Charisa duduk di depan cermin kamarnya. Memperhatikan pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat tenang tapi hanyalah topeng yang menyembunyikan badai kecil yang bergejolak di dalam hatinya.Dia sudah berhasil membuat Jean percaya kalau dia dan Genta menjalin hubungan sepasang kekasih. Dia mungkin tidak akan berani lagi mendekatinya atau sekedar mengajaknya untuk makan malam berdua. Tapi kebohongan tinggallah kebohongan. Sandiwaranya dengan Genta tentu menyisakan perasaan bermacam-macam dalam hatinya. Ada sebuah beban baru yang harus ia bawa. Dia harus memanfaatkan perasaan Genta untuk mencapai tujuannya.Charisa tahu Jean hanya ingin lebih dekat dengannya, tapi justru itu yang membuatnya takut. Semakin dekat Jean, semakin besar kemungkinan rahasia yang selama ini ia lindungi terbongkar. Kebohongan kecil ini adalah tamengnya, meski ia sadar tameng itu perlahan menggerogoti dirinya dari dalam.Walau bagaimanapun, dia tidak bisa memungkiri kalau Jean adalah ayahnya Darren
Charisa melangkah masuk ke restoran, tempat yang pernah ia datangi bersama Jean. Aroma pasta dan rempah-rempah segar memenuhi udara, namun tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya yang penuh dengan spekulasi. Ia memilih meja di sudut yang tenang, tempat yang sama di mana mereka pernah berbicara panjang tentang proyek Golden Soul.Sambil menunggu Jean tiba, Charisa melirik jam tangannya dan mencoba menenangkan debaran di dadanya. Berbagai skenario melintas di pikirannya."Apakah ini hanya tentang pekerjaan? Atau dia akan membahas hal yang lebih pribadi?" pikir Charisa. Tatapannya beralih ke pintu restoran, mengantisipasi kedatangan Jean, tapi yang ia temui hanyalah wajah-wajah asing para pelanggan lain.Charisa mendesah pelan, mengambil segelas air yang baru saja dihidangkan pelayan. Jika Jean berniat membicarakan hubungannya dengan Genta, Charisa yakin bahwa keputusannya untuk bersikap terbuka tentang itu akan cukup untuk membuat Jean menyerah. Bagaimanapun, ia sudah menempatkan Genta
Charisa terdiam, merasakan kata-kata Jean menembus pertahanannya. Tatapan pria itu begitu tajam, tetapi ada luka di dalamnya, sesuatu yang membuatnya sulit untuk mengabaikan permintaan itu begitu saja.“Jean...” Charisa berusaha membuka suara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia menundukkan pandangannya, menghindari tatapan yang terus menuntut jawaban.Jean mencondongkan tubuhnya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. "Kau tahu aku tidak akan berhenti bertanya, Charisa. Aku tidak mengerti kenapa kau begitu melarangku bertemu dengan Darren. Kalau ada alasan, aku berhak mengetahuinya."Charisa menghela napas panjang, merasakan perasaan bersalah yang perlahan menguasainya. Jika ia terus menolak, Jean pasti akan semakin curiga, dan rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat bisa saja terbongkar. Namun, mengizinkan Jean bertemu Darren juga bukan keputusan yang mudah.“Aku hanya... aku hanya ingin melindungi Darren,” kata Charisa akhirnya, suaranya pela
Ada alasan kenapa Jean berani mengatakan pada Charisa kalau dia sangat menyukai Darren dan ingin bertemu dengan anak itu. Sebelum dia mengajak Charisa bertemu, dia sempat mengunjungi neneknya Emiko di kediamannya. Dia memang sudah lama tidak menemui neneknya itu karena sibuk.Di rumah neneknya itu tinggal bibi tiri dan putrinya. Ya mereka adalah Asami dan Yuri. Mereka berdua yang mengurus neneknya itu di rumah besarnya. Jean sebenarnya enggan ke sana karena tidak suka jika harus bertemu dengan Asami dan Yuri. Baginya mereka berdua itu adalah orang yang paling mengesalkan sejagad raya. Jean melangkah dengan hati-hati memasuki rumah besar neneknya, merasa sedikit canggung karena sudah lama tidak mengunjungi tempat itu. Ia selalu menghindari bertemu dengan Asami dan Yuri, yang tinggal bersama Emiko. Keduanya—bibi tiri dan putrinya—selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Jean merasa bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang paling mengesalkan di dunia ini. Namun, begitu tiba di paviliun
Charisa tidak bisa menjawab dengan tegas saat makan malam kemarin. Dia terlalu bingung memilih kalimat untuk menjawab semua pertanyaan Jean. Dia harus hati-hati. Kalau dia salah bicara, dia tidak yakin kalau dia bisa menghadapi sebuah resiko besar di depannya yang menanti.Hari ini tidak ada pekerjaan yang begitu sibuk, Charisa hendak menjemput Darren ke sekolahnya. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengan Darren. Pekerjaannya selalu menyita waktu dan pikirannya. Sudah saatnya dia memperhatikan Darren lebih di waktu yang berharga ini.Betapa terkejutnya ia ketika sampai di sekolah Darren. Dia melihat Darren sedang duduk di depan sekolahnya bersama Jean. Keduanya terlihat akrab. Perasaan Charisa langsung cemas takut kalau Jean benar-benar melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Apa mungkin Jean menyadari kalau Darren adalah anaknya.Charisa merasa jantungnya berdegup kencang saat melihat kedekatan antara Jean dan Darren. Semua pikiran buruk mulai muncul, membuatnya
Malam itu Jean duduk di ruang kerjanya ditemani dengan segelas coklat yang kini sudah dingin. Dia menatap intens kantong plastik kecil yang berisi beberapa helai rambut Darren yang ia ambil secara diam-diam saat dia mengusak rambut anak kecil itu.Ada seribu pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Ada dorongan dalam hatinya ingin mencari tahu di balik sikap Charisa seperti itu padanya. Entah kenapa kalau hatinya merasa kalau anak itu adalah darah dagingnya. Setiap dia melihat Darren, Jean merasa sedang melihat dirinya waktu masih kecil. Tekadnya sudah bulat kalau dia harus mencari jawaban atas semua pertanyaannya.Kemudian dia membuka laptopnya mengetik beberapa kalimat di kolom pencarian internet. Dia mencari laboratorium DNA yang bisa terpercaya dan bisa menjaga kerahasiaan kliennya. Ternyata di Tokyo ada banyak laboratorium yang bisa menguji kecocokan DNA. Dan setelah beberapa lama mencari yang cocok, ada satu yang lokasinya tidak terlalu jauh dan lumayan terpercaya. Jean segera me
Charisa merasa lega setelah beberapa hari terakhir ini Jean tidak lagi menghubunginya atau muncul dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik. Sejak proyek Golden Soul dengan Hotel Orbite selesai, hubungan kerja mereka pun resmi berakhir. Baginya, ini adalah bukti bahwa rencananya berhasil. Jean mundur, dan Charisa akhirnya bisa mengatur kembali hidupnya tanpa bayang-bayang pria itu.Untuk merayakan keberhasilan ini, Charisa memutuskan mengajak seluruh karyawan Golden Soul untuk makan malam bersama. Acara ini bukan hanya bentuk apresiasi atas kerja keras timnya, tetapi juga kesempatan baginya untuk melepaskan ketegangan yang selama ini ia rasakan. Sebuah restoran bergaya modern di pusat kota Tokyo menjadi pilihan, dengan suasana hangat dan hidangan yang menggugah selera.Saat malam tiba, Charisa mengenakan gaun simpel namun elegan, berwarna biru gelap yang memancarkan profesionalisme dan keanggunan. Ia tiba lebih awal untuk memastikan segalanya berjalan lancar. Satu per satu, karyawann
Jean sedang duduk di ruang kerjanya. Matanya terfokus pada slide komputer yang sedang menampilkan presentasi agenda acara hotelnya. Ayahnya memberi tugas padanya untuk membuat acara amal yang diselenggarakan hotel Orbite. Akan ada banyak tamu undangan penting yang akan hadir termasuk mantan Perdana Menteri Jepang.Terbit ide darinya untuk mengundang Charisa. Dia memang sudah sangat merindukan gadis itu. Tetapi dia tidak bisa bertemu dengannya begitu saja. Dia terlalu takut jika Charisa akan semakin menjauh dan membencinya karena terus mencari cara untuk mendekatinya.Meskipun dia berusaha untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, namun bayang-bayang Charisa dengan Darren terus memenuhi kepalanya. Perasaan rindunya semakin hari tidak bisa ia kendalikan. Sehingga, Jean memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, yakni acara besar yang akan diadakan di hotelnya. Ini adalah momen yang tepat untuk memperbaiki hubungan mereka tanpa membuat Charisa merasa terintimidasi.Namun, dalam me
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin