Menyebalkan!
Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau membalas senyuman dari sekretarisnya itu. Seperti biasa, tanpa sedikitpun kata yang terucap, Justin melangkah pergi mendahului Rheanne yang buru-buru mengekor di belakangnya. Hari ini klien dari Jepang datang. Itu artinya rapat kali ini terbilang cukup penting untuk perusahaan. Rheanne mengikuti langkah lebar Justin menuju ruang rapat yang berada di lantai bawah. Hanya berbeda satu lantai dari ruangan mereka. Begitu sampai di ruang rapat, kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh karyawan lainnya. “Selamat siang, Sir.” Justin hanya bergumam. Tanpa menghiraukan semua orang di sana dia langsung mendudukkan dirinya di kursi yang selalu ia tempati. Sementara Rheanne duduk di samping Justin. Sesekali Rheanne mencuri pandang pada Justin yang hanya menatap datar semua orang di sini, bahkan tersenyum pun tidak. Rheanne tidak tahu sebenarnya seperti apa warna hidup yang dimiliki Justin. Setiap melihat pria itu, tidak pernah sekalipun Rheanne melihat Justin tersenyum ataupun bersikap ramah pada semua orang. Wajahnya hanya datar dan dingin seakan tidak tersentuh. Rheanne tersentak kaget saat Justin memergokinya. Sontak Rheanne pun memalingkan wajahnya untuk menghindari kontak mata dengan pria itu. “Fokus. Jangan memikirkan hal lain,” ujar Justin. Rheanne melotot lebar. Dia cukup terkejut karena Justin bisa menebak isi pikirannya. Tunggu, apa Bossnya juga bisa membaca isi pikiran orang? Meeting sudah dimulai. Semua orang di sini termasuk Rheanne tampak fokus mendengar persentase salah satu karyawan lain. Namun di tengah meeting berlanjut, tiba-tiba sesuatu terjadi hingga membuat semua orang dalam ruangan berseru kaget. Begitu juga Rheanne yang turut terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “S-sorry Sir. Aku tidak sengaja,” ujar seorang pelayan wanita yang tanpa sengaja menumpahkan kopi tepat pada jas Justin hingga membuat jas hitam berkilau itu menyisakan noda hitam di sana. Pelayan wanita itu merunduk seraya mengusap dada bidang Justin, bermaksud untuk membersihkan noda kopi yang ia tumpahkan. Namun dengan cepat Justin menyingkirkan tangan pelayan itu yang menyentuhnya. “B-biar aku bersihkan jasmu, Sir.” Pelayan itu panik dan takut melihat Justin yang memberikan tatapan datar padanya. “Tinggalkan pekerjaanmu dan pergi dari sini.” Pengusiran yang Justin berikan membuat si pelayan semakin bergetar takut. Terlebih ucapan Justin terdengar ambigu dengan nada pengusiran. Kendati begitu, si pelayan tetap pergi tanpa membantah lagi. Rheanne memperhatikan kepergian pelayan itu lalu mencuri pandang ke arah Justin yang tampak menahan kesal. Sejenak suasana berubah menjadi sunyi, bahkan setelah pelayan itu keluar. Tidak ada yang berani bersuara ataupun bergerak sedikitpun. “Lanjutkan.” Seruan Justin membuat mereka semua bernapas lega. *** Rheanne hampir berseru kaget ketika melihat Justin yang melepas jas di hadapannya. Buru-buru Rheanne memalingkan wajahnya dari Justin. Meskipun masih menyisakan kemeja yang membalut tubuh Justin, tapi tetap saja itu membuat Rheanne malu. Terlebih tubuh atletis pria itu begitu tercetak jelas di sana. “Nona Austin, kau tidak dengar?” Rheanne tersentak saat tiba-tiba Justin menegurnya. “I-iya Sir. Aku dengar.” Justin menatap Rheanne tanpa ekspresi. Kemudian menyerahkan jas yang kotor tadi pada Rheanne. “Ganti dan berikan aku jas yang baru,” seru Justin. “Baik, Sir.” Rheanne membawa jas itu dan segera pergi ke ruang ganti. Selama beberapa hari bekerja di sini, Rheanne sudah hafal setiap tempat di sini. Terlebih tempat penting untuk Justin sudah Rheanne ingat. Ruang ganti itu tidak berbeda jauh. Berada di tempat yang sama dengan ruangan Justin. Hanya terhalang oleh lemari besar yang berisikan data-data perusahaan. Di balik lemari besar ini terdapat pintu berwarna gelap. Itu merupakan letak di mana ruang ganti berada. Ruangan yang selalu Justin butuhkan jika terjadi hal seperti ini lagi. Rheanne membuka pintu berukuran besar itu. Hingga suara deritan dari pintu kayu terdengar begitu nyaring. Lampu di ruangan ini tidak terlalu terang namun juga tidak gelap. Rheanne berjalan menuju di mana biasanya letak jas untuk Justin gunakan. Deretan jas hitam itu berjajar rapi dengan menggantung di lemari baju. Rheanne berdecak pelan. Tempat ini bahkan begitu komplit melebihi lemari miliknya di rumah. Tanpa ingin menunggu lama, Rheanne berjalan menuju jas yang berjejer itu. Memilah satu di antara yang lainnya yang setidaknya tepat untuk digunakan oleh Justin. Setelah menemukan jas yang tepat, Rheanne meletakkan jas yang terkena tumpahan tadi untuk ia gantung di tempat yang sama. Prang Suara itu begitu nyaring terdengar hingga membuat Rheanne terkejut. Rheanne merunduk untuk melihat sesuatu yang jatuh di atas lantai. Menyadari jika benda itu jatuh dari jas milik Justin dengan cepat Rheanne mengambilnya. Namun Rheanne hanya terdiam. Tunggu, benda ini kenapa bisa ada di jas milik Justin. Anne meneguk ludahnya. Antara kaget dan juga bingung. Sebuah belati. Iya belati kecil namun tajam itu ada di dalam saku jas milik Justin. Perlahan namun penuh kehati-hatian Rheanne memeriksa lagi saku jas itu. Tangannya merambat masuk ke dalam saku dan rasa terkejut kembali Rheanne rasakan. Kali ini Rheanne mendapati sebuah pisau lipat dan juga pistol. Benda-benda berbahaya itu kenapa ada di saku jas milik Justin? Rheanne menarik kembali tangannya dari dalam saku jas Justin. Tanpa ingin tahu lebih, Rheanne memutuskan untuk pergi dari ruangan ini. Membiarkan jas itu tergeletak di atas lantai. Rheanne mengibaskan tangannya yang sudah menyentuh benda-benda tajam itu. Begitu keluar ruangan, ternyata Justin sudah berdiri menunggunya sejak tadi. Rheanne melangkah perlahan ke arah Justin. Namun melihat Justin justru malah membuat Rheanne teringat akan benda tajam di saku jas Justin. Dia masih penasaran, mengapa Justin menyimpan benda berbahaya seperti itu di dalam saku jasnya. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa. “Ini jasmu, Sir.” Rheanne menyodorkan jas itu kepada Justin. Justin tidak langsung menerima, melainkan memperhatikan Rheanne yang berucap tanpa menatap padanya. Selain itu juga, raut wajah gadis itu tampak berbeda saat masuk tadi. “Kenapa?” tanya Justin pelan. Mendengar suara Justin yang bertanya sontak Rheanne menggeleng cepat. “T-tidak ada apa-apa, Sir.” Meskipun terasa aneh, tapi Justin hanya mengangguk tanpa ingin membalasnya lagi. “Kau boleh pergi.” “Aku permisi, Sir.” Rheanne melangkah cepat keluar dari ruangan Justin. Sementara Justin menolehkan kepalanya menatap punggung Rheanne yang sudah menghilang di balik pintu. *** “Jelaskan padaku, kenapa penyelundupan kali ini bisa gagal?” tanya Justin dingin. “Tidak gagal, jika tidak ada seorang yang berkhianat di sini,” jawab Reymond. Seketika Justin terkekeh kecil mendengar jawaban yang Reymond berikan. “Katakan.” “Alex, Sir. Dia membocorkan informasi. Dan kini pihak polisi tengah dalam penyelidikan,” ungkap Reymond memberitahu. Justin mendengus remeh. “Bawa dia ke hadapanku.” “Yes, Sir.” Pengkhianat tetaplah pengkhianat. Justin tidak mungkin membiarkan pengkhianat seperti mereka hidup begitu saja. “Sir, bagaimana dengan polisi?” tanya Reymond. “Musnahkan,” seru Justin. “Aku tidak suka orang lain mencampuri urusanku.” “Laksanakan, Sir.” ...Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.Bugh!Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di had
Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana. Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik. Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya. Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa kar
Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak ena
Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin
Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat
Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”
Pagi ini Rheanne memutuskan untuk sarapan di kantor. Dia sarapan bersama Alissa. Seperti biasa, Alissa akan selalu memotret hidangan apapun sebelum mereka makan. Sepertinya kebiasaan Alissa yang ini sulit sekali untuk dihilangkan. Rheanne menatap malas pada Alissa yang terus saja memotret makanan tanpa henti. Jika terus begini, lalu kapan mereka akan mulai sarapan?! Alissa benar-benar sangat menyebalkan.“Alissa, sudah! Kalau kau terus memotretnya kapan kita akan sarapan?! Aku sudah lapar!” seru Rheanne dengan kesal.Alissa menoleh kemudian mencebikkan bibirnya. “Sabar. Aku masih belum mendapatkan hasil yang bagus,” balas Alissa masih terus fokus pada ponselnya.Mendengar itu semakin membuat Rheanne dongkol. Benar-benar tidak ada kerjaan sekali gadis ini. Pikir Rheanne.“Nah selesai. Wow perfect, hasil yang bagus!” Alissa berseru heboh seraya melihat layar ponselnya.Rheanne mendelik malas. Kemudian mulai menyantap sarapan paginya dengan cepat. Rheanne menyuap serealnya dengan sediki
Seorang pria baru saja menutup pintu kamar dengan helaan napas panjang. Kakinya melangkah pergi melewati lorong panjang ini dengan senyuman yang mengembang. Dia bersiul penuh riang seraya merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan. Suasana yang hening berubah berisik saat langkahnya menginjak lantai bawah. Suara musik disko yang menggema dengan aroma alkohol yang menyengat adalah hal pertama yang ia tangkap. Namun begitu, pria itu yang tak lain adalah Veer begitu senang dan menikmatinya. Kemudian netra tajam dari matanya menangkap sosok anak buahnya yang justru tengah bermesraan dengan wanita asing di sana. “Bos,” cicitnya pelan ketika melihat sosok pria itu berdiri menjulang dengan wajah datar. “Aku menyuruhmu ke sini bukan berarti kau bermesraan dengan jalang ini!” serunya kasar.Pria itu menunduk dalam dan segera mendorong kasar wanita yang berada di pangkuannya. “Maaf Bos.”Veer mendengus kasar. Dengan berkacak pinggang dia menatap datar anak buahnya. “Siapkan mobil!” titah
Setelah penyerangan yang terjadi semalam, Justin semakin memperketat penjagaan dengan menambah lagi beberapa soldier. Semua itu ia lakukan untuk antisipasi dari serangan yang mungkin terjadi lagi. Rheanne melirik beberapa mobil hitam yang mengikuti mobilnya dan Justin. Rasanya terlihat sangat berlebihan, tapi juga ini dilakukan untuk keamanan mereka. Terlebih penyerangan yang terjadi di hotel semalam membuat Rheannemengamalami sedikit trauma. Ya, bagaimana tidak trauma? Tiba-tiba saja sebuah peluru asing menyasar ke kamar hotel mereka. Hingga tak berselang lama mobil mereka tiba di bandara. Tampak sebuah jet pribadi sudah terparkir apik di bandara yang luas itu. Walaupun Rheanne sudah pernah merasakannya, tapi tetap saja dia masih terkagum dengan bagaimana mewahnya pesawat ini. Sedikit kening Rheanne mengernyit saat cairan berwarna merah itu masuk dan mengalir melewati kerongkongannya. Rheanne menatap minuman itu di tangannya kemudian menyimpan lagi di atas meja kecil di depan
Sejak awal pesta bahkan di penghujung pesta sekalipun, Rheanne masih bersikap ketus pada Justin. Selama di mobil pun setiap Justin mengajak bicara hanya dibalas kebungkaman oleh Rheanne.Astaga! Wanita dengan segala sifat rumitnya."Rheanne ..." panggil Justin seraya menggapai tangan Rheanne dan hendak untuk menciumnya, namun segera Rheanne tepis dengan delikan sinis yang ia berikan. "Don't touch me!" seru Rheanne melipat kedua tangannya dan berpaling ke arah jendela. Justin mendengus kasar. Pria itu tampak sudah mulai geram sekaligus kesal dengan sikap kekanakan dari wanita itu. Walau begitu Justin sebisa mungkin menahan kesabarannya. Sungguh, Justin lebih memilih menghadapi ribuan musuh dari pada harus menghadapi satu wanita dengan sikap rumitnya. Netra Rheanne terus bergulir dan memperhatikan seluruh hotel ini dengan sedikit termenung. Jadi, bangunan besar ini adalah hotel milik Justin? Rheanne tidak tau harus berkata apalagi saat satu-persatu aset-aset milik Justin mulai terun
Rheanne memandang dirinya di depan cermin. Mendengus kesal saat melihat begitu banyak bercak merah di sekitaran leher dan area dadanya. Ulah siapa lagi jika bukan Justin. Sejak lima belas menit yang lalu mereka baru menyelesaikan mandi mereka dan sejak itu Rheanne terus saja mendumel serta menggerutu pada Justin. Kedua tangan Rheanne perlahan mulai memasangkan sebuah syal rajut berwarna coklat pada lehernya. Hal itu tentu saja untuk menutupi hasil dari perbuatan Justin. Akan malu rasanya jika semua orang melihatnya. Ekor mata Rheanne melirik Justin melalui cermin. Lihat, wajah tidak berdosanya itu membuat Rheanne semakin jengkel. Dengan santai Justin memasang dasi dan bertelepon dengan seseorang. “Cantik,” puji Justin berjalan menghampiri Rheanne setelah selesai dengan teleponnya. Justin tersenyum samar lalu mencuri ciuman di bibir pink Rheanne. Menyesap dan sedikit menekannya. Ciuman itu semakin dalam dan hanyut sebelum Rheanne memberikan pukulan pada bahu keras milik Justin. Men
Nick berjalan dengan bersenandung kecil. Dia menghirup jarinya yang masih tercium aroma tubuh Rheanne di sana. “Hah … Harum sekali,” gumam Nick. Tiba-tiba pikiran liarnya keluar saat menghirup wangi wanita itu. Nick berjalan keluar dari mansion besar milik Justin. Hingga saat Nick hendak menggapai pintu mobil tiba-tiba dia merasakan pandangannya menggelap. Sesuatu menutup kepalanya hingga membuat Nick sesak napas. **“Lepaskan aku! Siapa kalian?!” teriak Nick memberontak. Apalagi saat dua orang itu menyeret dan membawa dirinya entah ke mana. Nick menghirup oksigen sebanyak-banyaknya saat kain yang menutupi wajahnya dibuka. Dia mengedarkan pandangan di tempat asing ini. Nick tidak tahu sekarang dia ada di mana. Terlebih tempat ini begitu aneh. Tidak ada pencahayaan di sini. Hingga netra Nick menangkap seseorang yang duduk membelakangi dengan kepulan asap dari bibirnya. “SHIT! Siapa kalian dan apa urusannya denganku?!” seru Nick marah. Nick melihat seseorang itu membuang batang r
Rheanne masih bergeming mendengar pengakuan dari Justin. Otaknya masih mencerna setiap kata yang Justin lontarkan. Rheanne menatap mata Justin. Kini mereka saling menatap satu sama lain. Setelah tatapan mereka terkunci untuk beberapa saat, Rheanne memilih untuk memutuskan pandangannya. Rheanne memalingkan wajahnya. “Omong kosong!” cibir Rheanne mencebik bibirnya. Justin menautkan alisnya mendengar jawaban dari Rheanne. “Kau tidak percaya?” “Tidak.”Percaya pada Justin? Itu sama saja menyesatkan diri. Lagipula ini masih terlalu cepat dari pertama kali mereka bertemu, dan Justin tiba-tiba mengatakan suka padanya. Ck, sangat sulit untuk dipercayai. “Tidak peduli. Aku tetap menyukaimu,” ujar Justin tegas. Dia meraih dagu Rheanne dan mencium rakus bibir wanita itu. Rheanne memukul keras dada Justin saat merasakan pasokan oksigen yang menipis. Namun Justin seolah tidak peduli. Pria itu terus memperdalam ciumannya dan enggan untuk melepaskan. Rheanne berhasil mendorong Justin dengan ti
Lagi-lagi Justin meninggalkan Rheanne begitu saja. Bahkan di saat Rheanne belum membuka matanya pun pria itu sudah menghilang. Seperti saat ini, Rheanne menoleh ke sampingnya dan tidak menemukan sosok Justin di sana. Padahal semalam pria itu masih ada di sini bersamanya. Iya, semalam mereka memang tidur bersama. Hanya tidur saja, tidak melakukan apapun. “Ssh …” Rheanne meringis tatkala merasakan sakit di bahunya. Dia lupa jika bahunya masih dalam keadaan luka. Rheanne melirik bahunya yang sudah berganti dengan perban yang baru. Karena perdebatan dengan Justin kemarin membuat bahu Rheanne kembali terluka. Oleh karena itu dia harus mengganti perbannya lagi. Kepala Rheanne menoleh saat mendengar suara pintu yang dibuka. Terlihat sosok Bella yang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan mendorong sebuah troli. Bella menghampiri Rheanne dan tersenyum hangat. “Selamat pagi, Nyonya. Waktunya untuk sarapan,” seru Bella membuka penutup di atas troli itu. Mata Rheanne melirik dan menang
Rheanne terbangun dengan segala rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Badan mungilnya tertutupi selimut tebal sampai sebatas lehernya. Hingga kemudian Rheanne tersentak dan seketika tersadar dengan apa yang sudah terjadi. Mata Rheanne bergulir ke bawah lantai dan saat itu juga dia menggeram kesal. Rheanne memukul kepalanya dengan kesal. Dasar bodoh! Rutuknya sendiri. Bisa-bisanya Rheanne terbuai dengan sentuhan pria itu hingga mereka kembali melakukannya lagi. Dalam hati Rheanne tidak berhenti mengumpati Justin. Kilasan kejadian semalam berputar kembali dalam kepala Rheanne. Wanita itu mendengus kasar mengingatnya. Rasanya dia seperti wanita murahan. Hilang sudah harga dirinya di depan Justin. Suara pintu yang dibuka berhasil membuyarkan lamunan Rheanne. Kepalanya menoleh dan saat itu juga tatapannya berubah tajam begitu melihat siapa seseorang itu. “Sudah bangun, Sweetheart?” Seseorang itu tersenyum seolah tidak terjadi apapun. Dia melangkah mendekat pada Anne. “Justin! Brengsek kau!
Sinar pagi menembus celah-celah jendela kamar. Hal itu membuat sang gadis — eh, maksudnya sang wanita terbangun dari tidurnya. Dia — Rheanne, terbangun dengan keadaan kepala yang sedikit pusing. Butuh beberapa waktu ia harus mengembalikan kesadarannya. Rheanne mengerjapkan matanya yang terasa buram. Namun, saat kedua matanya sukses terbuka lebar. Seketika keningnya mengerut bingung. Netra matanya semakin mengedar ke setiap penjuru dalam ruangan ini. Asing. Begitulah yang Rheanne rasakan. Damn! Ini bukan kamarku! Kamarku tidak gelap dan suram begini! Hah?! Aku di mana?! Begitulah kiranya batin Rheanne yang terus berteriak frustasi. Dengan satu kali hentakan kasar Rheanne bangkit dari tidurnya. Namun, lagi-lagi dia meringis. Kali ini sedikit keras. Ada yang aneh. K-kenapa di bawah sana terasa sakit? Tubuhnya juga terasa sangat dingin. Rheanne meneguk ludahnya. Dengan ragu dia merundukkan kepalanya dan sedikit mengintip ke dalam selimut. Hanya untuk memastikan jika prasangkanya t