Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.
Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini. “Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu. Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat. Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak enak badan dan Mr. Melvi pasti akan mengerti. Ya, itu dia. Alasan yang pintar, Rheanne. Batinnya memuji. Setelah meyakinkan diri, lantas Rheanne pun beranjak pergi untuk menemui Justin di ruangannya. Berdehem sejenak sebelum mengetuk pintu ruangan itu dan masuk kedalam setelah terdengar seruan berat dari dalam sana. Saat masuk, tiba-tiba atmosfer di sana terasa berbeda. Rheanne meneguk ludahnya gugup, menatap Justin yang terlihat tengah berkutat dengan beberapa tumpukan dokumen di sana. Mengabaikan rasa gugupnya, Rheanne perlahan berjalan mendekat pada Justin yang masih belum menoleh sedikitpun padanya. Sebelum berucap, Rheanne menarik napasnya dalam. “S-sir?” cicit Rheanne pelan. Hanya menatap wajah Justin saja, dia sudah gugup seperti ini. Justin hanya bergumam di tempatnya. Pria itu masih berkutat dengan kertas-kertas di atas mejanya. Entah kenapa tiba-tiba lidahnya terasa kelu, Rheanne memilin jarinya gugup. Namun, sekuat tenaga mungkin Rheanne membuka suaranya. “Em, begini, mengenai pesta …” “Jika ke sini hanya untuk beralasan, aku tidak terima.” Justin memotong ucapan Rheanne dengan cepat. Pria itu mendongak dan menatap Rheanne dengan serius. “Apa?” Rheanne terdiam mematung. Dia bahkan belum mengatakan tujuannya ke sini, tapi Justin seolah bisa membaca isi pikirannya. Rheanne semakin meneguk ludahnya gugup. Pria itu menyimpan berkasnya di atas meja. “Apa alasanmu?” Justin bertanya membuat Rheanne segera tersadar. Rheanne berdehem singkat. “I-itu, aku … Aku, sedikit kurang sehat. Jadi lebih baik jika aku tidak usah ikut,” jelas Rheanne walau dengan suara yang pelan karena gugup. Satu alis Justin terangkat, pria itu lalu memperhatikan Rheanne dengan lekat. “Aku tidak melihat wajahmu pucat,” seru Justin menatap Rheanne dengan wajah yang lebih serius. Rheanne semakin gelisah di tempatnya. “O-oh itu. Iya, aku hanya masih merasakan gejalanya saja, Sir,” sahut Rheanne beralasan. Justin tidak menyahut. Membuat Rheanne tidak berkutik. Seketika ruangan menjadi sunyi dan senyap. Mereka sama-sama terdiam. Sedangkan Rheanne terus menunduk gelisah karena tidak mendapat reaksi apapun dari Justin. Pikiran dan hatinya dipenuhi dengan rutukan pada dirinya sendiri. Sekarang Rheanne merasa menyesal karena sudah senekat ini. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Justin kembali berucap. Namun, ucapan Justin justru membuat Rheanne semakin lemas di tempat. “Apapun alasannya, aku tidak menerima penolakan.” Nada suara Justin terkesan tegas dan memerintah. Rheanne memberanikan dirinya untuk menatap Justin. “T-tapi,” Lagi, sebelum berucap Justin sudah kembali menyela ucapannya. “Pesta ini atas undangan dari rekan kerjaku. Dan Tuan Damien sudah mengundang semua orang di sini. Jadi, sebagai bentuk penghormatan padanya kita harus menerima undangannya dengan baik. Benar bukan?” jelas Justin panjang-untuk pertama kalinya. Bahkan Rheanne dibuat tercengang mendengar penuturan panjang itu. Untuk pertama kalinya Rheanne selama bekerja di sini mendengar Justin berbicara panjang seperti ini. Walaupun raut wajahnya masih tetap sama, dingin dan datar. Rheanne kembali tersadar lalu mengangguk dengan lesu. “Ya, Sir. Benar, aku mengerti. Maafkan aku." Justin hanya mengangguk tanpa membalas. Setelah itu, Rheanne berpamitan untuk undur diri. Rencananya gagal sudah. Tidak ada film, tidak ada cemilan dan tidak ada santai enak di rumah. Rheanne menghela napas lesu. “Nona Austin.” Panggilan Justin membuat Rheanne menghentikan langkahnya. Segera gadis itu membalikkan badannya pada Justin yang memangil. Justin menatap wajah Rheanne dengan lekat. “Tepat pukul tujuh,” seru Justin sedikit tegas. Rheanne mengerut bingung, merasa tidak paham apa maksudnya. Rheanne hanya mengangguk saja setelah itu berlalu ke luar ruangan. Selama berjalan bahkan saat dia sudah berada di dalam ruangannya, Rheanne masih memikirkan ucapan dari Justin. Tepat pukul tujuh, apa maksudnya itu. Otak kecilnya tidak bisa memikirkan hal itu. Tanpa peduli, Rheanne kembali melanjutkan pekerjaannya. ...Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin
Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat
Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”
Pagi ini Rheanne memutuskan untuk sarapan di kantor. Dia sarapan bersama Alissa. Seperti biasa, Alissa akan selalu memotret hidangan apapun sebelum mereka makan. Sepertinya kebiasaan Alissa yang ini sulit sekali untuk dihilangkan. Rheanne menatap malas pada Alissa yang terus saja memotret makanan tanpa henti. Jika terus begini, lalu kapan mereka akan mulai sarapan?! Alissa benar-benar sangat menyebalkan.“Alissa, sudah! Kalau kau terus memotretnya kapan kita akan sarapan?! Aku sudah lapar!” seru Rheanne dengan kesal.Alissa menoleh kemudian mencebikkan bibirnya. “Sabar. Aku masih belum mendapatkan hasil yang bagus,” balas Alissa masih terus fokus pada ponselnya.Mendengar itu semakin membuat Rheanne dongkol. Benar-benar tidak ada kerjaan sekali gadis ini. Pikir Rheanne.“Nah selesai. Wow perfect, hasil yang bagus!” Alissa berseru heboh seraya melihat layar ponselnya.Rheanne mendelik malas. Kemudian mulai menyantap sarapan paginya dengan cepat. Rheanne menyuap serealnya dengan sediki
"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you." Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat te
Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin. Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu. Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal
Menyebalkan! Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau mem