“
Pagi ini Kinara mulai senyum-senyum sendiri, kedekatan ia dan Aarav semakin dekat saja. Terus nempel, kayak perangko. Suara pintu yang diputar membuat Kinara melirikan matanya. Seperti biasa, setiap pagi ia akan disuguhi oleh pria tampan sedunia, siapa lagi kalau bukan suaminya. Aarav baru keluar dari kamar mandi, pria itu seperti biasa, menyimpan handuknya di atas kepala. Sejauh ini suaminya tidak pernah memakai handuk sebatas pinggang, atau mungkin terekspos tubuh atasnya tanpa baju. Sekali dalam seumur hidup, Kinara hanya pernah sekali saja melihat tubuh atasnya tanpa baju, dan itupun saat ia sudah tahu kalau Aarav ternyata mencintainya. Namun sekarang pria itu tampaknya malah malu-malu, belum berani untuk memberikan lebih haknya pada sang istri. Atau … saling memberi hak itu untuk keduanya rasakan. Entahlah, rasanya masih terasa canggung saja, baik Kinara maupun Aarav. Seperti biasa pula, sebagai seorang istri yang baik, Kinara dengan segera menyiapkan pakaian untuk sang suam
“Besok ulang tahun Aarav. Udah siap nih?” tanya Vanzo pada Kinara. Wanita itu terperanjat kaget karena mendapati Vanzo yang tiba-tiba ada di belakangnya. Setelah mengantar sang suami sampai depan rumah, Kinara lantas hendak menutup pintu, namun ia malah dikejutkan oleh pria paruh baya ini. Kinara nyengir kuda. Malu-malu. “Gimana menurutmu rencananya?” tanya Vanzo kembali, pria itu merapikan stelan jasnya, terlihat bahwa dia akan berpergian. “Bagi Kinar sudah bagus kok Kek. Lagian, kalau rencananya terlalu berlebihan Kinar takut terjadi sesuatu sama Mas Aarav nantinya. Masalahnya kan dia gak boleh dibuat terkejut, “ ucap Kinara. Ya, pasalnya ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan suaminya. Walau suaminya baik-baik saja tapi dalam hal memiliki penyakit, Kinara harus lebih bisa waspada. “Kau benar. Baiklah, untuk rencana selanjutnya kita bicarakan nanti. Sekarang kakek mau keluar dulu, kau tidak apa-apa kan tinggal di sini sendiri?”Kinara menggeleng tersenyum. “Tidak apa-apa kok Kek
“Awh!”“Ya ampun Kinar?” Aarav berseru, segera membantu Kinara yang tiba-tiba terjatuh di depan kakinya. “Kenapa bisa ceroboh gini sih?” tanya Aarav. Pria itu sudah merangkul bahu Kinara. Membantunya untuk berdiri. Kinara hanya cengengesan, walau hatinya benar-benar mengutuk akan kelakuan Devan. ‘Devan gila! Bisa-bisanya dia mendorongku!’ gerutu Kinara di dalam hatinya. Ya, setelah hitungan ketiga, Kinara didorong oleh Devan hingga terjatuh tepat di depan Aarav. Alhasil begini jadinya, Aarav langsung mengkhawatirkan dirinya seolah ia benar-benar terjatuh. “Mana yang sakit? Biar Mas lihat.” Aarav menarik lengan Kinara, perempuan itu sedikit meringis kala Aarav menyentuh sikunya. “Kamu tadi habis ngapain sampe jatuh kayak gini?” tanya Aarav sembari memberikan usapan kecil, amat lembut. “Gak ngapa-ngapain Mas. Kinar cuman lewat jalan ini dan yah, mungkin tidak sengaja Kinar menginjak baju Kinar sendiri, berakhir kayak gini,” ujarnya memberi alasan. Aarav bergeming, ia menelisik ba
“Kak, kakak beneran ngasih rumah ini ke Karin?” tanya Karin dengan tatapan tidak percaya. “Iya, daripada terbengkalai, kan? Lebih baik kau tempati dengan suamimu.”Karin terdiam. Ada perasaan tidak enak sebenarnya saat Kinara bertemu dengannya hanya untuk mengatakan hal ini. Ya, satu jam yang lalu Kinara menelfon adiknya—Karin, mengatakan agar perempuan itu segera datang ke rumah yang dulu pernah ditempati. Dan di sinilah sekarang mereka, berdua sembari mengamati isi rumah yang tidak ada perbedaan sedikitpun. Dari warna, bentuk bahkan isi dari dalamnya tidak ada satupun yang berubah. Tentu saja, karena Kinara sudah lama ini tidak berkunjung ke rumah ini. Selain karena sibuk dengan kehidupan rumah tangganya, ia juga tidak ada waktu untuk berkunjung. “Jika Dara ingin ke sini, izinkan saja,” ucap Kinara. Perempuan itu mengambil foto, seulas senyum terbit melihat siapa saja yang ada di dalam foto tersebut. Ayah, Ibu, dan kedua adiknya. Mereka tersenyum dengan lebar. Waktu itu umur me
Devan melajukan mobilnya dengan ugal-ugalan. Rasa amarah masih memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Keponakan tidak tau diri! Bisa-bisanya dia merendahkan dirinya. Apa dia tidak sadar kalau dia hanyalah cucu dari keluarga William? Seharusnya dia yang lebih sadar akan statusnya itu. Sekiranya itulah yang ada di dalam pikiran Devan. “Sialan! Aku tidak akan pernah terima direndahkan begini!” desisnya semakin menancapkan gas. “Mentang-mentang dia cucu yang paling disayang Ayah, membuat ia besar kepala.” Devan masih sibuk menggerutu. Selain pikirannya yang kalut akan emosi hatinya juga masih menyimpan rasa cemburu luar biasa. Pagi tadi, saat Aarav kembali lagi karena ketinggalan dokumen. Dalam diam Devan mengintip dua pasangan itu. Rasa cinta untuk Kinara yang tersimpan membuat Devan membuntuti keduanya.Tak disangka, sebuah adegan panas ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Mana dengan durasi yang lama pula, membuat hatinya terbakar api cemburu. Devan masih mencintai Kinar, itu mengapa