Clara terdiam sejenak, membiarkan pikirannya mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Sebastian. Tatapan matanya perlahan mengamati setiap garis wajah suaminya. Seolah berusaha menemukan jawaban yang tersembunyi di sana. Dia ingin memastikan apakah yang dikatakan Sebastian adalah kebenaran atau sekadar ucapan yang dibuat-buat. Namun, semakin lama dia menatap, semakin jelas baginya bahwa tidak ada kebohongan di mata pria itu. Sorot matanya tenang, penuh ketulusan, tanpa sedikit pun tanda-tanda keraguan. Clara menarik napas pelan, menyadari bahwa apa yang dikatakan Sebastian bukan sekadar kata-kata, melainkan ungkapan dari hati yang sesungguhnya. Clara mengerjap pelan. Ludah dia telan perlahan. Kemudian dengan ketenangan dia mencoba memperjelas. "Sayang, apa kamu yakin? Jumlah uang itu sangat banyak? Aku akan mengembalikannya suatu hari nanti," ucap Clara hati-hati. Tatapan mata Sebastian berubah gelap. Seperti runcing bambu yang tajam. Kemudian dengan nada tenang dia m
Clara mendekat ke arah kusen jendela. Dan Melihat sebuah kendaraan yang tak asing memasuki halaman Mansion mereka. Dia yang hendak mengambil parfum bayi berhenti sejenak. Memperhatikan sosok yang keluar dari mobil itu. "Kakek!" Sania yang tengah sibuk dengan Kaisar seketika menoleh ke arah Clara. "Sayang, apa yang kamu katakan?" Clara memastikan pandangan, dan dia memang tidak salah lihat. Pria berjas hitam dengan tongkat di tangan yang digunakan alat bantu untuk berjalan itu adalah Maxime Abraham. Clara segera mendekati Sania. Dengan tatapan antusias dia berkata, "Mom, Kakek datang!" Sania seketika membulatkan mata. "Apa?" Sementara itu, Sebastian seketika menegang ketika melihat pria yang akhir-akhir ini berhubungan tidak baik dengannya itu mulai mendekat. Wajahnya yang semua berbinar kini menjadi gelap. Leonard yang tengah mengawasi beberapa penjaga menyusun kursi, mengamati itu dengan jantung berdebar. Dan tanpa pikir panjang, dia segera menghampiri puteranya. Cla
Untuk pertama kalinya, Clara membuat Sebastian kesal. Bukannya dia membela suaminya, wanita itu justru datang kepada Maxime, seolah mereka sudah sangat dekat sebelumnya. Sementara Maxime menatap Clara, sedikit heran. Meski begitu dia merasa sangat senang. Wanita itu, jauh dari perkiraannya sangat ramah dan juga berlapang dada. Meski setelah apa yang terjadi sebelumnya. "Sepertinya kamu lebih rendah hati dari suamimu yang keras kepala itu," sindir Maxime. Clara mengulas senyum. "Tidak juga, Kakek. Ayo kita ke sana. Kakek akan melihat Kaisar sambil duduk dan bersantai." "Tentu saja, Nak!" Maxime setuju dengan tawaran Clara dan membiarkan wanita cantik itu membimbingnya menuju sebuah tempat duduk yang diatur khusus untuk tuan rumah. Clara dan Maxime melewati Sebastian begitu saja. Pria itu menatap mereka dengan tatapan tak percaya. Bisa-bisanya Clara bertindak tanpa persetujuannya. Sementara kelegaan terlihat jelas di wajah Sania dan Leonard. Clara memang seseorang yang bisa d
Usai acara peringatan yang berlangsung khidmat, keluarga inti perlahan-lahan berpindah ke ruang keluarga. Suasana di ruangan itu tampak tenang, meski tidak benar-benar hangat. Mereka duduk membentuk lingkaran kecil, namun tidak banyak kata yang terucap. Percakapan yang terjalin pun hanya seputar urusan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tanpa menyentuh hal-hal pribadi yang lebih dalam. Kaisar kembali tertidur. Dan dia segera diletakkan di box bayi, dijaga oleh pengasuh. Atmosfer sekitar ruangan terasa dingin. Clara beberapa kali mencoba mencairkan suasana dengan senyum dan sapaan hangat, namun tetap terasa ada sekat tak kasat mata yang memisahkan mereka. Sebastian duduk bersandar pada sofa dengan tubuh sedikit menegang, sorot matanya tajam dan penuh beban. Wajahnya tampak menggelap, menyiratkan emosi yang sulit dikendalikan. Ketegangan masih membayang akibat perselisihan yang belum terselesaikan dengan Maxime. Perang dingin di antara mereka kian terasa nyata, meskipun tidak di
Dareen terkejut dan merasa tidak percaya. Kedua matanya membelalak. Mulutnya terbuka secara spontan. "Apa maksudmu kartuku tidak bisa?" tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Wanita cantik itu menatapnya dengan sopan, namun jelas terlihat sedikit cemas. "Maaf, Tuan. Sistem kami menunjukkan bahwa kartu Anda telah diblokir. Apakah Anda ingin mencoba dengan kartu lain?" Dareen merasa seperti dipukul keras. Bagaimana bisa kartu kreditnya diblokir? Dia yakin bahwa dia memiliki cukup saldo di kartu itu. Bahkan uang yang dia miliki bisa menghidupinya selama berpuluh-puluh tahun lamanya. "Ini tidak mungkin," gumamnya, mencoba menenangkan diri. "Kalau begitu, aku akan mencoba dengan kartu lain," katanya akhirnya, sambil mengeluarkan kartu kredit lainnya dari dompetnya. Kali ini Dareen mengeluarkan jenis kartu yang berbeda. Berwarna emas. Meski isinya tak sebanyak kartu hitamnya, setidaknya dia masih memiliki pegangan. Wanita cantik itu m
Clara terkejut mendengar pernyataan Maxime. Matanya mengerjap cepat, otaknya mencoba mencerna apa yang dikatakan Maxime baru saja. "Apa? Kakek, tidak perlu seperti itu," katanya, mencoba menolak. Bagaimanapun, apa yang diberikan Maxime sangat berlebihan menurut Clara. Maxime hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku sudah memutuskan, Nak. Anggap saja ini penebusan dosaku padamu." Sesaat ruangan menjadi hening. Sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam, yang beradu dengan napas yang sesekali dilepas. Ingatan Clara kembali pada masa-masa sulit dalam hidupnya. Di mana hubungannya dengan Sebastian ditentang oleh seluruh keluarga pria itu terutama Maxime, tetua keluarga Abraham. Clara yang tidak memiliki kuasa apa pun, hanya bisa pasrah. Namun, Sebastian selalu ada, menjadi penguat dan pendukung bagi dirinya. Saat ini, Maxime telah berubah. Entah atas dorongan apa. Mungkin karena kehadiran Kaisar, dan juga sang pencipta yang telah membalikkan hati seseorang. Maxime be
Kening Sebastian mengkerut. Ramon memang kerap kali menampakkan wajah masam, namun kali ini ekspresinya berbeda, gelap. Seolah ketegangan menyelimuti area sekitarnya. Sehingga hal itu membuat Sebastian urung menikmati sarapan yang sudah disiapkan. "Ramon? Kamu datang?" tanya Sebastian skeptis. Ramon berhenti tepat di dekat Sebastian, kemudian membungkukkan tubuhnya sejenak. "Maaf, Tuan. Jika kedatangan saya mengganggu waktu sarapan Anda." Sebastian mengangguk. Clara yang duduk di dekat Sebastian menatap ke arah Ramon. Dia mengulas senyum ramah. "Tuan Ramon, bergabunglah bersama kami!" tawar Clara. "Terima kasih, Nyonya. Tapi ada hal yang sangat penting yang harus saya bicarakan dengan Tuan." Seperti sebuah kode, ucapan Ramon membuat Sebastian bangkit dari duduknya dengan gerakan tenang namun penuh ketegasan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mulai melangkah meninggalkan ruang makan. Langkah kakinya mantap, menunjukkan bahwa ia telah mengambil keputusan untuk mem
Clara berdiri di ambang pintu, mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja. Ini adalah tradisi rutin. Sebelum berangkat ke kantor, Sebastian harus mendapat kecupan dari istrinya. Menurut pria itu, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kinerja otaknya. Meski Clara tidak benar-benar menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Namun, dirinya tetapi memberikannya. "Mungkin aku akan terlambat, kamu tidur saja. Jangan menungguku!" Sebastian memberitahu. Clara mengulas senyum. Tangannya terulur mengencangkan ikatan dasi suaminya kemudian berkata, "Baiklah!" Satu kecupan diberikan di bibir, hidung, mata dan juga dahi. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Sebastian segera melesat memasuki mobil. Lambaian tangan mengiringi kendaraan hitam itu, bergerak menuju pintu gerbang raksasa. Setelah memastikan kendaraan suaminya menghilang dari pandangan, Clara hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika suara deru mesin kendaraan terdengar semakin mendekat.
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj
Pagi itu langit terlihat cerah, burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar rumah keluarga Rein. Suasana yang tenang perlahan berubah ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Dari balik jendela ruang keluarga, Clara melirik keluar dan mendapati sosok yang sudah ia duga sejak semalam—William."Dia datang lagi,” gumam Clara pelan, sambil berdiri dan merapikan rok panjangnya.Sebastian yang duduk di kursi membaca koran hanya menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa kedatangan William tidak sekadar kunjungan biasa. Ada sesuatu yang disimpan pria itu, dan Sebastian bersiap untuk segala kemungkinan.Pintu rumah terbuka. Rosalia Rein, ibu Clara, menyambut William dengan senyum yang hangat.“William, Nak, kau datang lagi pagi-pagi begini. Ada angin apa?” tanya Rosalia dengan ramah.William membungkuk sedikit memberi hormat, lalu menjawab, “Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Paman Richard. Sekaligus… bertemu Clara.”C
Clara terdiam sesaat. Clara jelas saja kaget. Mengapa bisa ada William di rumah kedua orang tuanya. "Apa kamu tidak salah?" Clara memandang suaminya menuntut. "Kamu pikir aku bercanda?" Nada bicara Sebastian semakin meninggi. "Ah bukan begitu, maksudku, mengapa bisa ada William di rumah Ayah?" Clara mengubah arah pembicaraannya. Meski Sebastian tidak benar-benar menghendaki pembahasan ini, namun pria itu tetap menjawab. "Mengapa tanya padaku? Tanya saja pada ayahmu!" Sebastian acuh tak acuh. "Apa Ayah sengaja mengundangnya? Mungkin saja mereka masih berhubungan baik,” ujar Clara dengan hati-hati. "Berhubungan baik?" tanya Sebastian, kini menoleh dan menatap istrinya dengan sorot mata tajam. "Kamu tidak merasa aneh? Ayahmu terlihat lebih dekat dengan dia dibandingkan dengan aku, menantunya sekarang." Clara menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak memberikan respons emosional. Ia paham rasa tidak nyaman itu. Ia pun tidak bisa memaksa Sebastian untuk langsung meneri