Pengkhianat seperti Alex mencoba kabur dari Justin itu adalah kesalahan besar. Bahkan tanpa menunggu waktu lama Justin sudah mampu untuk menemukan keberadaan pria itu. Bagi Justin pria seperti Alex hanya tikus kecil tidak berguna.
“Get f*cking me out!” Teriakan berupa makian itu terdengar dari luar hingga masuk ke dalam ruangan. Justin mengepulkan asap dari bibirnya sedangkan fokus matanya hanya menatap datar dan dingin pada anak buahnya. “You son of a b*tch!” teriak Alex menatap tajam pada Justin yang berdiri di hadapannya. Mendengar makian seperti itu tidak membuat Justin tersinggung. Pria itu justru hanya terkekeh pelan seraya menyesap nikotinnya. Perlahan Justin melangkah mendekat setelah mematikan rokoknya. Suara ketukan yang terdengar terasa mencekam. Sementara Justin melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Tidak ada ekspresi apapun selain hanya tatapan tajam dan wajah dinginnya. Yeah, that’s Justin. Bugh! Tanpa berlama-lama, Justin menendang wajah pria di hadapannya hingga membuat pria itu meringis kesakitan. Bahkan keadaan bibirnya sobek dan berdarah. “Kau terlalu banyak bicara.” Alex meringis lalu menatap Justin dengan tajam. “Justin, sialan!” maki Alex penuh berani. “Aku bersumpah tidak akan mengampunimu!” “Shit! Shut your mouth!” sahut Miguel dengan tajam. Pria itu memukul wajah Alex yang sudah babak belur. Semua di sana menatap tajam ke arah Alex yang sudah berani berkata kotor di depan Justin. Sementara itu, Justin hanya tersenyum meremehkan. Wajahnya begitu tenang menghadapi Alex yang justru menatapnya penuh dendam. “Biarkan bedebah ini mengatakan kata-kata terakhirnya,” seru Justin dengan tenang. Alex semakin menggeram di sana. “Kau pecundang, Justin! Kau pengecut!” lontar Alex berteriak dengan lantang. Justin hanya diam dengan menatap diam pada Alex. Untuk saat ini dia akan membiarkan pria itu berbicara apapun. “Kau takut padaku hah?” tuding Alex terkekeh mengejek. “Kau menyuruh anak buahmu untuk menangkapku. Kau takut kan, Justin! Kau pecundang! Bastard!” Sedangkan itu, semua orang di sana sudah menahan amarah. Bahkan jika bukan perintah Justin untuk diam sudah sejak tadi Erland menghajar pria di depannya itu. Pria itu tidak tau diri, sudah kalah namun tetap menantang. “Tidak lama lagi kau akan hancur. Aku sendiri yang akan menghancurkanmu!” teriak Alex dengan urat kemarahan yang begitu jelas terlihat di wajah lebamnya. Justin tertawa. Sedikit memalingkan wajahnya, Justin terus tertawa. Setelah itu kembali menoleh pada Alex dengan wajah yang kembali datar. Tawanya lenyap dengan cepat yang kini tergantikan dengan wajah dinginnya. “Great! Aku suka ambisimu Alex,” sahut Justin mengangguk singkat. Justin melangkah memutari Alex yang merunduk di sana. Di sisi kanan kiri tubuh Alex ada anak buah Justin yang menahan tubuh pria itu. Justin memperhatikan Alex dengan intens namun penuh intimidasi. “Tapi, harus aku katakan jika kau terlalu percaya diri.” Justin menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapan Alex. Bugh! Justin kembali memberikan tendangan pada tubuh Alex. Kali ini tepat pada perutnya hingga membuat bibirnya kembali meringis kesakitan. Alex mendongak dan menatap Justin dengan tajam. “Damn it!” maki Alex meringis sakit. Justin terkekeh pelan. Ringisan Alex justru membuat Justin merasa puas. Mantan anak buahnya itu terlihat sudah lemah tidak berdaya di hadapan Justin. “Kau melupakan fakta,” ucap Justin menjeda. Satu tendangan lagi lolos dari tubuh Alex. Pria itu kembali meringis kesakitan setelah rahangnya terkena tendangan lagi. “Jika aku membenci pengkhianat,” tambah Justin menatap nyalang. Rahangnya mengeras menahan marah. “Ssh…” Alex semakin meringis kesakitan. Tubuhnya sudah terduduk lemas di lantai karena sakit. “Kau harus tahu, Alex. Jika pengkhianat sama dengan mati,” seru Justin menyeringai. Tendangan terakhir kembali melayang pada wajah Alex. Kini pria itu semakin terkulai di lantai. Terbatuk darah disertai erangan dan ringisan kesakitan karena tubuhnya yang terasa sudah mati rasa. “Come on, bicara lagi sebelum aku menghancurkanmu.” Justin terkekeh kecil. Menatap lurus pada tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Justin merunduk lalu berjongkok di depan Alex. Kemudian menarik rambut belakang pria itu dengan kuat-kuat. Tatapan Justin menatap wajah berdarah milik Alex dengan tajam dan sengit. “Jadi, katakan padaku siapa pecundang di sini, Bastard,” bisik Justin tajam. Setelah itu tangannya menyentak kasar. Melepaskan cengkramannya pada rambut Alex hingga membuat kepala pria itu terbentur dan berdarah. Justin bangkit dan menodongkan pistolnya. Dalam satu kali tarikan, peluru itu berhasil mengenai bahu Alex. Pria itu berteriak kesakitan. Darah merembes keluar hingga mengotori baju dan lantai, tapi Justin tidak peduli. Justin kembali melesatkan peluru kedua pada paha milik Alex. Kembali, Alex mengerang kesakitan. Satu tangannya menutup luka pada pahanya, tapi itu tidak ada gunanya karena darah itu semakin banyak keluar. “T-tidak, a-ampun …” Alex memohon dengan meringis kesakitan. Tubuhnya sudah tidak tahan menahan semua ini. Suara permohonan Alex membuat Justin terkekeh sinis. “Katakan lagi.” “A-ampun, a-aku b-bersalah.” Justin semakin terkekeh. “Kau memang bersalah.” “But, I won’t let you go,” ujar Justin menyeringai. Dor! Tembakan itu tepat mengenai kepala Alex. Darah dan organ kepala milik pria itu berceceran keluar. Darah milik Alex berceceran di mana-mana. Justin tersenyum puas lalu mengusap dahinya yang sedikit terkena darah. Justin melirik pada anak buahnya. “Buang dia!” perintah Justin tanpa bantahan. Mereka mengangguk. “Yes, Sir.” *** “Bawakan berkas yang harus aku tanda tangani!” Tut. Rheanne hampir berteriak setelah suara itu terdengar jelas di balik sambungan telpon. Itu suara dari Justin yang menyuruh Rheanne untuk menemui pria itu. Tidak ingin membuang waktu lama, Rheanne lekas pergi menuju ruangan Justin. Tidak lupa juga ia membawa berkas yang Justin pinta. “Selamat siang, Sir.” Justin melirik Rheanne yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Rheanne segera memberikan berkas yang ia bawa di tangannya kepada Justin. “Ada lagi yang harus aku tanda tangani?” tanya Justin setelah semua berkasnya ia tanda tangani. “Tidak, Sir. Ini-“ ucapan Rheanne menggantung begitu saja tatkala matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu di balik kemeja putih Justin. “Kenapa?” tanya Justin mengangkat satu alisnya heran karena Rheanne yang tiba-tiba berhenti bicara. Tersadar, Rheanne dengan cepat menggeleng pelan. “T-tidak, Sir. I-ini berkas terakhir yang harus ditandatangani.” “K-kalau begitu, aku permisi,” pamit Rheanne melangkah sedikit berlari ke arah pintu agar segera keluar dari ruangan Justin. Justin yang melihat itu hanya menautkan keningnya. Merasa aneh dengan gelagat dari sekretarisnya itu. ** Saat sudah berada di ruangannya, Rheanne segera meneguk segelas air yang ada di atas meja hingga tandas tidak tersisa. Bahkan berkas yang tadi ia bawa kembali sudah ia lempar sembarang ke atas meja. “What the hell. Aku pasti salah lihat,” gumam Rheanne mengusap keningnya sendiri. “Tapi nodanya seperti … No, no, no. Ya, aku pasti salah lihat. C’mon Rheanne, singkirkan pikiran burukmu itu.” Sungguh kepala Rheanne rasanya ingin meledak saja memikirkan beberapa kejadian yang ia alami. Kemarin benda-benda tajam, dan sekarang Rheanne malah melihat noda aneh di kemeja yang Justin kenakan. Warna nodanya jelas seperti darah, tapi Rheanne tidak ingin berpikiran sampai ke sana. Bisa saja itu hanya tinta merah yang berasal dari pulpen. Ya, itu mungkin saja. Rheanne menyentuh detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdegup kencang. Saat pertama kali melihat noda di kemeja Justin tentu saja membuat Rheanne terkejut. Rheanne kembali menggelengkan kepalanya. Dia berusaha untuk melupakan kejadian itu dan memilih untuk fokus pada pekerjaannya saja. Namun tidak ayal, hal itu membuat Rheanne sedikit menaruh kecurigaan terhadap Justin. …Jam makan siang sudah tiba. Suasana kantin pun sangat ramai. Bersama dengan Alissa, Rheanne duduk dan menyantap makan siangnya. Kantin perusahaan berada di lantai tiga, sementara ruangan Rheanne berada di lantai tujuh. Itu artinya dia harus turun melewati empat lantai. Jika bukan paksaan dari gadis di depannya ini sudah pasti Rheanne memilih untuk tinggal di ruangannya dan makan siang di sana. Di sela itu, Rheanne kembali mengingat kejadian tempo hari. Rheanne mendengus saat melirik Alissa yang justru sibuk dengan memotret makanan di depannya. Ck, dasar. Selalu saja begini jika dirinya pergi makan bersama dengan Alissa, pasti gadis itu akan selalu memotret apapun hal yang menurutnya menarik. Berdehem sejenak, Rheanne pun mulai berucap, “Em, Ally, apa menurutmu Mr. Melvi adalah pria yang normal? Maksudku dia bukan seorang kriminal, kan?” Dengan sedikit ragu Rheanne bertanya. Rheanne terlalu curiga dan penasaran dengan latar belakang dari Bossnya itu. Rheanne bertanya pada Alissa kar
Di dalam ruangannya, Rheanne menatap kartu undangan itu dengan tatapan yang lesu. Malam ini tepatnya, rekan kerja Justin mengadakan sebuah pesta dan semua orang kantor mendapatkan undangannya termasuk Rheanne sendiri.Namun, sejak tadi Rheanne terus menatap kartu undangan miliknya dengan tidak semangat. Ayolah, itu pesta. Artinya akan ada banyak orang di sana yang hadir. Sedangkan Rheanne, dia termasuk ke dalam orang yang tidak menyukai pesta. Dibanding itu, dia lebih memilih menonton film di rumah dengan ditemani cemilan. Dari pada harus hadir dalam pesta seperti ini.“Astaga! Aku harus bagaimana?” seru Rheanne frustasi. Kepalanya menelungkup di atas meja dengan bahu yang merosot lesu.Di tengah rasa frustasinya, Rheanne terus berpikir untuk mencari alasan yang tepat agar tidak hadir di pesta itu. Iya, hanya itu. Ayo, Nona Austin, berpikirlah. Hingga kemudian senyum cerah terbit di bibirnya. Rheanne sudah mendapatkan alasan yang tepat.Oke, hanya katakan jika Rheanne sedang tidak ena
Saat malam tiba, Rheanne sudah menyiapkan dirinya. Menatap wajahnya di cermin dengan malas. Wajahnya sudah terlihat cantik dengan riasan tipis, dan gaun pesta yang sudah serasi dengan ukuran tubuhnya. Sebenarnya, ini bukan kemauan Rheanne mamakai gaun seperti ini. Lihat saja, bagaiman model gaun ini yang terlihat seperti kekurangan bahan. Namun, karena ini paksaan dari ibunya maka dari itu Rheanne terpaksa memakainya. Iya, semua ini adalah hasil dari ibunya. Mulai dari riasan, gaun bahkan sepatu dan gaya rambut. Ibunya dengan antusias mendandani anak gadisnya dengan senang. Bagaimana tidak senang, Nyonya Austin akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya pergi ke acara seperti ini. Ini kali pertama karena Rheanne itu orang yang malas. Bahkan acara keluarga pun dia tidak pernah datang. Maka dari itu Nyonya Austin merasa senang melihat putrinya yang tiba-tiba mengatakan akan menghadiri sebuah pesta. Dengan antusias wanita paruh baya itu membantu Rheanne untuk bersiap.“Ibu, aku ingin
Pagi sekali Rheanne sudah tiba di kantor. Dia sengaja datang pagi sekali dan sarapan di sini. Tidak hanya sendiri, tapi bersama dengan Alissa. Gadis itu kini tengah memakan sarapannya. Berbeda dengan Rheanne yang hanya mengaduk sereal miliknya. Menatap malas dan tanpa minat sekali. “CK, what’s wrong with you? Hanya menatap saja tidak akan membuatmu kenyang," ujar Alissa menyuap satu sendok serealnya. Rheanne melirik pada Alissa dan kembali menatap hampa pada sarapan paginya. Helaan napas terus keluar dari bibirnya. Wajahnya bahkan terlihat sangat lesu. “Aku tidak nafsu,” balas Rheanne pelan. Nada suaranya terdengar lemah.Alissa menatap bingung. “Kenapa?” Rheanne hanya menggeleng lalu kembali merenung. Lagi, gadis itu menghela napasnya panjang. Sudah sejak semalam seperti ini, dia bahkan tidak nyenyak dalam tidurnya. Setelah pulang dari pesta itu seluruh pikiran Rheanne terasa runyam dan ingin sekali meledak. Kepikiran kejadian semalam. Sial, setiap mengingatnya membuat Rheanne i
Suasana dalam ruangan terasa begitu mencekam. Apalagi ketukan langkah kaki yang semakin mendekat membuat atmosfer dalam ruangan itu semakin berubah. Menakutkan bagi siapapun yang berada di sana. Pintu ruangan pun terbuka dengan sosok pria yang berdiri menjulang di sana. Itu Justin. Berdiri angkuh dengan wajah yang datar. Tatapannya tetap sama. Dingin dan tajam, menatap lurus pada seseorang di ujung sana. Perlahan langkahnya mendekat dengan diiringi aura yang mematikan. Semua orang menunduk dalam, mereka tidak berani bahkan untuk mengangkat kepala mereka sedikitpun. Saat suara langkah kaki Justin sudah semakin mendekat. Orang itu mendongak dengan wajah yang sudah berlumuran darah. Kedua tangannya diikat kuat dengan tali tambang, dan satu kakinya dirantai. Walaupun wajahnya meringis sakit, dia tetap menarik sudut bibirnya. Tersenyum sinis pada Justin.“Kau. Aku sudah menduga ini,” ucapnya terkekeh pelan. Justin masih tetap menatap dingin padanya. Posisi mereka yang berbeda, membuat
Pagi ini Rheanne tiba di kantor awal waktu. Mulai sekarang dia akan selalu datang tepat waktu. Rheanne berjalan santai menuju ruangannya. Sesekali dia menyapa karyawan lain yang berpapasan dengannya. Akhirnya Rheanne tiba di lantai tujuh- lantai di mana ruangannya berada. Dia bernapas lega dan segera mendudukkan dirinya di kursi kerja. Sejenak Rheanne terdiam seraya mengatur napasnya yang sedikit memburu. Maklum, jarak pintu masuk ke ruangannya cukup menguras tenaga.Namun, saat ekor matanya tanpa sengaja melirik ruangan Justin. Rheanne merenung dengan mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang di mana membuat Rheanne tidak bisa tertidur karena terus kepikiran. Lamunan Rheanne buyar saat mendengar suara pintu yang dibuka. Saat Rheanne menoleh, ternyata Justin sudah berada di ruangannya dan duduk angkuh di sana. Seketika Rheanne meneguk ludahnya gusar. Secepat kilat Rheanne memalingkan wajahnya dan menarik napas dalam-dalam. “Oke, lupakan! Hanya fokus saja pada pekerjaanmu,”
Pagi ini Rheanne memutuskan untuk sarapan di kantor. Dia sarapan bersama Alissa. Seperti biasa, Alissa akan selalu memotret hidangan apapun sebelum mereka makan. Sepertinya kebiasaan Alissa yang ini sulit sekali untuk dihilangkan. Rheanne menatap malas pada Alissa yang terus saja memotret makanan tanpa henti. Jika terus begini, lalu kapan mereka akan mulai sarapan?! Alissa benar-benar sangat menyebalkan.“Alissa, sudah! Kalau kau terus memotretnya kapan kita akan sarapan?! Aku sudah lapar!” seru Rheanne dengan kesal.Alissa menoleh kemudian mencebikkan bibirnya. “Sabar. Aku masih belum mendapatkan hasil yang bagus,” balas Alissa masih terus fokus pada ponselnya.Mendengar itu semakin membuat Rheanne dongkol. Benar-benar tidak ada kerjaan sekali gadis ini. Pikir Rheanne.“Nah selesai. Wow perfect, hasil yang bagus!” Alissa berseru heboh seraya melihat layar ponselnya.Rheanne mendelik malas. Kemudian mulai menyantap sarapan paginya dengan cepat. Rheanne menyuap serealnya dengan sediki
"Stop!" pekiknya kencang. "Okey, thank you." Setelah memberikan lembaran kertas nominal pada supir taksi, gadis itu segera melangkah pergi. Dengan langkah yang gontai, gadis berambut panjang itu terus melirik pada jam yang melingkar di tangannya. "Oh My God! Aku harap aku tidak terlambat." Dia-Rheanne Austin atau yang sering disapa-Anne, terus berjalan dengan gontai tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui. Ini adalah hari pertama Rheanne bekerja dan sialnya dia malah terlambat. Salahkan jam alarmnya yang tidak ia setting terlebih dahulu. Rheanne mendongakkan kepalanya melihat tulisan besar 'J company' yang tertera dengan jelas di atas gedung tinggi di hadapannya. Sejenak, Rheanne menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah dengan langkah cepat dan terburu-buru. Di tengah jalannya, Rheanne kembali merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Karena terlalu sibuk dengan dirinya, membuat Rheanne melupakan langkah kakinya. Brukh Rheanne dibuat te