Rumah yang tiga tahun belakangan ini hanya ditempati berdua dengan sang suami kini kedatangan anggota barunya. Terhitung hari ini, Fiona harus rela berbagi atap dengan wanita lain, bersama dengan anak-anak dari wanita itu.
"Pantas aja ibu selalu bilang kamu gak becus!"Fiona menatap sang suami yang langsung marah-marah begitu mereka tiba di rumah."Kenapa?" tanya Fiona halus. Makin kesini tempramen suaminya terlihat semakin buruk. Dia hampir tidak lagi bisa mengenalinya."Kenapa?!" Mas Jaya berkata dengan bersungut-sungut. Urat-urat biru terlihat menonjol di dahinya."Ini kamar anak-anak kenapa belum kamu atur?" Mas Jaya menunjuk ke dalam kamar di samping kamar utama.Fiona menjulurkan kepalanya untuk mengintip kamar yang tadinya kamar tamu itu, dengan hanya ada satu ranjang berukuran king size tergeletak di tengah ruangan yang terlihat membosankan."Kan aku gak tau selera mereka Mas. Nanti kalau aku lancang utak-atik, kamu nyalahin aku lagi,"Fiona berkilah."Lagian, mungkin Mbak Zoya mau ngatur sendiri kamar buat Adam sama Janu," lanjutnya dengan santai. "Iya 'kan, Mbak?" Fiona mengalihkan pandangannya pada wanita lengket di samping suaminya.Wanita licik ini terlihat sangat menikmati ketika mendengarnya diomeli oleh Mas Jaya barusan."Harusnya kamu antisipasi dulu sih, biar Adam sama Janu langsung bisa pakai kamarnya malam ini. Kalau gini, sekarang mereka tidur dimana?" Mbak Zoya tampak menolak untuk bekerja sama.Fiona mengendikkan bahu tak peduli. "Di kamar kamu sama Mas Jaya?" Fiona berkata sambil berlalu pergi. Melipir menuju kamarnya sendiri dan langsung mengunci pintu. Dia ogah diganggu."Fi ... ""Fiona!"Fiona sengaja menulikan telinga atas panggilan sang suami padanya. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tubuhnya sudah lelah dengan serangkaian acara pernikahan suaminya sepanjang hari ini. Tanpa banyak basa-basi, Fiona segera menanggalkan pakaian kebayanya dan melangkah menuju kamar mandi. Dia mengguyur tubuhnya yang sudah penat dan terasa lengket dengan air hangat dari pancuran."Aduhai nyamannya," desah Fiona.Sambil memejamkan mata menikmati setiap tetes air yang jatuh menghapus penatnya, sudut bibir Fiona terangkat ketika mengingat gosip-gosip panas yang menyerang mertuanya pagi tadi.'Ini baru permulaan Fiona, jangan puas terlalu dini,' bisiknya pada diri sendiri.Gedoran tanpa henti di pintu kamarnya yang terdengar sampai kamar mandi tak Fiona pedulikan. Tidak perlu otak secemerlang Einstein untuk bisa mengetahui apa yang kedua pengantin baru itu inginkan darinya. Pasti mereka ingin dia menjaga Adam dan Janu.Di balik pintu yang terkunci rapat, Zoya hanya bisa menggertakkan gigi dengan kesal. "Liat tuh istri kamu!" Zoya berujar dengan sedih. Dia menatap kedua putranya yang sudah mengantuk dengan pandangan lesu. Demi Tuhan, ini adalah malam pertama mereka!"Besok aku omelin dia," hibur Jaya dengan pasti sambil merangkul bahu wanita yang sudah lama begitu diimpikan ini."Terus malam ini, Adam sama Janu gimana?"Jaya menghela nafas panjang. "Ya udah, malam ini mereka tidur sama kita dulu," ucapnya sambil menuntun keluarga barunya menuju kamar tidur utama."Tsk," Zoya mendecak tak puas.Sebelum Zoya beranjak dari pintu, dia menyempatkan diri untuk melemparkan tatapan maut pada pintu yang terkunci rapat."Pokoknya besok Mas harus ngasih pelajaran sama istri Mas itu," Zoya menggoyang lengan suaminya dengan manja."Iya!" Jaya menanggapi sikap manja istri barunya itu dengan sabar.* * *Hari minggu yang cerah, Fiona menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dia bangun sesuai dengan jam biologisnya setiap hari. Selepas subuh, dia pun mulai keluar dari rumah untuk berolahraga. Rambut sepundaknya dia kuncir ekor kuda. Tubuhnya dibalut pakaian training, lengkap dengan sepatu kets yang menyelubungi kakinya.Tidak lupa senyum termanis dia persembahkan untuk ibu-ibu kompleks yang biasa berolahraga pagi bersamanya."Gimana paginya, Neng?" tanya ibu tetangga di samping rumahnya."Baik, Bu Mus. Ibu gimana? Sehat pagi ini?" tanya Fiona dengan keramahannya yang diketahui banyak orang."Alhamdulillah, sehat," jawab Bu Mus diplomatis sambil membalas senyum Fiona dengan senyum keibuan yang menentramkan jiwa raga."Mari, Bu. Fio duluan," pamit Fiona pada Bu Mus yang hanya berjalan-jalan santai saja. Tubuhnya dibungkukkan sedikit sebagai bentuk sopan santun."Oh, mari-mari," Bu Mus mempersilakan Fiona melaju membawa kakinya berlari-lari kecil di sepanjang trotoar jalan.Wanita paruh baya itu menghela nafas melihat punggung Fiona yang berlari semakin jauh."Padahal dia masih cantik, baik, ramah juga. Sayang sekali, dia diduakan suaminya," lirih Bu Mus pada diri sendiri.Berbeda dengan hari-hari biasa. Kali ini, Fiona sengaja berlama-lama di taman sekitar kompleks untuk olahraga sekaligus sarapan bubur ayam. Dia ogah harus berhadapan dengan pasutri baru itu pagi-pagi begini."Gimana rasanya punya madu?"Pertanyaan jahil ini datang dari wanita bernama Sheila, yang rumahnya berada di ujung gang. Tidak tahu ada masalah apa yang dimiliki wanita ini dengannya, bawaannya selalu sensi setiap kali dia melihat Fiona."Ya gitu deh, coba aja sendiri," ucap Fiona sambil menjilat sendok bubur ayamnya tanpa memberikan atensi lebih pada wanita ini. Mereka tidak terlalu dekat bahkan hanya untuk bertukar kata."Pasti karena service ranjang kamu kurang memuaskan, makanya suami kamu mencari istri lain," ujar wanita itu dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan pada kata tertentu. Memastikan suaranya cukup keras untuk bisa membuat orang-orang di warung tenda kecil ini mendengar setiap kata dalam kalimatnya.Dan jika wanita ini berpikir bahwa dia berhasil memprovokasi dirinya dengan kalimat tak bermutu itu. Dia salah besar!"Dengar-dengar, suami kamu akhir-akhir ini suka pulang telat ya?" dengan wajah jumawa Fiona menyempatkan diri untuk menatap pada wanita menor yang mengambil tempat duduk di sampingnya ini."Coba kamu tanya, dia puas gak sama service kamu? jangan-jangan... " Fiona sengaja menggantung kalimatnya dengan disertai kerlingan nakal.Penggalan dalam kalimatnya ini diyakini sudah cukup untuk menimbulkan keraguan dalam hati wanita jahil ini."Huh! suamiku orang yang setia. Enggak kayak suami kamu!" desis wanita itu sambil menatap Fiona dengan dagu terangkat tinggi disertai mata melotot tajam.Fiona tidak akan memberitahu wanita ini kalau kapan hari dia pernah melihat suaminya keluar dari hotel remang-remang dengan wanita lain."Yakin?" Fiona menaikkan nadanya.Senyum mencurigakan dia munculkan di sudut bibirnya yang berhasil membuat hati wanita lawan bicaranya ini ketar-ketir.Tentu saja wanita ini menolak menunjukkan perasaannya. "Awas aja kamu!" wanita itu menunjuk Fiona dengan jari bercat kuku ungu norak sebelum keluar dari warung tenda dengan langkah menghentak kesal.Selesai dengan bubur ayamnya, Fiona tidak segera pulang ke rumah. Dia menghabiskan waktunya bermain bola sepak dengan anak-anak kompleks yang lebih sibuk menertawakan kemampuan menendangnya yang payah daripada mereka bermain sendiri."Kapan-kapan lagi kita main ya," ujar Fiona pada anak-anak yang tampaknya baru berada di bangku sekolah dasar itu."Oke!" jawab mereka dengan serentak. Tidak lupa jempol kecil mereka acungkan ke udara.Jam sembilan lebih barulah Fiona berjalan susah payah kembali ke rumah, dengan peluh yang membanjiri wajahnya."Kenapa jam segini baru pulang?" pertanyaan penuh amarah itu menyambut Fiona tepat ketika dia baru saja membuka pintu."Enggak liat aku baru pulang olahraga?" ucap Fiona sambil berjalan lurus menuju dapur.Dia menghiraukan sang suami dan istri barunya yang sedang menikmati kopi pagi di meja makan. Fiona membuka kulkas dengan acuh tak acuh dan menuang air dingin ke dalam gelas untuk dia minum dalam sekali tegukan. Dia benar-benar lelah. Keringat sudah membanjir di seluruh tubuhnya, membuat bahkan pakaian yang dikenakan menempel ketat di badannya."Kami belum sarapan. Kamu buat sarapan gih!" perintah Mas Jaya dengan santai sambil menyesap kopinya."Enggak ada bahan masakan di kulkas," jawab Fiona sambil melirik isi kulkas yang benar-benar kosong melompong. Hanya ada botol air dingin dan dua butir telur yang teronggok kesepian di dalam sana."Ya kamu ke pasar dong. Gini aja harus dikasih tau," ucap suaminya dengan ketus.Sorot matanya menunjukkan pandangan meremehkan pada Fiona yang sama sekali tidak terpengaruh."Ya udah, aku mandi dulu," ucap Fiona dengan nada pasrah. Dia berjalan sedikit gontai menuju kamarnya."Jangan lama-lama. Adam sama Janu juga belum sarapan," pungkas Mbak Zoya dengan suara cerianya. Mungkin dia pikir dia sudah menang.Sayang sekali, Fiona sama sekali menolak untuk takluk. Apa mereka pikir dia akan dengan patuh berangkat ke pasar, lalu pulang dan memasak untuk mereka semua. Cih.Dalam mimpi!Sesuai permintaan Mbak Zoya, Fiona tidak berlama-lama berada di kamar mandi. Hanya dalam waktu lima belas menit, dia sudah selesai dengan segala rutinitas siap-siapnya."Mana uang?"Fiona membuka telapak tangannya di depan wajah Mas Jaya yang sedang menemani anak-anak Mbak Zoya menonton kartun di ruang keluarga. Sesekali, Fiona dapat melihat suaminya ini mencuri ciuman dari istri mudanya itu.Hueekk. Menjijikkan!"Pake uang kamu dululah Fi," ucap Mas Jaya dengan santai. Dia tampak sibuk mengendus-endus leher Mbak Zoya yang terlihat merem-melek keenakan."Duh, Mas! bulan ini Mas belum ngasi aku uang belanja," keluh Fiona.Dia menolak menyerah jika sudah berkaitan dengan uang. Apalagi dengan narasi menggunakan uangnya dulu untuk mengisi perut mereka. Jangan harap!"Apa salahnya pake uang kamu dulu sih, Fi. Dompet Mas ada di kamar. Mas malas kesana buat ngambil," nada suara bosan dan jengkel yang keluar dari bibir suaminya membuat hati Fiona melonjak kegirangan.Dia melihat dengan jelas suaminya yang terlihat kehilangan nafsu untuk terus menggoda istri mudanya itu."Kalau gitu aku ambil sendiri,"Fiona berujar sambil berbalik arah, hendak berjalan menuju kamar utama. Untung dia dihentikan oleh mas Jaya sebelum dia benar-benar memasuki kamar terkutuk itu."Nih, cukup untuk bulan ini 'kan?"Mas Jaya mengeluar uang dari saku celananya, dan melambaikan lima lembar uang seratus ribuan ke arah Fiona. Adapun kalimat yang menyertainya membuat Fiona menggulung mata dengan terang-terangan.'Lima ratu ribu sebulan?!'Jangan heran jika dia memberikan gelar sebagai suami pelit pada pria ini. Mentang-mentang punya istri baru, uang bulanannya dipotong hingga setengahnya. Benar-benar, dia hanya mendapatkan uang lima ratus ribu dari puluhan juta gaji yang diterima suaminya sebulan. Begini dia masih disuruh mengandalkan gaji suaminya dan berhenti bekerja. O to the gah. Ogah!Setelah mendecakkan lidah dalam hati, Fiona langsung menyambar uang itu, dan segera beranjak keluar dari rumah tanpa banyak kata. Dia mengendarai mobil Ayla bututnya. Tentu saja dia tidak pergi ke pasar. Dia justru mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan dari pasar menuju rumah Freya.Bodo amat jika pasutri itu kelaparan selama menunggunya yang tak tahu jam berapa akan pulang.* * *Menjelang maghrib, Fiona kembali dari rumah Freya dengan sekantong belanjaan ala kadarnya. Dari dalam mobilnya yang diparkir di bahu jalan, Fiona bisa melihat dengan jelas sebuah mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik terparkir mentereng di garasi rumahnya. Mengambil alih lahan parkir untuk mobil Ayla bututnya. Dari tempatnya, Fiona bisa melihat Mbak Zoya mengelus-elus mobil mengkilap itu dengan pandangan kagum. "Apakah ada tamu?" Fiona bertanya-tanya pada kekosongan yang tidak bisa memberikan jawaban. Dan dikarenakan hatinya penuh akan tanda tanya, Fiona memutuskan untuk turun dari mobil sambil membawa kantong belanjaannya. "Wow, mobil siapa nih?" tanya Fiona pada wanita yang anehnya terlihat terlalu senang itu. "Mobil hadiah pernikahan dari Mas Jaya," jawab Mbak Zoya sambil terkikik disertai dengan sorot mata penuh provokasi. "Mobil ini dibeli cash loh sama Mas Jaya buat aku. Baik banget ya, Mas Jaya." lanjut Mbak Zoya kesenangan ketika melihat wajah keruh Fiona. Fiona se
Fiona sedang menunggu lift dengan wajah datar diiringi oleh orang yang bergosip terang-terangan tentangnya. Meskipun dia tidak mengundang salah satu dari mereka ke acara pernikahan suaminya, tetap saja gosip mengenai dia yang dimadu telah menyebar ribuan mil jauhnya. Fiona tidak peduli. Sejak dia bersedia diduakan oleh sang suami, dia sudah siap dengan hal ini. Bahkan jika ada kalimat tidak menyenangkan yang mampir di telinganya, Fiona hanya mengambil sikap acuh tak acuh. "Pantas aja suaminya nyari orang lain, judes gitu!" kata seseorang yang tidak dia kenal. "Mungkin di rumah dia juga bossy orangnya, makanya suaminya jadi enggak betah!" timpal yang lain. "Hush, nanti dia dengar!""Biarin aja dia dengar. Biar dia sadar diri kalau dunia gak cuma berputar sama dia seorang!" Fiona melirik orang yang baru saja berbicara dan hanya mendengus dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Udah-udah, dia ngeliat ke sini barusan!" seseorang berkata dengan panik. Alis Fiona sedikit berkedut mend
Helaan nafas lolos dari hidung Fiona ketika melihat kemarahan yang tampak di wajah Igor. Meski dia tidak apakah kemarahan ini bersifat sungguhan atau hanya dibuat-buat. "He-em," gumam Fiona membenarkan. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari pria ini. Karena, lebih dari siapapun, pria ini adalah orang yang paling mengetahui segala hal tentang dirinya. Dialah Igor Samudra. Sumber rasa pusing Fiona yang paling. Bahkan melebihi rasa pusing yang bisa diberikan suaminya padanya. Pria ini bisa dikatakan fans berat Fiona sejak dulu ketika mereka masih SMA, kemudian berlanjut hingga mereka kuliah. Sampai tiga tahun lalu ketika dia menikah dengan Sanjaya Adiguna. Pria ini akhirnya memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia lebih memilih Mas Jaya dibandingkan pria ini. Jawabannya hanya satu, karena pria ini terlalu kaya! Dia adalah putra bungsu dari pemilik perusahaan Samudra Group, salah satu perusahan F&B terbesar di Asia yang tak lain adalah tempat
Saat jam makan siang, Tidak sampai lima menit, Fiona sudah tiba di cafe Kenangan yang memang biasa dia kunjungi saat jam makan siang. Setibanya disana, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru cafe dengan desain interior bernuansa tradisional itu. Dengan segala furnitur yang terbuat dari kayu dan berbagai pajangan antik yang menghiasi membuat setiap pengunjung bisa merasakan nuansa hangat rumah tempo dulu. Apalagi dengan penggunaan lampu-lampu berwarna kuning yang hangat dan temaram. Belum lagi dengan adanya kipas angin yang berputar berderit-derit mengkhawatirkan di atas kepala mereka memperkuat nuansa tradisional cafe ini. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona untuk menemukan Aruna, sang adik ipar di antara manusia-manusia lain yang sedang sibuk menyantap makan siang mereka. Wanita cantik itu terlihat melambai anggun ke arahnya dari meja nomor lima yang ada di sudut cafe. Sebelum berjalan menghampiri adik iparnya, Fiona menghentikan langkahnya di depan meja kasir. "Aku pesan dua
Fiona menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Dia kemudian berdehem pelan sebelum kemudian berkata. "Loh, kamu benar-benar gak tau, Run? Mobilnya Mbak Zoya baru aja sampai di rumah kemarin sore!" beritahu Fiona dengan nada pura-pura terkejutnya."Kemarin banget ini, Mbak?" tanya Aruna memastikan. Fiona mengangguk sembari sekali lagi menyendok makan siangnya ke dalam mulut. "Benar-benar mobil baru, Mbak?" tanya Aruna sekali lagi. Dia benar-benar sanksi. Disela kunyahannya Fiona menganggukkan kepala dengan antusias. Dia semakin menuangkan bensin pada api yang sudah menyala. "Uhh. Bagus banget mobilnya. Mercedes-Benz warna hitam mengkilap," beritahu Fiona setelah menelan makanannya. Aruna memundurkan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai sibuk mengutak-atik iPhone di tangannya. Mungkin mencari bagaimana penampilan mobil yang dimaksud. Fiona tidak peduli. Dia sendiri memilih fokus dengan makanan yang ada di hadapannya. "Ini gak bisa dibiarin!" gumam Aruna yang samar-samar bisa
Matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan gelap yang terus beranjak naik. Lampu-lampu jalan juga telah dinyalakan untuk memberikan penerangan bagi sekitar. Semenjak suaminya menikah lagi, Fiona selalu pulang terlambat. Dia sengaja mampir di restauran, atau cafe terdekat terlebih dulu untuk makan malam. Sehingga ketika dia sampai di rumah nanti, dia tidak perlu berada di meja makan yang sama dengan pasangan pasutri baru itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Fiona tiba di rumah. Dia masih memarkir mobil bututnya di bahu jalan karena mobilnya ini tidak lagi memiliki tempat di garasi. Untung rumah mereka berada di ujung kompleks, dan jalanan di depan rumah tergolong lebar sehingga keberadaan mobilnya tidak perlu mengganggu pengguna jalan lain. Setelah menarik nafas panjang, dan menghembuskannya keras, Fiona mengunci mobilnya sebelum menyeret langkah kakinya ke dalam rumah. "Adik kamu kayaknya lebih butuh mobil deh daripada Zoya. Sekarang adik kamu
Begitu ruang tengah mulai terdengar sepi, Fiona mulai beranjak meninggalkan pintu kamarnya menuju kamar mandi. Setelah menemukan bahwa dirinya dikhianati, ini pertama kalinya Fiona merasa hatinya begitu ringan, dan berbunga-bunga. "Ini baru permulaan ya saudara-saudara," Fiona bermonolog sendiri sambil menatap wajahnya yang tersenyum licik dari balik cermin wastafel. "Waktunya menjalankan misi selanjutnya!" Fiona meraih benda pipih berbentuk persegi panjang yang hampir tidak pernah terpisahkan darinya itu. Ibu jarinya bergerak lincah di atas benda itu sebelum kemudian dia merapatkan si pipih itu ke telinganya. [Halo!] Sapa seseorang dari seberang. "Nau, gimana?"[Apanya?]"Kamu udah ngomong belum sama Max?" tanya Fiona sembari bergerak menuju bathtub, dan mulai mengisinya dengan air. [Udah. Dia udah setuju,]Senyum Fiona semakin lebar ketika mendengar kalimat positif ini. "Oke deh. Kamu jangan khawatir. Kalo rencana ini sukses, hasil jual mobilnya nanti dibagi 60 : 40, gimana?"
Fiona bersama dengan Freya tiba di cafe Kenangan setelah berjalan selama 5 menit dari Samudra Group. Fiona yang tidak bisa tidur semalaman kini dihiasi dengan mata panda. Semangat kerjanya yang biasa menggebu-gebu juga tampak melempem seperti kerupuk disiram air. Kepalanya pun pusing karena kekurangan pasokan oksigen. Langkah kakinya yang biasa tegas, dan mantap kini bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti zombie. "Ra, aku pesan lalapan. Minumnya air putih aja!" sebut Fiona pada Rara yang bertugas sebagai penjaga kasir. "Aku nasi goreng gila. Minumnya jus jeruk!" sambung Freya menyebutkan pesanan masing-masing. "Oke, ada lagi?" tanya Rara dengan ramah. "Udah itu aja dulu. Di mejanya Naura ya!"Rara menganggukkan kepala sembari mengacungkan jempol bulatnya. "Sip!" katanya. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona dan Freya untuk menemukan meja bundar yang telah dihuni oleh Naura dan suaminya. Mereka berada tepat di sudut cafe yang lumayan sepi. "Kamu kenapa lemes banget?" tanya Naura pad
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t