Setelah menolaknya untuk makan malam dengannya karena ada janji dengan Genta. Jean tidak langsung pergi begitu saja. Diam-diam dia membuntuti Charisa untuk memastikan kalau dia memang pergi menemui Genta.Tak berapa lama kemudian Charisa naik ke dalam taksi meninggalkan gedung kantornya. Jean pun mengikutinya dari jarak yang aman. Apakah benar Charisa pergi menemui Genta. Setelah hampir dua puluh menit berkendara, Charisa berhenti di sebuah restoran mewah Italia. Gadis itu kemudian turun dari taksi dan masuk ke restoran dengan langkah percaya diri, sementara itu Jean hanya bisa menahan sesak di dalam mobilnya membayangkan dua sejoli bertemu untuk makan malam romantis."Kalau benar dia bertemu Genta, aku ingin melihatnya sendiri," gumam Jean.Tidak lama setelah Charisa masuk, seorang pria jangkung dan tampan muncul. Jean mengenali Genta meski hanya satu kali melihatnya. Postur Genta yang tinggi besar dan memiliki sepasang mata teduh dengan alis yang lumayan tebal. Mereka saling men
Charisa sedikit lega setelah berbohong pada Jean. Setidaknya pria itu akan menjaga jarak jika dia mengaku memulai hubungan baru dengan Genta. Ini adalah sebuah rencana bagus, lagipula sebentar lagi pekerjaan Golden Soul akan selesai. Jadi Jean tidak akan ada alasan lagi untuk menemuinya.Lega tetapi Charisa tidak bisa menutup mata kalau Jean adalah tetap ayah kandungnya Darren. Dia hanya tidak ingin Darren akan kecewa jika ayahnya itu suatu waktu akan meninggalkannya karena status sosial mereka yang berbeda. Dia hanya seorang pengusaha perintis yang tidak ada bandingannya dengan keluarga Jean yang konglomerat.Keesokan harinya, Charisa mengumpulkan semua karyawannya di ruang rapat. Memang setiap dua kali dalam sebulan Charisa selalu mengumpulkan semua karyawan untuk evaluasi atau membahas perusahaan mereka.Charisa berdiri di depan ruang rapat Golden Soul, mengamati wajah-wajah para karyawannya yang menatapnya dengan serius. Suasana di ruangan itu penuh dengan antisipasi. Tenggat wakt
Harus ada gerakan yang lebih membuat Jean berhenti untuk terus mendekatinya. Maka dari itu Charisa sengaja untuk membuat pertemuan dengan Genta di hotel Orbite. Kebetulan Genta masih punya ada waktu senggang sebelum dia masuk kerja di rumah sakit. Charisa melihat pantulan dirinya sekali lagi di cermin spion mobilnya, memastikan segala sesuatunya sempurna. Gaun hitam elegan dengan potongan sederhana, dipadukan dengan sepatu hak rendah, memberikan kesan anggun tanpa terlihat berlebihan. Dia tahu betul, tempat ini adalah panggung yang ideal untuk sandiwaranya—restoran hotel Orbite, milik Jean.“Dengan begini, dia tidak mungkin mengirimku bunga atau pesan-pesan manis padaku lagi!” sungut Charisa.Setelah dirasa sempurna, Charisa pun turun dari mobil dan berjalan menuju restoran hotel Orbite yang berada di lantai 15. Sampai saat ini dia belum tahu apakah Jean ada di hotel atau tidak. Jika beruntung, Jean akan memergokinya berada di restoran.Genta sudah menunggu di meja yang dia pilih, t
Setelah melihat Charisa bersama Genta sebenarnya hati Jean merasa terbakar api cemburu. Dia melarikan diri ke bar hotelnya mencari pelampiasan emosinya di sana.Pria yang sedang patah hati itu menatap kosong ke dalam gelas kristalnya, memutar perlahan alkohol di dalamnya. Suara riuh bar hotel Orbite seakan hanya menjadi latar yang tak berarti. Di seberang mejanya, banyak pengunjung bar yang tertawa dan berbagi cerita, tetapi tidak ada yang mampu mengusir bayang-bayang yang memenuhi pikirannya—bayangan Charisa dan Genta bersama.Dia mendesah pelan, lalu meminum habis isi gelasnya dalam satu tegukan. Kehangatan alkohol menjalar cepat ke tubuhnya, tetapi tidak cukup untuk meredakan rasa sesak di dadanya.Ryuga, salah satu asistennya, duduk di kursi sebelah, mengawasinya dengan cemas. Mereka takut kalau bosnya itu akan bertindak gegabah di tengah rasa mabuknya.“Tuan Jean, sebaiknya Anda berhenti minum. Anda sudah melewati batas biasanya.”Jean melirik Ryuga dengan senyum pahit. “Ryuga,
Charisa duduk di depan cermin kamarnya. Memperhatikan pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat tenang tapi hanyalah topeng yang menyembunyikan badai kecil yang bergejolak di dalam hatinya.Dia sudah berhasil membuat Jean percaya kalau dia dan Genta menjalin hubungan sepasang kekasih. Dia mungkin tidak akan berani lagi mendekatinya atau sekedar mengajaknya untuk makan malam berdua. Tapi kebohongan tinggallah kebohongan. Sandiwaranya dengan Genta tentu menyisakan perasaan bermacam-macam dalam hatinya. Ada sebuah beban baru yang harus ia bawa. Dia harus memanfaatkan perasaan Genta untuk mencapai tujuannya.Charisa tahu Jean hanya ingin lebih dekat dengannya, tapi justru itu yang membuatnya takut. Semakin dekat Jean, semakin besar kemungkinan rahasia yang selama ini ia lindungi terbongkar. Kebohongan kecil ini adalah tamengnya, meski ia sadar tameng itu perlahan menggerogoti dirinya dari dalam.Walau bagaimanapun, dia tidak bisa memungkiri kalau Jean adalah ayahnya Darren
Charisa melangkah masuk ke restoran, tempat yang pernah ia datangi bersama Jean. Aroma pasta dan rempah-rempah segar memenuhi udara, namun tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya yang penuh dengan spekulasi. Ia memilih meja di sudut yang tenang, tempat yang sama di mana mereka pernah berbicara panjang tentang proyek Golden Soul.Sambil menunggu Jean tiba, Charisa melirik jam tangannya dan mencoba menenangkan debaran di dadanya. Berbagai skenario melintas di pikirannya."Apakah ini hanya tentang pekerjaan? Atau dia akan membahas hal yang lebih pribadi?" pikir Charisa. Tatapannya beralih ke pintu restoran, mengantisipasi kedatangan Jean, tapi yang ia temui hanyalah wajah-wajah asing para pelanggan lain.Charisa mendesah pelan, mengambil segelas air yang baru saja dihidangkan pelayan. Jika Jean berniat membicarakan hubungannya dengan Genta, Charisa yakin bahwa keputusannya untuk bersikap terbuka tentang itu akan cukup untuk membuat Jean menyerah. Bagaimanapun, ia sudah menempatkan Genta
Charisa terdiam, merasakan kata-kata Jean menembus pertahanannya. Tatapan pria itu begitu tajam, tetapi ada luka di dalamnya, sesuatu yang membuatnya sulit untuk mengabaikan permintaan itu begitu saja.“Jean...” Charisa berusaha membuka suara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Ia menundukkan pandangannya, menghindari tatapan yang terus menuntut jawaban.Jean mencondongkan tubuhnya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. "Kau tahu aku tidak akan berhenti bertanya, Charisa. Aku tidak mengerti kenapa kau begitu melarangku bertemu dengan Darren. Kalau ada alasan, aku berhak mengetahuinya."Charisa menghela napas panjang, merasakan perasaan bersalah yang perlahan menguasainya. Jika ia terus menolak, Jean pasti akan semakin curiga, dan rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat bisa saja terbongkar. Namun, mengizinkan Jean bertemu Darren juga bukan keputusan yang mudah.“Aku hanya... aku hanya ingin melindungi Darren,” kata Charisa akhirnya, suaranya pela
Ada alasan kenapa Jean berani mengatakan pada Charisa kalau dia sangat menyukai Darren dan ingin bertemu dengan anak itu. Sebelum dia mengajak Charisa bertemu, dia sempat mengunjungi neneknya Emiko di kediamannya. Dia memang sudah lama tidak menemui neneknya itu karena sibuk.Di rumah neneknya itu tinggal bibi tiri dan putrinya. Ya mereka adalah Asami dan Yuri. Mereka berdua yang mengurus neneknya itu di rumah besarnya. Jean sebenarnya enggan ke sana karena tidak suka jika harus bertemu dengan Asami dan Yuri. Baginya mereka berdua itu adalah orang yang paling mengesalkan sejagad raya. Jean melangkah dengan hati-hati memasuki rumah besar neneknya, merasa sedikit canggung karena sudah lama tidak mengunjungi tempat itu. Ia selalu menghindari bertemu dengan Asami dan Yuri, yang tinggal bersama Emiko. Keduanya—bibi tiri dan putrinya—selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Jean merasa bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang paling mengesalkan di dunia ini. Namun, begitu tiba di paviliun
Jean mengemudikan mobilnya dengan cepat, meskipun pikirannya terpusat pada informasi yang baru saja diterimanya. Sebuah gambar dari Ryuga masih terbayang di matanya. Gambar Kazuto, wajahnya yang tak asing, dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. Ada sesuatu yang meresahkan dalam diri Jean, sesuatu yang mengingatkannya bahwa ancaman ini mungkin jauh lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.Kazuto, dengan hubungan gelapnya dan catatan kriminal yang panjang, seharusnya sudah cukup untuk mengundang rasa curiga. Tapi yang paling mengejutkan baginya adalah catatan dari Ryuga yang menyebutkan bahwa Kazuto pernah terlibat dalam sebuah kasus kriminal dengan Yuri. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Jean tidak tahu, tapi yang jelas, ia merasa bahwa Charisa sedang terjerat dalam sesuatu yang berbahaya, dan ia tidak bisa hanya duduk diam.Jean berusaha menenangkan dirinya saat mobilnya menyusuri jalan menuju hotel. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Apa yang harus ia lakukan setelah ini?
Jean yang takut terjadi sesuatu pada Darren, akhirnya dia melajukan mobilnya ke rumah Charisa. Sampai di sana dia tidak berani keluar, dia hanya duduk di mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Charisa. Dia menarik napas lega ketika melihat Charisa duduk di balkon. Dia juga sudah memastikan Darren baik-baik saja dijemput oleh Masaru. Baru saja ia hendak pergi meninggalkan lingkungan rumah Charisa. Dia melihat sebuah mobil berhenti tak jauh darinya. Jean mulai khawatir jika ada seseorang yang mengintai Charisa dan Darren, jadi dia memutuskan untuk mengawasi dan memastikan siapa orang itu.Betapa terkejutnya dia melihat siapa yang turun dari mobil. Genta, kekasih Charisa. Melihat pria itu di sini, berbicara dengan Charisa di tengah malam, membuat darahnya mendidih.Jean menggertakkan giginya. Perasaan cemburu merambat di hatinya, mencengkeram lebih keras dengan setiap gerakan yang dilihatnya. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa pria itu ada di sini? pikirnya. Ia membenci betapa deka
Genta duduk di dalam mobilnya sambil mengetuk setir mobilnya. Dia memandangi rumah Charisa dengan perasaan yang campur aduk. Udara malam terasa sejuk, tapi dadanya penuh dengan kegelisahan yang membakar perlahan.Ia mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu memikirkan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya. Genta mengingat dengan jelas saat Charisa tiba-tiba menggenggam tangannya erat di restoran malam itu, memintanya berpura-pura seperti sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Namun tatapan cemas di mata Charisa tidak bisa ia lupakan. Itu bukan sikap biasa. Bagaimana sikap dan nada bicara Charisa saat ia menghadapi pria itu. Seperti yang ia duga, pria itulah yang membuat Charisa rela bersandiwara dengannya agar membuat pria itu tidak mau mendekatinya. Hanya saja Genta penasaran seperti apa pria itu sehingga Charisa begitu putus asa sampai membuat sandiwara seperti itu.Genta menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengapa dia begitu memikirka
Charisa merasa ada sesuatu yang tidak beres. Setelah percakapan yang tegang dengan Jean. Ketidaknyamanan dan kecemasan yang sudah ia rasakan semakin menjadi-jadi. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk pulang lebih awal hari itu. Ia merasa ada yang harus dia pastikan sendiri, terutama mengenai keadaan Darren dan apakah semuanya benar-benar aman seperti yang dikatakan Jean.Sesampainya di rumah, Charisa langsung memarkir mobilnya dengan cepat. Begitu keluar dari mobil, matanya langsung mencari-cari kehadiran Darren. Tidak lama kemudian, dia melihat Masaru dan Darren baru saja tiba. Masaru membawa tas sekolah Darren, sedangkan Darren berjalan di sampingnya dengan langkah ringan, tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan atau kecemasan.Charisa mendekat dengan cepat, wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat tegang. “Darren,” panggilnya dengan suara lembut tapi penuh perhatian.Darren menoleh dan tersenyum kecil. “Mama! Tumben sekali jam segini sudah pulang,” katanya dengan riang
Jean menatap layar ponselnya dengan tangan yang gemetar. Foto itu terlalu jelas, terlalu nyata. Ia memeriksa detail gambar tersebut—Darren terlihat sedang tertawa, tidak menyadari bahwa seseorang mengawasinya dari kejauhan. Jean mencoba menenangkan pikirannya, tetapi kata-kata di pesan itu terus terngiang di kepalanya: “Kau tidak akan pernah tahu masa depan anak ini.”Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah panggilan masuk dari nomor yang sama. Jean menatap layar itu selama beberapa detik, ragu-ragu untuk menjawab. Namun, naluri untuk melindungi Darren membuatnya memutuskan untuk mengangkat telepon.“Siapa ini?” tanyanya tajam, suaranya dingin namun mengandung ketegangan.Suara di seberang terdengar datar, hampir seperti berbisik. “Hanya seseorang yang tahu bahwa setiap rahasia punya harga, Jean.”Jean mengepalkan tangan. “Apa yang kau inginkan?”“Aku ingin kau tahu apa artinya kehilangan kendali,” jawab suara itu, diiringi tawa kecil yang m
Jean tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Yuri. Ia merasa seperti dirinya sedang berada di ujung jurang, di mana setiap langkah bisa mengarah pada kehancuran. Tetapi, ia mencoba untuk tetap menjaga kewarasannya."Yuri, jika kau berniat mengancamku..." Jean mencoba berbicara dengan suara tegas, meski ia tahu kata-kata itu tidak akan cukup untuk meredakan ketegangan yang berkembang.Yuri tertawa ringan, tapi tawa itu penuh dengan sarkasme. "Mengancam? Oh, tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu seberapa besar keberanianmu, Jean. Jika kau pikir semuanya akan tetap seperti biasa, kau salah besar."Senyum di wajah Yuri semakin lebar, membuat Jean merasa semakin terperangkap. Yuri tidak hanya datang untuk mengancam—ia datang untuk menunjukkan bahwa ia tahu lebih banyak dan bisa mengungkapkan semuanya kapan saja, jika Jean tidak mematuhi aturan permainan yang baru ini.Jean mencoba untuk tetap tenang, tetapi hatinya semakin berat. Apa yang sebenarnya Yuri tahu? Apa yang akan ia lakukan de
Akhirnya Jean pulang dengan tubuh lesu. Sampai di dalam rumahnya, dia berdiri di ruang tamu yang sepi, membiarkan keheneningan meresap ke dalam dirinya.“Sudah kuduga, Charisa tetap tidak akan berubah sikap. Dia terus menyangkal … tapi aku juga tidak bisa menyerah begitu saja,” gumam Jean menyayangkan sikap Charisa tadi.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari untuk mengambil segelas air, tetapi tidak meminumnya. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar pada momen-momen sebelumnya. Sorot mata Charisa yang penuh ketakutan, nada suaranya yang lirih namun tegas, semua itu terus terngiang-ngiang di benaknya.‘Dia takut tapi bukan hanya padaku, tapi pada apa yang akan terjadi jika keluargaku tahu. Dia tidak salah. Aku tahu seperti apa keluargaku—egois, manipulatif , dan selalu memikirkan kepentingan mereka sendiri.’‘Charisa punya alasan untuk melindungi Darren dari itu semua. Tapi aku... aku tidak bisa terus diam. Aku tidak bisa hanya menjadi bayangan dalam hidup anakku.’Jean berjalan m
Charisa menatap Jean dengan sorot mata penuh perlawanan. Dia tidak mengira kalau lagi-lagi Jean mengatakan Darren adalah anaknya. Sekejap hati Charisa sedikit menciut karena bisa jadi apa yang ia coba sembunyikan sebentar lagi akan terbongkar.“Kau terlalu percaya pada imajinasimu sendiri. Darren bukan putramu. Jadi berhenti membicarakan apa yang kau inginkan ke hidupku dan hidup Darren.”Jean tertawa kecil, sarkastik, tetapi matanya menunjukkan rasa sakit yang mendalam. “Begitu, ya? Kau masih mau menyangkal, bahkan ketika semuanya jelas.”Charisa menggelengkan kepala dengan frustasi. “Jean, hidupku sudah cukup rumit tanpa tambahan drama seperti ini. Jika kau tidak bisa menerima kenyataan, aku sarankan kau menjauh. Aku tidak akan membiarkan Darren terseret dalam kekacauan yang kau buat.”Jean berdiri diam, terperangkap di antara keinginannya untuk melawan dan kebenaran yang Charisa tegaskan. Perkataannya seolah membenturkan dinding tak terlihat yang tak bisa ia lewati.Charisa menghel
Setelah acara selesai, Jean diam-diam mengikuti mobil Masaru. Ingin memastikan kalau Charisa dan Darren sampai ke rumah dengan selamat. Dengan jarak yang aman Jean mengendarai mobilnya mengikuti arah mobil Masaru.Sampai di depan rumahnya, Charisa keluar dari mobil bersamaan dengan Masaru. Tetapi pemandangan berikutnya membuat Jean tidak sedikit terganggu. Masaru menggendong Darren yang tertidur di mobil. Charisa meminta Masaru untuk menggendongnya ke dalam rumah. Jean menggenggam setir mobilnya dengan kuat karena menahan gejolak amarah dalam dadanya. Dia tidak suka jika Masaru menggendong anaknya sampai ke dalam rumah. Sebagai seorang ayah tentu ini bukan perkara sepele. Charisa membuka pintu rumah dan mengangguk kecil pada Masaru, senyumnya lembut. “Hati-hati, Masaru. Jangan sampai Darren terbangun,” katanya pelan. Masaru mengangguk sambil menyesuaikan posisi Darren di pelukannya, langkahnya mantap menuju pintu. Charisa terlihat sangat mengandalkan Masaru untuk menggendong Darren