Dareen berdiri di sisi meja dengan senyum yang melebar, tampak sedikit gugup. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Sebastian. Sebastian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan. Ramon pun segera menutup pintu dan memberi mereka ruang. "Untuk apa kamu datang kemari?" hardik Sebastian dengan tatapan intens. Terlihat sinis, dan selalu saja begitu. Namun, kali ini Dareen tidak takut. Dia datang dengan tujuan baik. Dareen menarik napas dalam. “Aku datang... untuk mengucapkan terima kasih kepada Kak Bastian. Untuk semuanya. Karena telah menyelamatkanku, karena telah menolong Mom, dan... karena tidak pernah membenciku, meskipun aku banyak menyakitimu di masa lalu.” Sebastian menatap Dareen. Wajahnya tenang. Sebelah alisnya terangkat ke atas. "Hanya itu saja 'kan?" “Ya, tapi tetap saja. Aku merasa harus mengatakannya.” Dareen tersenyum kecil. “Dad juga menyuruhku untuk belajar mengharga
Sementara Dareen mulai bekerja sebagai OB. Sebastian kini memulai rencana dengan memberi pelajaran pada Ziyon dan kedua temannya. Atas perintah langsung dari Sebastian, Ramon mulai menjalankan tugasnya dengan serius. Penyelidikan terhadap Ziyon, pria yang telah menculik Dareen dan menimbulkan kekacauan besar dalam kehidupan mereka, menjadi prioritas utama. Dalam waktu singkat, Ramon berhasil menemukan jejak keberadaan pria itu. Ziyon ternyata telah mulai membangun kembali kehidupannya setelah keterpurukan. Dengan bantuan seorang temannya yaitu Jordy. Diia kini bekerja sebagai bartender di sebuah bar eksklusif yang terletak di kawasan hiburan malam kota Arbour. Bar tersebut dimiliki oleh Jordy, teman baiknyaa yang dikenal memiliki koneksi luas dan loyalitas tinggi terhadap orang-orang yang dianggapnya keluarga. Ramon mengamati dari kejauhan, berdiri di antara bayangan bangunan seberang jalan. Dia menyaksikan bagaimana Ziyon melayani para pengunjung dengan senyum ramah, seolah-olah
Keesokan harinya, Clara datang menjenguk Lucia yang kini telah siuman. Wajah pucat wanita paruh baya itu tampak lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.Sejak beberapa waktu lalu, hubungan antara Clara dan Lucia mulai membaik. Hal itu terjadi setelah Lucia mengetahui bahwa Sebastian, suami Clara, adalah orang yang menyelamatkan Dareen dari insiden penculikan yang nyaris merenggut nyawanya.Tak hanya itu, Lucia juga mengetahui bahwa Clara memiliki peran besar dalam membujuk Maxime, mertuanya untuk memaafkan cucunya, Dareen. Usaha Clara yang tulus berhasil menyentuh hati Maxime yang keras. Sayangnya, di tengah ketulusan itu, Lucia tidak bisa menyampaikan rasa terima kasih dan permintaan maaf secara langsung. Sejak divonis lumpuh akibat tekanan darah tinggi yang menyerangnya, dia kehilangan kemampuan untuk bergerak dan berbicara. Kini, Lucia hanya bisa berkomunikasi lewat kedipan mata dan gerakan bibir yang lemah.Clara menatap wajah Lucia deng
Ziyon berlari sekuat tenaga ke dalam gedung, napasnya memburu, wajahnya pucat pasi. Dalam kepanikan yang melandanya, Dia menabrak sebuah rak besar berisi gelas-gelas kaca. Prangg!!!Dentuman keras terdengar saat rak itu terjungkal dan puluhan gelas jatuh berserakan, pecah di lantai, menciptakan suara riuh yang menggetarkan seluruh bar.Seluruh pekerja yang berada di dalam ruangan menoleh, sebagian kaget, sebagian lainnya tertawa membeku melihat ekspresi panik Ziyon. Manajer bar, seorang pria berkumis tebal dengan wajah tegas, segera melangkah cepat dari balik meja kasir. Wajahnya berubah merah padam saat melihat kekacauan yang ditimbulkan bawahannya itu. "Apa-apaan ini, Ziyon?!" hardik manajer dengan suara lantang. "Kamu mabuk atau gila, hah?!"Ziyon hanya bisa menggeleng dengan wajah ketakutan. Suaranya tercekat, mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Dia ingin menjelaskan, tapi bagaimana mungkin dia berkata bahwa dia lari karena melihat 'hantu'? Dia tahu dirinya hanya akan ditertaw
Pagi-pagi sekali, suasana rumah Sebastian dan Clara sudah dipenuhi dengan aktivitas persiapan. Hari itu, mereka akan mengantar Louis dan Lucia ke bandara untuk menjalani pengobatan ke luar negeri. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan semangat mereka. Kaisar telah siap dengan setelan sweater tebal berwarna biru laut, lengkap dengan kupluk kecil yang menutupi kepalanya. Kedua pipinya yang chubby tampak memerah karena udara dingin, membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Sementara itu, Clara tampil anggun dalam balutan mantel wol warna krem yang jatuh tepat di bawah lututnya. Di balik mantel tersebut, dia mengenakan dress bermotif bunga berwarna pastel yang selaras dengan sepatu hak rendah berwarna nude. Lehernya dililitkan syal wol warna cokelat muda yang senada dengan tas tangan mungil yang digenggamnya. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai, membuat penampilannya terlihat begitu elegan dan anggun di pagi yang sejuk itu. "Bagaimana, apa semua sudah siap?" tanya Seb
untuk bertemu dengan kedua orang tua Clara. Pria tua itu mengaku ingin meminta maaf dan menjalin hubungan baik dengan mereka. Namun, permintaan tersebut tidak mendapat tanggapan yang diharapkan. Clara hanya menatap Maxime sejenak, lalu menunduk. Ekspresi wajahnya sulit diterka. Ia tidak langsung menolak, namun juga tidak menyambut dengan antusias. Percakapan itu pun berlalu tanpa ada keputusan pasti. Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sempat hening. Clara duduk di samping Sebastian, menatap keluar jendela. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan pepohonan di sepanjang jalan. Sebastian sesekali melirik istrinya, merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganjal. "Aku perhatikan tadi kamu tampak tidak setuju ketika Kakek Maxime ingin menemui orang tuamu," ujar Sebastian perlahan, memecah keheningan. Clara tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. "Itu karena mereka membenciku, Sebastian." Sebastian menoleh cepat. "A
kibat kejadian semalam, Sebastian terbangun lebih siang dari biasanya. Suara burung berkicau dari luar jendela tidak mampu membangunkannya tepat waktu seperti biasa. Ia menggeliat pelan, membuka matanya yang terasa berat, lalu menatap jam dinding. Sudah pukul sembilan pagi. Dengan tergesa, ia bangkit dari ranjang, menyambar jubah tidur yang tergantung di balik pintu. Namun, begitu ia membuka pintu kamar, aroma sedap dari dapur menyambutnya. Clara tampak sibuk menyiapkan sarapan. Wanita itu menoleh dan tersenyum kecil saat melihat suaminya yang baru saja bangun. “Sudah siang,” ucap Clara tanpa nada marah sedikit pun. Sebastian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf... aku—” Clara memotong ucapannya, “Aku tahu. Aku sudah menonton rekaman dari Ramon. Jangan khawatir, aku tidak akan mengomel. Tapi mulai sekarang, tolong jangan pulang larut malam. Aku tidak ingin kamu jatuh sakit.” Sebastian tersenyum lega. “Terima kasih, sayang.” Pagi itu berjalan cukup tenang. Setelah sarapan
Sudah beberapa hari terakhir, hidup Ziyon dan kedua rekannya, Jordy serta Michael, tidak ubahnya seperti berada di dalam terowongan gelap yang panjang dan mencekam. Ketakutan yang mereka alami bukan berasal dari hal-hal yang biasa, melainkan dari sesuatu yang melampaui akal sehat mereka—penampakan yang diduga adalah hantu Dareen. Sejak kejadian malam-malam sebelumnya, satu demi satu dari mereka mengalami peristiwa ganjil dan menyeramkan. Ziyon melihat sosok berpakaian putih dengan wajah menyerupai Dareen di belakang gedung tempat ia bekerja. Jordy menyaksikan bayangan yang mengetuk jendela kamarnya saat tengah malam. Sementara Michael, yang paling keras kepala, akhirnya pingsan di dalam mobilnya setelah melihat sosok menyeramkan dari kaca spion. Kini, mereka bertiga kembali duduk bersama di salah satu ruangan apartemen milik Michael. Sisa rasa takut masih melekat di wajah mereka. Aroma kopi yang diseduh tidak cukup untuk mengusir dinginnya suasana hati. Di atas meja, tergeletak bebe
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj
Pagi itu langit terlihat cerah, burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar rumah keluarga Rein. Suasana yang tenang perlahan berubah ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Dari balik jendela ruang keluarga, Clara melirik keluar dan mendapati sosok yang sudah ia duga sejak semalam—William."Dia datang lagi,” gumam Clara pelan, sambil berdiri dan merapikan rok panjangnya.Sebastian yang duduk di kursi membaca koran hanya menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa kedatangan William tidak sekadar kunjungan biasa. Ada sesuatu yang disimpan pria itu, dan Sebastian bersiap untuk segala kemungkinan.Pintu rumah terbuka. Rosalia Rein, ibu Clara, menyambut William dengan senyum yang hangat.“William, Nak, kau datang lagi pagi-pagi begini. Ada angin apa?” tanya Rosalia dengan ramah.William membungkuk sedikit memberi hormat, lalu menjawab, “Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Paman Richard. Sekaligus… bertemu Clara.”C
Clara terdiam sesaat. Clara jelas saja kaget. Mengapa bisa ada William di rumah kedua orang tuanya. "Apa kamu tidak salah?" Clara memandang suaminya menuntut. "Kamu pikir aku bercanda?" Nada bicara Sebastian semakin meninggi. "Ah bukan begitu, maksudku, mengapa bisa ada William di rumah Ayah?" Clara mengubah arah pembicaraannya. Meski Sebastian tidak benar-benar menghendaki pembahasan ini, namun pria itu tetap menjawab. "Mengapa tanya padaku? Tanya saja pada ayahmu!" Sebastian acuh tak acuh. "Apa Ayah sengaja mengundangnya? Mungkin saja mereka masih berhubungan baik,” ujar Clara dengan hati-hati. "Berhubungan baik?" tanya Sebastian, kini menoleh dan menatap istrinya dengan sorot mata tajam. "Kamu tidak merasa aneh? Ayahmu terlihat lebih dekat dengan dia dibandingkan dengan aku, menantunya sekarang." Clara menggigit bibirnya, berusaha menahan diri untuk tidak memberikan respons emosional. Ia paham rasa tidak nyaman itu. Ia pun tidak bisa memaksa Sebastian untuk langsung meneri