Di meja makan, Kinara duduk berdampingan dengan Aarav. Di samping kirinya ada Lusi, sedang di depannya ada Devan. Pria itu baru memunculkan batang hidungnya lagi. Namun Kinara tidak penasaran justru ia berdoa agar Devan segera hilang dari rumah ini, atau jika bisa hilang dari muka bumi ini. Agar hidupnya terasa tenang dari masalalu dahulu. Ia tidak ingin jika nanti pria itu berkata aneh-aneh pada Aarav. Selain pembohong pria itu juga sering membual. Banyak perkataannya yang tidak benar. Itu mengapa Kinara takut apabila laki-laki itu mengatakan hal yang tidak ada kebenarannya, entah pada Aarav atau Vanzo. Lihat saja sekarang? Pria itu bahkan sedari tadi melihat ke arahnya. Diam-diam lihat kemudian pura-pura fokus makan, lagi, pria itu melihat, detik berikutnya mengalihkan pandangan. Kinara kesal, Devan adalah lelaki yang harus ia jauhi! Jika tidak maka ia akan kena masalah. Sekarang, cinta yang baru bersemi ini masa harus kandas? Kinara menggeleng, itu tidak akan pernah terjadi! Ya,
Kinara merasakan perasaan tak enak. Pasalnya sekarang ia tengah bersama Vanzo. Selepas perdebatan pagi tadi pada akhirnya Aarav menurut, pergi ke kantor dengan Devan yang katanya akan bekerja di sana juga. Awalnya Aarav menolak. Meminta jawaban dari maksud Vanzo yang tiba-tiba memutuskan sesuatu secara sepihak, namun karena Kinara yang menenangkan pria itu membuat Aarav pada akhirnya menurut juga. Dan sekarang di sinilah Kinara berada, di sebuah taman yang luasnya beberapa hektare. Dibanyaki tumbuh-tumbuhan hijau, selain itu bunga-bunga bermekaran di sisi-sisinya. Indah, namun menakutkan. Tidak menakutkan bagaimana? Vanzo tiba-tiba membawanya ke sini? Mau apa coba? Seharusnya Kinara tidak berpikiran jauh ke sana, namun tidak memungkinkan hatinya juga merasakan firasat buruk. Namun, berusaha mungkin Kinara menghempaskan pikiran buruk itu. Lagipula tadi Aarav sudah mengancam kakeknya, mengancam untuk tidak menakut-nakuti istrinya ini.“Kalian sudah saling jujur?” tanya Vanzo membuka
Mobil Vanzo kembali melintas jalan raya. Setelah mengatakan akan menunjukkan sesuatu membuat Kinara menurut saja. Dan inilah ia sekarang, berdiam dengan pikiran yang banyak dipenuhi berbagai pertanyaan. Kira-kira apa yang akan Vanzo tunjukan pada Kinara? Kenapa harus berpindah tempat lagi? Bukankah sebuah jawaban tidak harus berpindah tempat lebih dulu? Tapi, kenapa Vanzo malah membawa Kinara pada tempat lain? Ah, membuat Kinara takut saja namun juga penasaran. Mobil akhirnya berhenti dari laju, di depan, Vanzo sudah keluar membuat Kinara ikut keluar. “Sudah sampai Kek?” tanya Kinara selepas ia keluar dari dalam mobil. “Heum, ayo kakek akan menunjukkan hal lain padamu,” ucap Vanzo, Kinara lagi-lagi menurut, benar-benar penasaran apa yang akan ditunjukan Vanzo padanya. Dalam langkah mengikuti kakeknya Kinara mengerlingkan mata, menatap sebuah objek yang dipenuhi dengan pohon hijau. Tempat yang tidak jauh berbeda dengan yang tadi, hanya saja bedanya ini lebih bersih dan terawat. Da
“Kinar, katakan, apa yang tadi Kakek bicarakan padamu? Ke mana kau diajak olehnya? Apa yang dia lakukan? Berapa jam kalian bersama?” tanya Aarav beruntun. Pria itu baru pulang dari kantor, tanpa mengenal lelah Aarav langsung menuju Kinara. Memeluknya kemudian bertanya dengan pertanyaan yang tak cukup satu. “Kakek hanya ajak aku jalan-jalan kok Mas,” jawab Kinara. Dia tersenyum tipis. “Mas gak usah khawatir gitu, kakek gak apa-apain aku kok,” lanjutnya kembali. Bukan, bukan masalah itu yang Aarav khawatirkan. Melainkan ia takut apabila Vanzo menceritakan mengenai dirinya yang memiliki masalalu dengan Ayah Kinara. Sungguh, kebenaran itu untuk saat ini akan Aarav sembunyikan dari Kinara. Dan ia takut apabila Vanzo keceplosan dalam berkata. “Apa ada hal lain yang kakek bicarakan?” tanya Aarav. Entah mengapa hatinya mengatakan kalau Vanzo mengatakan sesuatu. Tapi apa? Tidak mungkin kan kalau berhanyakan jalan-jalan saja? “Banyak sih, tapi eum … ini … ini hanya aku dan Kakek yang tau.”“
Pagi ini Kinara mulai senyum-senyum sendiri, kedekatan ia dan Aarav semakin dekat saja. Terus nempel, kayak perangko. Suara pintu yang diputar membuat Kinara melirikan matanya. Seperti biasa, setiap pagi ia akan disuguhi oleh pria tampan sedunia, siapa lagi kalau bukan suaminya. Aarav baru keluar dari kamar mandi, pria itu seperti biasa, menyimpan handuknya di atas kepala. Sejauh ini suaminya tidak pernah memakai handuk sebatas pinggang, atau mungkin terekspos tubuh atasnya tanpa baju. Sekali dalam seumur hidup, Kinara hanya pernah sekali saja melihat tubuh atasnya tanpa baju, dan itupun saat ia sudah tahu kalau Aarav ternyata mencintainya. Namun sekarang pria itu tampaknya malah malu-malu, belum berani untuk memberikan lebih haknya pada sang istri. Atau … saling memberi hak itu untuk keduanya rasakan. Entahlah, rasanya masih terasa canggung saja, baik Kinara maupun Aarav. Seperti biasa pula, sebagai seorang istri yang baik, Kinara dengan segera menyiapkan pakaian untuk sang suam
“Besok ulang tahun Aarav. Udah siap nih?” tanya Vanzo pada Kinara. Wanita itu terperanjat kaget karena mendapati Vanzo yang tiba-tiba ada di belakangnya. Setelah mengantar sang suami sampai depan rumah, Kinara lantas hendak menutup pintu, namun ia malah dikejutkan oleh pria paruh baya ini. Kinara nyengir kuda. Malu-malu. “Gimana menurutmu rencananya?” tanya Vanzo kembali, pria itu merapikan stelan jasnya, terlihat bahwa dia akan berpergian. “Bagi Kinar sudah bagus kok Kek. Lagian, kalau rencananya terlalu berlebihan Kinar takut terjadi sesuatu sama Mas Aarav nantinya. Masalahnya kan dia gak boleh dibuat terkejut, “ ucap Kinara. Ya, pasalnya ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan suaminya. Walau suaminya baik-baik saja tapi dalam hal memiliki penyakit, Kinara harus lebih bisa waspada. “Kau benar. Baiklah, untuk rencana selanjutnya kita bicarakan nanti. Sekarang kakek mau keluar dulu, kau tidak apa-apa kan tinggal di sini sendiri?”Kinara menggeleng tersenyum. “Tidak apa-apa kok Kek
“Awh!”“Ya ampun Kinar?” Aarav berseru, segera membantu Kinara yang tiba-tiba terjatuh di depan kakinya. “Kenapa bisa ceroboh gini sih?” tanya Aarav. Pria itu sudah merangkul bahu Kinara. Membantunya untuk berdiri. Kinara hanya cengengesan, walau hatinya benar-benar mengutuk akan kelakuan Devan. ‘Devan gila! Bisa-bisanya dia mendorongku!’ gerutu Kinara di dalam hatinya. Ya, setelah hitungan ketiga, Kinara didorong oleh Devan hingga terjatuh tepat di depan Aarav. Alhasil begini jadinya, Aarav langsung mengkhawatirkan dirinya seolah ia benar-benar terjatuh. “Mana yang sakit? Biar Mas lihat.” Aarav menarik lengan Kinara, perempuan itu sedikit meringis kala Aarav menyentuh sikunya. “Kamu tadi habis ngapain sampe jatuh kayak gini?” tanya Aarav sembari memberikan usapan kecil, amat lembut. “Gak ngapa-ngapain Mas. Kinar cuman lewat jalan ini dan yah, mungkin tidak sengaja Kinar menginjak baju Kinar sendiri, berakhir kayak gini,” ujarnya memberi alasan. Aarav bergeming, ia menelisik ba
“Kak, kakak beneran ngasih rumah ini ke Karin?” tanya Karin dengan tatapan tidak percaya. “Iya, daripada terbengkalai, kan? Lebih baik kau tempati dengan suamimu.”Karin terdiam. Ada perasaan tidak enak sebenarnya saat Kinara bertemu dengannya hanya untuk mengatakan hal ini. Ya, satu jam yang lalu Kinara menelfon adiknya—Karin, mengatakan agar perempuan itu segera datang ke rumah yang dulu pernah ditempati. Dan di sinilah sekarang mereka, berdua sembari mengamati isi rumah yang tidak ada perbedaan sedikitpun. Dari warna, bentuk bahkan isi dari dalamnya tidak ada satupun yang berubah. Tentu saja, karena Kinara sudah lama ini tidak berkunjung ke rumah ini. Selain karena sibuk dengan kehidupan rumah tangganya, ia juga tidak ada waktu untuk berkunjung. “Jika Dara ingin ke sini, izinkan saja,” ucap Kinara. Perempuan itu mengambil foto, seulas senyum terbit melihat siapa saja yang ada di dalam foto tersebut. Ayah, Ibu, dan kedua adiknya. Mereka tersenyum dengan lebar. Waktu itu umur me
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug