Pikiran Clara seketika berfantasi liar ke mana-mana. Namun hal itu segera dipatahkan oleh Sebastian.“Kita sudah melewatkan waktu makan malam, jadi sebaiknya kita makan sekarang.”Clara seketika bernapas lega. Dia nyaris saja berpikir bahwa Sebastian ingin dilayani di saat-saat seperti ini. Padahal pria itu terlihat lelah.Pukul 19.00 waktu setempat, keduanya tiba di sebuah restoran mewah yang berada di pusat kota. Sebastian sudah melakukan reservasi terlebih dahulu.Sebastian mengajak Clara masuk, namun, tidak untuk Ramon. Dan itu menimbulkan rasa tidak enak hati Clara terhadap Ramon. Clara menatap pria yang masih berdiam di balik kemudi mobil, selanjutnya mobil itu bergerak menjauhi area restoran.“Tuan, mengapa Tuan Ramon tidak ikut dengan kita?” tanya Clara sembari mengekor di belakang Sebastian.Yang ditanya seketika melirik ke samping sekilas sebelum akhirnya menjawab. “Dia sudah tahu tugasnya, jadi kamu tidak perlu memikirkan dia.”Clara cukup lega mendengarnya. Mungkin saja
Sebastian menyunggingkan senyumnya. Kenyataan bahwa Clara telah tertidur membuat Sebastian senang. Secara otomatis Clara tidak jadi mengunjungi suaminya. Dan hal itu menimbulkan ketenangan tersendiri bagi Sebastian.Tidak sia-sia Sebastian mengulur waktu. Sebastian memang sengaja mengajak Clara di restoran yang terkenal dengan pelayanan terlama. Dan tujuannya agar Clara melupakan niatnya menjenguk suaminya. Dan Sebastian telah berhasil.“Ke mana lagi, Tuan?” tanya Ramon sebelum kembali menjalankan mobilnya.“Kita pulang sekarang!” titah Sebastian.“Baik.”Kendaraan hitam mengkilat itu bergerak menjauhi area restoran. Sebastian terlihat sangat senang seolah baru mendapatkan sebongkah berlian. Padahal hanya hal kecil yang nilainya tidak ada harganya.Sebastian melirik ke samping dan melihat wanita yang dalam kondisi menutup mata. Dengkuran halus terdengar dan membuat Sebastian yakin bahwa Clara benar-benar tertidur.Tiba di mansion, Ramon keluar terlebih dahulu kemudian membukakan pintu
Clara segera menutup mulutnya saat menyadari nada suaranya yang begitu tinggi. Itu karena dia kaget saat mendengar ucapan Sebastian. Dia segera menunduk kala tatapan tajam Sebastian menghujaninya.“Itu adalah kamarmu, selama tinggal di sini. Kamu akan tidur di kamar itu,” ucap Sebastian.Clara mengangguk saja tanpa mengeluarkan suara.Sebastian melirik ke arah Clara lalu berkata, “Kenapa? Kamu tampak kecewa? Jangan-jangan kamu sungguh ingin satu kamar denganku?” goda Sebastian.Clara melotot. Dia menggeleng cepat kemudian berkata, “Tidak, mana mungkin saya berani begitu.”Sebastian menyunggingkan senyumnya. “Dengar, Clara! Tidak akan ada yang berubah dengan hubungan kita, sekalipun kamu telah berhasil mengandung anakku nanti, hubungan kita hanya sebatas orang tua, tidak lebih, itu sebabnya harus ada batasan antara kita.” Sebastian berkata sembari memotong roti panggang di piring.Clara terdiam. Dia memikirkan ucapan Sebastian. “Jika saya berhasil memberi Anda seorang anak, apakah saya
Hembusan napas lega keluar dari mulut Clara. Dia pikir Sebastian akan berubah pikiran kemudian melarangnya pergi ke rumah sakit. Kalau itu sampai terjadi, entah apa yang akan dirinya lakukan?Clara segera melangkah menuju pintu keluar. Sesuai dengan perintah, Clara menutup pintu ruangan Sebastian dari luar. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pria itu tidak pulang?“Ini sudah sore.” Clara memeriksa arloji di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 5 sore.Clara berbalik, dia tersentak kaget saat mendapati sosok lain di depannya. Pria dengan aura yang dingin menusuk. Bahkan lebih dingin dari Sebastian. Wajahnya tampan, tetapi jarang senyum. Dia juga irit sekali bicara.“Tuan Ramon, kamu mengejutkan saya,” ucap Clara.Pria itu tidak merespon melainkan menggeser tubuhnya untuk memberi jalan pada Clara.Hal itu membuat Clara melongo. “Kemarin dia bisa bicara sekarang seperti orang bisu,” batin Clara sembari membawa langkahnya menjauh.Clara berjalan keluar gedung, dan menuju ke
Clara menggeleng, dia segera membuang jauh-jauh perasaan itu. Tidak seharusnya dirinya menaruh rindu terhadap pria lain sedangkan ada pria yang lebih pantas menerima rindunya yaitu William, suaminya.Namun, seperti yang dia lihat. Lelaki itu sama sekali tidak bergerak. Ini sudah satu tahun sejak kecelakaan yang dialaminya. Cahaya kehidupan William seolah meredup. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali, namun beberapa organ dalam tubuhnya seperti jantung dan nadinya masih berdenyut.Secercah harapan muncul ketika mengetahu bahwa napas masih melekat di tubuh William. Dan Clara berpikir, mungkin saja jiwa William sedang berkeliaran di luar, dan kesulitan menemukan jalan pulang.Clara mendekati brankar suaminya, kemudian meraih jemari kurus itu lalu menggenggamnya.“Sayang, bangunlah! Apa kamu tidak lelah tidur terus?”Bagai bicara dengan patung, begitulah setiap Clara mengunjungi suaminya. Dia akan bicara sendiri, lalu dijawab sendiri. Kadang dia menganggap dirinya sudah gila karena sudah b
“Tuan Bastian!” Clara jelas saja kaget dan tidak bisa menghindar. Alhasil dia terjatuh dengan posisi Sebastian menindih tubuhnya. Aroma alkohol begitu menyengat.Ramon segera keluar setelah mematikan mesin mobil dan segera menghampiri Sebastian untuk membantunya bangun.“Tuan!” tubuh pria itu ditarik, dan membuatnya berdiri. Penjaga yang melihat itu segera berlari dan membantu. Kedua tangan Sebastian diraih.Setelah tubuh Sebastian berhasil diangkat dari atas tubuhnya, barulah Clara bangkit dari posisinya.“Tuan Ramon, apa yang terjadi pada Tuan Bastian?” tanya Clara.“Beliau mabuk!” jawab Ramon singkat.“Apa? Mabuk?” Seumur-umur bekerja dengan Sebastian, Clara baru mendengar bahwa Sebastian mabuk. Clara memandang pria yang kini tidak sadarkan diri itu. Apa yang terjadi dengan pria ini?Tubuh Sebastian dibawa masuk ke dalam rumah, ada Andrew yang menyambut. Pria itu terlihat biasa saja. Mungkin karena pria itu sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.Sementara Clara tidak tahu harus
Tindakan yang sangat berani. Clara membulatkan matanya lebar-lebar. Apa-apaan orang ini? Baru bertemu sudah main kecup saja? Clara merasa risih, dan segera menarik tangannya dengan gerakan yang cepat. Clara menatap Sebastian, pria itu tampak diam saja dengan raut wajah datar.Clara menghela napas samar. Apa yang Clara harapkan? Sebuah pembelaan? Yang benar saja? Sebastian tidak akan melakukan hal yang dapat merugikan bisnisnya. Global Group adalah perusahaan yang cukup besar.“Halo, Nona. Siapa namamu?” tanya Gerald, dia adalah pemimpin Global Group, generasi kelima keluarga Hayes.Clara menelan saliva, dia melirik ke arah Sebastian sekilas kemudian menjawab. “Clara, Tuan.”“Nama yang sangat bagus,” puji Gerald. Tatapannya penuh memuja ke arah Clara.Clara menggaruk pelan tengkuknya yang tidak gatal. Pertemuan ini sangat tidak nyaman karena tamu itu terus memperhatikan dirinya.“Apa Anda sudah selesai, Tuan Gerald? Sebenarnya kedatangan Anda kemari untuk urusan bisnis atau urusan lain
Sejak awal, Sebastian memang tidak tertarik menjalin bisnis dengan Global Group. Dia tahu, bisnis macam apa yang dijalankan oleh Gerald. Properti adalah sebagian dari bisnisnya sekaligus sebagai kamuflase.Selebihnya, adalah bisnis tak kasat mata. Gerald menjalani bisnis dunia bawah. Rumah judi, klub malam, bahkan jauh dari pada itu. Gerald juga memiliki salah satu rumah bordir yang cukup besar di pusat kota.Dan oleh karena itu, Gerald mengincar Clara. Rupanya Gerald ingin menjadikan Clara sebagai salah satu wanita koleksinya. Sebastian mengepalkan kedua tangannya."Beraninya dia mengincar wanitaku!"Keputusan Sebastian untuk menghancurkan bisnis Gerald memang sudah benar. Dia tahu tabiat Gerald. Jika sudah mengincar seorang wanita, maka tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkannya.Sementara itu, Clara kembali bekerja. Dia mencoba melupakan ucapan Sebastian dan fokus dengan pekerjaan. Meski begitu, dia masih merasa sangat kesal. Beruntung, hari ini tidak ada lagi jadwal yang mengh
Bab 112Clara merasakan beban yang semakin berat setelah ancaman Bianca. Setiap kata dalam pesan itu menekan jantungnya, membuatnya merasa terperangkap. Tetapi saat ia menatap Sebastian, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang memberi harapan. Sebastian selalu menjadi pelindungnya, tetapi kali ini, ia bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Sebagian besar waktu mereka bersama telah diwarnai oleh kebahagiaan dan cinta, namun di balik itu, ada bayang-bayang yang semakin gelap yang mengancam semuanya.Clara menarik napas panjang dan memutuskan untuk memberi tahu Sebastian. "Sebastian, Bianca... dia tahu segalanya. Tentang aku, tentang William. Bahkan tentang foto-foto itu. Dia mengancamku, dan jika foto-foto itu sampai ke keluargamu, terutama ke ibu dan ayahmu, semuanya bisa berakhir buruk."Sebastian menatap Clara dengan serius, matanya menyempit seiring kecemasan yang muncul. "Kamu yakin? Apa yang ingin dia capai dengan ini?"Clara mengangguk dengan tegas, namun matanya terbelalak saat
Bab 111Clara sedang duduk di ruang tamu, memegang secangkir teh yang hampir tak terjamah, matanya kosong menatap keluar jendela. Pikiran dan perasaannya berputar-putar, tertambat pada situasi yang semakin rumit. Ia mencoba untuk fokus pada perbincangannya bersama Sebastian, namun bayang-bayang William yang baru saja sadar terus menghantui pikirannya.Saat ia hendak meneguk tehnya, tiba-tiba ponselnya berdering, suara itu cukup keras untuk mengagetkannya. Clara menatap layar ponselnya dengan ragu, merasa ada yang tak beres. Nama pengirim yang tertera adalah sebuah nomor tak dikenal, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.Dengan hati-hati, Clara membuka pesan yang masuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat foto-foto yang dilampirkan di dalam pesan itu. Foto pertama menunjukkan dirinya sedang berdiri di dekat ranjang rumah sakit William, saat ia datang untuk menjenguknya di ruang ICU beberapa hari yang lalu. Foto itu diambil dengan sangat jelas, memperlihatkan posisi dan posis
Bab 110Clara menatap ponselnya untuk beberapa detik, matanya tertuju pada pesan Sebastian yang masih mengalihkan perhatiannya. "Aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, tentang masa depan kita dan anak kita." Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, semakin menambah berat beban yang sudah ia rasakan.Dengan cepat, ia menekan tombol untuk membalas pesan tersebut, meski hatinya penuh keraguan. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera mengambil keputusan. Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengetikkan pesan balasan:Clara: "Aku akan segera menemuimu. Aku sedang dalam perjalanan, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Untuk sementara, tolong jaga William. Aku akan menghubungimu lagi."Clara menatap pesan itu sebelum menekannya untuk mengirimkannya. Ketika pesan terkirim, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia telah mengatur segala sesuatunya dengan hati-hati. Meskipun demikian, ia tahu bahwa keputusannya untuk tidak segera menemui William a
*Bab 109*Clara duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap lantai, pikirannya berkecamuk. Keputusan-keputusan yang ia buat selama beberapa bulan terakhir seakan-akan menjeratnya dalam jaring yang tak bisa ia lepaskan. Perasaannya terombang-ambing antara rasa takut dan penyesalan. Ia baru saja menerima kabar yang mengejutkan dari rumah sakit, berita yang tak pernah ia duga sebelumnya: William, suaminya yang telah lama koma setelah kecelakaan, akhirnya sadar.Namun, hal itu bukan satu-satunya beban yang kini ia tanggung. Pikirannya melayang kembali pada malam-malam gelap yang telah mengubah hidupnya. Kontrak yang ia buat dengan bosnya, Sebastian, bukan hanya tentang pekerjaan—tetapi juga tentang kehamilan yang kini ada dalam dirinya. Clara mengandung anak Sebastian. Dan itu membuat hatinya semakin berat, seolah ia terjebak dalam dua dunia yang saling bertentangan.Sebastian, pria yang telah lama merebut hatinya meski ia tak pernah menginginkannya, kini kembali had
Bab 108Rencana Bianca semakin matang. Setiap langkah yang ia ambil kini semakin mendekatkan pada tujuan utamanya: menjebak Sebastian dan membuat Clara merasa terpojok. Bianca tahu betul bahwa permainan ini tidak hanya tentang membangun keraguan dalam hati Sebastian, tapi juga menghancurkan rasa percaya Clara. Begitu Clara mulai merasakan kesal dan terasing, Sebastian akan menjadi semakin rentan terhadap pengaruhnya.Pada pagi hari yang cerah, Bianca duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada peta strategi yang sudah ia buat. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Adrian akan segera menghubungi Sebastian, memastikan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Tapi ada satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk mempercepat proses ini.Ia memanggil Reza ke kantornya. Pria itu masuk tanpa suara, mengenakan jas hitam yang sama seperti biasa. Setelah duduk di depan meja Bianca, Reza menunggu dengan sabar."Ada tugas baru," kata Bianca dengan suara datar, namun tajam. "Kita perlu menambah tekana
Bab 108Bianca duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Setelah menerima pesan dari Adrian, hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Kabar itu datang begitu tiba-tiba dan langsung mengguncang dunia yang telah ia rencanakan dengan sempurna. Ternyata, Clara tidak hanya memiliki masa lalu dengan Adrian, tetapi juga... sudah menikah.William, suami Clara, sekarang berada di rumah sakit, kata Adrian. Kabar itu membakar pikiran Bianca. Ia tidak pernah menyangka hal ini, tetapi saat ia berpikir lebih dalam, ide-ide licik mulai muncul begitu saja di benaknya.Bianca menggenggam ponselnya lebih erat, merenung. William... suami Clara, yang sekarang berada dalam keadaan terluka dan tak berdaya di rumah sakit. Bianca bisa membayangkan semua hal yang bisa ia lakukan dengan informasi ini. Suami yang terluka, hubungan yang rapuh, dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Dia tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan hubungan antara Clara dan Sebastian, ia h
Bab 107Hari-hari berlalu dengan cepat, namun rasa cemas yang menghantui Clara semakin sulit untuk ditutupi. Setiap kali ia berpapasan dengan Sebastian, ia merasa ada jurang tak terlihat yang mulai menggerogoti hubungan mereka. Meskipun Sebastian berusaha untuk terlihat perhatian dan penuh kasih sayang, ada ketegangan yang jelas di antara mereka. Clara bisa merasakannya—sesuatu yang tak terucapkan, tapi terasa begitu nyata.Di sisi lain, Bianca semakin merasa puas dengan hasil rencananya. Adrian melaporkan setiap langkah yang ia ambil, memastikan bahwa keberadaan mereka di dekat Clara tidak bisa diabaikan. Setiap kali Sebastian melihat Clara bersama Adrian, rasa curiga mulai tumbuh, meski ia berusaha menekan perasaan itu. Bianca tahu, itu hanya masalah waktu sebelum Sebastian mulai mempertanyakan segalanya.Suatu malam, saat Clara dan Sebastian duduk bersama di ruang makan, suasana semakin tegang. Makanan yang biasanya dinikmati dengan kehangatan kini terasa hambar. Sebastian menatap
Bab 106Keesokan harinya, suasana mansion keluarga Sebastian tampak tenang. Clara masih menjalani hari-harinya dengan kebahagiaan yang semakin terasa utuh bersama Sebastian. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, menikmati keindahan taman belakang, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar rumah. Namun, meski segala sesuatunya terlihat sempurna, ada sesuatu yang tak terlihat, yang perlahan mulai meresap ke dalam hubungan mereka.Pada saat yang sama, Adrian mulai melaksanakan rencananya dengan hati-hati. Ia mengamati Clara dari kejauhan, mengikuti setiap langkahnya, dan mencatat segala hal yang bisa dimanfaatkan untuk meragukan Clara di mata Sebastian. Setiap gerak-geriknya, setiap tempat yang sering dikunjungi Clara, telah dicatat dengan cermat dalam amplop yang Bianca berikan padanya.Pada suatu siang yang cerah, saat Clara sedang berjalan menuju kedai kopi favoritnya, Adrian muncul dengan tiba-tiba. Dengan pakaian kasual dan senyum penuh kepalsuan, ia menghampiri Clara yang se
MAPP 105Clara memasuki ruang rawat inap William. Seperti biasa, wanita itu menyapa suster Cintya. Sebelum datang kemari, Clara sudah mencari tahu terlebih dahulu bahwa Ben dan Julia tidak datang.Menurut keterangan suster Cintya, Ben dan Julia jarang datang. Mereka hanya menelpon dan bertanya kabar. Terakhir kali, mereka menelpon adalah tiga hari yang lalu.Clara menghela napas panjang. "Kedua orang tuamu begitu kejam. Bagaimana bisa mereka mengabaikanmu," gumam Clara sesekali menggenggam erat jemari William yang semakin kurus."Maafkan aku, aku bukan tidak ingin kamu bangun. Tapi untuk saat ini biarlah semua seperti ini. Tunggu semua selesai baru kamu bangun," kata Clara.Dia melihat wajah William yang masih sama seperti dahulu. Hanya saja sedikit pucat dan kurus."Bertahanlah sebentar lagi." Clara mengecup tangan William sekilas. Kemudian dia berdiri dari duduknya. Dia melihat Suster Cintya yang memperhatikannya.Clara lantas menghampiri suster itu. "Suster Cintya," panggilnya."Ya