Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya.
Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap. “Ibu, aku ingin ganti baju. Ini terlihat tidak cocok,” seru Rheanne menatap melas ibunya. Dengan cepat Nyonya Austin menggeleng. “No, no. Gaun ini sudah sangat cocok untukmu, jadi jangan ganti!” Rheanne mendengus pelan. Dengan kesal dia berpamitan pada ibunya. Rheanne berjalan dengan meraih ponselnya. Dia akan menghubungi Alissa agar menjemputnya di sini, supaya Rheanne tidak merasa malu saat hadir di sana karena ada Alissa bersamanya. Namun, saat sudah berada di halaman rumahnya. Rheanne berhenti memainkan ponselnya. Niatnya untuk menghubungi Alissa terurung. Netra gadis itu menatap terdiam pada mobil yang sudah terparkir apik di depan halaman rumahnya. Saat kaca jendela belakang mobil itu terbuka, saat itulah keterkejutan Rheanne semakin menjadi. Kedua matanya melotot lebar melihat siapa orang yang berada di dalam mobil mewah ini. “Sir?!” Reaksi Rheanne antara terkejut dan tidak percaya. Tanpa menoleh, Justin berucap. “Masuk!” Mendengar nada suara Justin yang seperti itu membuat Rheanne segera masuk ke dalam mobil. Dia mengambil tempat di sebelah Justin. Seketika rasa gugup kembali menjalar kedalam tubuhnya. “Sir?” Justin melirik jam tangannya. “Kau terlambat dua menit,” sela Justin. Lagi-lagi pria itu memotong ucapan Rheanne. Kening Rheanne mengernyit tidak mengerti. “Apa?” “Aku bilang tepat pukul tujuh, tidak kurang dan lebih,” seru Justin tanpa menoleh. Seketika kedua mata Rheanne membulat sempurna. Gadis itu terkejut dan tidak percaya. Jadi, maksudnya ini? “Sir, tidak seharusnya kau melakukan ini. Aku bisa meminta Alissa untuk-“ “Jalankan mobilnya!” titah Justin pada Felix- mengabaikan ucapan dari gadis itu. Hingga membuat Rheanne mengatupkan kembali bibirnya. Menelan kata yang akan ia ucapkan tadi. Pria di balik supir kemudi itu mengangguk menurut. Saat itu juga keadaan mobil menjadi hening dan sepi. Tidak ada yang bersuara termasuk Rheanne. Gadis itu bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. Berada di samping Justin membuat Rheanne dilanda keresahan. Dia bahkan tidak berani bergerak sedikitpun. Hingga kemudian mereka tiba di acara pesta itu. Rheanne bernapas lega karena sebentar lagi dia akan pergi dari situasi ini. Kedatangan Justin disambut hangat oleh Tuan Damien. Pria berusia 40 tahun itu tersenyum melihat kehadiran Justin di pestanya. “Selamat datang Mr. Melvi, suatu kehormatan untukku karena kau datang ke acara pestaku,” sambutnya dengan hangat. Pria itu tertawa dengan suara beratnya. Justin hanya terkekeh pelan. “Ini suatu penghormatan, mengingat kau yang jarang hadir di acara seperti ini,” imbuh Tuan Damien bergurau. “Kau terlalu berlebihan, Tuan Damien.” Tuan Damien tertawa kecil hingga ekor mata pria itu melirik Rheanne yang sejak tadi hanya diam memperhatikan dua orang itu berbicara. “Oh, aku baru sadar jika kau membawa pasanganmu?” ujar Tuan Damien melirik Rheanne. “Seperti tidak asing,” Justin melirik Rheanne. “Dia sekretarisku.” “Ah benar. Pantas saja seperti tidak asing. Maklum, penyakit pikunku memang sering kambuh.” Kekeh Tuan Damien. Justin berdehem singkat. “Jadi, aku boleh masuk?” ucap Justin mengalihkan pembicaraan. “Ah iya, tentu saja. Silakan, semoga kau menikmati pestanya.” Tuan Damien mempersilahkan Justin untuk masuk kedalam. Justin mengangguk lalu melangkah masuk diikuti dengan Rheanne di belakangnya. Rheanne menyempatkan diri untuk tersenyum ramah pada Tuan Damien yang juga dibalas hangat oleh pria itu. “Pasangan yang serasi,” gumam Tuan Damien memperhatikan Justin dan Rheanne. Setelahnya, pria itu kembali beralih untuk menyambut para tamu-tamu yang datang. Ruangan ini begitu megah dan dihiasi dengan berbagai hiasan yang mewah. Kebanyakan orang berdasi dan wanita sosialita yang datang ke pesta ini. Sepertinya hanya orang-orang penting yang hadir dalam pesta ini. Sejak tadi, Rheanne terus mendampingi Justin yang mengobrol dengan beberapa rekan kerjanya. Gadis itu bahkan sudah merasa bosan, terlebih dirinya seperti seekor nyamuk antara Justin dan rekan kerjanya itu. Saat matanya mengedar, tanpa sengaja Rheanne melihat kehadiran Alissa di sana yang tengah mengobrol dengan rekan kerja lainnya. Rheanne pun hendak untuk berpamitan pada Justin yang untung saja diangguki oleh pria itu. Akhirnya Rheanne bisa terbebas dari sana. Dia tidak perlu menjadi orang ketiga lagi antara Justin dan rekan kerjanya. “Alissa!” Panggilan Rheanne membuat gadis dengan gaun kuning cerah itu menoleh. Rheanne menghampiri Alissa dan tersenyum lebar pada gadis itu. Sedangkan Alissa mendengus kasar lalu menatap Rheanne dengan desisan kesalnya. “Rheanne! Kau tahu, aku menelponmu berkali-kali sejak tadi tapi kau tidak mengangkatnya sama sekali. Aku bahkan datang ke rumahmu untuk menjemputmu, tapi ibumu bilang jika kau sudah pergi. Kau tahu, seberapa kesalnya aku padamu?!” semprot Alissa dengan gemas. Alissa mengomeli Rheanne. Sementara gadis yang sejak tadi mengobrol dengan Alissa hanya tersenyum canggung. Menyadari situasinya, gadis itu pun pamit pergi. “Sepertinya aku harus pergi. Lain kali kita bisa lanjut mengobrol. Bye Alissa, Rheanne.” Kini meninggalkan Rheanne dengan Alissa yang sudah mendengus kesal padanya. “Maaf, aku tadi berniat untuk menunggumu tapi-“ Rheanne menggantungkan ucapannya kala mengingat kejadian tadi saat di mana justru Justin lah yang datang. Alissa melipat kedua tangannya, lalu melirik Rheanne dengan kesal. “Tapi apa?” Rheanne berdehem canggung. Dia masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucap. “Em, i-itu. Tiba-tiba saja Mr. Melvi datang dan kami pun pergi bersama. Aku tidak sempat menelponmu karena aku lupa." Seketika wajah kesal Alissa berubah. Gadis itu menoleh pada Anne dengan melotot lebar disertai wajah terkejutnya. “Apa?! Kau serius?!” Rheanne mengangguk ragu. “I-iya,” “Kau benar-benar serius?!” tanya Alissa lagi. “Iya, aku serius.” Alissa menutup mulutnya dengan tangannya. “Oh my god! Are you kidding me?! Kau datang ke sini bersama Mr. Melvi?!” pekik Alissa nyaring. Rheanne gelagapan karena suara Alissa hampir seperti berteriak. “Alissa, berhenti berteriak!” tegur Rheanne mendengus sebal. Kedua mata Alissa menyipit curiga pada Rheanne. “Apa yang terjadi antara kau dan Mr. Melvi?” Kedua mata Rheanne membulat mendengar pertanyaan aneh dari gadis itu. “Terjadi apa?! Tidak ada apapun antara aku dengannya. Lagipula dia itu Boss kita,” terang Rheanne mengelak. “Benarkah?” tanya Alissa dengan nada mengejek. “Iya!” “Oh, baiklah.” *** Saat acara inti dalam pesta itu dimulai, tiba-tiba Justin datang menghampiri Rheanne dan membuatnya sontak terkejut. Lebih terkejut lagi saat pria itu menarik tangan Rheanne dan berjalan ke tengah kerumunan. Rheanne membulat sempurna melihat jika Justin membawanya ke lantai dansa. Sudah ada beberapa pasangan juga yang berdansa di sini, lalu kenapa Justin malah menariknya. Rheanne meneguk ludahnya gugup. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti langkah pria itu. Cekalan pada tangannya juga cukup erat hingga membuat Rheanne kesulitan bergerak. “Sir? K-kenapa kita di sini?” tanya Rheanne gugup juga bingung. Namun rasa bingung serta gugupnya hilang seketika saat tiba-tiba saja Justin menarik dan meletakkan kedua tangannya di pinggang Rheanne. Refleks, Rheanne pun meletakkan kedua tangannya di kedua bahu pria itu. Kedua tubuh mereka bergerak mengikuti irama musik dansa. Jantung Rheanne sudah berdebar kencang sejak tadi. Sekuat mungkin Rheanne berusaha untuk menghilangkan rasa gugupnya, tapi tidak bisa. Perlakuan Justin kali ini benar-benar sukses membuat Rheanne tidak bisa berkutik sama sekali. “Sir?” cicit Rheanne pelan. “Aku hanya membutuhkan teman dansa,” ujar Justin pelan. Tatapannya menatap lurus wajah sekretarisnya itu. Rheanne mendongak dan menahan napas tercekat saat jarak wajahnya dengan Justin begitu dekat. Kedua tangan Rheanne yang berada di bahu Justin semakin mendingin. Dengan berani Rheanne menatap Justin. “Lalu, kenapa harus aku?” Justin tidak langsung menjawab. Pria itu menelusuri wajah Rheanne dengan kedua mata tajamnya. “Karena kau sekretarisku,” sahut Justin kemudian. Rheanne berdehem kaku. “Tapi Sir-“ Ucapan Rheanne terpotong saat Justin mencium bibirnya. Rheanne menatap Justin dengan wajah terkejut dan shock. Kedua matanya semakin melotot lebar mendapat perlakuan itu. “Sir?” Justin menyela. “I like your lips. It tastes sweet and soft,” ujar Justin pelan setengah berbisik. “S-sir, apa yang kau lakukan?” tanya Rheanne gugup. Dia tidak berani untuk menatap wajah Justin lebih lama. “Menciummu,” balas Justin singkat. Rheanne berdehem gugup. “K-kenapa kau melakukan itu?” Justin mengangkat satu alisnya. “Kau tidak suka?” “Iya-eh, tidak.” Rheanne meralat ucapannya saat melihat Justin yang menatapnya seperti itu. “M-maksudku, Ini ciuman pertamaku,” ucap Rheanne pelan. Dia merunduk seraya menggigit bibir bawahnya. “Kau mencuri ciuman pertamaku.” Tanpa sadar Justin tersenyum tipis. Kemudian dengan lancang pria itu mendekatkan wajahnya pada permukaan leher Rheanne. Menghirup aroma wangi pada rambut dan ceruk leher milik Rheanne. Karena hal itu semakin membuat Rheanne tidak bisa mengatur detak jantungnya lagi. Rheanne melotot lebar di tempatnya. “You are beautiful, I like it,” lirih Justin namun dapat didengar jelas oleh Rheanne. Oke cukup! Rheanne tidak bisa menahan lagi. Jantungnya sudah benar-benar ingin melompat saja! ...Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat
Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”
Pagi ini Rheanne memutuskan untuk sarapan di kantor. Dia sarapan bersama Alissa. Seperti biasa, Alissa akan selalu memotret hidangan apapun sebelum mereka makan. Sepertinya kebiasaan Alissa yang ini sulit sekali untuk dihilangkan. Rheanne menatap malas pada Alissa yang terus saja memotret makanan tanpa henti. Jika terus begini, lalu kapan mereka akan mulai sarapan?! Alissa benar-benar sangat menyebalkan.“Alissa, sudah! Kalau kau terus memotretnya kapan kita akan sarapan?! Aku sudah lapar!” seru Rheanne dengan kesal.Alissa menoleh kemudian mencebikkan bibirnya. “Sabar. Aku masih belum mendapatkan hasil yang bagus,” balas Alissa masih terus fokus pada ponselnya.Mendengar itu semakin membuat Rheanne dongkol. Benar-benar tidak ada kerjaan sekali gadis ini. Pikir Rheanne.“Nah selesai. Wow perfect, hasil yang bagus!” Alissa berseru heboh seraya melihat layar ponselnya.Rheanne mendelik malas. Kemudian mulai menyantap sarapan paginya dengan cepat. Rheanne menyuap serealnya dengan sediki
"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you." Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat te
Suasana rasanya tegang sekali. Terlebih di dalam lift ini hanya ada mereka berdua. Rheanne sesekali melirik Justin yang berdiam dengan pandangan lurus ke depan. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku, dan wajahnya masih setia dengan raut yang dingin. Rheanne tidak tahu jika di lift ini akan ada Justin. Sungguh suasana saat ini terasa begitu canggung dan kikuk. Pelan-pelan Rheanne melangkah ke samping. Mencoba berjaga jarak dengan Justin. Namun itu justru malah membuat Justin melirik dingin padanya. Rheanne memalingkan wajahnya berusaha untuk mengabaikan pria itu. Rheanne bernapas lega saat lift sudah berada di lantai dasar. Rheanne bersiap untuk keluar dari lift guna menghindari situasi aneh itu. Namun goncangan kecil dari lift justru malah membuat tubuhnya oleng dan hampir terjatuh jika saja tangannya tidak bergerak lebih dulu untuk mencari pegangan. Akan tetapi, bukannya berpegangan pada pembatas lift, Rheanne malah mencengkram erat lengan Justin yang berada di sebelahnya. Hal
Menyebalkan! Kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Justin. Ya, Rheanne sangat akui jika Bosnya itu sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Belum lima detik Rheanne duduk tenang di kursinya, tapi pria itu sudah menerornya dengan berbagai perintah yang ditujukan untuknya. Rheanne benar-benar membutuhkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi atasan seperti Justin. “Datang ke ruanganku sekarang! Kita ada meeting hari ini!” Begitulah kira-kira yang Rheanne ingat saat pria itu menelponnya. Sedikit merutuki dirinya sendiri karena Rheanne hampir melupakan hal itu. Kini Rheanne tengah menunggu Justin di depan pintu ruangannya. Entah sedang apa pria itu di dalam yang jelas sudah sekitar lima menit Rheanne menunggunya. Suara pintu yang dibuka membuat Rheanne menegakkan tubuhnya. Rheanne berusaha tersenyum ramah begitu melihat sosok yang ia tunggu sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang itu-itu saja. Dingin dan tidak tersentuh. Justin hanya melirik Rheanne tanpa mau mem
Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya.Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin.Bugh!Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di had