"Tentang ini... Aku akan mendiskusikannya dengan Nona Rhea dahulu." Rosella mengambil napas. "Berpura-puralah tak tahu apa-apa untuk saat ini," terang wanita ini saat menatap Taylor. "Seperti kata Bibi...." Ia mengalihkan pandangannya pada istri Taylor. "Aku tak mau kita dipecat. Kita tak punya rumah lagi," jelasnya tegas lalu meletakkan kotak makan yang dibawanya di atas meja di dekat pintu masuk.
Usai meletakkan kotak makan, Rosella melangkah ke arah pintu masuk, berencana untuk pergi dari paviliun. Namun kemudian, ia berhenti tepat di depan pintu masuk dan berbalik ke belakang, menatap paman dan bibinya. "Omong-omong, sedang apa Bibi di sini?" tanya Rosella pada istrinya Taylor. Nadanya bingung sementara dahinya berkerut dan netranya menatap sang bibi tajam. Alih-alih menjawab rasa penasaran Rosella, wanita yang tak lagi muda itu justru diam membisu. Dengan raut wajah datar, ia lalu menunduk sambil menggigit bibir dan memilin ujung bajunya. Melihat bahasa tubuSeketika saja Taylor terkejut setelah ia mendengar penuturan sang istri. Ia kemudian beralih menatap Rosella. "Zetta... Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya pada Tutor dan Pengasuh tinggal baru keluarga Alba itu. Nadanya cemas. Baru saja Rosella akan menjawab pertanyaan Taylor, Sofia, sudah lebih dulu buka suara. "Kau masih tanya?" ujar Sofia kepada Taylor sedikit ketus. "Daripada keduanya dipecat, lebih baik salah satu mempertahankan pekerjaan," jelas wanita ini. "Apa?!" Taylor dan Rosella berseru serentak sambil membelalak ke arah Sofia. "Iya...." Sofia mengangguk. "Tidak ada pilihan lain. Zetta, kau harus berhenti dari pekerjaanmu saat ini," ucap Sofia tegas. Penuturan Sofia itu kontan membuat telinga dan wajah Rosella terasa panas dan menjadi merah padam. "Kenapa Bibi menyuruhku berhenti? Kenapa bukan Paman saja yang harus berhenti dari pekerjaannya?" cerca wanita 40an ini pada bibinya, ketus. "Jika Pamanmu berhenti bekerja, kami tidak punya t
Setelah bercerita, malam itu, Jovan menemui lagi geng murid laki-laki yang menindasnya. Tentunya kali ini ia datang dengan membawa Guru Rosella. Guru Rosella datang berpakaian training kuning ala si jago silat, dan memperkenalkan dirinya sebagai noona yang artinya adalah kakak perempuan bagi Jovan. "Hey! Apa kalian berandal yang merundung Jovan selama ini?!" ujar Rosella sinis tatkala ia menatap nyalang geng murid laki-laki di hadapannya silih berganti. Bukannya menjawab pertanyaan Rosella, geng murid laki-laki itu justru tersenyum miring, meremehkan Rosella. "Kalian semua...." Tanpa rasa takut dan ragu-ragu, Rosella menunjuk geng murid laki-laki yang berdiri tepat di depannya dan Jovan. "Kemarilah!" katanya, tegas. "Ck!" Salah satu murid laki-laki yang berdiri paling depan dan mengenakan jaket hitam berdecak. Rupanya, ia merupakan ketua dari geng murid laki-laki yang meninda
Rex yang duduk di samping ranjang bibinya sambil menggenggam tangan wanita paruh baya itu hanya diam dan menangis. "Berjanjilah kepadaku, Rex," sambung Bibinya Rex. Nadanya memohon. Dengan cepat Rex mengangguk. "Ya. Aku berjanji, Bibi." Presdir Rex Alba memahami betul maksud wasiat mendiang bibinya. Jadi, saat ia tiba di rumah, meski berat hati, ia berusaha move on dari wanita yang pernah dicintai dan dinikahinya untuk waktu yang tak sebentar dengan menyingkirkan barang dan foto istrinya yang sebentar lagi akan ia ceraikan dari ruang keluarga dan ruang kerjanya. *** "Bibi Grace...." Rosella yang baru saja tiba di anak tangga terakhir lantai satu bertemu Bibi Grace yang akan pergi ke dapur. Mendengar namanya dipanggil, Bibi Grace kontan menghentikan langkahnya dan berbalik ke belakang. "Oh, Nona Rosella... Ada apa kau memanggilku?" tanya wanita ini. Nadanya penasaran. "Buk
"Jovan...." Rex menatap Jovan dan Bibi Grave silih berganti. "Ada apa ini?" tanyanya kepada Jovan. "Jangan membentak Bibi Grace," ucapnya, menegus Jovan pelan tetapi tegas. "Ayah menyuruh Bibi Grace menyingkirkan foto Ibu? Sungguh?" balas Jovan, bertanya balik pada Rex. Nadanya marah, dan ia tampak seperti orang yang akan menangis. Rex mengangguk pelan. "Ya, Ibu sudah hampir dua tahun meninggalkan kita dan tinggal di luar negeri," jawab Rex, dengan tenang. "Jangankan pulang, menelepon pun tidak pernah bahkan hanya untuk sekali saja. Sepertinya, dia sudah tak berniat untuk kembali ke rumah ini. Jadi, ya, Ayah pikir—" "Teganya Ayah menyingkirkannya? Apa hak Ayah memindahkan barang Ibu? Kalian bahkan belum bercerai. Kenapa memindahkannya?! Ini baru hampir dua tahun," sarkas Jovan pada ayahnya. "Jika kalian benar-benar akan berpisah, lakukan semua ini setelah kalian resmi bercerai. Atau, setidaknya bicarakan soal ini kepadaku dan Jovan dahulu. AtauAyah pun
Wendy meletakkan kuas make up di atas meja rias lalu bangkit dari duduknya dan berdiri berhadapan dengan suaminya. "Tadi Jovan mengamuk karena barang-barang ibunya hilang," ungkap Wendy, pelan sementara wajahnya tampak sedih kembali. "Astaga." Jay membelalak, terkejut. "Jadi, Kak Rex menyingkirkan fotonya dari rumah?" "Ya," jawab Wendy sambil mengangguk dan mata indahnya sedikit membelalak. Ia sama terkejutnya dengan Jay. "Aku juga tidak mengerti. Tapi dia menyingkirkannya. Mungkinkah karena sudah saatnya mereka berpisah?" "Kupikir juga begitu," balas Jay. Wajahnya terlihat kesal saat ia teringat kembali akan gelagat istrinya Rex. "Lalu Jovan memarahi ayahnya karena menyingkirkannya dan menuduhnya punya pacar," terang Wendy lagi. "Anak itu sangat menakutkan saat dia marah," imbuhnya. Selagi Wendy dan suaminya membicarakan Jovan di kamar tidur mereka, Rosella berteriak—nadanya panik. "Jovan menghilang. Dia tak ada di mana-mana."
Kontan Rosella mengatupkan mulutnya setelah ia tidak dengan sengaja bicara terus terang kepada Presdir Rex soal Jovan yang mengalami perundungan di sekolah. "Nona Rosella, cepat katakan. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi sampai sekujur tubuhnya memar?" cerca Rex. Ia menekan Rosella. "Begini...." kata Rosella. Namun kemudian, wanita 40an ini menghentikan bicaranya dan menggeleng tegas. "Aku tidak bisa bilang. Aku sudah berjanji kepada Jovan. Aku merasa kasihan kepada anak-anak," jelasnya, lirih. Namun, rupanya penuturan Rosella itu membuat Rex marah besar. Ia melangkah mendekat kepada Rosella dan menatapnya tajam. "Nona Rosella, katakan sekarang!" Rex membentak Rosella. Rosella yang tersentak lantas menutup mulutnya dengan satu tangannya sementara air matanya terus saja mengalir deras di pipinya. "Hanya saja... Jovan—" Tiba-tiba Rosella membelalak dan menghentikan bicaranya ketika ia melihat Jovan berjalan seorang diri di belakang mereka, sambil menund
Keesokan harinya, Rosella yang baru bangun tidur teringat dan tersadar akan sikapnya semalam yang memarahi dan mengkritik Presdir Rex Alba. "Lalu, apa yang kau tahu tentang dia? Apakah kau peduli padanya? Bisakah kau menganggap dirimu sebagai ayahnya? Kau hanya menerima laporan tentang mereka? Apa hanya itu tugasmu?!" cerca Rosella, membentak sang Presdir. Bentakannya kepada Presdir Rex kontan membuat Rosella panik bukan main. "Astaga!" Rosella membelalak dengan terengah-engah saat ia masih duduk di kasurnya. "Rosella, apa yang kau lakukan?! Kau benar-benar sudah gila!" Rosella merutuki dirinya sambil memukul kepalanya pelan. "Apa hakmu memarahi Pimpinan seperti itu?" sesalnya. "Habislah riwayatku." Beberapa kali Rosella memukul mulutnya pelan karena telah lancang memarahi Presdir Rex. Setelah memarahi dirinya, Rosella pun bangkit dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Tak berapa lama, wanita itu keluar mandi dengan penampilan kasual seperti biasa. Ia kemudian turu
Sekian detik setelah Rhea pergi, Presdir Rex Alba beralih menatap Rosella yang duduk di hadapannya dan ia tersenyum kepadanya. "Nona Rosella, silakan minum tehnya," ujar Presdir Rex lembut saat mempersilakan Rosella minum teh yang dibawakan Rhea. "Ba—baiklah," jawab Rosella terbata-bata. Rupanya ia masih gugup. Lalu detik berikutnya, Rosella minum teh dengan cepat. Melihat itu, Presdir Rex lantas tertawa kecil. "Tidak perlu gugup, Nona Rosella," ujar Presdir Rex setelah ia selesai tertawa kecil. "Aku bukan membawamu kemari untuk mengkiritikmu," terangnya, yang kemudian membuat dahi Rosella berkerut dan matanya menatapnya bingung. Presdir Rex mengatur napasnya dahulu kemudian ia mulai bicara. "Nona Rosella, terima kasih," ungkap ayah tiga anak ini, tulus dan sungguh-sungguh. Seketika saja mulut Rosella menganga. Ia terkejut setelah mendengar sang Presdir menyatakan rasa terima kasihnya kepadanya. "Jika bukan karen
"Rex di sini," gertak Rex di telepon."Rex, aku minta maaf—""Kau belum menemukannya?" Rex menyela.Connor mendesah. "Tidak. Kami masih mengerjakannya, tetapi aku harus memberitahumu bahwa kesepakatan Park Hill—""Connor, aku tidak peduli tentang kesepakatan Park Hill—"“Kita kalah,” kata Connor. Itu menarik perhatian Rex. “Tunggu, apa?”“Kita kalah,” ulang Connor. “Bagaimana kita bisa kalah? Kesepakatan sudah dilakukan. Tangan sudah berjabat tangan. Janji diberikan,” kata Rex, terkejut tidak percaya. “Kontrak tidak ditandatangani,” jelas Connor. “Kata-kata seseorang adalah miliknya—”“Bos, aku tahu. Tapi Joe Rees mendapat tawaran menit terakhir, dan itu sekitar dua persen lebih tinggi darimu, jadi dia menerimanya,” beber Connor. “Dua persen?”“Ya, aku tahu. Itu margin yang sangat kecil. Hampir seperti mereka tahu berapa banyak yang kau tawarkan dan kemudian menaikkannya cukup untuk membuat Rees membatalkannya.”“Itu men
"Apa yang coba kau katakan?" tanya Rosella pada Chris. "Jangan seperti anak kecil. Aku akan menunggu informasi lebih lanjut besok." Chris mengakhiri panggilan. Rosella menyeka pipinya, tidak menyadari bahwa ia mulai menangis. Rosella pikir bahwa ia harus keluar. Pergi. Tapi ke mana ia akan pergi? Ke mana pun lebih baik daripada penjara, ia rasa.Rosella memeriksa tasnya, memastikan setidaknya ia membawa dompet. Ia bisa meninggalkan semua yang lain. Ia berputar kembali saat matahari mulai terbenam. Ia yakin semua orang sudah menjauh dari pandangan sekarang. Bahkan Rex. Ia bertanya-tanya apakah Rex keluar mencarinya atau apakah Rex kembali ke rumah.Butuh waktu hampir satu jam untuk kembali; kaki Rosella mulai sakit. Satu-satunya cahaya datang dari bulan purnama saat ia mendekati gedung itu. Rosella memeriksa sekeliling gedung dan mencetak skor saat ia melihat kayu di atas celah yang kemungkinan akan mereka pasang pintu. Rosella menyelinap masuk, dan ia berkeliaran di tem
Rex berhenti sejenak karena Rosella kesal, yang membuatnya terkejut. Rex pikir mereka akan segera bertemu, tetapi cara Rosella menuduh Rex bersikap mencurigakan, membuatnya bertanya-tanya apakah Rosella atau seseorang yang ia kenal kehilangan uang dalam transaksi tanah spekulatif.“Tidak. Itu penting. Ada beberapa orang yang kacau dalam bisnis real estat dan jika ada seseorang yang menurutku tidak mampu, aku mencoba memperingatkan mereka. Tetapi banyak orang tidak menginginkan bantuan, Rosella. Seperti beberapa minggu atau bulan yang lalu, seseorang bunuh diri setelah menginvestasikan seluruh tabungan hidupnya dalam skema investasi untuk membeli properti hotel ini. Orang yang menjalankan skema itu tidak memiliki cukup uang untuk tawaran minimum. Alih-alih memberi tahu investornya, dia kabur membawa uangnya,” beber Rex. “Tempat ini? Yang sedang kita lihat?” Rosella berputar pelan di tengah lobi yang penuh debu. Kaca untuk unit ritel sedang dipasang, dan meja resepsionis marm
Rosella memberitahu Chris tentang kesepakatan Park Hill. Ia mengambil file yang disimpan dan melampirkannya sebelum ia menghapus jejak informasi apa pun dari ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Rasa bersalah mulai menggerogoti Rosella.Rasa bersalah itu menyusup dari sekeliling Rosella. Rasa bersalah terhadap Rimba dan tidak bisa menjaga performanya. Rasa bersalah atas apa yang mungkin ia lakukan pada Hugo Kenyataan.Rex berkata dulu itu perusahaannya adalah milik ayahnya. Dan yang mengejutkan Rosella, bagian yang paling membuatnya merasa tidak enak adalah kenyataan bahwa ia mengkhianati Rex.Rosella seharusnya tidak merasa bersalah atas hal itu, tetapi ia merasa bersalah. Tidak peduli seberapa sering ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang membalas kematian Rimba, rasa bersalah itu tetap ada.Rosella meraih handuk untuk menyeka wajahnya. Satu-satunya saat rasa bersalah dan amarah itu tidak mencoba menguasainya adalah ketika Rex memeganginya. Kendali yan
Rosella menatap ke bawah ke set catur, dan jantungnya mulai berdebar. Ia mengusap telapak tangannya yang berkeringat di pahanya, mencoba mencari tahu bagaimana ia akan keluar dari situasi ini. Rasa bersalah yang seharusnya tidak ia rasakan seketika menyerangnya. "Ini indah," Rosella mengakui, mengambil ratu dari Rex. "Kenapa Joy dan Chris harus meletakkan ini di resumeku yang dibuat-buat?" Rosella menggerutu dalam hati. Rosella sama sekali tidak tahu apa-apa tentang catur. Biasanya tidak butuh waktu lama bagi Rosella untuk mengingat sesuatu dengan ingatannya, tetapi dalam hal ini, ia sama sekali tidak tahu. Rosella harus mengalihkan perhatian Rex sehingga Rex tidak sadar kalau ia tidak tahu apa yang ia lakukan.Rosella bahkan tidak tahu nama separuh bidaknya, apalagi cara memainkannya. Rosella mencoba mencari di otaknya untuk melihat apakah ia dapat mengingat momen saat orang lain bermain di dekatnya. Kalau saja ia dapat mengingatnya, setidaknya ia dapat mengambil bebe
"Dokumen untuk kesepakatan Park Hill hampir selesai, dan aku akan mengirimkannya kepadamu sore ini. Kami memiliki beberapa petunjuk tentang SUV hitam yang kami incar. Polisi tidak banyak membantu, tetapi orang yang memiliki perusahaan teknologi di lantai atas, Maxim, sedang mengerjakan semacam pengenalan karakter. Aku tidak begitu memahaminya, tetapi dia berpikir bahwa dengan melapisi foto-foto dari CCTV dan membandingkan bentuk-bentuk piksel dengan basis data gambar, kita akan dapat mengidentifikasi pelat nomor SUV tersebut. Aku tidak berpikir itu dapat dilakukan, tetapi dia cukup yakin. Itu berarti kita seharusnya dapat kembali ke kantor sekitar minggu depan mungkin,” beber Cannor. “Tidak perlu terburu-buru,” kata Rex pada Connor. “Kita tidak terburu-buru.”“Kurang dari 24 jam yang lalu kau marah karena kita bekerja di rumah dan ingin mengembalikan hukuman rajam,” Cannor berteriak.“Aku lapar. Aku sudah lama tidak makan, dan emosiku menguasai diriku. Jangan terburu-bu
Rosella mengerang ketika merasakan batang Rex menekan pantatnya. Sementara, tangan Rex menyelinap untuk masuk ke dalam kemeja Rosella. Jari-jari Rex menelusuri perut Rosella hingga ia mencapai kancing celana panjangnya. Rex lalu menarik, melepaskan kancing sebelum mendorong celana Rosella ke bawah kakinya.“Apakah ini yang ada dalam pikiranmu? Ketika kau terus bicara, Rosella?” Kali ini ketika Rex menggerakkan tangannya ke perut Rosella, ia terus turun sampai ke antara kedua paha Rosella. Rosella menggigit bagian dalam pipinya ketika ia mendengar Rex mengeluarkan kutukan pelan di bawah napasnya. Rosella menutup matanya. Ia tidak yakin apakah itu malu atau bukan, tetapi tidak dapat disangkal sekarang bahwa ia terangsang. Celana dalamnya yang basah adalah semua bukti yang Rex butuhkan.“Jawab aku,” tuntut Rex. “Pergilah ke neraka.” Rosella menjerit kecil ketika tangan Rex turun ke pantatnya. Kejutan rasa sakit menghantamnya, entah bagaimana langsung menuju klitorisny
Rosella mengganggu. Rex tidak dapat melakukan apa pun karena ia berpikir apakah Rosella merasa hangat atau tidak cukup panas, apakah Rosella lapar atau ia harus pergi membeli makanan, apakah Rosella mengisap ujung penanya karena itu kebiasaan ataukah ia berfantasi tentang mulutnya di sekitar batangnya. Itu mungkin kebiasaan tapi sial, bibir Rosella akan terlihat sangat melar di atas batang Rex dengan gunung kembarnya keluar dan tangannya terkubur di antara kedua kakinya. Rex bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat Rosella mencapai klimaks usai perang dingin yang terjadi pada mereka belakangan ini. Apakah Rosella cepat panas atau butuh waktu untuk menyalakan apinya? Rex senang dengan kedua hal itu."Apakah ada sesuatu yang kau butuhkan?" tanya Connor. Rex terkejut mendengar suaranya. Ia benar-benar lupa bahwa ia sedang menelepon asistennya. "Maaf. Aku sedikit terganggu di sana. Begini, kita harus menyelesaikan urusan Mason. Dari tinjauanku, tampak
Rosella bersumpah Rex Alba tampak seperti akan menciumnya. Rex mendapati Rosella, ia mencondongkan tubuhnya ke arahnya seolah ia menginginkan ciuman itu. Perut Rosella mengeluarkan suara keroncongan keras, dan ia jadi tidak yakin apakah ia ingin mengutuknya atau berterima kasih padanya karena telah mengganggunya dan Rex, tetapi ia tersenyum."Ayo kita makan."Rosella menganggukkan kepala karena sepertinya ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Rex melepaskan tangannya dan meraih tangan Rosella untuk menuntunnya menyusuri lorong. Rosella belum sempat melihat sekeliling, yang jelas rumah terasa sepi. Jadi, ia yakin anak-anak telah tidur dan ia hanya melihat apa yang bisa ia lihat saat mereka berdua menuju dapur.Rumah Rex mengingatkan Rosella pada saat kali pertama ia datang ke rumah itu. Suasana rumah itu juga mengingatkan Rosella pada salah satu rumah mewah di suatu tempat. Semuanya serasi, dan kau bisa tahu tidak ada yang murah. Tetapi tidak ada sentuhan pribadi la