"Fi, Ibu liat kamu kayaknya belum isi ya?"
Fiona meneguk teh hangatnya dengan susah payah ketika mendengar pertanyaan ini lagi. Semenjak memasuki tahun ketiga pernikahan, pertanyaan ini tidak pernah absen ditanyakan oleh seluruh anggota keluarga suaminya. Terutama sang ibu mertua. Fiona sampai bosan mendengarkan."Fio juga maunya cepat hamil, Bu. Tapi Allah 'kan belum ngasih," jawab Fiona sekenanya. Hatinya teriris setiap kali dia mengulang kalimat yang sama untuk yang kesekian kali.Kenapa sih orang-orang tidak bisa mengerti bahwa kelahiran, kematian, dan rezeki itu hanyalah kuasa Tuhan. Sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Apa orang-orang ini pikir dia tidak ingin memiliki keturunannya sendiri?Orang-orang ini tidak tahu saja bahwa bahkan ditengah kesibukannya, dia sudah pernah menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya. Dia pun takut jika ternyata masalah terdapat pada dirinya sendiri. Namun, tidak!Dokter mengatakan bahwa dia sehat dan tak ada masalah. Bahkan menyarankan agar dia tidak berhenti berusaha.See, hal-hal tentang anak tidak bisa kamu paksakan hanya karena kamu menginginkannya, bukan?"Kamu gak mandul 'kan, Mbak?"Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba terlontar dari bibir adik iparnya di hadapan anggota keluarga yang lain membuat Fiona terperangah. Dia tidak langsung menjawab. Dalam kondisi ini dia hanya bisa mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang keluarga. Sepasang netra hitam kelamnya mencari-cari sosok sang suami untuk meminta bantuan, tapi nihil. Sejak tadi dia tidak menemukan keberadaan Mas Jaya di ruangan ini."Jangan bilang kamu beneran mandul?!" nada suara mertuanya terdengar meninggi.Sepertinya aksi diamnya membuat wanita paruh baya ini mengambil kesimpulan sendiri. Bahwa diamnya Fiona berarti membenarkan dugaan bahwa dia memang mandul.Fiona mengirim delikan tak puas pada Aruna, adik iparnya yang baru saja mengenal bangku perkuliahan itu. Sebelum kemudian dia sendiri menghela nafas pelan. "Fio sih udah periksa ke dokter. Dan dokter bilangnya Fio sehat-sehat aja. Tapi enggak tau nih sama Mas Jaya, gak pernah mau diajak periksa bareng," ungkap Fiona dengan nada halus sambil menatap penuh arti pada mertuanya.Tapi siapa yang tidak tahu, nada santai dan tutur kata sopan yang dia lemparkan mengandung sindiran yang bahkan tidak tersamarkan. Beberapa orang di ruang keluarga yang memiliki pikiran terbuka bisa menebak indikasi dari ucapannya itu."Jadi maksud kamu, yang mandul itu Jaya?!" desis mertuanya tampak tidak terima. Bahkan mata keriput wanita itu melotot lebar padanya.Fiona hanya tersenyum menanggapi. "Fio enggak pernah ngomong gitu," balasnya dengan acuh tak acuh. Tapi dalam hati, entah sudah berapa kali dia merutuki suaminya yang tidak kunjung muncul disepanjang dia diinterogasi oleh mertuanya ini."Ini pasti karena kamu terlalu kecapekan setiap kali pulang kerja. Kamu harusnya di rumah aja, fokus urus rumah, dan urus suami. Cukuplah suami kamu yang cari nafkah," tukas ibu mertuanya dengan nada jumawa.Fiona hampir mendengus mendengar ucapan mertuanya itu. Mengandalkan gaji dari Mas Jaya? Kecuali ibu mertuanya tidak minta jatah gaji suaminya, mungkin Fiona akan menuruti saran ini. Tapi sepertinya sang mertua lupa, bahwa lebih dari setengah gaji suaminya itu masuk ke dalam kantong mertuanya ini.Tentu saja Fiona tidak mengutarakan keluhannya. Dia malas harus berdebat dengan orang tua, toh ujung-ujungnya tetap dia yang akan dipersalahkan.Lagipula tujuannya untuk bekerja selain untuk menutupi kekurangan nafkah yang diberikan Mas Jaya, dia juga tidak mau hidup terlalu bergantung dari keringat suaminya. Kepalanya pusing jika harus memikirkan semisal akun bank-nya yang menipis apalagi sampai kosong. Lebih penting lagi, dia pasti muak jika harus mengiba pada Mas Jaya agar diberikan jatah lebih tiap bulan. Suaminya itu tidak akan menggubris keluhannya. Karena bagi Mas Jaya, kebutuhan ibu dan adiknya jauh lebih penting daripada kebutuhan dapur mereka sendiri.Setidaknya dengan memiliki gaji sendiri, Fiona bisa bebas membeli segala kebutuhannya tanpa harus pusing-pusing menunggu untuk dinafkahi."Gimana saran Ibu? dari tadi diam aja, mbok ya dijawab," teguran ibu mertuanya menyadarkan Fiona dari segala macam isi pikirannya."Maaf, Bu. Fio gak bisa berhenti kerja," jawab Fiona dari balik gigi yang terkatup rapat.Setiap kali mertuanya mulai membicarakan anak dan kehamilan, sang mertua selalu lari ke pembahasan seputar pekerjaannya. Apa sih yang salah dari seorang istri yang bekerja? Toh dia masih menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Dengan dia bekerja, suaminya tidak serta merta dia telantarkan.Dia masih menyiapkan pakaian kerja dan sarapan pagi untuk mereka sebelum berangkat kerja. Sepulang kerja dia juga masih menyempatkan diri untuk menyiapkan makan malam sendiri. Belum lagi jika suaminya ingin bercinta dengan berbagai macam gaya, dia masih bisa meladeninya. Lebih penting lagi, dia tidak banyak mengeluh ketika suaminya memberi nafkah seadanya. Dan suaminya sendiri tidak pernah komplain tentang pekerjaannya. Jadi kenapa ibu mertuanya begitu getol ingin dia menjadi ibu rumah tangga?"Kamu itu memang susah sekali diatur ya. Enggak kayak Zoya!"Fiona memutar mata dalam hati. Inilah alasan kenapa dia terkadang enggan mendekatkan diri dengan keluarga suaminya. Dia benci harus disudutkan seperti ini setiap kali mereka berkumpul. Apalagi jika dia sudah dibanding-bandingkan dengan ipar suaminya itu."Zoya itu ya, dia pandai ngurus rumah. Pandai juga ngurus suami,"Fiona mengangguk kecil sebagai tanggapan. "Ngomong-ngomong, Fio kok gak liat Mbak Zoya dari tadi?" tanya Fiona.Sebenarnya dia tidak benar-benar ingin tahu dimana ipar suaminya itu berada. Dia hanya berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan."Zoya pasti lagi sibuk ngurus anaknya! emang kamu ... " balas mertuanya dengan ketus.Fiona menggelengkan kepala melihat tingkah tak masuk akal mertuanya ini. Padahal mertuanya ini sudah memiliki empat orang cucu yang masih kecil-kecil. Dua dari almarhum Mas Agung dan Mbak Zoya. Dua lagi dari Mas Fadli dan Mbak Arum. Kenapa pula dia masih didesak untuk buru-buru punya anak? Ini tidak seperti mertuanya akan membantu mereka mengurus anak-anak mereka.Setelah menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, Fiona memutuskan untuk beranjak dari sofa yang dia duduki."Kamu mau kemana?" tanya ibu mertuanya yang semakin tidak puas ketika melihat tindakan Fiona yang hendak kabur dari interogasinya."Mau ke kamar, kepala Fiona pusing," jawab Fiona beralasan sambil berjalan menjauh dari ruang keluarga itu.Fiona langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamar suaminya berada. Dia ingin istirahat, pertanyaan mertuanya sungguh telah menguras seluruh energinya.Namun, belum sempat Fiona membuka pintu kamar, desahan samar dari balik pintu itu tertangkap indera pendengarannya.Deg,Jantung Fiona menghentak dengan kencang. Pikiran buruk seketika melintas dalam benaknya.'Eihh. Enggak mungkin!' batinnya.* * *Fiona menggelengkan kepala dengan pelan untuk mengusir bayangan tak senonoh yang melintas dalam benaknya. Namun, kepercayaan dikalahkan oleh keraguannya. Dengan hati yang bergejolak tak karuan, dan keringat dingin yang bahkan sudah menjalar di sepanjang garis punggungnya. Fiona menggertakkan gigi. Dia membulatkan tekad sebelum menekan gagang pintu hingga terbuka dengan suara pelan. Benar saja, suara desahan yang saling bersahut-sahutan terdengar semakin jelas bergema di setiap sudut kamar. Rahang Fiona hampir jatuh saat melihat dengan jelas bagaimana tubuh suaminya terhubung dengan tubuh wanita lain yang dia yakini sebagai Mbak Zoya itu. Pasalnya, siapa lagi wanita muda yang ada di rumah ini selain Mbak Zoya? "Love you Mas, love you!" desah kenikmatan meluncur begitu saja dari bibir wanita yang sedang mengerang di bawah suaminya itu. Benar saja. Ini jelas suara Mbak Zoya. Tidak salah lagi! Intensnya percintaan dua insan itu membuat mereka tidak menyadari bahwa seseorang sedang m
"Kamu juga! ikut ibu ke bawah!" sentak ibu mertuanya pada Fiona. Bahkan nada suaranya terdengar lebih garang daripada saat dia berbicara dengan dua insan yang masih bersembunyi di balik selimut itu. "M-Mas!" cicit Fiona tak rela. Dia ingin berjalan mendekati ranjang yang terlihat menjijikkan itu dan menjambak rambut wanita tak tahu malu ini. Namun, cengkraman keras di lengannya membuat Fiona menghentikan langkahnya. "Ikut Ibu!" desis mertuanya dengan mata melotot tajam pada Fiona. Akibat kegemarannya membaca novel dan menonton drama, Fiona seolah bisa mengetahui bagaimana sikap yang akan diambil oleh sang mertua. Dari gelagatnya, Fiona yakin tebakannya pasti benar. Meski jantungnya berdenyut menyesakkan. Fiona harus menahan semuanya. Dia menolak menjadi pihak yang kalah dan menyerah. Tidak peduli apakah dia akan merasa lebih menyakitkan dengan menjalankan rencana ini atau tidak, tapi yang pasti, dia harus membuat para pengkhianat itu menyesali adanya hari ini. Tidak bisa dibiark
Selama sebulan sejak Fiona setuju untuk dimadu, hubungannya dengan Mas Jaya semakin renggang. Suaminya itu mulai sering menginap di rumah ibunya. Katanya sih untuk mengurus pernikahannya dengan Mbak Zoya. Fiona sendiri pun mulai tak peduli. Dia memilih mengalah dengan memindahkan semua pakaian dan barang-barangnya ke kamar tamu. Membiarkan calon pengantin baru menempati kamar utama. Dalam pikirannya saat ini, hanya ada rencana untuk menguras harta suaminya dan membuat keluarga suaminya menjadi tidak harmonis. Bagi Fiona, kerugian non materi yang dia alami sudah cukup. Dia tidak ingin mengalami kerugian materi lain. Dia harus mengambil kembali setiap sen dari gajinya yang telah hilang hanya demi menyenangkan pria yang sama sekali tidak layak itu. "Fi, kamu baik-baik aja?" pertanyaan berulang Freya membuat Fiona menggulung matanya dengan bosan. "Berhenti deh nanya kamu baik-baik aja atau enggak! Kelihatannya aja gimana?" dumel Fiona pada sahabat sekaligus teman sejawatnya ini."Kamu
Rumah yang tiga tahun belakangan ini hanya ditempati berdua dengan sang suami kini kedatangan anggota barunya. Terhitung hari ini, Fiona harus rela berbagi atap dengan wanita lain, bersama dengan anak-anak dari wanita itu. "Pantas aja ibu selalu bilang kamu gak becus!"Fiona menatap sang suami yang langsung marah-marah begitu mereka tiba di rumah. "Kenapa?" tanya Fiona halus. Makin kesini tempramen suaminya terlihat semakin buruk. Dia hampir tidak lagi bisa mengenalinya. "Kenapa?!" Mas Jaya berkata dengan bersungut-sungut. Urat-urat biru terlihat menonjol di dahinya. "Ini kamar anak-anak kenapa belum kamu atur?" Mas Jaya menunjuk ke dalam kamar di samping kamar utama. Fiona menjulurkan kepalanya untuk mengintip kamar yang tadinya kamar tamu itu, dengan hanya ada satu ranjang berukuran king size tergeletak di tengah ruangan yang terlihat membosankan. "Kan aku gak tau selera mereka Mas. Nanti kalau aku lancang utak-atik, kamu nyalahin aku lagi,"Fiona berkilah. "Lagian, mungkin Mb
Menjelang maghrib, Fiona kembali dari rumah Freya dengan sekantong belanjaan ala kadarnya. Dari dalam mobilnya yang diparkir di bahu jalan, Fiona bisa melihat dengan jelas sebuah mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik terparkir mentereng di garasi rumahnya. Mengambil alih lahan parkir untuk mobil Ayla bututnya. Dari tempatnya, Fiona bisa melihat Mbak Zoya mengelus-elus mobil mengkilap itu dengan pandangan kagum. "Apakah ada tamu?" Fiona bertanya-tanya pada kekosongan yang tidak bisa memberikan jawaban. Dan dikarenakan hatinya penuh akan tanda tanya, Fiona memutuskan untuk turun dari mobil sambil membawa kantong belanjaannya. "Wow, mobil siapa nih?" tanya Fiona pada wanita yang anehnya terlihat terlalu senang itu. "Mobil hadiah pernikahan dari Mas Jaya," jawab Mbak Zoya sambil terkikik disertai dengan sorot mata penuh provokasi. "Mobil ini dibeli cash loh sama Mas Jaya buat aku. Baik banget ya, Mas Jaya." lanjut Mbak Zoya kesenangan ketika melihat wajah keruh Fiona. Fiona se
Fiona sedang menunggu lift dengan wajah datar diiringi oleh orang yang bergosip terang-terangan tentangnya. Meskipun dia tidak mengundang salah satu dari mereka ke acara pernikahan suaminya, tetap saja gosip mengenai dia yang dimadu telah menyebar ribuan mil jauhnya. Fiona tidak peduli. Sejak dia bersedia diduakan oleh sang suami, dia sudah siap dengan hal ini. Bahkan jika ada kalimat tidak menyenangkan yang mampir di telinganya, Fiona hanya mengambil sikap acuh tak acuh. "Pantas aja suaminya nyari orang lain, judes gitu!" kata seseorang yang tidak dia kenal. "Mungkin di rumah dia juga bossy orangnya, makanya suaminya jadi enggak betah!" timpal yang lain. "Hush, nanti dia dengar!""Biarin aja dia dengar. Biar dia sadar diri kalau dunia gak cuma berputar sama dia seorang!" Fiona melirik orang yang baru saja berbicara dan hanya mendengus dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Udah-udah, dia ngeliat ke sini barusan!" seseorang berkata dengan panik. Alis Fiona sedikit berkedut mend
Helaan nafas lolos dari hidung Fiona ketika melihat kemarahan yang tampak di wajah Igor. Meski dia tidak apakah kemarahan ini bersifat sungguhan atau hanya dibuat-buat. "He-em," gumam Fiona membenarkan. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari pria ini. Karena, lebih dari siapapun, pria ini adalah orang yang paling mengetahui segala hal tentang dirinya. Dialah Igor Samudra. Sumber rasa pusing Fiona yang paling. Bahkan melebihi rasa pusing yang bisa diberikan suaminya padanya. Pria ini bisa dikatakan fans berat Fiona sejak dulu ketika mereka masih SMA, kemudian berlanjut hingga mereka kuliah. Sampai tiga tahun lalu ketika dia menikah dengan Sanjaya Adiguna. Pria ini akhirnya memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia lebih memilih Mas Jaya dibandingkan pria ini. Jawabannya hanya satu, karena pria ini terlalu kaya! Dia adalah putra bungsu dari pemilik perusahaan Samudra Group, salah satu perusahan F&B terbesar di Asia yang tak lain adalah tempat
Saat jam makan siang, Tidak sampai lima menit, Fiona sudah tiba di cafe Kenangan yang memang biasa dia kunjungi saat jam makan siang. Setibanya disana, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru cafe dengan desain interior bernuansa tradisional itu. Dengan segala furnitur yang terbuat dari kayu dan berbagai pajangan antik yang menghiasi membuat setiap pengunjung bisa merasakan nuansa hangat rumah tempo dulu. Apalagi dengan penggunaan lampu-lampu berwarna kuning yang hangat dan temaram. Belum lagi dengan adanya kipas angin yang berputar berderit-derit mengkhawatirkan di atas kepala mereka memperkuat nuansa tradisional cafe ini. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona untuk menemukan Aruna, sang adik ipar di antara manusia-manusia lain yang sedang sibuk menyantap makan siang mereka. Wanita cantik itu terlihat melambai anggun ke arahnya dari meja nomor lima yang ada di sudut cafe. Sebelum berjalan menghampiri adik iparnya, Fiona menghentikan langkahnya di depan meja kasir. "Aku pesan dua
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t