"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you."
Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat terkejut saat dengan tidak sengaja tubuhnya menabrak sesuatu yang keras. Tubuhnya terdorong ke belakang jika tidak cekatan mungkin detik ini juga tubuhnya sudah tergeletak tidak etis di atas tanah pijakan. "Sh*t!" umpat Rheanne tanpa sadar. Kedua matanya menutup dengan kesal. Orang di hadapannya sedikit terkejut saat mendengar umpatan dari bibir wanita di depannya itu. Ekor matanya melirik dengan sinis pada seorang pria yang barusan bertubrukan dengannya. Terlihat, jas dari pria itu terkena noda kopi yang dibawanya, tapi Rheanne tidak peduli. Dia sudah kelewat kesal karena pria di hadapannya ini sudah hampir membuatnya terjatuh ke tanah. "Watch your way, sir! Can't you see it?!" seru Rheanne dengan sinis. Sontak si pria pun menolehkan kepalanya pada Rheanne, menatap pada wanita itu dengan satu alisnya yang terangkat. Rheanne mendengus kesal kemudian merapikan kembali rambut panjangnya dengan sedikit kasar. Setelah itu, melengos pergi dengan gerutuan dalam hatinya. Bahkan dengan terang-terangan kedua matanya menatap sinis pada pria ber-jas yang barusan menabraknya. Si pria hanya menatap dengan kerutan jelas di keningnya. Melihat kepergian wanita itu, si pria pun membuka suaranya. "Siapa wanita itu?" tanyanya, menatap punggung Rheanne yang sudah berlalu pergi. Pria disampingnya lantas menoleh. "Sepertinya dia pegawai baru." Lantas pria itu pun mengangguk pelan. "Sir, jasmu kotor. Ingin aku ganti dengan yang baru?" tanya Felix, salah satu anak buahnya. Pria itu merunduk sedikit untuk melihat jasnya yang kotor, lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu," balasnya singkat. Felix mengangguk. "Baiklah. Ayo, Sir." ** "Permisi," sapa Rheanne pada seorang wanita yang berjaga di kursi resepsionis. Wanita itu pun lantas berdiri dan tersenyum ramah pada Rheanne. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" Rheanne mengangguk samar. "Bisa kau tunjukkan ruangan Bos? Aku pegawai baru di sini." "Ah, kau sekretaris barunya Mr. Melvi, ya?" tebak wanita dengan rambut sebahu itu. "Iya," angguk Rheanne. "Jadi, bisa kau tunjukkan?" "Oh, tentu. Mari, aku akan mengantarmu." Gadis itu pun berjalan dari mejanya dan menghampiri Rheanne. "Terima kasih, em.. nona... Alissa," ucap Rheanne mengeja name tag yang wanita itu kenakan di sebelah kiri bajunya. Gadis itu tersenyum lebar. "Panggil aku Ally saja." "Ah, ya. Ally. Perkenalkan juga, aku Rheanne, kau bisa memanggilku Anne," seru Rheanne memperkenalkan diri. Alissa tersenyum mengangguk lalu segera mengajak Rheanne untuk menuju ke ruangan yang tadi gadis itu tanyakan. Namun sebelum mereka melangkah suara gaduh dari pintu masuk kantor membuat mereka mengalihkan perhatian. Terlihat para karyawan dan semua staff kantor berbaris rapih di samping pintu masuk. Hal itu membuat Rheanne menukikkan alisnya dengan heran dan bingung. Sedangkan Alissa memasang wajah terkejutnya sebelum kemudian bergabung bersama yang lainnya dengan menarik tangan Rheanne untuk ikut bergabung. Rheanne hanya menurut namun kepalanya penuh dengan tanya. Seketika raut wajah bingungnya berubah menjadi terkejut, sangat terkejut, ketika melihat di pintu masuk terlihat seorang laki-laki dengan setelan formalnya berjalan masuk disertai wajah yang datar. Langkah kakinya menggema melewati para karyawan dan staff yang membungkuk hormat padanya. Iya, benar sekali. Pria itu orang yang sama yang barusan berpapasan dengannya. Namun, yang jadi pertanyaan, kenapa pria itu bisa masuk seenaknya ke sini? Terlebih semua karyawan di perusahaan ini memberikan penghormatan untuknya seolah pria itu adalah sosok yang agung. Karena rasa penasaran yang terlalu tinggi, Rheanne menoleh pada Lisa dan bertanya dengan nada bisikan. "Dia siapa?" Alissa menoleh dengan menukik bingung. "Kau tidak tahu?" Rheanne jelas menggeleng karena dia memang tidak tahu. Terdengar Alissa mendesah pelan. "Beliau Mr. Melvi. Pemilik perusahaan ini." Ucapan Alissa hampir saja membuat Rheanne tersedak. Sontak kedua matanya melotot begitu lebar. "M-mksudmu dia B-bos kita?" Alissa mengangguk. "Iya." Saat itu juga Rheanne rasanya ingin menghilang. Rheanne tidak tahu jika pria yang ia marahi di depan gedung tadi adalah bosnya sendiri. Rheanne menggigiti kukunya gelisah. Dia semakin gugup dan was-was apalagi ketika pria itu melangkah semakin dekat ke arahnya. "Kenapa?" tanya Alissa yang merasa aneh melihat gelagat Rheanne. "Ally ..." Rheanne menoleh pada Alissa dengan gusar. "Kau tahu, pria itu ... Pria yang aku marahi di depan gedung tadi." Tentu saja respon yang diberikan Alissa adalah wajah terkejutnya. "Apa?! Kau memarahi Bosmu sendiri?! Kau cari mati ya!" Rheanne menggeleng lemah. "Aku sungguh tidak tahu." "Astaga, Rheanne ..." Alissa menghela napasnya. Tidak habis pikir dengan gadis ini. Baru saja pertama bekerja sudah mencari masalah. Rheanne menelan ludahnya gugup tatkala sosok yang sejak tadi ingin ia hindari sudah berdiri tepat di depan mereka. alissa yang menyadari itu lantas membungkuk hormat kepada pria itu. "Good morning, Sir," sapa Alissa. Pria itu mengabaikan sapaan Alissa dan melirik Rheanne yang berada di samping. Rheanne yang sadar lantas ikut menunduk sopan. Jemarinya saling bertautan menahan gugup. Apalagi pria itu sejak tadi terus menatap ke arah Rheanne. "Datangkan sekretaris baruku. Aku ingin melihat seperti apa dia," gumam pria itu pelan. Alissa melirik singkat ke arah Rheanne sebelum kemudian mengangguk singkat. "Baik, Sir." Tanpa sepatah kata lagi, pria itu melenggang pergi meninggalkan rasa lega untuk semua staff dan karyawan di sana. Saat benar-benar pria itu pergi, mereka membubarkan diri dan kembali bekerja. Berbeda dengan Rheanne yang justru malah semakin gelisah. "Mati aku," gumam Rheanne berdecak. *** Rheanne memasuki ruangan itu dengan perasaan yang gugup. Kakinya bahkan terasa berat dan lemas hanya untuk melangkah masuk ke dalam. Setelah berada di dalam, Rheanne semakin merasakan aura tidak enak. Tubuhnya tiba-tiba merasa merinding. Apalagi ruangan ini terlihat minim dari pencahayaan. "Good morning, Sir." Suara Rheanne terdengar gugup sekali. Justin yang tengah fokus menatap layar laptopnya perlahan mendongak menatap Rheanne yang berdiri sedikit berjarak di depannya. Pria itu menyandarkan punggungnya dan memperhatikan Rheanne dalam diam. "Jadi, kau sekretaris baruku?" tanya Justin kemudian. Rheanne berdehem sejenak. Bahkan suaranya saja sudah membuat Rheanne bertambah gugup. "I-iya." Justin mengangguk singkat. "Perkenalkan dirimu." Meski kaku, tapi Rheanne tetap menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum berucap. "Namaku—" "Oke cukup." Justin menyela tiba-tiba. "Kau terlalu bertele-tele." Rheanne kembali mengatupkan bibirnya begitu mendengar suara Justin. Di bawah sana tangannya meremas roknya kuat-kuat. Rheanne menahan rasa kesal dalam hatinya pada calon Bossnya. Rheanne tidak tahu jika pria ini ternyata menyebalkan juga. "Aku sudah melihat rekap data pribadimu. Kau cukup kompeten. Aku harap kau bisa bekerja dengan baik di sini," seru Justin. Rheanne tidak tahu apakah itu semacam pujian atau ejekan karena ekspresi wajah Justin seperti tidak yakin dengan dirinya. "Thank you, Sir." Rheanne mencoba tersenyum ramah pada Justin, tapi pria itu malah memalingkan wajahnya dan kembali fokus ke laptop. Rheanne masih berdiri canggung di depan Justin. Dia mengingat tentang kejadian tadi pagi. Setelah meyakinkan dan memberanikan diri, Rheanne memutuskan untuk meminta maaf pada Justin. "Sir ..." Justin bergumam tanpa peduli untuk menatap Rheanne. Sedangkan gadis itu bingung harus mengatakan apa kepada Justin. "Em ... Soal tadi pagi, aku ..." Ucapan Rheanne menggantung di udara saat Justin menoleh padanya. Wajahnya tetap sama— datar dan dingin. Seperti tidak ada ekspresi lain yang Justin miliki. "Kau boleh pergi," usir Justin menunjuk pintu keluar. Rheanne ingin menyela Justin, tapi melihat raut wajah Justin yang seperti itu membuatnya urung. Pada akhirnya Rheanne memilih pergi dari ruangan Justin. "Aku permisi, Sir." Justin hanya mengangguk. Dia memperhatikan sekretaris barunya hingga hilang di balik pintu. Seusai kepergian Rheanne, Justin mendengus geli seraya menyeringai kecil. ...Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin. Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu. Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal
Menyebalkan! Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau mem
Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.Bugh!Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di had
Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana. Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik. Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya. Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa kar
Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak ena
Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin
Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat