Clara merasa merinding, dia mengkerut sembari menarik selimut. Jantung Clara berdegup kencang. Apa Sebastian ini sudah gila? Clara memang tidak lupa dengan kontrak perjanjian itu. Akan tetapi, haruskah melakukannya di rumah sakit?Clara jadi menyesal karena telah berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Clara tidak ingin melakukannya di sini, dia harus segera mencegah Sebastian.“Ah, kepalaku sakit.” Clara memegang keningnya.Sebastian menghentikan gerakan tangannya lalu menyunggingkan senyumnya.“Dia takut rupanya,” gumamnya dalam hati.Sebastian mengancingkan kembali kancing kemejanya lalu berkata. “Beristirahatlah, aku akan kembali satu jam lagi.”Clara mengangguk kaku. Dia lantas merebahkan tubuhnya dan menaikkan selimut sebatas dada. Setelah Sebastian menghilang dari pandangannya, Clara seketika benapas lega. Semenjak menerima kontrak bersama Sebastian, hidup Clara jadi tidak tenang. Ada saja tingkah pria itu yang membuat Clara berada dalam masalah. Salah satunya saat ini.Bagaimana
Butuh waktu lama bagi Clara untuk mencerna ucapan Sebastian. Apa maksud pria itu? Apa Sebastian meminta dirinya untuk tinggal satu atap dengannya? Yang benar saja?"Kenapa?" tanya Sebastian karena melihat Clara diam saja.“Tuan, itu tidak mungkin. Dalam perjanjian tidak ada poin mengharuskan kita tinggal bersama,” ujar Clara setelah lama terdiam.“Ckkk…” Sebastian berdecak. “Clara, kamu melupakan satu hal, bahwa kamu tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan,” balas Sebastian.“Tapi, Tuan…” Ucapan Clara terpotong oleh suara Sebastian.“Tidak ada pilihan lain, Clara. Kamu menolak, artinya kamu melanggar. Kamu tahu ‘kan hukumannya jika kamu melanggar perjanjian. Itu artinya kamu harus bersedia membayar hutang dua kali lipat dari jumlah yang kamu pinjam.”Mendengar itu, kedua manik indah Clara melebar sempurna. Clara merasa dirinya sudah terjebak oleh permainan Sebastian.“Tuan, bagaimana dengan kedua mertua saya jika saya tidak datang ke rumah sakit?” debat Clara.“Aku tidak bilang k
Kalau tidak ingat kontrak perjanjian itu, Clara pasti sudah menolak ajakan Sebastian. Pasalnya pria itu kembali ingin dilayani. Yang artinya Clara harus kembali menyerahkan dirinya kepada Sebastian.Pintu kamar dibuka, langkah kaki Clara sejajar dengan langkah pria di dekatnya. Begitu Clara masuk, dia tertegun untuk beberapa saat. Ini kamar yang berbeda dengan kamar sebelumnya. Lebih besar, lebih luas dan yang pasti lebih mewah.Bola mata Clara bergerak mengedar ke sekitar, dinding kamar bernuansa abu-abu ini sesuai dengan pribadi Sebastian yang dingin dan tertutup. Perlengkapan di dalam kamar Sebastian sangat menakjubkan.Tempat tidur yang besar dengan selimut bulu yang lembut dan yang pasti hangat. Ruang tamu dengan sofa besar. Meja rias dengan ukiran yang rumit dan juga indah. Bisa dibilang kamar ini lebih mewah dari kamar suite hotel bintang lima. Clara bahkan bisa memastikan bahwa kamar mandinya sangat besar meski tanpa melihat.Clara tersentak ketika sepasang tangan melingkar di
Clara beraktifitas seperti biasanya, bangun pagi dan membersihkan diri kemudian bersiap untuk bekerja. Hanya saja dia merasa sedikit aneh karena dia harus mengikuti rutinitas di kediaman Sebastian seperti sarapan bersama. Biasanya, dia akan berangkat dari rumah sakit lantaran berjaga malam adalah tugas dirinya. Sementara saat dirinya bekerja pada siang hari, maka tugas berjaga berganti pada Julia, ibu William.Clara juga merasa aneh ketika dia selesai mandi, pakaian ganti sudah tersedia. Dua orang pelayan telah bersiap untuk membantu Clara untuk berias.“Silakan, Nona. Saya bantu berpakaian,” ucap salah satu pelayan.Clara tertegun untuk beberapa saat kemudian menjawab, “Terima kasih, aku bisa sendiri.”“Jangan ditolak.” Seseorang muncul dari arah walk in closet.Clara menoleh dan mendapati Sebastian dengan kostum setelan jas berwarna navy. Rambutnya di sisir ke belakang dengan sangat rapi. Aroma maskulin begitu menyengat, menembus indera penciuman Clara.Dia sedikit tercengang. Sebas
“Apa? Kenapa tidak boleh?” Clara refleks bertanya.“Hari ini kita akan sibuk, jadi sebaiknya kamu fokus pada pekerjaan saja.” Sebastian berucap tanpa memandang lawan bicaranya. Entah mengapa saat mendengar Clara meminta izin untuk menjenguk suaminya, Sebastian jadi kesal sendiri.“Apa jadwal kita hari ini?” tanya Sebastian sengaja mengalihkan topik pembicaraan.Clara segera meraih buku catatan dan membukanya. Jadwal hari ini sudah dia rekap kemarin malam. Sesibuk apa pun dirinya, Clara harus menyempatkan diri untuk hal semacam ini karena ini sudah merupakan tugasnya.Saat Clara membaca buku catatannya, dia melihat ada beberapa jadwal penting di antaranya pertemuan dengan dua orang pemimpin perusahan besar yang akan dilakukan di luar kantor. Selebihnya tidak ada yang penting.“Kenapa diam? Kamu tuli?” sergah Sebastian. “Cepat bacakan!” serunya lagi.Clara segera melakukan apa yang Sebastian perintahkan. Dengan lantang Clara membacakan jadwal kegiatan pada hari ini dan berhasil menarik
Stella berlari meninggalkan Clara setelah mengatakan demikian. Dan itu membuat Clara semakin dikurung rasa penasaran. Apa yang membuat Stella menangis seperti itu hingga berakhir menyalahkan dirinya? Setahu Clara, dirinya tidak pernah berbuat buruk terhadap wanita itu. Bahkan ketika Stella menyalahi dirinya, Clara diam saja.Clara menatap pintu ruang kerja Sebastian. Clara berpikir bahwa akar permasalahannya berasal dari dalam sana. Tidak ingin terus dirundung rasa penasaran, Clara harus segera mencari tahu.Clara masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu, dan itu berhasil menarik atensi dua orang pria yang ada di dalam ruangan.“Clara! Kamu bisa mengetuk pintu terlebih dahulu!” protes Sebastian. Suaranya terdengar meninggi.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Clara. Dia juga tidak tahu bahwa di sini juga ada Ramon. Clara menatap pria itu sekilas kemudian kembali pada Sebastian.“Tuan, apa yang terjadi pada Stella? Kenapa dia menyalahkan saya?” tanya Clara langsung pada intin pembicaraan. Dan itu
Pikiran Clara seketika berfantasi liar ke mana-mana. Namun hal itu segera dipatahkan oleh Sebastian.“Kita sudah melewatkan waktu makan malam, jadi sebaiknya kita makan sekarang.”Clara seketika bernapas lega. Dia nyaris saja berpikir bahwa Sebastian ingin dilayani di saat-saat seperti ini. Padahal pria itu terlihat lelah.Pukul 19.00 waktu setempat, keduanya tiba di sebuah restoran mewah yang berada di pusat kota. Sebastian sudah melakukan reservasi terlebih dahulu.Sebastian mengajak Clara masuk, namun, tidak untuk Ramon. Dan itu menimbulkan rasa tidak enak hati Clara terhadap Ramon. Clara menatap pria yang masih berdiam di balik kemudi mobil, selanjutnya mobil itu bergerak menjauhi area restoran.“Tuan, mengapa Tuan Ramon tidak ikut dengan kita?” tanya Clara sembari mengekor di belakang Sebastian.Yang ditanya seketika melirik ke samping sekilas sebelum akhirnya menjawab. “Dia sudah tahu tugasnya, jadi kamu tidak perlu memikirkan dia.”Clara cukup lega mendengarnya. Mungkin saja
Sebastian menyunggingkan senyumnya. Kenyataan bahwa Clara telah tertidur membuat Sebastian senang. Secara otomatis Clara tidak jadi mengunjungi suaminya. Dan hal itu menimbulkan ketenangan tersendiri bagi Sebastian.Tidak sia-sia Sebastian mengulur waktu. Sebastian memang sengaja mengajak Clara di restoran yang terkenal dengan pelayanan terlama. Dan tujuannya agar Clara melupakan niatnya menjenguk suaminya. Dan Sebastian telah berhasil.“Ke mana lagi, Tuan?” tanya Ramon sebelum kembali menjalankan mobilnya.“Kita pulang sekarang!” titah Sebastian.“Baik.”Kendaraan hitam mengkilat itu bergerak menjauhi area restoran. Sebastian terlihat sangat senang seolah baru mendapatkan sebongkah berlian. Padahal hanya hal kecil yang nilainya tidak ada harganya.Sebastian melirik ke samping dan melihat wanita yang dalam kondisi menutup mata. Dengkuran halus terdengar dan membuat Sebastian yakin bahwa Clara benar-benar tertidur.Tiba di mansion, Ramon keluar terlebih dahulu kemudian membukakan pintu
Tiada hari tanpa kehadiran Sania. Pagi-pagi sekali wanita itu datang dengan beberapa tas belanja di tangan. Kedatangan wanita itu jelas membuat heboh penghuni mansion. Para pelayan tengah sibuk dengan pekerjaan dapur, perhatian mereka teralihkan oleh perhatian Sania. Penasaran lantaran kedatangan Nyonya besar mereka sepagi ini. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak mereka. "Apa yang membuat Nyonya Besar datang sepagi ini?" "Ada urusan apa?" Suara-suara bisikan itu menggema di antara suara dentingan peralatan dapur. Para pelayan yang belum terbiasa dengan kedatangan Sania jelas merasa heran. Seperti yang mereka tahu, tuannya sempat tidak menghendaki kedatangan kedua orang tuanya lantaran sempat berselisih paham dalam kurun waktu yang cukup lama.Namun, keberadaan Clara mampu mencairkan hubungan mereka yang sempat memanas. Kedatangan Clara dalam keluarga ini memang benar-benar membawa keberuntungan. "Semua berkat Nyonya Clara. Hubungan Tuan dan kedua orang tuanya jadi mem
Sejak hari itu, hubungan Clara dan kedua orang tua Sebastian mulai membaik. Sania kembali datang, kali ini dia seorang diri karena Leonard tengah disibukkan oleh urusan Abraham Group. Pria itu kembali menjadi pemimpin perusahaan tersebut dan kembali membangun kekuatan dari nol. "Nyonya Sania di sini, Nyonya." Clara yang tengah bersantai dengan Kaisar sembari berjemur segera menatap pelayan yang memberi laporan. Wanita cantik itu menyunggingkan senyumnya. Tidak terkejut, lantaran Sania sudah berkata akan kembali esok hari. Rupanya wanita itu menepati ucapannya. Clara lantas bangun, bersiap untuk menyambut kedatangan sang ibu mertua. Kaisar yang kini lelap dalam kereta bayi itu didorong masuk. Sania berdiri dari duduknya ketika mendengar suara ketukan sepatu yang mulai menggema, ketika dia menoleh, wajah antusiasnya segera terlihat. "Cucuku!" Sania melangkah cepat, sedikit berlari menghampiri Kaisar. Dia bahkan tidak menyapa Clara karena terlalu bersemangat terhadap cucunya. Bayi
Clara mendelik, pupil matanya membesar. Dari pada mendengarkan ucapannya, sepertinya suaminya ini tetap bersikeras dengan keinginannya untuk tidak memaafkan kedua orang tuanya. Sementara Clara memiliki pemikiran yang berbeda dengan pria itu. Bagi Clara, berhubungan baik dengan kedua orang tua adalah hal yang penting. Sania yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah sendu. Sementara Leonard seperti sebelumnya, terlihat dingin dan datar seolah apa yang dikatakan oleh Sebastian adalah hal yang biasa. Kenyataannya, dia memang mulai terbiasa dengan sikap puteranya. Sebastian memperhatikan perubahan wajah Sania. Sedikit iba. Namun, dia masih tidak bisa melupakan perlakuannya terhadap Clara. Bisa jadi, hal itu akan terulang kembali suatu hari nanti. "Kalian pergi saja, acara sudah selesai. Hadiahnya juga sudah kami terima." Kali ini Sebastian bicara dengan nada sedikit ringan. Kemarahan yang sempat menghiasi wajahnya sedikit mereda. Clara yang sejak tadi mengamati, kini mendekati sua
Clara terpejam, kala sebuah sentuhan dia rasakan di bibirnya. Clara dapat merasakan hawa panas yang mengalir dari sentuhan bibir Sebastian. Deru napasnya yang begitu memburu kuat. Kemudian, pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Membuat tubuh Clara seketika menegang. Clara refleks menekan kukunnya di pundak Sebastian, menekannya dengan kencang. Setiap pagutan terasa begitu liar, indera perasa Sebastian menjelajah memasuki rongga mulut istrinya. Clara merasakan mulutnya penuh. Dalam hatinya ingin sekali menolak, namun tubuhnya bereaksi berbeda. Bukan hanya sekedar menerima, melainkan mendorongnya untuk melakukan lebih. Sebelum Clara akhirnya benar-benar hanyut dalam permainan panas dan penuh gairah, Clara segera tersadar. Dia menarik diri, dan melepaskan pagutannya. "Sayang..." Dada bidang suaminya itu didorong pelan. Dan itu sempat membuat Sebastian kesal. "Kamu jangan coba menahanku, kamu tahu aku sudah lama berpuasa..." Clara tahu itu bohong. Buktinya saat hamil besar, s
Clara menoleh, matanya yang terang menyipit kala menangkap siluet seseorang yang baru saja menghilang di balik dinding ruangan. Sebelah sudut bibirnya ditarik sedikit. Dia berusaha untuk mengabaikan semua itu, meski dia belum benar-benar bisa melakukannya. Dia mencoba fokus pada puteranya yang kini berada dalam gendongan ibu mertua. Clara ingin sedikit tinggal lebih lama, menikmati momen yang mungkin saja tidak akan kembali terulang. Namun, semakin lama dia tinggal, ada perasaan yang mengusiknya. Dia tidak bisa mengabaikan Sebastian begitu saja. Selanjutnya, Clara beranjak dari kursinya. Kaisar masih terlelap, sementara kedua mertuanya masih ingin Kaisar bersama mereka. Jadi tidak masalah bila Clara meninggalkan mereka. Clara melangkah ke arah di mana siluet tubuh Sebastian menghilang. Tujuannya sudah jelas, Clara tahu ke mana perginya suaminya itu. Ketika sudah dekat, Clara melihat pintu Paviliun tertutup, sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Meski begitu Clara yakin,
"Clara!" Clara menatap ke arah Sebastian sekilas. Kemudian melangkah mendekati Leonard dan Sania dan berhenti tepat di hadapan mereka. "Apa kalian ingin melihat bayi kami?" Clara memiringkan sedikit tubuhnya, supaya kedua mertuanya dapat melihat bayi yang tertidur lelap, sembari bersembunyi di ketiak ibunya. Sania menatap Leonard berkaca-kaca. Ketika Sang suami mengangguk, dia segera kembali fokus pada wanita di hadapannya. "Apa aku boleh menggendongnya?" Air mata telah menggenang di sudut mata Sania. "Tentu saja," kata Clara dengan senyum ramah. Air mata Sania menetes. Akhirnya dia mendapatkan keinginannya. Memeluk dan menggendong sang cucu. Kaisar menggeliat ketika dipindahkan dalam gendongan Sania, dan itu membuat Sania merasa gemas. Dengan berhati-hati dia mendekap bayi mungil itu supaya tidak terbangun. Dan sesuai dengan keinginannya, Kaisar kembali tertidur seperti semula. Seolah tidak terganggu dengan dunia sekitar. Tangis haru Sania berubah menjadi senyum kebahagiaan.
"Tuan, kedua orang tua Anda datang." Bisikan dari penjaga seketika mengusik ketenangan Sebastian. Mendadak wajahnya menggelap, dipenuhi emosi. Kedua tangannya mengepal erat tanpa sadar. Clara menoleh, mengamati raut wajah suaminya yang tak lagi setenang sebelumnya. Keresahan terlihat jelas di wajah tampannya, rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal. Serta otot di sekitar leher mencuat, menahan sebuah emosi. "Ada apa?" tanya Clara yang seketika menarik perhatian Sebastian dari penjaga. Pria itu menatap sang istri. Tatapannya melembut seketika. Kemudian pria itu menjawab dengan nada setenang mungkin. "Hanya masalah kecil, Sayang kamu tunggu di sini." Sebastian melirik sekilas ke arah bayi yang masih terlelap. Kemudian beranjak dari kursinya. Sebastian lantas beralih pada penjaga lalu mengangguk. Sebelum akhirnya melangkah meninggalkan tempat acara. Clara menatap punggung suaminya yang mulai menjauh dan kemudian menghilang di balik pintu. Keresahan yang semula di rasakan Sebas
Clara menatap suaminya dengan penuh rasa syukur. Sebastian memang bukan tipe pria yang selalu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, tetapi dari setiap tindakannya, Clara tahu betapa pria itu mencintai dirinya. Perjalanan menuju rumah terasa begitu cepat. Begitu mobil memasuki gerbang besar kediaman mereka, Clara melihat beberapa pelayan dan penjaga sudah berbaris, menunggu kedatangannya. Rumah megah bergaya klasik itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang menambah kesan elegan. Begitu mobil berhenti di halaman depan, seorang pelayan segera membuka pintu. Sebastian turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan kepada Clara. Dengan hati-hati, dia menggenggam tangan istrinya, membantunya keluar. Begitu kaki Clara menyentuh tanah, seorang pelayan perempuan bergegas mendekat dengan wajah penuh senyum. "Selamat datang kembali, Nyonya. Kami semua sangat senang melihat Anda kembali dengan selamat." Clara membalas senyum itu. "Terima kasih. Aku juga senang bisa kembali ke rumah
Tekad Sania sudah bulat. Keinginannya untuk melihat cucunya sangatlah kuat. Dia ingin tahu bagaimana wajah putera dari anak semata wayangnya itu. Dan ketika dia sampai di ruangan penyimpanan bayi, Sania dibuat tertegun. Sebelumnya, dia sudah mencari tahu tentang keberadaan cucunya secara diam-diam. Di bagian bawah box bayi tertera nama kedua orang tua dan tanggal kelahirannya. Dari situlah Sania dapat memastikan bahwa bayi dengan balutan kain biru yang kini tengah terlelap itu adalah putera dari Sebastian. 'Dia sungguh mirip dengan Bastian,' batin Sania. Ingatannya kembali pada hari di mana kelahiran Sebastian puluhan tahun yang lalu. Kehadirannya disambut suka cita bagi keluarga. Dan ketika dia melihat bayi itu, Sania merasa Dejavu. 'Bagaimana bisa semirip itu?' Dalam pikiran Sania berkecamuk. Pemandangan di hadapannya itu seolah mematahkan dugaannya bahwa bayi yang dikandung Clara bukanlah anak Sebastian. 'Jadi wanita itu benar.' Suara hati Sania terus berbicara tanpa henti.