Pagi itu, Sebastian tiba di kantornya lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia berjalan melewati lorong-lorong dengan ekspresi serius, nyaris tak menyadari sapaan para karyawan yang lewat. Sesampainya di ruangannya, ia melemparkan jasnya ke kursi dan duduk di balik meja.Ia membuka laptop dan mulai memeriksa email. Namun, sebelum sempat berkonsentrasi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya."Kau pasti sudah melihatnya. Kita akan bertemu segera. Bersiaplah."Sebastian mengepalkan tangannya. Ia tidak suka permainan seperti ini. Jika seseorang ingin menemuinya, kenapa tidak datang secara langsung? Namun, ia tahu lebih baik untuk tetap tenang dan menunggu langkah selanjutnya dari si pengirim pesan.Sementara itu, di mansion, Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya. Sebastian memang tidak banyak bicara pagi ini, dan cara ia menghindari pertanyaan hanya menamba
Sebastian merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Malam itu, setelah memastikan Clara dan Kaisar sudah tidur, ia duduk di ruang kerjanya, menatap foto-foto yang bertebaran di mejanya. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan titik-titik yang belum tersambung. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan: "Siapa kau dan apa yang kau inginkan?" Pesan terkirim. Namun, tak ada balasan. Sebastian mendengus kesal. Ia tahu orang ini tidak akan memberi jawaban dengan mudah. Ia perlu mencari cara lain. Di sisi lain kota, pria berjas hitam kembali menerima pesan. Ia menyeringai. "Sebastian mulai gelisah," katanya kepada pria di seberangnya. "Itu berarti rencana kita berjalan sesuai harapan," jawab pria itu tenang. "Tapi jangan gegabah. Kita harus membuatnya semakin terpojok." "Aku punya sesuatu yang akan membuatnya tak bisa menghindar lagi," kata pria berjas hitam sambil mengeluarkan sebuah amplop lain dari dalam tasnya. Pagi harin
"Apa, Suster? Rp 5 miliar?"Clara Rein, 28 tahun. Dia nyaris pingsan saat berdiri di antrian kasir Rumah Sakit Internasional St. Mary’s Kota Arbour. Wajah cantiknya memucat saat mendengar nominal tunggakan biaya rumah sakit suaminya yang sedang koma.Clara dan William telah menikah selama satu tahun. Pada malam saat resepsi pernikahan, kecelakaan menyebabkan William koma. Saat itu hujan deras mengguyur kota Arbour. Clara tiba lebih dulu di tempat resepsi. Sedangkan mobil William tergelincir dan menabrak pembatas jalan dan masuk jurang."Ini nota tagihannya, Nyonya," ujar suster, memberikan secarik kertas tagihan.Tangan Clara gemetar. Selama hidupnya, dia tidak pernah memiliki uang sebanyak itu.Suster berkata, "Semua biaya harus segera dilunasi dalam 2 hari. Atau, pihak rumah sakit akan melepas semua peralatan medis Suami Anda!"Clara menerima nota tagihan itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Baik. Terima kasih, Suster."Clara berjalan dengan pikiran kosong. Dia kembali ke ruang
Clara seketika tercengang. Apa dirinya tidak salah dengar? Apa yang baru saja dikatakan oleh Sebastian? Melahirkan seorang anak? Clara menatap Sebastian dengan tatapan tak percaya.Clara telah bekerja sebagai asisten pribadi Sebastian selama tiga tahun. Selama itu, Clara belum pernah melakukan hal semacam ini. Meminjam uang dalam jumlah yang sangat besar. Entah bagaimana cara Clara mengembalikannya? Yang terpenting Clara bisa mendapatkan pinjaman.“Tuan, apa maksud Anda?” Clara mencoba meminta penjelasan lebih.“Aku rasa kamu cukup pintar dalam memahami kata-kataku, Clara!” cetus Sebastian. Clara mendongak, menatap Sebastian dengan ujung mata kemerahan.“Tuan, saya adalah wanita bersuami.” Clara mengingatkan.Sebastian menyunggingkan senyumnya lalu berkata. “Aku tahu, justru itu aku memilihmu karena kamu sudah tidak virgin.”Clara ingin menyangkal, akan tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Apa pun alasannya, semua itu adalah hal yang tidak benar. Akan tetapi, Clara sangat membut
“Apa?” Clara menatap Sebastian tak percaya.“Clara, kamu sungguh membuatku kesal!” Kehilangan kesabaran, Sebastian berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menghampiri Clara.Clara termundur ke belakang. “Tuan, Anda mau apa?” tanya Clara takut-takut.“Diam dan patuh!”Ucapan Sebastian membuat Clara diam seribu bahasa. Dia hanya bisa pasrah ketika Sebastian melepas simpul tali handuk kimono yang dia kenakan. Detik selanjutnya, kain yang membungkus tubuhnya itu terjatuh ke lantai, menampilkan tubuh seksi menawan Clara yang hanya mengenakan pakaian dalam.Sebelah sudut Sebastian tertarik ke samping ketika melihatnya. Dia merasa desiran aneh menjalar ke sekujur tubuhnya.“Sepertinya kamu lebih bagus tanpa mengenakan ini.” Sebastian merengkuh pinggang Clara, dan menarik tengkuk wanita itu lalu mendaratkan kecupan di bibir.Clara terkesiap, serangan ini begitu mendadak. Meski begitu, dia tidak berniat menolak sentuhan yang Sebastian berikan.Puas dengan permainan bibir, Sebastian beralih pada
Clara sedikit kesal saat Sebastian mengatakan ronde selanjutnya. Nyatanya, pria itu memberinya makan hanya untuk digempur habis-habisan. Sepertinya Sebastian memang tidak mau rugi, sehingga dengan pandai memanfaatkan kesempatan ini.“Tuan, izinkan saya memejamkan mata sebentar,” pinta Clara. Dia merasa sangat lelah setelah melayani hasrat Sebastian untuk yang kesekian kalinya.“Baiklah, kamu aku izinkan beristirahat. Setelah itu kita lanjut,” balas Sebastian.Clara tidak peduli dengan ucapan Sebastian dan hanya mengiyakan. Yang terpenting dirinya bisa tidur guna memulihkan tenaganya yang terkuras habis demi melayani Sebastian.Pukul 03.00 dini hari, Clara terbangun, dia ingin ke kamar mandi. Akan tetapi, ada sesuatu yang menarik atensinya. Di sofa sudut ruangan, Clara melihat Sebastian tengah duduk dengan kaki saling bertumpuk, tangannya memegang sesuatu yang didekatkan ke area hidung. Clara menajamkan penglihatannya, kain segitiga berbahan renda itu adalah miliknya, akan tetapi, k
“Celana dalam?” Clara tidak dapat mempercayai penglihatannya sendiri.“Ya, setelah berhubungan, aku akan membelikanmu celana dalam baru,” ujar Sebastian.Ucapan Sebastian mengingatkan Clara pada kejadian semalam. Di mana Sebastian menciumi celana dalam miliknya yang sudah terpakai. Mendapati Sebastian berbicara hal semacam ini dengan keras, mungkinkah semua orang di rumah ini sudah tahu kebiasaan Sebastian?Clara memperhatikan sekitar dan melihat Andrew si kepala pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Beberapa pelayan wanita juga tampak berlalu lalang, entah mengapa mendengar Sebastian bicara begitu, Clara jadi malu sendiri.“Kamu tenang saja, semua orang yang bekerja di sini telah disumpah untuk tidak membocorkan apa pun yang terjadi di rumah ini.”Seolah tahu isi kepala Clara, Sebastian segera menjelaskan, dan itu membuat kegelisahan di hati Clara menghilang.“Karena kamu sudah melayani aku semalaman, hari ini aku membebaskan kamu dari pekerjaan,” ucap Sebastian.Mendengar hal itu,
Clara sudah merasa curiga saat mendapati nama Sebastian di layar ponselnya. Ketika dirinya menjawab panggilan itu, Sebastian menyuruhnya datang.“Sekarang, Tuan?” tanya Clara.“Tahun depan, tentu saja sekarang!" jawab Sebastian yang terdengar ketus.Clara menggigit kecil bibir bawahanya. Dirinya sudah berjanji pada kedua orang tua William untuk bermalam di rumah sakit dan menjaga William. Apa jadinya jika dirinya tiba-tiba pergi?Sesaat, Clara merasa ragu. Namun, saat mengingat surat perjanjian yang dia tanda tangani tadi pagi, seketika itu keraguan dalam hatinya lenyap. Dari mana dirinya mendapat uang sebanyak itu untuk membayar denda?“Kenapa diam? Jawab aku, Clara!” teriak Sebastian.Suara Sebastian menyentakkan Clara, gegas dia menjawab. “Ya, Tuan. Saya ke sana sekarang.”“Bagus, aku tunggu sepuluh menit.” “Apa?”Clara hendak melayangkan protes kepada Sebastian, namun panggilan lebih dulu ditutup. Clara mengumpat dalam hati. Jarak antara rumah sakit dan rumah Sebastian cukup jau
Sebastian merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Malam itu, setelah memastikan Clara dan Kaisar sudah tidur, ia duduk di ruang kerjanya, menatap foto-foto yang bertebaran di mejanya. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan titik-titik yang belum tersambung. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan: "Siapa kau dan apa yang kau inginkan?" Pesan terkirim. Namun, tak ada balasan. Sebastian mendengus kesal. Ia tahu orang ini tidak akan memberi jawaban dengan mudah. Ia perlu mencari cara lain. Di sisi lain kota, pria berjas hitam kembali menerima pesan. Ia menyeringai. "Sebastian mulai gelisah," katanya kepada pria di seberangnya. "Itu berarti rencana kita berjalan sesuai harapan," jawab pria itu tenang. "Tapi jangan gegabah. Kita harus membuatnya semakin terpojok." "Aku punya sesuatu yang akan membuatnya tak bisa menghindar lagi," kata pria berjas hitam sambil mengeluarkan sebuah amplop lain dari dalam tasnya. Pagi harin
Pagi itu, Sebastian tiba di kantornya lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia berjalan melewati lorong-lorong dengan ekspresi serius, nyaris tak menyadari sapaan para karyawan yang lewat. Sesampainya di ruangannya, ia melemparkan jasnya ke kursi dan duduk di balik meja.Ia membuka laptop dan mulai memeriksa email. Namun, sebelum sempat berkonsentrasi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya."Kau pasti sudah melihatnya. Kita akan bertemu segera. Bersiaplah."Sebastian mengepalkan tangannya. Ia tidak suka permainan seperti ini. Jika seseorang ingin menemuinya, kenapa tidak datang secara langsung? Namun, ia tahu lebih baik untuk tetap tenang dan menunggu langkah selanjutnya dari si pengirim pesan.Sementara itu, di mansion, Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya. Sebastian memang tidak banyak bicara pagi ini, dan cara ia menghindari pertanyaan hanya menamba
Di mansion, kehidupan terus berjalan dengan suasana yang semakin hangat. Hari-hari Sania dihabiskan bersama Kaisar dan Clara, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara mereka. Sebastian, yang dahulu kaku dan menjaga jarak, mulai menunjukkan sisi lembutnya. Ia tak lagi canggung menyaksikan interaksi ibunya dengan Clara dan putranya. Suatu sore, Sania membawa Kaisar ke taman kecil di belakang mansion. Clara menemaninya, membawa selimut kecil untuk alas duduk mereka. Kaisar yang mulai aktif menggerakkan tangan dan kakinya tampak begitu ceria dalam dekapan neneknya. "Dia semakin aktif setiap hari," kata Clara sambil tersenyum. Sania mengusap kepala cucunya dengan lembut. "Ya, dia tumbuh dengan sangat baik. Aku bahagia bisa melihatnya berkembang seperti ini." Clara menatap Sania dengan penuh penghargaan. "Mom, aku ingin berterima kasih. Kehadiran Mom benar-benar membuat keluarga ini lebih lengkap. Aku bisa melihat Sebastian juga mulai menerima Mom sepenuhnya." Sania menatap Clara
Hari-hari berlalu dengan penuh kehangatan di mansion. Sania semakin sering datang, selalu membawa berbagai perlengkapan bayi atau hadiah kecil untuk Kaisar. Hubungan antara dirinya dan Clara pun semakin akrab.Sebastian yang awalnya masih menjaga jarak dengan ibunya, perlahan mulai menerima kehadiran Sania dalam kehidupan mereka. Ia melihat betapa ibunya benar-benar berusaha menebus kesalahan di masa lalu.Suatu sore, saat Sebastian baru saja pulang dari kantor, ia mendapati pemandangan yang menghangatkan hati. Sania tengah duduk di ruang keluarga, memangku Kaisar yang sudah tertidur pulas. Di sampingnya, Clara tersenyum sambil menyesap teh hangat.Sebastian berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. "Sepertinya Kaisar semakin dekat dengan Mom," ujarnya pelan.Sania mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Tentu saja. Dia adalah cucuku, dan aku ingin berada di sisinya sebanyak mungkin."Sebastian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih, Mom."Sania menatap putranya de
Dareen mengernyitkan dahi, merasa tidak nyaman dengan nada tegas pria di hadapannya. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan nada kesal.Pria itu tetap tenang, tatapannya dingin dan profesional. "Reservasi Anda telah dibatalkan, Tuan. Kami menerima perintah langsung dari pemilik hotel. Anda memiliki waktu satu jam untuk meninggalkan tempat ini."Dareen terkekeh sinis. "Batal? Aku sudah membayar untuk satu bulan penuh!""Benar, namun pemilik hotel memiliki kebijakan untuk tidak menerima tamu dengan riwayat... mencurigakan," jawab pria itu tanpa ekspresi.Dareen semakin bingung. "Riwayat mencurigakan? Omong kosong macam apa ini?"Pria itu tidak menjawab, hanya menyerahkan sebuah amplop berisi dokumen. Dareen merobeknya dengan kasar dan membaca isi surat di dalamnya. Matanya membelalak saat melihat sebuah nama yang tidak asing baginya—Abraham."Brengsek..." gumamnya, meremas kertas di tangannya. Jadi ini ulah Abraham? Dia bahkan tidak menyangka pria tua itu masih memiliki pengaruh sebesar ini
Tiada hari tanpa kehadiran Sania. Pagi-pagi sekali wanita itu datang dengan beberapa tas belanja di tangan. Kedatangan wanita itu jelas membuat heboh penghuni mansion. Para pelayan tengah sibuk dengan pekerjaan dapur, perhatian mereka teralihkan oleh perhatian Sania. Penasaran lantaran kedatangan Nyonya besar mereka sepagi ini. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak mereka. "Apa yang membuat Nyonya Besar datang sepagi ini?" "Ada urusan apa?" Suara-suara bisikan itu menggema di antara suara dentingan peralatan dapur. Para pelayan yang belum terbiasa dengan kedatangan Sania jelas merasa heran. Seperti yang mereka tahu, tuannya sempat tidak menghendaki kedatangan kedua orang tuanya lantaran sempat berselisih paham dalam kurun waktu yang cukup lama.Namun, keberadaan Clara mampu mencairkan hubungan mereka yang sempat memanas. Kedatangan Clara dalam keluarga ini memang benar-benar membawa keberuntungan. "Semua berkat Nyonya Clara. Hubungan Tuan dan kedua orang tuanya jadi mem
Sejak hari itu, hubungan Clara dan kedua orang tua Sebastian mulai membaik. Sania kembali datang, kali ini dia seorang diri karena Leonard tengah disibukkan oleh urusan Abraham Group. Pria itu kembali menjadi pemimpin perusahaan tersebut dan kembali membangun kekuatan dari nol. "Nyonya Sania di sini, Nyonya." Clara yang tengah bersantai dengan Kaisar sembari berjemur segera menatap pelayan yang memberi laporan. Wanita cantik itu menyunggingkan senyumnya. Tidak terkejut, lantaran Sania sudah berkata akan kembali esok hari. Rupanya wanita itu menepati ucapannya. Clara lantas bangun, bersiap untuk menyambut kedatangan sang ibu mertua. Kaisar yang kini lelap dalam kereta bayi itu didorong masuk. Sania berdiri dari duduknya ketika mendengar suara ketukan sepatu yang mulai menggema, ketika dia menoleh, wajah antusiasnya segera terlihat. "Cucuku!" Sania melangkah cepat, sedikit berlari menghampiri Kaisar. Dia bahkan tidak menyapa Clara karena terlalu bersemangat terhadap cucunya. Bayi
Clara mendelik, pupil matanya membesar. Dari pada mendengarkan ucapannya, sepertinya suaminya ini tetap bersikeras dengan keinginannya untuk tidak memaafkan kedua orang tuanya. Sementara Clara memiliki pemikiran yang berbeda dengan pria itu. Bagi Clara, berhubungan baik dengan kedua orang tua adalah hal yang penting. Sania yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah sendu. Sementara Leonard seperti sebelumnya, terlihat dingin dan datar seolah apa yang dikatakan oleh Sebastian adalah hal yang biasa. Kenyataannya, dia memang mulai terbiasa dengan sikap puteranya. Sebastian memperhatikan perubahan wajah Sania. Sedikit iba. Namun, dia masih tidak bisa melupakan perlakuannya terhadap Clara. Bisa jadi, hal itu akan terulang kembali suatu hari nanti. "Kalian pergi saja, acara sudah selesai. Hadiahnya juga sudah kami terima." Kali ini Sebastian bicara dengan nada sedikit ringan. Kemarahan yang sempat menghiasi wajahnya sedikit mereda. Clara yang sejak tadi mengamati, kini mendekati sua
Clara terpejam, kala sebuah sentuhan dia rasakan di bibirnya. Clara dapat merasakan hawa panas yang mengalir dari sentuhan bibir Sebastian. Deru napasnya yang begitu memburu kuat. Kemudian, pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Membuat tubuh Clara seketika menegang. Clara refleks menekan kukunnya di pundak Sebastian, menekannya dengan kencang. Setiap pagutan terasa begitu liar, indera perasa Sebastian menjelajah memasuki rongga mulut istrinya. Clara merasakan mulutnya penuh. Dalam hatinya ingin sekali menolak, namun tubuhnya bereaksi berbeda. Bukan hanya sekedar menerima, melainkan mendorongnya untuk melakukan lebih. Sebelum Clara akhirnya benar-benar hanyut dalam permainan panas dan penuh gairah, Clara segera tersadar. Dia menarik diri, dan melepaskan pagutannya. "Sayang..." Dada bidang suaminya itu didorong pelan. Dan itu sempat membuat Sebastian kesal. "Kamu jangan coba menahanku, kamu tahu aku sudah lama berpuasa..." Clara tahu itu bohong. Buktinya saat hamil besar, s