Zoya mencengkram erat-erat stir mobilnya. Dadanya membuncah naik-turun karena kemarahan yang dihasilkan oleh ancaman pamannya sendiri. Dia tiba-tiba menyesali keputusannya untuk menawari istri pria itu pekerjaan di rumahnya dan Mas Jaya. "Sial. Rahasia yang mana yang dia ketahui?" dumel Zoya sambil mengunyah gigi gerahamnya dengan gemas. Dia hanya ingin menikmati bagaimana rasanya menjadi nyonya rumah, tapi kenapa segalanya begitu penuh lika-liku? Keluarga yang seharusnya menjadi pendukungnya malah menjadi orang yang mengancam dirinya. Hati Zoya benar-benar tidak bisa didamaikan! Tiiiinnnn,, Zoya menekan klakson di mobilnya dengan sekuat tenaga ketika melihat sebuah sepeda motor butut Supra tiba-tiba berhenti di depan mobilnya. Zoya menurunkan kaca mobil di sampingnya sembari menjulurkan kepalanya dengan kesal. "Kamu ingin mati idiot?!" makinya dengan keras. Max yang bersembunyi di balik topeng segera turun dari jok penumpang dan mengambil langkah berderap menuju mobil Zoya.
Sepanjang hari ini Fiona masih menjalankan rutinitas hariannya seperti biasa. Setelah pulang dari kantor paling lambat pukul enam sore, dia menyempatkan diri untuk mampir ke sembarang cafe atau restauran untuk makan malam yang sudah menjadi kebiasaannya baru-baru ini. Dia pun baru tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. Meski dia tahu bahwa tidak ada lagi mobil Mercedes-Benz hitam metalik itu terparkir di garasi, Fiona tetap memarkirkan mobil bututnya di bahu jalan depan pagar rumahnya. Sebelum melangkah ke dalam rumah, Fiona terlebih dulu mengatur wajahnya agar tidak terlihat terlalu bahagia. Dia membuat wajahnya sedatar mungkin sebelum membuka pintu ruang tamu. "Kok mobil itu bisa hilang sih?!" suara tinggi ibu mertuanya membuat Fiona sedikit ragu untuk terus melangkah. "Aku dirampok, Bu!" keluh Mbak Zoya dengan suara tersedu-sedu. "Kok bisa kamu dirampok siang-siang bolong? Emang kamu habis darimana aja?!" sentak ibu mertuanya dengan kejam. Sama sekali tidak
[Bagianmu sudah aku transfer!]Fiona membaca pesan dari Naura yang masuk ke ponselnya dengan senyum sumringah. Tanpa basa-basi dia langsung mengintip saldo ATM melalui m-banking yang ada di ponselnya. Ada ratusan juta rupiah uang yang masuk ke dalam rekeningnya membuat mata Fiona hijau. Senyum di wajahnya juga tak terhindarkan semakin mekar. "Mau aku traktir apa?" tanya Fiona pada Igor yang terlihat begitu fokus pada dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Ya! Saat ini dia lagi-lagi terdampar di ruangan bosnya. Hal ini terjadi lantaran Freya yang beberapa hari belakang ini sibuk berurusan dengan kliennya. Terlalu membosankan bagi Fiona untuk menghabiskan waktu makan siang seorang diri. "Dalam rangka apa nih?" tanya Igor sambil mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sudah sangat menyita perhatiannya ini. "Keberhasilan morotin uang Jaya? Aku mau ngajak kamu menikmati hasil rampasanku!"Senyum di wajah Igor semakin dalam ketika melihat betapa girangnya Fiona saat ini. Untu
Sementara menunggu Igor selesai memasak, Fiona duduk di kursi meja makan dengan patuh. Dalam rangka membunuh waktu, dia memilih untuk bermain dengan ponselnya. Semua media sosial dia buka untuk melihat postingan baru beberapa kenalan serta berita-berita yang memang sedang viral di kalangan masyarakat. Setelah men-scroll layar ponselnya bolak-balik, Fiona diterpa kebosanan. Tidak ada hal menarik yang dia temukan selain sambatan orang-orang tentang kehidupan penuh liku yang mereka jalani. Entah itu terkait dengan sekolah, maupun kehidupan di dunia kerja yang begitu menguras energi. Fiona mematikan layar ponselnya, dan meletakkan benda pipih yang masuk dalam kategori barang penting itu di atas meja. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku, Fiona kembali beranjak menuju balkon. Dia untuk sementara mengabaikan aroma harum daging panggang yang sudah memicu kelenjar ludah di dalam mulutnya. Semilir angin malam menerjang tubuh Fiona sesaat setelah dia membuka pintu penghubung balkon
Ruang makan yang hanya dihuni oleh dua anak manusia itu diselimuti keheningan. Baik Igor maupun Fiona terlarut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar mengisi latar belakang. "Walaupun aku tidak bisa memberikan jaminan apa-apa, tapi aku tetap tidak akan menyerah!" Igor berucap setelah kebisuan yang lama. Fiona tidak memberikan tanggapan apapun. Hanya matanya yang menatap penuh arti pada pria di depannya. "Adanya perbedaan status sosial memang sulit untuk diarungi, tapi bukan berarti tidak mungkin 'kan?" Igor melanjutkan dengan mantap. Fiona kemudian menganggukkan kepala melihat kepercayaan diri ini. "Lalu, jika semisal kamu disuruh memilih antara aku atau keluarga kamu, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Fiona. Dia hanya sekedar ingin tahu bagaimana pria ini akan menjawab pertanyaan yang sarat akan dilema ini. Dia tidak begitu naif berharap bahwa dirinya akan dijadikan pilihan pertama, dan yang paling utama. Anggap saja dia sedang menguji b
Fiona tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Ada satu jam lebih lambat daripada biasanya."Assalamu'alaikum." ucap Fiona memberi salam. Hening, Jam sembilan malam, rumah masih dalam kondisi terang benderang. Suara dialog orang dari televisi terdengar menyambangi indera pendengaran Fiona yang sedang mengunci pintu ruang tamu. Akan tetapi, tidak ada yang membalas salamnya. Fiona sendiri tidak mau peduli. Setelah mematikan lampu ruang tamu untuk menghemat listrik, dia terus melangkah menuju ruang tengah dengan langkah cuek. "Kamu darimana aja jam segini baru pulang?" tanya Mas Jaya yang tumben-tumbenan menyapanya. "Lembur di kantor." jawab Fiona acuh tak acuh. Dia bahkan tidak mengalihkan perhatiannya pada Mas Jaya yang sedang berada di ruang tengah, dan terus berjalan ke arah kamarnya sendiri. "Dulu kamu gak pernah tuh lembur-lemburan. Kok sekarang aku liat kamu banyak lemburnya." tegur Mas Jaya yang membuat Fiona menggulung matanya. "Sekarang dan dulu jelas be
Satu hari lagi berlalu,"Mas, kamu masih marah sama aku gara-gara mobil itu?" pertanyaan yang terdengar centil itu memasuki telinga Fiona yang baru saja pulang kerja. "Sedikit!" suara Mas Jaya menjawab. "Aku benar-benar minta maaf, Mas. Aku beneran dirampok!" Mbak Zoya mencoba menjelaskan dirinya dengan nada memelas. "Haaahh~" Mas Jaya terdengar menghela nafas. "Mau gimana lagi? Benar kata Aruna, kalau mobilnya sudah hilang, akan susah kembali lagi," pungkas Mas Jaya dengan nada datar. Fiona yang berjalan lambat membelah ruang tamu menggeram kesal saat mendengar nada santai meluncur mulus dari bibir pria yang masih menjadi suaminya itu. Terlebih lagi karena nada ini terdengar seolah-olah pria itu tidak peduli lagi dengan mobil baru yang hilang. "Sialan! Giliran aku yang menghilangkan barang, pasti diamuk sama dia!" dumel Fiona yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Meski perasaan jengkel masih menguasinya. Fiona tetap saja tidak bisa berhenti membandingkan perlakuan san
Saat ini, jarum jam sedang menunjukkan tepat pukul 12 siang. Angin AC berhembus membelai Zoya yang sedang berbaring malas di sofa depan televisi. Telinganya tegak menunggu yang katanya bendahara arisan kompleks yang akan bertamu. Disindir kuper oleh Fiona semalam membuat Zoya sedikit kesal. Pagi-pagi sekali setelah semua orang berangkat kerja, dia menarik sejumlah uang tunai dari mesin ATM yang ada di depan kompleks. Dia tidak mau kalah dengan Fiona. Dia juga berencana untuk ikut arisan dengan jumlah yang lebih besar dari istri tua suaminya itu. "Permisi!""Assalamu'alaikum!"Telinga Zoya langsung menegak ketika mendengar suara salam dari luar. Tanpa basa-basi, dia bergegas menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu Zoya terlebih dulu merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, dan merapikan rambutnya dengan sisir jari. "Waalaikumsalam!" jawab Zoya kemudian sembari membuka pintu ruang tamu. "Permisi, Bu!" Seorang wanita berkaca mata tebal dengan rambut dikepang serta gigi berbehel mir
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t