Malam itu Jean duduk di ruang kerjanya ditemani dengan segelas coklat yang kini sudah dingin. Dia menatap intens kantong plastik kecil yang berisi beberapa helai rambut Darren yang ia ambil secara diam-diam saat dia mengusak rambut anak kecil itu.Ada seribu pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Ada dorongan dalam hatinya ingin mencari tahu di balik sikap Charisa seperti itu padanya. Entah kenapa kalau hatinya merasa kalau anak itu adalah darah dagingnya. Setiap dia melihat Darren, Jean merasa sedang melihat dirinya waktu masih kecil. Tekadnya sudah bulat kalau dia harus mencari jawaban atas semua pertanyaannya.Kemudian dia membuka laptopnya mengetik beberapa kalimat di kolom pencarian internet. Dia mencari laboratorium DNA yang bisa terpercaya dan bisa menjaga kerahasiaan kliennya. Ternyata di Tokyo ada banyak laboratorium yang bisa menguji kecocokan DNA. Dan setelah beberapa lama mencari yang cocok, ada satu yang lokasinya tidak terlalu jauh dan lumayan terpercaya. Jean segera me
Charisa merasa lega setelah beberapa hari terakhir ini Jean tidak lagi menghubunginya atau muncul dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik. Sejak proyek Golden Soul dengan Hotel Orbite selesai, hubungan kerja mereka pun resmi berakhir. Baginya, ini adalah bukti bahwa rencananya berhasil. Jean mundur, dan Charisa akhirnya bisa mengatur kembali hidupnya tanpa bayang-bayang pria itu.Untuk merayakan keberhasilan ini, Charisa memutuskan mengajak seluruh karyawan Golden Soul untuk makan malam bersama. Acara ini bukan hanya bentuk apresiasi atas kerja keras timnya, tetapi juga kesempatan baginya untuk melepaskan ketegangan yang selama ini ia rasakan. Sebuah restoran bergaya modern di pusat kota Tokyo menjadi pilihan, dengan suasana hangat dan hidangan yang menggugah selera.Saat malam tiba, Charisa mengenakan gaun simpel namun elegan, berwarna biru gelap yang memancarkan profesionalisme dan keanggunan. Ia tiba lebih awal untuk memastikan segalanya berjalan lancar. Satu per satu, karyawann
Jean sedang duduk di ruang kerjanya. Matanya terfokus pada slide komputer yang sedang menampilkan presentasi agenda acara hotelnya. Ayahnya memberi tugas padanya untuk membuat acara amal yang diselenggarakan hotel Orbite. Akan ada banyak tamu undangan penting yang akan hadir termasuk mantan Perdana Menteri Jepang.Terbit ide darinya untuk mengundang Charisa. Dia memang sudah sangat merindukan gadis itu. Tetapi dia tidak bisa bertemu dengannya begitu saja. Dia terlalu takut jika Charisa akan semakin menjauh dan membencinya karena terus mencari cara untuk mendekatinya.Meskipun dia berusaha untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, namun bayang-bayang Charisa dengan Darren terus memenuhi kepalanya. Perasaan rindunya semakin hari tidak bisa ia kendalikan. Sehingga, Jean memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, yakni acara besar yang akan diadakan di hotelnya. Ini adalah momen yang tepat untuk memperbaiki hubungan mereka tanpa membuat Charisa merasa terintimidasi.Namun, dalam me
Charisa sedang mengerjakan desain miliknya di layar tabletnya di ruang kerjanya. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu dan Kinara muncul di baliknya.“Nona ada tamu dari Hotel Orbite ingin bertemu,” ucap Kinara membuat wajah Charisa langsung tegak dan menatapnya dengan wajah semringah.“Benarkah? Izinkan dia masuk!” titah Charisa tanpa sadar dia merapikan helai rambut di dahinya dan melirik sekilas pada layar PC nya kalau riasan dia masih sempurna.“Selamat siang Nona Charisa!” sapa seseorang sambil memasuki ruangannya.“Siang,” jawab Charisa dengan senyuman cerah, namun sekejap senyumnya berubah dengan wajah kecewa. Ternyata yang datang bukanlah Jean tetapi salah satu asistennya yaitu Ryuga.“Apa kabarmu Nona Charisa?” sapa Ryuga dengan sopan.“Baik. Ada perlu apa datang kemari?” tanya Charisa dengan nada yang ramah. Dia tidak mengira kalau asistennya yang akan menemuinya duluan dibanding tuannya.“Kedatanganku kemari adalah untuk memberikan undangan ini!” jawab Ryuga sambil menyerahkan
Charisa sengaja memesan gaun malam yang cantik untuk menghadiri acara amal itu. Dia juga sengaja merias wajahnya lebih glamor dari biasanya. Dia tahu kalau acara itu pasti banyak hadir orang-orang penting dan juga berkelas. Dirinya tidak mau kalau penampilannya tidak sesuai dengan standar para tamu di acara tersebut. Charisa ingin memastikan bahwa dirinya tampil memukau dan meninggalkan kesan yang kuat, terutama karena beberapa klien potensial akan hadir di acara amal itu.Di balik dia ingin tampil lebih memukau karena acara itu, sebenarnya dia juga ingin terlihat berbeda di depan Jean. Entahlah kenapa dia bisa seperti ini. Ada pepatah mengatakan bahwa "penampilan adalah cerminan dari keadaan hati," dan Charisa merasa bahwa dirinya perlu menunjukkan kekuatan dan kedewasaan dalam setiap aspek dirinya. Meskipun dia tidak ingin mengakui itu, ada keinginan tersembunyi untuk membuat Jean terkesan, bahkan jika hanya sedikit. Sejak pertemuan terakhir mereka, ada sesuatu dalam diri Charisa ya
Dari kejauhan Jean mengawasi gerak-gerik Charisa bersama Darren di hall hotelnya. Ryuga dan Eiji menemaninya.“Jadi dia pergi bersama Masaru?” tanya Jean.“Iya Tuan. Bukankah itu yang Tuan mau?” tanya Ryuga.Jean merespon dengan wajah yang kurang puas. Dia merasa Masaru juga menjadi masalah baginya karena kedekatannya dengan Darren. Tapi kehadiran Charisa yang lebih menyita perhatiannya. Dia begitu cantik dan elegan. Jean merasa ingin memiliki gadis itu sendiri.Jean mengerutkan keningnya, matanya tak pernah lepas dari sosok Charisa yang melangkah dengan penuh percaya diri, ditemani oleh Darren dan Masaru. Meskipun dia tahu bahwa Masaru hanya seorang karyawan perusahaannya, namun ada sesuatu dalam diri Jean yang merasa tidak nyaman melihat kedekatan mereka. Apalagi malam ini Charisa tampak mempesona dan anggun berbeda dari biasanya. Gaun emerald green yang membalut tubuh rampingnya membuat Jean lebih berdebar karena itu menambah daya tariknya Charisa."Dia tahu cara membuat perhatian
Charisa melangkah perlahan di hall hotel, menikmati momen kecil berbincang dengan Tuan Juko. Percakapan mereka cukup mengalir, meskipun pikirannya sesekali melayang ke Darren yang tadi bermain tak jauh darinya bersama Masaru. Dia yakin anak itu aman karena Masaru selalu bisa diandalkan.Namun, saat percakapan dengan Tuan Juko selesai, pandangan Charisa menyapu ruangan untuk mencari Darren. Alisnya berkerut ketika dia tidak menemukan sosok kecil itu di tempat terakhir dia melihatnya."Di mana dia?" pikir Charisa, mencoba tetap tenang.Dia menoleh ke kiri dan kanan, melangkah lebih cepat ke sudut ruangan di mana Darren biasanya bermain. Namun, yang dia temukan hanya orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada Darren.“Masaru!” panggilnya dengan nada yang mulai tegang, tapi tidak ada jawaban.Panik mulai merayap ke dalam dirinya. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan rasa dingin merayap di punggungnya. Dia mencoba mengingat dengan pasti kapan terakhir kali dia
Sisa acara malam itu dilalui Charisa dengan penuh waspada. Dia takut Jean berbuat sesuatu lagi dari sekedar membawa Darren diam-diam ke ruangannya.Karena malam itu adalah acara amal, Charisa pun berniat ikut berpartisipasi dalam acara itu. Dia menyumbang untuk amal sebesar 10.000 USD. Meskipun nominal itu cukup sedikit dibandingkan dengan orang-orang penting lainnya. Dari awal dia memang sudah berniat untuk ikut berpartisipasi. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika dia melihat list penyumbang, namanya tersebut dua kali dengan nominal yang berbeda. Apakah ada dua orang yang bernama sama dengan dirinya. Cukup shock juga melihat nominal fantastis yang tertera di nama dia yang lain. Dua ratus ribu USD atau sekitar empat milyar rupiah. Charisa sampai mengecek rekeningnya takutnya dia salah mentransfer. Tetapi di rekening pribadinya pun tidak akan ada uang sebesar itu. Lantas kenapa bisa ada namanya dua kali.Charisa kemudian melihat Ryuga yang kebetulan lewat di depannya.“Tuan Ryuga aku m
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin