Selama sebulan sejak Fiona setuju untuk dimadu, hubungannya dengan Mas Jaya semakin renggang. Suaminya itu mulai sering menginap di rumah ibunya. Katanya sih untuk mengurus pernikahannya dengan Mbak Zoya.
Fiona sendiri pun mulai tak peduli. Dia memilih mengalah dengan memindahkan semua pakaian dan barang-barangnya ke kamar tamu. Membiarkan calon pengantin baru menempati kamar utama. Dalam pikirannya saat ini, hanya ada rencana untuk menguras harta suaminya dan membuat keluarga suaminya menjadi tidak harmonis.Bagi Fiona, kerugian non materi yang dia alami sudah cukup. Dia tidak ingin mengalami kerugian materi lain. Dia harus mengambil kembali setiap sen dari gajinya yang telah hilang hanya demi menyenangkan pria yang sama sekali tidak layak itu."Fi, kamu baik-baik aja?" pertanyaan berulang Freya membuat Fiona menggulung matanya dengan bosan."Berhenti deh nanya kamu baik-baik aja atau enggak! Kelihatannya aja gimana?" dumel Fiona pada sahabat sekaligus teman sejawatnya ini."Kamu keliatan baik-baik aja sih," balas Freya yang segera dihadiahi delikan sinis oleh Fiona. Freya mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh."Seorang Fiona Larasati mau dimadu? Sejujurnya ini mengejutkan sih," Naura, salah satu sahabatnya sejak SMP ikut berkomentar.Saat ini, mereka bertiga sedang makan siang di sebuah cafe yang tak jauh dari Samudra Group. Perusahaan tempat Fiona dan Freya bekerja.Akhirnya setelah sebulan berlalu, Fiona memiliki keberanian juga untuk bercerita pada sahabat-sahabatnya ini. Itu pun karena dia ingin memberikan undangan pernikahan suaminya yang akan berlangsung dalam beberapa hari lagi. Fiona sengaja ingin mengundang kedua sahabatnya ini karena dia tidak ingin terdiam garing di acara pernikahan suaminya sendiri. Judul ini benar-benar terlalu ambigu untuk didengar."Rencana kamu apaan emang?" tanya Freya.Tidak ada yang mengenal Fiona lebih baik dari mereka berdua. Wajahnya yang keras dan dingin berbanding lurus dengan perangainya. Mungkin hanya keluarga suaminya saja yang tidak tahu, bahwa seorang Fiona Larasati adalah spesies manusia yang paling ogah rugi. Tapi kenapa malah pria tak tau diuntung macam Sanjaya Adiguna itu yang pernah mendapatkan keistimewaan untuk merasakan sikap lemah lembut sahabatnya ini?"Nguras hartanya!" desis Fiona. Sorot matanya memancarkan kekejaman."Gimana caranya nguras hartanya. Wong suami kamu pelit gitu?" Naura berujar sanksi."Belum tau. Liat gimana nanti aja. Aku gak buru-buru kok," jawab Fiona santai sambil mengaduk jus jeruk dalam gelasnya."Kalau butuh bantuan, kasih tau kita aja," ujar Naura sambil mengangkat sebelah alis dan sudut bibirnya. Dia paling suka membuat hidup orang lain menjadi tidak damai.Fiona terkekeh pelan sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya menjadi bentuk lingkaran. Sebuah isyarat persetujuan.* * *Tepat di hari sabtu, hari yang ditunggu-tunggu suaminya akhirnya tiba juga. Seluruh keluarga suaminya sudah tampil cantik dan tampan dengan mengenakan pakaian seragam kebaya berwarna pastel. Dan masih dengan hati yang acuh tak acuh, mereka bahkan tidak menyiapkan seragam untuk Fiona.Mungkin mereka berpikir bahwa Fiona akan terlalu sedih dan sakit hati sampai tidak mungkin baginya untuk menghadiri acara pernikahan suaminya sendiri. Nyatanya, Fiona sudah sangat siap untuk mencuri spotlight sang mempelai wanita.Tubuh semampai Fiona dibalut kebaya merah gonjreng, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda. Hi-heels lima senti membuatnya semakin terlihat seperti model papan atas. Dan rambut hitam legamnya disanggul sederhana dengan gaya modern yang tetap terlihat trendy. Tidak lupa bibir penuhnya disapukan lipstik berwarna merah darah. Semakin memberikan kesan kuat dalam tampilannya.Fiona turun dari mobil Ayla warna putihnya di kediaman mertuanya. Pernikahan kedua suaminya ini memang diselenggarakan di rumah sang mertua. Dengan mengusung tema pesta kebun. Berhubung halaman rumah kediaman mertuanya sangat luas, tidak ada salahnya untuk memanfaatkannya.Suara ijab qabul terdengar fasih melantun dari bibir suaminya begitu Fiona tiba di tempat. Dia melenggang dengan anggun di sepanjang jalan menuju halaman belakang. Dia sangat menikmati mata-mata yang memandangnya dengan penuh kekaguman. Pujian-pujian yang terus mengalir dari setiap orang yang melihatnya membuat dagu Fiona terangkat semakin tinggi. Apalagi dengan kebaya merahnya yang sangat mencolok membuat perhatian orang-orang tertuju padanya."Entah apa isi pikiran Jaya. Istri cantik begini diduakan,"Bibir Fiona berkedut samar mendengar ucapan yang berpihak padanya itu."Si Zoya cantik sih emang, tapi masih cantikan Fiona kemana-mana lagi,"Fiona terus melangkah dan mengambil tempat duduk di samping kedua sahabatnya yang telah tiba lebih dulu. Tadinya dia ingin bergabung dengan keluarga suaminya, tapi melihat tatapan nyalang mertuanya, Fiona mengurungkan niat. Dia tidak ingin dituding karena sudah membuat mertuanya itu darah tinggi."Ck ck ck. Kasihan banget sih sahabat aku yang enggak dianggap ini," decakan tak habis pikir Freya tak dipedulikan oleh Fiona.Dibandingkan sibuk memperhatikan dua insan yang tampak bahagia setelah orang-orang mendengungkan kata sah itu, Fiona lebih fokus menebarkan senyuman terluka pada semua kenalan suaminya. Dia sekaligus menikmati tatapan mengagumi yang jatuh pada dirinya."Fi, kamu baik-baik aja?" pertanyaan pertama keluar dari bibir teman suaminya. Namanya Agus. Fiona cukup mengenal pria ini karena beberapa kali pernah datang ke rumah untuk membicarakan pekerjaan dengan suaminya."Yah, gitulah Mas, mau gimana lagi," jawab Fiona dengan nada pasrah."Kok bisa istri kakak ipar kamu malah jadi istri kedua suamimu sih, Fi?" pertanyaan kedua datang dari mbak Mayang, tetangga depan rumah mertuanya. "Gimana ceritanya?!" terdengar nada kaget dan tak menyangka dalam suaranya."Yah~" Fiona hanya mampu mendesahkan sekelumit kata.Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab. Dia lebih memilih membiarkan orang-orang ini berpikir sesukanya. Semakin liar justru semakin bagus.Dan mereka untungnya tidak mengecewakan Fiona, karena sekarang, dalam benak banyak orang, berbagai kata telah dirangkai untuk dijadikan gosip dengan orang-orang kompleks sore nanti. Kali ini Fiona sama sekali tidak keberatan jika dirinya dijadikan bahan gunjingan orang-orang."Yang sabar ya, Fi,"Fiona menganggukkan kepala singkat. Mulai hari ini, dia memang harus menyediakan banyak stok kesabaran."Ayo semuanya, kita makan-makan," ajak Fiona dengan ramah sambil beranjak dari kursinya.Dia berjalan dengan punggung tegak lurus menuju meja prasmanan. Langkahnya diikuti oleh orang-orang yang tadinya duduk di sekitar kursinya, membentuk ekor yang lucu. Keseruan tampak di sekitar mereka. Sedangkan pelaminan di tengah halaman terlihat senyap dan sepi."Jeng Marni gimana sih? kayaknya baru empat bulan Agung meninggal, kok istri putra sulungnya udah dinikahkan dengan putranya yang lain sih," bisik ibu-ibu tetangga yang bisa didengar semua orang."Jadi itu tadinya istri si Agung?" lantunan keterkejutan terdengar datang satu per satu."Ck ck ck. Kok bisa?""Mending si Jaya masih single, ini udah punya istri. Kayak gak ada wanita lain aja," sindir ibu-ibu yang lain dengan nada ketus."Jadi penasaran, apa sih istimewanya si Zoya-Zoya ini?""Tau nih. Service ranjangnya bagus kali," seseorang menimpali dengan lebih frontal."Mungkin bahkan udah dingdong juga, makanya buru-buru dinikahin. Kegatelan emang," balas yang lain."Benar-benar enggak habis pikir sama Jeng Marni. Liat deh, keluarga mereka aja pakai seragam gitu. Tapi liat menantunya si Fiona, pakaiannya beda sendiri. Pasti ada yang gak benar nih di dalam rumah mereka,""Hush! udah-udah. Gak baik suudzon sama orang,"Dari kejauhan, Fiona bisa melihat dengan jelas tangan gemetar mertuanya yang meremas erat sapu tangan dalam genggamannya. Tak perlu dikatakan seberapa marah wanita paruh baya itu mendengar orang-orang bergunjing secara terang-terangan tentang keluarganya.Di meja prasmanan, Fiona sudan mesem-mesem sendiri mendengar hujatan yang diarahkan untuk ibu mertuanya itu. "Omongan tetangga lebih pedas dari nasi lele bang Omar," bisik Fiona di samping telinga Freya. Dia sengaja menyebut makanan kesuksesan sahabatnya ini untuk memberikan sebuah gambaran."Siapa yang gak tau kalo omongan tetangga udah kayak makanan dikasi cabe sekarung," timpal Naura sambil menggigit sate yang baru saja diambil dari meja prasmanan. "Satenya keras, bakal jadi gosip lain nih," ucap Naura sambil menggoyangkan tusuk sate di depan wajah Fiona.Mereka kemudian beranjak dari meja prasmanan dan berjalan menuju meja terdekat dengan piring penuh makanan.Tidak ada yang memperhatikan wajah keruh pengantin baru di atas pelaminan yang sepi. Selain keluarga mempelai pria dan wanita yang mengucapkan selamat. Kelihatannya para tetangga dan tamu undangan yang hadir lebih asyik dengan makanan dan gosip hot yang sudah tersebar tak tentu arah. Bahkan orang-orang yang hadir tampaknya tidak peduli apakah ucapan mereka didengar oleh pemilik hajatan atau tidak.Adapun para muda-mudi yang hadir bahkan lebih sibuk mencari spot foto terbaik dan aestetik untuk mereka pamerkan di media sosial masing-masing. Fiona sendiri tidak menggubris keriuhan yang ada karena ponselnya tiba-tiba dihantui pesan masuk yang tak pernah dia duga.[Lusa aku kembali darl. Tunggu aku.]Fiona memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing. Dia baru saja akan memulai misinya, tapi calon pengganggu sudah datang saja.* * *Rumah yang tiga tahun belakangan ini hanya ditempati berdua dengan sang suami kini kedatangan anggota barunya. Terhitung hari ini, Fiona harus rela berbagi atap dengan wanita lain, bersama dengan anak-anak dari wanita itu. "Pantas aja ibu selalu bilang kamu gak becus!"Fiona menatap sang suami yang langsung marah-marah begitu mereka tiba di rumah. "Kenapa?" tanya Fiona halus. Makin kesini tempramen suaminya terlihat semakin buruk. Dia hampir tidak lagi bisa mengenalinya. "Kenapa?!" Mas Jaya berkata dengan bersungut-sungut. Urat-urat biru terlihat menonjol di dahinya. "Ini kamar anak-anak kenapa belum kamu atur?" Mas Jaya menunjuk ke dalam kamar di samping kamar utama. Fiona menjulurkan kepalanya untuk mengintip kamar yang tadinya kamar tamu itu, dengan hanya ada satu ranjang berukuran king size tergeletak di tengah ruangan yang terlihat membosankan. "Kan aku gak tau selera mereka Mas. Nanti kalau aku lancang utak-atik, kamu nyalahin aku lagi,"Fiona berkilah. "Lagian, mungkin Mb
Menjelang maghrib, Fiona kembali dari rumah Freya dengan sekantong belanjaan ala kadarnya. Dari dalam mobilnya yang diparkir di bahu jalan, Fiona bisa melihat dengan jelas sebuah mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik terparkir mentereng di garasi rumahnya. Mengambil alih lahan parkir untuk mobil Ayla bututnya. Dari tempatnya, Fiona bisa melihat Mbak Zoya mengelus-elus mobil mengkilap itu dengan pandangan kagum. "Apakah ada tamu?" Fiona bertanya-tanya pada kekosongan yang tidak bisa memberikan jawaban. Dan dikarenakan hatinya penuh akan tanda tanya, Fiona memutuskan untuk turun dari mobil sambil membawa kantong belanjaannya. "Wow, mobil siapa nih?" tanya Fiona pada wanita yang anehnya terlihat terlalu senang itu. "Mobil hadiah pernikahan dari Mas Jaya," jawab Mbak Zoya sambil terkikik disertai dengan sorot mata penuh provokasi. "Mobil ini dibeli cash loh sama Mas Jaya buat aku. Baik banget ya, Mas Jaya." lanjut Mbak Zoya kesenangan ketika melihat wajah keruh Fiona. Fiona se
Fiona sedang menunggu lift dengan wajah datar diiringi oleh orang yang bergosip terang-terangan tentangnya. Meskipun dia tidak mengundang salah satu dari mereka ke acara pernikahan suaminya, tetap saja gosip mengenai dia yang dimadu telah menyebar ribuan mil jauhnya. Fiona tidak peduli. Sejak dia bersedia diduakan oleh sang suami, dia sudah siap dengan hal ini. Bahkan jika ada kalimat tidak menyenangkan yang mampir di telinganya, Fiona hanya mengambil sikap acuh tak acuh. "Pantas aja suaminya nyari orang lain, judes gitu!" kata seseorang yang tidak dia kenal. "Mungkin di rumah dia juga bossy orangnya, makanya suaminya jadi enggak betah!" timpal yang lain. "Hush, nanti dia dengar!""Biarin aja dia dengar. Biar dia sadar diri kalau dunia gak cuma berputar sama dia seorang!" Fiona melirik orang yang baru saja berbicara dan hanya mendengus dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Udah-udah, dia ngeliat ke sini barusan!" seseorang berkata dengan panik. Alis Fiona sedikit berkedut mend
Helaan nafas lolos dari hidung Fiona ketika melihat kemarahan yang tampak di wajah Igor. Meski dia tidak apakah kemarahan ini bersifat sungguhan atau hanya dibuat-buat. "He-em," gumam Fiona membenarkan. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari pria ini. Karena, lebih dari siapapun, pria ini adalah orang yang paling mengetahui segala hal tentang dirinya. Dialah Igor Samudra. Sumber rasa pusing Fiona yang paling. Bahkan melebihi rasa pusing yang bisa diberikan suaminya padanya. Pria ini bisa dikatakan fans berat Fiona sejak dulu ketika mereka masih SMA, kemudian berlanjut hingga mereka kuliah. Sampai tiga tahun lalu ketika dia menikah dengan Sanjaya Adiguna. Pria ini akhirnya memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia lebih memilih Mas Jaya dibandingkan pria ini. Jawabannya hanya satu, karena pria ini terlalu kaya! Dia adalah putra bungsu dari pemilik perusahaan Samudra Group, salah satu perusahan F&B terbesar di Asia yang tak lain adalah tempat
Saat jam makan siang, Tidak sampai lima menit, Fiona sudah tiba di cafe Kenangan yang memang biasa dia kunjungi saat jam makan siang. Setibanya disana, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru cafe dengan desain interior bernuansa tradisional itu. Dengan segala furnitur yang terbuat dari kayu dan berbagai pajangan antik yang menghiasi membuat setiap pengunjung bisa merasakan nuansa hangat rumah tempo dulu. Apalagi dengan penggunaan lampu-lampu berwarna kuning yang hangat dan temaram. Belum lagi dengan adanya kipas angin yang berputar berderit-derit mengkhawatirkan di atas kepala mereka memperkuat nuansa tradisional cafe ini. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona untuk menemukan Aruna, sang adik ipar di antara manusia-manusia lain yang sedang sibuk menyantap makan siang mereka. Wanita cantik itu terlihat melambai anggun ke arahnya dari meja nomor lima yang ada di sudut cafe. Sebelum berjalan menghampiri adik iparnya, Fiona menghentikan langkahnya di depan meja kasir. "Aku pesan dua
Fiona menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Dia kemudian berdehem pelan sebelum kemudian berkata. "Loh, kamu benar-benar gak tau, Run? Mobilnya Mbak Zoya baru aja sampai di rumah kemarin sore!" beritahu Fiona dengan nada pura-pura terkejutnya."Kemarin banget ini, Mbak?" tanya Aruna memastikan. Fiona mengangguk sembari sekali lagi menyendok makan siangnya ke dalam mulut. "Benar-benar mobil baru, Mbak?" tanya Aruna sekali lagi. Dia benar-benar sanksi. Disela kunyahannya Fiona menganggukkan kepala dengan antusias. Dia semakin menuangkan bensin pada api yang sudah menyala. "Uhh. Bagus banget mobilnya. Mercedes-Benz warna hitam mengkilap," beritahu Fiona setelah menelan makanannya. Aruna memundurkan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai sibuk mengutak-atik iPhone di tangannya. Mungkin mencari bagaimana penampilan mobil yang dimaksud. Fiona tidak peduli. Dia sendiri memilih fokus dengan makanan yang ada di hadapannya. "Ini gak bisa dibiarin!" gumam Aruna yang samar-samar bisa
Matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan gelap yang terus beranjak naik. Lampu-lampu jalan juga telah dinyalakan untuk memberikan penerangan bagi sekitar. Semenjak suaminya menikah lagi, Fiona selalu pulang terlambat. Dia sengaja mampir di restauran, atau cafe terdekat terlebih dulu untuk makan malam. Sehingga ketika dia sampai di rumah nanti, dia tidak perlu berada di meja makan yang sama dengan pasangan pasutri baru itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Fiona tiba di rumah. Dia masih memarkir mobil bututnya di bahu jalan karena mobilnya ini tidak lagi memiliki tempat di garasi. Untung rumah mereka berada di ujung kompleks, dan jalanan di depan rumah tergolong lebar sehingga keberadaan mobilnya tidak perlu mengganggu pengguna jalan lain. Setelah menarik nafas panjang, dan menghembuskannya keras, Fiona mengunci mobilnya sebelum menyeret langkah kakinya ke dalam rumah. "Adik kamu kayaknya lebih butuh mobil deh daripada Zoya. Sekarang adik kamu
Begitu ruang tengah mulai terdengar sepi, Fiona mulai beranjak meninggalkan pintu kamarnya menuju kamar mandi. Setelah menemukan bahwa dirinya dikhianati, ini pertama kalinya Fiona merasa hatinya begitu ringan, dan berbunga-bunga. "Ini baru permulaan ya saudara-saudara," Fiona bermonolog sendiri sambil menatap wajahnya yang tersenyum licik dari balik cermin wastafel. "Waktunya menjalankan misi selanjutnya!" Fiona meraih benda pipih berbentuk persegi panjang yang hampir tidak pernah terpisahkan darinya itu. Ibu jarinya bergerak lincah di atas benda itu sebelum kemudian dia merapatkan si pipih itu ke telinganya. [Halo!] Sapa seseorang dari seberang. "Nau, gimana?"[Apanya?]"Kamu udah ngomong belum sama Max?" tanya Fiona sembari bergerak menuju bathtub, dan mulai mengisinya dengan air. [Udah. Dia udah setuju,]Senyum Fiona semakin lebar ketika mendengar kalimat positif ini. "Oke deh. Kamu jangan khawatir. Kalo rencana ini sukses, hasil jual mobilnya nanti dibagi 60 : 40, gimana?"
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t