"Apa? Apa maksudmu? Kekasih? Wanita simpanan? Anak?"Miriam mendadak membelalak lebar mendengar ucapan Anneth. Anneth pun akhirnya menjelaskan apa yang ia lihat di rumah Edgard tadi dan Miriam sempat terdiam sejenak karena terlalu syok namun tidak lama kemudian, ia malah tertawa. Rasanya Miriam begitu mengenal Edgard sampai Edgard tidak mungkin menyimpan wanita apalagi anak-anak. "Astaga, Anneth! Tante tidak tahu bagaimana kau bisa berpikir seperti itu, Anneth! Tapi sungguh itu pikiran yang lucu sekali!""Edgard tidak punya kekasih dan tidak pernah dekat dengan wanita mana pun sejak kecelakaan enam tahun lalu, apalagi anak. Hahaha, jangan berpikir terlalu banyak, Anneth!" "Baiklah, Tante tahu sejak lama Edgard selalu menolak perjodohan ini jadi bukan tidak mungkin kalau dia memang sengaja menyiapkan semua ini untuk membohongimu. Kau lucu sekali, Anneth!"Miriam pun terus tertawa, tapi Anneth malah kesal mendengarnya. "Tante, semoga saja semua benar-benar hanya rekayasa. Tapi apa
"Mereka ... sudah pergi tadi pagi, Bos." Seperti orang bodoh, Edgard hanya menganga mendengarnya dan menatap Jefry seperti ia kehilangan separuh jiwanya. "Apa, Jefry? Apa kau bilang? Katakan lagi dengan jelas!" seru Edgard dengan nada lirih. "Janice, Oma, Collin, dan Calista, sudah pergi tadi pagi! Mereka sudah pulang ke rumahnya sendiri," tegas Jefry lagi yang seketika kembali membuat Edgard menganga. "Apa? Pulang? Pulang ke rumah mereka sendiri? Tapi ini juga rumah mereka, mengapa mereka harus pulang lagi?""Ini bukan rumah mereka, Bos. Ini rumahmu dan kau tidak punya hubungan apa pun dengan mereka." Edgard membelalak tidak suka mendengar sahutan Jefry. "Apa yang kau bilang, Jefry? Collin dan Calista itu ... mereka itu anakku kan? Lalu mengapa ini bukan rumah mereka? Ini rumah mereka! Mereka bisa tinggal di sini dan melakukan apa saja yang mereka mau! Aku bahkan baru saja berpikir untuk mengajak mereka berbelanja baju-baju yang bagus! Mereka harus mendapat apa yang sudah sehar
"Jangan bermain di sini, anak-anak!" Nara terlihat mengomel saat Collin dan Calista terus mengganggunya dengan berlarian di sekitarnya padahal ia sedang sibuk membersihkan rumah kontrakan yang sudah cukup lama tidak ditinggali itu. "Collin terus mengejarku, Oma!" "Makanya jangan lari terus! Ini lihat ada sarang laba-laba, ayo sini! Ayo sini!" Collin yang iseng terus membawa sarang laba-laba yang sudah menempel di tangannya dan mengejar Calista untuk menakut-nakutinya. Untuk sesaat, rasa melow mereka yang harus pergi dari rumah Edgard pun meluap karena ada mainan baru saat rumah sedang kotor. Namun bagi Calista, itu bukan mainan karena Calista malah kesal pada Collin yang membuatnya terus berteriak. "Akkhh, Collin, jangan! Itu kotor! Calista tidak mau!" Calista pun terus berlari dan bersembunyi di belakang Nara sampai Nara benar-benar tidak bisa bekerja. "Astaga, Collin, Calista, sudah Oma bilang jangan bermain di sini! Kau juga, cuci tanganmu, Collin! Itu kotor sekali!"Tapi
Dua hari ternyata sama sekali tidak mampu mengembalikan perasaan Janice yang terlanjur kecewa pada Edgard. Karena bahkan sampai dua hari berlalu, Edgard tidak menghubunginya juga, begitupun dengan Jefry. Dan rasanya hubungan mereka seolah menguap begitu saja. Bahkan Edgard ternyata tidak punya perasaan berlebih pada Collin dan Calista. "Baiklah, cukup halunya, Janice! Cukup melownya! Hidup harus terus berjalan walaupun kadang apa yang terjadi di dalamnya tidak sesuai dengan harapanmu." "Ya, enam tahun lalu pun begitu kan? Walau bukan rencanamu untuk punya anak, tapi nyatanya hidupmu terus berjalan dan semua baik-baik saja." "Benar! Hari ini aku akan kembali masuk bekerja seperti biasa dan jangan bersikap berlebihan, Janice!" Janice terus mengembuskan napas panjangnya dan berpamitan dengan Nara maupun si kembar lalu ia pun pergi dengan Pak ojek lagi. Tidak terhitung berapa kali si kembar menanyakan tentang Edgard, namun Janice terus mengarang banyak cerita agar si kembar tidak
"Kau adalah Ibu dari anak-anakku!" Suara lantang Edgard membuat Janice membelalak tak percaya. "Apa? Apa yang kau katakan, Edgard?" "Collin dan Calista ... mereka adalah anakku kan?"Janice makin menahan napas mendengar pertanyaan itu. Dari semua ucapan Edgard, Janice mengambil kesimpulan kalau Edgard sedang mengajaknya berdamai, tapi rasanya masih aneh mengakui hal itu. Apa yang harus Janice lakukan sekarang? Jujur saja jantungnya berdebar tidak karuan sekarang dan tubuhnya mulai gemetar. Edgard yang melihat ekspresi Janice pun malah makin mendekat dan meraih tangan Janice. Edgard pun duduk bersandar di mejanya sambil menarik Janice mendekatinya sampai posisi sekarang Janice pun berdiri tepat di hadapan Edgard. "Katakan, Janice! Mereka itu anak kita kan? Hasil dari perbuatan kita malam itu? Kau Emira, pelayan itu. Benar kan? Mengakulah, Janice! Aku sungguh tidak akan marah lagi. Aku hanya mau mendengar kebenarannya langsung dari mulutmu ...."Dan Janice malah makin tegang men
Jantung Janice masih berdebar kencang melihat wajah bengis Harlan, supervisor di Orion Group enam tahun yang lalu. Sontak Janice segera menunduk, layaknya karyawan lain yang tidak berani menatap wajah pimpinannya. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau tubuh Janice gemetar sekarang. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice tidak pernah menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi. 'Tapi dasar bodoh, Janice!' rutuk Janice pada dirinya sendiri. Bukankah memang dulu pria itu bekerja di perusahaan Edgard? Berarti memang besar kemungkinan kalau pria itu akan muncul lagi. Walaupun sungguh Janice berharap pria itu sudah mengundurkan diri atau bahkan mati saja. Jantung Janice makin memacu kencang sekarang. Janice pun masih berdiri gelisah sampai tidak lama kemudian, ia mendengar suara Edgard. "Tante Miriam! Tante di sini? Kapan Tante datang dan mengapa Tante tidak memberitahuku dulu?" "Edgard Sayang ... Tante memang sengaja tidak memberitahu siapa pun, Edgard."Miriam tersenyum menatap Edgard
"Apa Tante akan lama di sini?" tanya Edgard setelah mereka selesai membicarakan tentang bisnis. "Kali ini Tante akan cukup lama di sini sekaligus mengatur pertunanganmu dengan Anneth, Edgard." Dan perasaan lega Edgard pun meluap seketika. Ini adalah salah satu hal yang tidak ia sukai dari Miriam, selalu memaksanya bertunangan dan menikah. Edgard pun mengembuskan napas kesalnya. Rasanya ia selalu ingin marah setiap membahasnya. "Tante, masalah itu ...." "Kita sudah membicarakannya berulang kali, Edgard. Tapi keputusan Tante tetap sama. Kau harus menikah agar ada yang mengurusmu, Edgard. Selain itu, kau juga harus punya anak untuk melanjutkan keturunan kita." Edgard terdiam sejenak mendengarnya. Punya anak bukan hal yang sulit karena ia sudah mempunyai anak sekarang, bukan hanya satu, melainkan dua sekaligus, tapi Edgard sama sekali bukan pria yang bisa diatur seperti itu. "Tante, bisakah tentang itu biar aku yang mengurusnya sendiri?""Tidak bisa, Edgard. Karena Tante tahu kala
Janice masih tidak bisa berkonsentrasi sampai sore itu. Membayangkan wajah bengis Harlan masih membuatnya menegang dan Janice terus berharap semoga Harlan tidak mengingatnya. "Janice, kau kenapa? Ada apa lagi? Kau menjadi aneh lagi! Apa Pak Edgard menyuruhmu yang macam-macam lagi?" tanya Wina yang melihat Janice terus melamun. "Eh, tidak! Aku tidak sempat bicara dengan Pak Edgard karena mendadak ada seorang wanita yang datang, tantenya," sahut Janice setengah berdusta. Wina pun membelalak mendengarnya. "Eh, Tantenya? Apa maksudmu Bu Miriam?""Eh, kau juga tahu tentang wanita itu?" "Ya ampun, tentu saja! Kau benar-benar tidak mengikuti berita tentang Pak Edgard sama sekali ya?"Janice menggeleng. Ia memang tidak mengikuti berita apa pun tentang Edgard. Selama satu bulan bekerja di Orion Group dulu, Janice hanya mengenal beberapa orang di divisinya dan juga Harlan yang merupakan supervisor yang sering ia lihat, karena ia memang masih training Edgard yang sebagai CEO atau tantenya