Helaan nafas lolos dari hidung Fiona ketika melihat kemarahan yang tampak di wajah Igor. Meski dia tidak apakah kemarahan ini bersifat sungguhan atau hanya dibuat-buat.
"He-em," gumam Fiona membenarkan.Tidak ada yang perlu disembunyikan dari pria ini. Karena, lebih dari siapapun, pria ini adalah orang yang paling mengetahui segala hal tentang dirinya.Dialah Igor Samudra. Sumber rasa pusing Fiona yang paling. Bahkan melebihi rasa pusing yang bisa diberikan suaminya padanya.Pria ini bisa dikatakan fans berat Fiona sejak dulu ketika mereka masih SMA, kemudian berlanjut hingga mereka kuliah. Sampai tiga tahun lalu ketika dia menikah dengan Sanjaya Adiguna. Pria ini akhirnya memutuskan untuk menjauh dari hidupnya.Banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia lebih memilih Mas Jaya dibandingkan pria ini. Jawabannya hanya satu, karena pria ini terlalu kaya!Dia adalah putra bungsu dari pemilik perusahaan Samudra Group, salah satu perusahan F&B terbesar di Asia yang tak lain adalah tempat Fiona bekerja sekarang.Sementara saat itu, dia hanyalah anak dari pegawai negeri biasa. Bagi Fiona, tembok tinggi yang menghalangi mereka terlalu susah untuk dia daki.Belum lagi dalam benak Fiona, orang kaya adalah momok. Meski dia sendiri tidak memiliki trauma secara khusus dengan orang kaya. Dari tontonan dan bacaan yang sering dia bayangkan, sudah cukup untuk membuat hatinya ketar-ketir.Apalagi tersiar kabar bahwa Igor sudah dijodohkan dengan seorang wanita yang memiliki strata sosial yang sama dengan keluarganya.Memimpikan bersanding dengan pria ini seperti lelucon bagi Fiona. Dia bagaikan pungguk yang merindukan bulan. Belum lagi sikap Igor yang angin-anginan membuat Fiona merasa tak pasti kala itu. Sedangkan dia menginginkan seorang pria yang bisa menjadikan dirinya satu-satunya. Dia tidak ingin menjadi salah satu dari penghuni harem pria ini.Oleh karena itu, dia dengan bodohnya mengejar Sanjaya Adiguna karena berpikir bahwa inilah dia, pria yang bisa menjadikan dirinya satu-satunya. Sikap dinginnya terhadap wanita lain dan sikap lembut pria itu terhadapnya membuat Fiona terlalu percaya diri.Siapa sangka, dia justru terjebak dalam pernikahan yang justru paling dia hindari."Lagian kamu sih, kenapa dari awal gak milih aku aja? apa kurangnya aku coba? dilihat dari sudut mana aja, sekalipun dilihat dari ujung monas lewat sedotan pun, aku ini kandidat yang gak ada cacatnya sama sekali," ujar Igor jumawa.Fiona spontan memutar bola matanya mendengar deklarasi percaya diri ini. Dia sudah cukup menyesali pilihannya selama sebulan terakhir ini. Haruskah pria ini datang, dan kembali mengorek-orek luka dan rasa malunya?Fiona menatap manik mata pria tampan di depannya dengan perasaan penuh nostalgia. Berhadapan dengan pria ini selalu menjadi hal paling sulit bagi Fiona. Karena tidak peduli bagaimanapun dia mengingkarinya.Nama pria ini telah dikubur dalam kotak pandora jauh di kedalam lubuk hatinya. Dia tidak pernah membiarkan siapapun tahu. Tidak sahabat-sahabatnya. Tidak juga pria ini."Aku ingin tahu, apa yang membuat aku tidak pernah ada dalam pertimbangan kamu?" tanya Igor berubah serius.Tiga tahun dia tidak bisa tidur nyenyak karena pertanyaan ini terus menggantung di kepalanya. Disaat dia berpikir bahwa wanita ini juga memiliki rasa yang sama dengannya, di sisi lain wanita ini justru sibuk mengejar orang lain.Dia bahkan lebih terkejut saat di suatu hari yang cerah ceria dia tiba-tiba mendapatkan undangan pernikahan dari sang wanita terkasih. Bayangkan betapa bingungnya dia kala itu."Sekali seorang pria sudah merasakan rasanya jajan wanita, dia pasti kecanduan. Aku tidak bisa mengambil resiko bersama dengan orang seperti itu," ucap Fiona tak jelas.Dia melirik jam di pergelangan tangannya kemudian melangkah meninggalkan lorong yang sapi menuju lift. Igor tentu saja tidak membiarkan topik ini berlalu."Kamu sedang membicarakan suami kamu?" Igor mendengus sinis. "Seingatku sampai detik ini aku masih perjaka ting-ting. Belum pernah sekalipun celup sana, celup sini," ucap Igor yang membuat langkah Fiona terhenti.Dia kembali menoleh ke arah pria itu yang masih mempertahankan wajah tegas dan seriusnya."Pftt ..." Fiona tidak bisa menahan tawanya.Apakah dia bodoh? seorang pria tampan yang hidup di tengah kota metropolitan masih perjaka ting-ting? Bagaiamana cara membuktikannya?Saat tengah sibuk tertawa, telapak tangan besar dan hangat pria itu tiba-tiba menyangga kedua pipi Fiona yang memerah."Aku serius. Bagaimana aku bisa bersama wanita lain sementara kamu adalah satu-satunya wanita yang selalu aku pikirkan?" gombal Igor sambil perlahan mengikis jarak di antara mereka.Telapak tangan hangat itu mengangkat wajah Fiona, memaksa mata mereka untuk saling menyelami. "Aku tidak pernah bosan mengatakan bahwa aku cinta kamu, Fiona Larasati,"Fiona berusaha untuk melarikan matanya kemana saja kecuali mata pria itu. Dia juga berusaha untuk melepaskan tangan pria itu dari pipinya yang mulai terasa panas.Namun, justru wajah pria itu berada semakin dekat dengan wajahnya. Semburan nafas hangatnya menerpa wajah Fiona. Bibir tipis dan seksi pria itu hanya tinggal seinci saja dari bibirnya.Tidak tahu apakah harus bersyukur atau tidak, suara ribut dering ponselnya mengganggu momen syahdu mereka. Fiona spontan mendorong dada liat dan bidang Igor agar menjauh darinya. Dia merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya hanya untuk menemukan nama adik iparnya terpampang di sana.'Sial!' dumel Fiona sambil kembali melangkah menuju lift.Hingga pintu lift di belakangnya tertutup, Fiona tidak berani menoleh ke belakang, pada Igor yang masih berdiri di tempatnya. Ketika lift yang hendak membawanya ke lantai dimana ruangannya berada mulai bergerak, barulah kaki Fiona jatuh melunglai di lantai lift yang dingin.Suara ribut dering ponselnya menemani Fiona di dalam lift yang kosong. Akan tetapi, hal itu tidak menggugah dirinya untuk segera mengangkat panggilan telepon dari sang adik ipar itu.Dia terlebih dulu menenangkan gemuruh jantung yang berdetak ribut di balik dadanya akibat tindakan Igor barusan. Hingga dia akhirnya kembali pada ketenangannya yang biasa, barulah Fiona mengangkat panggilan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah itu."Halo," balas Fiona dengan nada sedikit ketus."Mbak Fi, kita bisa ketemu sebentar?" todong suara dari seberang tanpa basa-basi."Ada apa?" tanya Fiona pendek. Alisnya berkerut tak suka.Suasana hatinya terganggu karena telepon dari adik iparnya yang tumben-tumbenan di momen yang tidak pas."Ada yang mau Runa bicarain. Penting!" tukas adik iparnya misterius."Tunggu Mbak nanti di cafe Kenangan pas jam makan siang," ujar Fiona cepat tanpa basa-basi.Dia kemudian langsung memutuskan sambungan telepon itu dengan acuh tak acuh. Bertepatan dengan itu, lift yang dia tumpangi berhenti di lantai 17 tempat ruang kantornya berada.Fiona berjalan dengan langkah-langkah panjang menuju ruangannya seolah-olah dia ingin melarikan diri dari apapun yang baru saja terjadi di belakangnya.* * *Saat jam makan siang, Tidak sampai lima menit, Fiona sudah tiba di cafe Kenangan yang memang biasa dia kunjungi saat jam makan siang. Setibanya disana, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru cafe dengan desain interior bernuansa tradisional itu. Dengan segala furnitur yang terbuat dari kayu dan berbagai pajangan antik yang menghiasi membuat setiap pengunjung bisa merasakan nuansa hangat rumah tempo dulu. Apalagi dengan penggunaan lampu-lampu berwarna kuning yang hangat dan temaram. Belum lagi dengan adanya kipas angin yang berputar berderit-derit mengkhawatirkan di atas kepala mereka memperkuat nuansa tradisional cafe ini. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona untuk menemukan Aruna, sang adik ipar di antara manusia-manusia lain yang sedang sibuk menyantap makan siang mereka. Wanita cantik itu terlihat melambai anggun ke arahnya dari meja nomor lima yang ada di sudut cafe. Sebelum berjalan menghampiri adik iparnya, Fiona menghentikan langkahnya di depan meja kasir. "Aku pesan dua
Fiona menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Dia kemudian berdehem pelan sebelum kemudian berkata. "Loh, kamu benar-benar gak tau, Run? Mobilnya Mbak Zoya baru aja sampai di rumah kemarin sore!" beritahu Fiona dengan nada pura-pura terkejutnya."Kemarin banget ini, Mbak?" tanya Aruna memastikan. Fiona mengangguk sembari sekali lagi menyendok makan siangnya ke dalam mulut. "Benar-benar mobil baru, Mbak?" tanya Aruna sekali lagi. Dia benar-benar sanksi. Disela kunyahannya Fiona menganggukkan kepala dengan antusias. Dia semakin menuangkan bensin pada api yang sudah menyala. "Uhh. Bagus banget mobilnya. Mercedes-Benz warna hitam mengkilap," beritahu Fiona setelah menelan makanannya. Aruna memundurkan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai sibuk mengutak-atik iPhone di tangannya. Mungkin mencari bagaimana penampilan mobil yang dimaksud. Fiona tidak peduli. Dia sendiri memilih fokus dengan makanan yang ada di hadapannya. "Ini gak bisa dibiarin!" gumam Aruna yang samar-samar bisa
Matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan gelap yang terus beranjak naik. Lampu-lampu jalan juga telah dinyalakan untuk memberikan penerangan bagi sekitar. Semenjak suaminya menikah lagi, Fiona selalu pulang terlambat. Dia sengaja mampir di restauran, atau cafe terdekat terlebih dulu untuk makan malam. Sehingga ketika dia sampai di rumah nanti, dia tidak perlu berada di meja makan yang sama dengan pasangan pasutri baru itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Fiona tiba di rumah. Dia masih memarkir mobil bututnya di bahu jalan karena mobilnya ini tidak lagi memiliki tempat di garasi. Untung rumah mereka berada di ujung kompleks, dan jalanan di depan rumah tergolong lebar sehingga keberadaan mobilnya tidak perlu mengganggu pengguna jalan lain. Setelah menarik nafas panjang, dan menghembuskannya keras, Fiona mengunci mobilnya sebelum menyeret langkah kakinya ke dalam rumah. "Adik kamu kayaknya lebih butuh mobil deh daripada Zoya. Sekarang adik kamu
Begitu ruang tengah mulai terdengar sepi, Fiona mulai beranjak meninggalkan pintu kamarnya menuju kamar mandi. Setelah menemukan bahwa dirinya dikhianati, ini pertama kalinya Fiona merasa hatinya begitu ringan, dan berbunga-bunga. "Ini baru permulaan ya saudara-saudara," Fiona bermonolog sendiri sambil menatap wajahnya yang tersenyum licik dari balik cermin wastafel. "Waktunya menjalankan misi selanjutnya!" Fiona meraih benda pipih berbentuk persegi panjang yang hampir tidak pernah terpisahkan darinya itu. Ibu jarinya bergerak lincah di atas benda itu sebelum kemudian dia merapatkan si pipih itu ke telinganya. [Halo!] Sapa seseorang dari seberang. "Nau, gimana?"[Apanya?]"Kamu udah ngomong belum sama Max?" tanya Fiona sembari bergerak menuju bathtub, dan mulai mengisinya dengan air. [Udah. Dia udah setuju,]Senyum Fiona semakin lebar ketika mendengar kalimat positif ini. "Oke deh. Kamu jangan khawatir. Kalo rencana ini sukses, hasil jual mobilnya nanti dibagi 60 : 40, gimana?"
Fiona bersama dengan Freya tiba di cafe Kenangan setelah berjalan selama 5 menit dari Samudra Group. Fiona yang tidak bisa tidur semalaman kini dihiasi dengan mata panda. Semangat kerjanya yang biasa menggebu-gebu juga tampak melempem seperti kerupuk disiram air. Kepalanya pun pusing karena kekurangan pasokan oksigen. Langkah kakinya yang biasa tegas, dan mantap kini bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti zombie. "Ra, aku pesan lalapan. Minumnya air putih aja!" sebut Fiona pada Rara yang bertugas sebagai penjaga kasir. "Aku nasi goreng gila. Minumnya jus jeruk!" sambung Freya menyebutkan pesanan masing-masing. "Oke, ada lagi?" tanya Rara dengan ramah. "Udah itu aja dulu. Di mejanya Naura ya!"Rara menganggukkan kepala sembari mengacungkan jempol bulatnya. "Sip!" katanya. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona dan Freya untuk menemukan meja bundar yang telah dihuni oleh Naura dan suaminya. Mereka berada tepat di sudut cafe yang lumayan sepi. "Kamu kenapa lemes banget?" tanya Naura pad
"Kamu mau kemana?" tanya Freya ketika melihat Fiona menekan tombol lift menuju lantai 20."Ke ruangan bos!""Ah~" Freya mengeluarkan nada panjang sebagai tanda mengerti. Tidak lupa, dia juga melemparkan kerlingan menggoda pada Fiona yang memilih untuk tidak peduli. "Kamu ada rencana memulai kisah baru nih sama dia?" "Gak dulu!" tegas Fiona. "Yakin?~""Yakin!""Hati-hati loh. Hati kamu saat ini adalah hati yang biasanya paling rentan tergoda asmara lain!" nasihat Freya setengah serius, setengah bercanda. " ... ""Semoga sukses ya!" Freya mengacungkan kedua kepalan tangannya di udara sebelum keluar dari lift yang akhirnya berhenti di lantai tempat ruangannya berada. Alis Fiona berkedut. Dia tidak mengerti apa yang menjadi niat sahabatnya itu, apakah dia mendukungnya untuk bersama Igor atau apa? Ting, Pintu lift yang membawa Fiona ke lantai 20 berhenti. Dengan langkah mantap dia keluar dari kotak besi itu, dan terus berjalan menuju ruangan Igor. "Apa Pak Igor ada di ruangan?"
Keesokan hari, Fiona masih berangkat ke kantor seperti biasa. Tapi kali ini hatinya penuh dengan antisipasi. Lupakan hubungan ambigunya dengan Igor kemarin. Pagi ini dia baru saja mendapat pesan dari Max bahwa dia sudah siap mengeksekusi rencana perampokan mereka. Sebelum berangkat, tidak banyak perdebatan yang terjadi antara Fiona beserta suami dan istri baru suaminya itu. Mbak Zoya juga dengan patuh memasak sarapan untuk suami serta kedua putranya, tentu saja minus Fiona. Dan yang jelas, Fiona sama sekali tidak peduli. Dengan uang tebal di dompet, apa yang perlu dia khawatirkan? Dia bisa makan kapan, dan dimanapun dia mau. 'Boy, ini terakhir kalinya kamu ada di garasi rumah ini!" bisik Fiona sembari mengelus body mulus mobil mewah itu. Hanya sekilas, dan dia terus berjalan menuju mobilnya sendiri yang terparkir di bahu jalan di luar sana. * * *Zoya tak henti-hentinya menebar senyum sehangat sinar matahari. Janji Mas Jaya padanya membuat hati Zoya berbunga-bunga. Akhirnya setel
Zoya mencengkram erat-erat stir mobilnya. Dadanya membuncah naik-turun karena kemarahan yang dihasilkan oleh ancaman pamannya sendiri. Dia tiba-tiba menyesali keputusannya untuk menawari istri pria itu pekerjaan di rumahnya dan Mas Jaya. "Sial. Rahasia yang mana yang dia ketahui?" dumel Zoya sambil mengunyah gigi gerahamnya dengan gemas. Dia hanya ingin menikmati bagaimana rasanya menjadi nyonya rumah, tapi kenapa segalanya begitu penuh lika-liku? Keluarga yang seharusnya menjadi pendukungnya malah menjadi orang yang mengancam dirinya. Hati Zoya benar-benar tidak bisa didamaikan! Tiiiinnnn,, Zoya menekan klakson di mobilnya dengan sekuat tenaga ketika melihat sebuah sepeda motor butut Supra tiba-tiba berhenti di depan mobilnya. Zoya menurunkan kaca mobil di sampingnya sembari menjulurkan kepalanya dengan kesal. "Kamu ingin mati idiot?!" makinya dengan keras. Max yang bersembunyi di balik topeng segera turun dari jok penumpang dan mengambil langkah berderap menuju mobil Zoya.
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t