Home / Horor / Mata Ketiga / Bab 5 Tumbal Anak Gadis

Share

Bab 5 Tumbal Anak Gadis

Author: Iping
last update Last Updated: 2021-10-17 23:45:29

Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.

“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.

Wanita itu sedang  menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.

“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.

Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.

“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.

Pak Bachtiar yang ditanya tetap berdiam diri. Dia keluar dari kamar menuju kamar mandi.

“Tumbal manusia ... tumbal manusia .... tumbal manusia ...” kata-kata itu yang masih terngiang di kepala Pak Bachtiar.

Dia tak mungkin menceritakan hal tersebut kepada istrinya. Namun, dia juga tak bisa menolak permintaan Mbah Parjo. 

Selama ini, dia dan istrinya sudah sangat beruntung bisa tinggal gratis di rumah Mbah Parjo. Mulai dari makan, minum, tidur, dan semua aktifitas dibebaskan dan gratis. Maka dari itu, Pak Bachtiar khawatir jika menolak tawaran Mbah Parjo, dia dengan istrinya disuruh keluar dari rumah ini.

Terus mau tinggal dimana? Tak ada saudara atau kenalan di Kota Solo. Lagipula, tak mungkin belik ke Wonogiri karena sudah habis semua hartanya di sana.

*

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Mbah Parjo, Pak Bachtiar, dan Cyntia terlihat duduk sambil menyantap sarapan pagi. Cyntia sudah memasak sayur lodeh dengan lauk ikan pindang goreng ditambah sambal terasi. Semua itu masakan kesukaannya Mbah Parjo. 

Mbah Parjo terlihat lahap menyantap sarapannya karena memang cocok sayur dan lauknya. Cyntia yang melihatnya hanya tersenyum kecil saja. Wanita itu lalu mengamati suaminya yang duduk di sampingnya. Berbeda dengan Mbah Parjo, Pak Bachtiar terlihat tidak berselera menyantap sarapannya pagi ini. Padahal biasanya dia selalu makan dengan porsi besar.

Cyntia melihat kegalauan di wajah suaminya. Seperti memikirkan sesuatu yang berat dan penting, tetapi belum tahu apa itu. Cyntia sampai menyenggol tangan Pak Bachtiar yang malahan terlihat melamun.

Mbah Parjo yang sudah selesai sarapan langsung pergi ke teras rumah. Biasanya dia segera menyalahan sebatang rokok kreteknya untuk dihisap.

“Kamu kenapa pak??” tanya Cyntia yang masih sarapan di meja makan.

Pak Bachtiar yang ditanya masih duduk dan diam saja. Pria itu masih belum bisa memberitahukan apa yang dipikirkannya kepada istrinya.

“Coba kamu cerita pak ..... ada apa sebenarnya??” tanya lagi Cyntia dengan nada lebih tinggi.

Pak Bachtiar lalu pergi dari meja makan menuju dapur. Padahal isi piringnya masih banyak karena hanya dimakan sedikit. Cyntia segera mengikuti suaminya ke dapur.

“Ngomong .... kamu itu lagi kenapa pak??” tanya lagi Cyntia yang semakin gregetan dengan tingkah suaminya.

Cyntia mengguncang-guncang tubuh Pak Bachtiar yang masih mematung tidak mau berkata apa-apa. Sebagai istrinya, tentu saja Cyntia khawatir dengan kondisi suaminya tersebut.

“Nunggu Mbah Parjo pegi dulu .... nanti tak ceritain ...” bisik Pak Bachtiar yang akhirnya bicara.

Cyntia menganggukkan kepalanya tanda paham maksud suaminya. Biasanya, Mbah Parjo pagi hari setelah sarapan akan pergi dengan mobil kesayangannya itu. Entah mau kemana orang itu. Sekitar satu jam baru pulang ke rumah.

“Aku keluar dulu ....” tutur Mbah Parjo mengagetkan Pak Bachtiar dan Cyntia.

Pak Bachtiar merasa merasa Mbah Parjo mengetahui semua yang dipikirkan dirinya beserta istrinya. Jadi, percuma saja menyembunyikan sesuatu dari Mbah Parjo.

“Iya mbah ....” tutur pasangan suami istri itu kompak sambil tersenyum tipis.

Setelah mendengar suara mesin mobil Volvo tua milik Mbah Parjo keluar dari pagar rumah, Cyntia segera menarik tangan suaminya diajak ke kamar. Pak Bachtiar manut saja diajak ke kamar. Cyntia langsung menutup pintu kamar.

“Sekarang cerita pak .... ada apa sebenarnya...?” tanya langsung Cyntia.

Pak Bachtiar menghela napas panjang, lalu duduk di kasur pembaringan. Dilihat dari wajahnya, pria itu kebingungan mulai menceritakannya dari mana.

“Kemarin ..... aku diajak Mbah Parjo ke sebuah tempat  bu .....” kata Pak Bachtiar memulai ceritanya. 

Cyntia mulai mendengarkan cerita suaminya dengan seksama. Dia tidak ingin ketinggalan sedikit pun ceritanya. Pastinya yang diceritakan suaminya sangat penting hingga membuat kebingungan dan kegalauan Pak Bachtiar.

*

Sudah satu jam lebih Pak Bachtiar bercerita panjang lebar tentang kepergiannya dengan Mbah Parjo. Cyntia yang mendengar semua ceritanya malahan ikut bingung dibuatnya. Sekarang, sepasang suami istri itu terlihat diam dan kalut dengan pikirannya masing-masing.

“Kamu turuti saja perintah Mbah Parjo pak ....” ujar Cyntia.

Pak Bachtiar menatap istrinya tajam sambil membelalakkan matanya.

“Tapi bu ..... tumbal manusia itu .....” tandas Pak Bachtiar.

“Nanti aku bantu pak ....” lanjut Cyntia sambil memegang tangan suaminya untuk meyakinkan dia atas tindakannya nanti.

Tak berselang lama, suara mesin mobil memasuki halaman rumah. Mbah Parjo sudah pulang dari bepergiannya. Pak Bachtiar dan Cyntia langsung bergegas keluar dari kamar menuju ke teras rumah mau menyambut Mbah Parjo.

Sosok kakek-kakek keluar dari dalam mobil sambil menenteng sekeranjan buah-buahan segar. Cyntia berlari kecil menuju Mbah Parjo ingin membantu membawakan buah-buahan tersebut. Setelah membawa keranjang buah itu, Cyntia langsung menuju ke dalam rumah.

“Bagaimana Bachtiar? Kamu dah pikirkan matang-matang penawaranku kemarin??” tanya Mbah Parjo sambil menyalakan rokok kreteknya.

Lalu, kakek tua itu duduk di kursi teras diikuti oleh Pak Bachtiar. 

“Saya mau melakukannya mbah ....” jawab Pak Bachtiar.

“Bassguuussss ..... hahahahaha ...... itu baru anakku...” ujar Mbah Parjo senang sekali mendengar jawaban itu.

“Lalu, bagaimana dengan istrimu itu ...??” tanya lagi Mbah Parjo.

“Dia juga setuju mbah ....” jawab lagi Pak Bachtiar.

Mbah Parjo tersenyum lebar sambil terus mengepulkan asap rokok dari mulutmnya. Dia juga mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda rencananya bisa sukses.

“Sekarang, aku beritahu kamu hal yang sangat penting ....” ucap Mbah Parjo mendekatkan mulutnya ke kuping Pak Bachtiar.

“Kamu harus mengambil darahnya lima tetes saja dan rambutnya 3 helai saja .....” bisik Mbah Parjo.

Pak Bachtiar yang mendengarnya perlu beberapa detik hingga memahami bisikan Mbah Parjo tersebut. Jadi, dia harus mengambil lima tetes darah dan tiga helai rambut dari tumbal anak gadis perawan yang dikorbankan tersebut.

Pak Bachtiar melototkan matanya tanda kaget dan mengangguk kecil tanda paham. Setelah itu, Mbah Parjo segera berlalu dan pergi ke dalam rumah meninggalkan Pak Bachtiar yang masih sibuk berpikir beragam hal di kepalanya. 

Perasaannya campur aduk. Mulai dari rasa takut, jijik, marah, dan senang. Sebuah proses kejam yang harus dilaluinya jika ingin hidup bahagia menurut versi Mbah Parjo. Sudah pasti versi bahagia cara setan yang jauh dari kata agama dan Tuhan.

*

Tiga hari sudah berlalu dan Pak Bachtiar masih kalut dengan pikirannya sendiri. Cyntia yang katanya mau membantu juga sampai sekarang belum memberikan kabar baiknya. Sementara itu, Mbah Parjo juga tidak banyak membantu perihal menemukan korban tumbal tersebut. Sepertinya, kakek tua itu ingin menguji sampai dimana kemampuan dan kekuatan Pak Bachtiar saat ditawari hal mengerikan semacam itu.

Terpaksa, hari ini Pak Bachtiar dan Cyntia mau keluar rumah untuk mencari gadis perawan yang mau ditumbalkan. Minimal dirinya mendapatkan informasi mengenai target yang ingin dieksekusi. Namun sebelum keluar dari rumah, Pak Bachtiar dan istrinya semalam sudah memetakan sedikit rencana yang harus dilakukan.

Pastinya, target wanita yang masih virgin atau perawan atau belum pernah berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya. Untuk bisa mengetahui masih perawan atau tidaknya, tidak ada cara lain selain bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Tugas yang satu ini dilakukan oleh Cyntia.

Setelah dipastikan wanita tersebut masih perawan, akan dibujuk dengan iming-iming uang atau lainnya agar mau ikut ke suatu tempat. Ditempat itulah wanita tersebut akan dihabisi dan dijadikan tumbal.

Jadi, ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh Pak Bachtiar dan Cyntia. Pertama, menemukan wanita yang masih perawan. Kedua, tempat atau lokasi untuk eksekusi. Semua hal sudah direncanakan tinggal pelaksanaannya saja yang menentukan berhasil tidaknya.

Tepat pukul 09.00 WIB, sepasang suami istri itu keluar rumah. Mereka sebelumnya sudah meminta izin kepada Mbah Parjo, dan kakek tua itu mempersilakannya. Mbah Parjo melihat Pak Bachtiar dan Cyntia berjalan keluar pagar rumah dengan tatapan dalam dan senyuman kecil.

Sebuah sekolah SMA di pinggiran kota yang dituju. Sebuah sekolah berbasis agama yang semua siswa perempuannya memakai kerudung. Menurut Cyntia, anak-anak sekolah SMA yang sekolah disitu sangat mungkin masih virgin karena pendidikan agamanya ketat. Oleh karena itu, Cyntia ingin mencari mangsanya disitu.

Masih pukul 10.00-an tetapi sebuah warung di seberang jalan sekolah terlihat ada beberapa siswinya nongkrong disitu. Cyntia ingin ke warung tersebut, sementara Pak Bachtiar menunggu di trotoar jalan di samping sekolah sambil terus mengawasi. Jika ada hal-hal yang tidak terduga terjadi, dia siap menghubungi Cyntia melalui handphonennya.

“Aku kesana dulu pak ....” ujar Cyntia.

“Iya ...” jawab singkat Pak Bachtiar.

Cyntia memakai kaos T-shirt dan celana jeans. Rambut panjangnya diikat dan memakai kacamata sebagai penyamaran. Dia membawa tas pinggang yang berisi buku catatans kecil beserta pulpennya. Ternyata, Cyntia menyamar sebagai seorang wartawati yang sedang bertugas di lapangan.

Sesampainya di warung tersebut, Cyntia langsung masuk dan duduk di bangkunya. Ada sekitar tiga siswi langsung menoleh kepadanya. Mungkin dikira ibu gurunya yang memergoki mereka membolos pelajaran.

“Pesen es teh manis satu bu...” ujar Cyntia memesan minuman kepada wanita penjaga warung.

“Kalian kok nggak masuk kelas? Kan belum pulang sekolah??” tanya Cyntia kepada salah satu siswi yang duduk di sampingnya.

“Lagi pelajaran kosong mbak ..... diberi tugas dan selesai, sambil nunggu pelajaran berikutnya kami ke warung dulu ....” terang siswi yang bermakeup cukup menor itu.

“Dia tugasnya belum selesai kok mbak .....” timpal siswi lainnya yang tak kalah menor dandanannya.

Setelah itu, terdengar keduanya tertawa cekikikan. Cyntia memperkirakan mereka itu siswi-siswi nakal. Dilihat dari dandannya yang menor dan perilakunya yang kurang sopan santun. Namun, ada satu siswi yang terlihat pendiam diantara mereka. Wajahnya cukup manis meskipun tanpa riasan yang menor seperti kedua temannya itu. Dia asik dengan HP di tangannya.

“Yuk masuk .... dah mau ganti pelajaran nih ....” ajak siswi yang duduk di dekat Cyntia.

“Giliran Laras yang mbayarin ini ....” tutur siswi menor yang satunya.

Cyntia memperhatikan tingkah polah mereka secara detail. Jadi, siswi pendiam itu bernama Laras. Cyntia membatin dialah calon korbannya.

Kedua teman Laras sudah duluan keluar dari warung dan bergegas masuk ke sekolah. Laras ditinggal dan harus membayari semua makan minum semuanya. Saat mengambil dompet dari saku bajunya, Cyntia mendekati Laras.

“Dik .... biar mbak saja yang mbayarin semuanya ....” tutur Cyntia ramah.

Laras terlihat melihat wajah Cyntia dan bengong untuk beberapa saat.

“Bener nih mbak ....?!” kata Laras lugu.

Cyntia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Tapi ..... kamu nemenin mbak dulu sebentar disini .... ada yang ingin mbak tanyakan ...” kata Cyntia.

Lalu, Cyntia mendekati Laras dan menepuk pundak siswi SMA itu. 

Wajah laras menoleh kepada Cyntia setelah ditepuk pundaknya. Seketika itu juga, pandangan Laras kosong. Cyntia tersenyum melihatnya.

“Kamu duduk sini dik ....” ajak Cyntia yang langsung dituruti Laras.

Ternyata, Cyntia baru saja menghipnotis Laras dengan tepukan tangannya di pundak Laras. Ilmu hipnotis tersebut dipelajari Cyntia saat masih di Wonogiri.

“Masih manjur juga ilmu hipnotisku ....” kata Cyntia dalam hati.

Cyntia menengok ke dalam warung. Ibu penjaga warung sambil membawakan segelas es teh manis pesanan Cyntia, lalu meletakkannya di meja.

“Mau makan mbak ... ada soto ayam disini ....” ujar sang penjaga warung menawari.

“Nggak dulu bu .... belum laper ....” jawab Cyntia berbasa-basi.

“Oya .... nanti makan minum adik-adik tadi saya yang mbayar bu ....” lanjut Cyntia.

“Ooo .... nggih mbak” kata wanita itu senang dan langsung menuju ke dalam warung.

Cyntia melirik pada Laras yang masih diam terpaku tak berdaya. Dia berpikir harus cepat melakukan tugasnya agar efek hipnotisnya tidak segera pudar. Apalagi ada di warung bisa kapan saja ada orang masuk dan mengganggu rencananya.

“Namamu Laras?” tanya Cyntia.

“Iya..” jawab singkat Laras.

“Mbak mau kasih satu pertanyaan saja dan adik harus menjawabnya dengan jujur” kata Cyntia.

Laras hanya menganggukkan kepalanya tanda paham.

“Apakah adik masih perawan??” tanya Cyntia.

Laras hanya diam saja dan tidak menjawabnya. Mungkin gadis itu masih bingung dengan kata perawan yang ditanyakan Cyntia.

“Apakah adik pernah berhubungan seks atau berhubungan intim dengan laki-laki?” Cyntia coba mengubah pertanyaannya.

“Belum ...” Laras menjawabnya.

Dalam hati, Cyntia begitu senang karena sudah menemukan gadis perawan untuk dijadikan tumbal. Segera dia menelpon Pak Bachtiar yang masih menunggu di seberang jalan.

“Aku menemukannya pak .... lalu bagaimana?”

“Kamu tunggu disitu dulu .... aku cari taksi dulu, nanti kesitu ....” kata Pak Bachtiar di HP.

Tak berselang lama, ada sebuah mobil berhenti di depan warung. Cyntia menengok keluar ternyata ada taksi biru di luar. Berarti suaminya sudah menunggu di dalam taksi.

Cyntia segera menggandeng tangan Laras untuk ikut dengannya. Tak lupa dia meninggalkan uang kertas Rp 100 ribu di meja warung.

Pintu samping belakang taksi sudah terbuka dan langsung masuk Cyntia dan Laras. Selanjutnya, mobil taksi bergegas meninggalkan warung tersebut.

*

Laras masih tertidur di kamar itu. Pak Bachtiar dan Cyntia menunggunya di luar. 

“Kapan kalian korbankan gadis itu??” tanya Mbah Parjo.

Ternyata, Laras dibawa ke rumah Mbah Parjo oleh sepasang suami istri itu. Rencana awla mereka untuk menemukan seorang gadis yang masih perawan sudah berhasil. Namun, rencana kelanjutannya, yaitu tempat dan waktu pengorbanannya belum ada.

Pak Bachtiar yang ditanya belum menjawab. Dia masih bingung dengan semua hal yang dialaminya hari ini. Untung ada Cyntia yang setia mendampingi serta mendukungnya. Jika tidak, mungkin Pak Bachtiar sudah menyerah duluan.

“Saya minta sarannya mbah ....” ujar Pak Bachtiar.

Mbah Parjo menghela napas mencoba untuk berpikir. Kepulan asap rokok masih terlihat di sekitar tubuhnya.

“Kalian tidak boleh membunuh gadis itu di rumah ini ....” terang Mbah Parjo.

Pak Bachtiar dan Cyntia saling bertatap mata.

“Kalian harus mencari tempat lain yang lebih aman ....” lanjut Mbah Parjo.

“Lalu .... dimana mbah ...?” tanya Pak Bachtiar.

“Tunggu dulu ...” ujar Mbah Parjo.

Selanjutnya, orang tua itu pergi ke dalam kamarnya yang terkesan gelap dan selalu tertutup. Bahkan, Pak Bachtiar dan Cyntia belum pernah sama sekali masuk ke dalamnya. Selain dilarang oleh Mbah Parjo, kamar tersebut juga memancarkan aura menyeramkan bagi yang mendekatinya. Cyntia yang tiap hari bertugas menyapu lantai rumah dan melewati pintu kamarnya merasa ada yang aneh dengan kamr tersebut.

Tak berselang lama, Mbah Parjo keluar dari kamarnya dan membawa sebuah buku kecil di tangan kanannya. Cyntia melihat Mbah Parjo lupa menutup pintu kamar seluruhnya, sehingga membuat celah yang bisa untuk melihat bagian dalamnya.

Cyntia coba melongok untuk melihat isi kamar Mbah Parjo karena kebetulan tempat berdirinya saat itu tidak jauh dari posisi kamar tersebut. Lagi ingin menengok sedikit isi kamarnya, ternyata Mbah Parjo mengetahuinya.

“Kalau penasaran, langsung masuk ke dalam saja ..... tapi kalau kamu nggak bisa keluar, jangan salahkan aku ....” ujar Mbah Parjo yang segera berbalik untuk menutup kamar tidurnya.

“I ...iya mbah ....ma ... maaf mbah ...” kata Cyntia terbata-bata.

Mbah Parjo lalu membuka buku kecilnya dan terlihat membolak-balikkan halamannya. Dia lalu tersenyum sendiri.

“Aku dulu pernah ditawari sebuah rumah di Baluwarti masih kompleks kraton sama orang ini,” terang Mbah Parjo.

“Sekarang ... kalian hubungi nomor orang ini ... siapa tau rumahnya belum laku” lanjut Mbah Parjo.

“Tanyakan rumahnya sudah laku atau belum? Kalau belum, mau dijual berapa?” perintah Mbah Parjo.

Pak Bachtiar segera menghubungi nomor telpon di buku yang dibawa Mbah Parjo dan menanyakan seperti yang diperintahkan.

“Rumahnya belum laku mbah .... katanya mau dijual dua ratus juta ...” kata Pak Bachtiar yang masih menenteng handphone di tangannya.

“Berikan HP mu Bachtiar, aku mai ngomong langsung sama dia ....” Mbah Parjo meminta handphone-nya dan segera diberikan Pak Bachtiar.

Terlihat Mbah Parjo terlibat sebuah percakapan dengan seorang pria yang diketahui pemilik sebuah rumah yang ingin dijual. Pak Bachtiar belum mengerti betul yang diinginkan Mbah Parjo. Apakah Mbah Parjo ingin membeli rumah atau bagaimana? Lalu, apa hubungannya dengan Laras yang ingin ditumbalkan?

*

Sudah pukul 23.00 WIB atau 11 malam. Sedikit kendaraan yang berlalu lalang karena sebagian besar manusianya sudah tidur. Sebuah mobil tua melintas di jalan raya. Di dalamnya duduk Pak Bachtiar, Cyntia, dan Laras yang masih dalam pengaruh hipnotis.

Mobil itu milik Mbah Parjo yang dipinjam untuk misi khusus Pak Bachtiar. Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang kelihatannya tidak ada penghuninya. Memang benar, rumah itu yang ingin dibeli oleh Mbah Parjo. Di rumah itulah, Laras sang gadis perawanakan dikorbankan untuk pesugihan kekayaan yang akan dilakukan oleh Pak Bachtiar. Dia sudah percaya dengan Mbah Parjo hingga mau menghabisi nyawa anak manusia hanya untuk dijadikan tumbal kesesatannya.

“Apapun yang terjadi .... malam ini harus selesai bu ....” tandas Pak Bachtiar.

Cyntia yang setia mendampingi suaminya itu mengangguk beberapa kali dan menghela napas. Mereka berdua sudah siap menghadapi apa saja meskipun taruhannya nyawa.

Selanjutnya, ketiga orang itu masuk ke dalam rumah dengan leluasa. Pasalnya, kunci rumah sudah diberikan oleh pemiliknya. Mbah Parjo berjanji akan membayar lunas rumah itu dalam beberapa hari.

Pak Bachtiar menyiapkan segala sesuatunya terlebih dulu untuk ritual yang akan dilakukannya. Beragam sesajen dan perlengkapan sudah siap dijejer di atas sebuah meja. Lalu, Laras dibawa masuk ke dalam ruangan yang sudah siap dengan sesajen tersebut. Cyntia menuntun gadis itu. Seluruh pakaian Laras dilepas hingga tidak ada sehelai kain pun di tubuhnya.

Tubuh Laras yang bugil itu disuruh tidur terlentang. Setelah itu, Cyntia keluar dari kamar dan meninggalkan suaminya beserta Laras.

“Pak ....” ucap Cyntia sebelum meninggalkan kamar.

Pak Bachtiar hanya mengangguk, lalu menutup pintu kamar. Cyntia keluar dari rumah itu karena tidak ingin melihat atau mendangar sesuatu yang mengerikan.

Sementara itu, Pak Bachtiar sudah bersiap melakukan ritual yang sudah diajari oleh Mbah Parjo. Sebilah keris sudah dicabut dari sarungnya, lalu Pak Bachtiar membaca mantra-mantra khusus yang dari secarik kertas. Tiba-tiba hawa di ruangan itu menjadi panas. Pak Bachtiar merasakan ada sesuatu yang memperhatikannya, tetapi tak terlihat. Itulah yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Setelah selesai membaca mantra, keris itu diangkatnya tinggi-tinggi lalu dihujamkan persis ke dada Laras, tepat di jantungnya. 

“Aaaaaarrrrrrrggggghhhhh ........” teriak Laras yang akhirnya sadar dari pengaruh hipnotis.

Namun sayang, sudah terlambat karena darah segera menyembur keluar dari dadanya dan deras menetes di lantai kamar. Akhirnya, Laras meninggal dunia dikorbankan menjadi tumbal.

“CABUT KERIS ITU ...” Pak Bachtiar seperti mendengar suara itu sayup-sayup.

“CABUT KERIS ITU ...” suara itu terdengar lagi.

Pak Bachtiar menuruti suara itu dan langsung mencabut keris yang masih menancap di tubuh Laras. Seketika itu, muncul bayangan hitam besar dan bermata merah di depannya wujud dari setan yang disembahnya. Sudah pasti Pak Bachtiar takut bukan main hingga terjatuh dan ingin bersembunyi.

“APA YANG KAMU MINTA ...” setan itu bertanya.

“APA YANG KAMU MINTA ...” kedua kalinya setan itu bertanya.

“A..a..aku mau uang banyaaaaakkkk....” teriak Pak Bachtiar.

“HAHAHAHAHAHA .........” sang setan tetawa dengan kencang.

Selanjutnya, setan itu menghilang dengan sendirinya. Pak Bachtiar lalu mendekati jasad Laras yang sudah tidak bernyawa itu. Dia ingat perkataan Mbah Parjo bahwa harus diambil rambut dan tetesan darah dari korban yang ditumbalkan itu.

Pak Bachtiar mengambil wadah kecil, lalu mencabut beberapa helai rambut Laras. Dia juga megambil beberapa tetes darah Laras yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah itu. Tak lupa dia menyarungkan lagi keris yang masih bersimbah darah itu.

Pak Bachtiar langsung membuka pintu kamar dan mencari istrinya.

“Bu .... bu .....!!” teriak Pak Bachtiar.

Untungnya rumah itu berada di pojok jalan yang kelihatannya rumah di sebelah dan depannya juga kosong.

Cyntia langsung masuk ke dalam rumah sambil terisak menangis.

“Pak .... kamu nggak apa-apa?” tanya Cyntia khawatir.

“Aku baik-baik saja bu ..... tapi mayat itu mau dikubur dimana bu??” tanya Pak Bachtiar yang kelihatan panik sekali.

Cyntia melihat jam di layar handphonennya. Sudah pukul 01.30 WIB. Tak mungkin membawa jasad yagn sudah mati itu sekarang. Bisa-bisa diketahui orang lain, apalagi polisi yang berpatroli malam.

“Aku lihat rumah ini ada halaman belakangnya pak ..... ayo kita periksa, siapa tahu ada tempat untuk menguburnya ....” kata Cyntia mengajak.

Suami istri itu lalu masuk ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh. Mereka menuju ke halaman belakang rumah yang ternyata masih terdapat tanah kosong yang tidak terawat.

“Ini pak ....” Cyntia memberikan senter kepada Pak Bachtiar.

Pak Bachtiar mengarahkan senter ke sekeliling halaman tersebut. Tanah kosong terhampar yang banyak tumbuh rumput dan ilalang. Beberapa pohon besar juga berdiri disitu. Senter Pak Bachtiar berhenti di dekat pohon besar. Lalu, dia mendekat kesitu.

“Ada sumur bu ....” kata Pak Bachtiar.

“Ya udah ..... dimasukkan ke situ saja pak ....” ucap Cyntia.

Pak Bachtiar mengernyitkan dahinya. Dia diam sejenak untuk berpikir.

“Baiklah ....” ucap Pak Bachtiar.

Kedua orang itu lalu balik ke dalam rumah. Pak Bachtiar menggotong mayat Laras yang sudah dibalut kain menuju sumur di halaman rumah. Tanpa rasa bersalah dan berdosa, mayat Laras itu langsung dilemparkan begitu saja ke dalam sumur hingga terdengar suara seperti benda besar jatuh dari ketinggian.

“Buurrrrrghhh ......” suara yang menandai kekejaman Pak Bachtiar yang sudah membunuh seorang anak gadis dan ingin menghilangkan jejaknya.

Setelah itu, Pak Bachtiar mengambil tanah dari pinggiran sungai dengan kedua tangannya untuk dimasukkan ke dalam sumur.

“Bantu aku bu ....!? Kubur dulu mayatnya dengan tanah!!” tandas Pak Bachtiar.

Cyntia yang dari tadi hanya bertugas menyoroti lampu senter sekarang ikut mengambil tanah dengan tanahnya untuk dimasukkan ke dalam sumur. Setelah beberapa saat, mereka berhenti dan tampak kelelahan dengan duduk di tanah. Lalu, Pak Bachtiar mengambil beberapa kayu dan dahan pohon untuk menutup sumur itu.

Cyntia hanya bisa melihat suaminya bekerja keras di depannya. Dia sudah sangat lelah dan lemah, sehingga tak mampu membantunya lagi. Cyntia melihat layar handphonennya lagi sudah hampir pukul 3 pagi.

“Pak ..... ayo ..... kita harus balik ....!?” ajak Cyntia.

Pak Bachtiar menoleh dan menatap tajam istrinya itu sambil tersenyum sinis. Cyntia menjadi takut sendiri melihat wajah suaminya seperti itu.

“Ayo .... kita pergi dari sini!!?” ucap Pak Bachtiar.

Lalu, suami istri itu langsung pergi meninggalkan rumah kosong tersebut untuk pulang ke rumah Mbah Parjo.

Related chapters

  • Mata Ketiga   Bab 1 Pengalaman Horor Pertama

    Namanya Lydia, dan sekarang sudah berumur 15 tahun. Dia hidup di sebuah desa di provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setiap hari dihabiskan waktunya untuk sekolah, bermain bersama teman, dan berkumpul bersama keluarga kecilnya. Hingga datanglah pada malam itu ........Selepas Maghrib, Lydia memang dibiasakan mengaji bersama adik semata wayangnya bernama Firman. Selesai melakukannya, dia kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya esok hari sekaligus belajar. Saat duduk di meja belajarnya, dia merasa ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari balik jendela kamar. Sosok wanita berambut panjang dengan sorot mata merah menyala.Saat melihat pertama kali, sudah pasti Lydia sangat takut. Namun, rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya. Langkah demi langkah dia berjalan mendekati jendela kamarnya. Hingga di dekat gordyn jendelanya, Lydia mengintip dari celah yang sangat sempit hanya berharap bisa memenuhi rasa penas

    Last Updated : 2021-08-21
  • Mata Ketiga   Bab 2 Sumur Tua

    Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari keci

    Last Updated : 2021-08-21
  • Mata Ketiga   Bab 3 Tolong Aku

    Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t

    Last Updated : 2021-08-21
  • Mata Ketiga   Bab 4 Panggil Aku Mbah Parjo

    “Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan

    Last Updated : 2021-08-21

Latest chapter

  • Mata Ketiga   Bab 5 Tumbal Anak Gadis

    Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.Wanita itu sedang menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar yang ditanya tetap ber

  • Mata Ketiga   Bab 4 Panggil Aku Mbah Parjo

    “Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan

  • Mata Ketiga   Bab 3 Tolong Aku

    Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t

  • Mata Ketiga   Bab 2 Sumur Tua

    Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari keci

  • Mata Ketiga   Bab 1 Pengalaman Horor Pertama

    Namanya Lydia, dan sekarang sudah berumur 15 tahun. Dia hidup di sebuah desa di provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setiap hari dihabiskan waktunya untuk sekolah, bermain bersama teman, dan berkumpul bersama keluarga kecilnya. Hingga datanglah pada malam itu ........Selepas Maghrib, Lydia memang dibiasakan mengaji bersama adik semata wayangnya bernama Firman. Selesai melakukannya, dia kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya esok hari sekaligus belajar. Saat duduk di meja belajarnya, dia merasa ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari balik jendela kamar. Sosok wanita berambut panjang dengan sorot mata merah menyala.Saat melihat pertama kali, sudah pasti Lydia sangat takut. Namun, rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya. Langkah demi langkah dia berjalan mendekati jendela kamarnya. Hingga di dekat gordyn jendelanya, Lydia mengintip dari celah yang sangat sempit hanya berharap bisa memenuhi rasa penas

DMCA.com Protection Status