Ternyata, sosok wanita rambut panjang itu tidak ada. Lydia hanya melihat kesunyian malam di mana rumah tetangga di kanan, kiri, dan depannya juga sepi. Jam-jam segitu memang tidak banyak orang-orang berlalu-lalang di kompleks perumahannya. Saat menengok ke samping kanannya .......
“Aaaaaaaaaaaaaaa .......” jeritan melengking Lydia terdengar hingga pelosok rumah.Suara derap kaki seperti orang berlarian dan berjalan terburu-buru terdengar. Ayah, ibu, dan adik Lydia masuk ke dalam kamar dan mendapatkan gadis itu pingsan di dekat jendela. Mereka mengerumuni Lydia dan berupaya menolong sekaligus membangunkannya.*
Hari sudah beranjak pagi. Matahari mulai menunjukkan sinar panasnya, meskipun jam dinding masih menunjukkan pukul 05.30. Lydia terduduk di sebuah pembaringan ditemani ibunya yang bernama Fanny. Rangkulan hangat ibunya diharapkan bisa mengurangi berat beban Lydia. Dua hari setelah peristiwa menyeramkan di kamar tidurnya, Lydia tidak berani lagi untuk tidur sendirian. Sebelumnya, dia tidur sendirian di kamar yang sudah ditempatinya selama 7 tahun ini. Setelah lulus kelas 3 SD, Lydia ingin tidur sendirian. Oleh karena itu, ayahnya Lydia yang bernama Sigit membuatkan kamar khusus untuknya yang sudah direnovasi. Kamar yang ditempati Lydia itu dulunya adalah garasi yang juga berfungsi untuk gudang.Lydia memang sudah tidak melihat sosok menyeramkan tersebut. Namun, hampir tiap malam dia diganggu dengan mimpi-mimpi yang tidak kalah menyeramkannya. Sekarang, dia tidur bersama ayah ibunya di dalam kamar. Selama dua hari ini, Lydia selalu bangun dini hari dan berteriak-teriak minta tolong. Untungnya, ada ayah ibunya yang berhasil menenangkannya. Setelah itu, dipastikan Lydia tidak akan tertidur lagi hingga pagi menjelang.“Apa yang harus kita lakukan? Kasihan anak kita ......” tutur melas sang ibu.Sementara itu, ayah Lydia hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Dia terlihat berpikir keras untuk mencarikan solusi dari masalah yang menimpa anak gadisnya tersebut.“Aku harus berbuat sesuatu bu ....... Aku akan cari orang yang tahu masalah seperti ini,” tandas ayah Lydia.
Setelah itu, pria yang bekerja sebagai sopir taksi itu segera bergegas ke luar rumah. Entah apa yang akan dilakukannya.Sementara itu, Lydia sudah jarang pergi ke sekolah. Padahal, tahun ini dia harus ujian nasional untuk lulus dari sekolahnya. Sang ibu memilih Lydia untuk home schooling saja, dikarenakan kesehatan jiwa anaknya itu masih terganggu. Ibunya takut Lydia mengidap paranoid atau ketakutan pada sesuatu yang begitu parah. Namun, belum ada niatan mendatangkan seorang psikiater ke rumah. Biarlah menunggu usaha sang ayah yang juga ingin menyelesaikan masalah ini.Pada malam itu, ayah Lydia pulang beserta seseorang. Dilihat dari penampilannya, orang tersebut seperti orang-orang pada umumnya. Namun kata pak Sigit, orang tersebut memiliki kemampuan untuk menangkap atau mengusir setan.“Katanya orang ini bisa mengusir setan bu ..... kita coba saja pada anak kita .....” bisik ayah Lydia pada istrinya.“Panggil saja saya Kromo ....” ucap orang itu sambil tersenyum.Selanjutnya, mulai dimulai ritual-ritual yang menurut Lydia cukup aneh. Pasalnya, dia belum pernah melakukan hal tersebut. Sebenarnya, Lydia juga ingin berbicara bahwa di dalam tubuhnya tidak ada setan. Namun, sosok menakutkan yang pernah dilihatnya itu berada di sekitar rumah ini. Lydia pun merasakan bahwa ‘dia’ masih bergentayangan.Pak Kromo masih terlihat komat-kamit seperti membaca sesuatu yang terlihat dari bibirnya. Sementara itu, di hadapannya duduk Lydia yang tenang dan mendengarkannya. Ayah, ibu, dan adiknya duduk di sekitar mereka berdua. Terlihat sesekali Pak Kromo melihat wajah Lydia dan mengerutkan dahinya. Mungkin dia heran kenapa belum ada reaksi seperti yang dilihatnya di televisi. Orang yang kerasukan setan atau roh jahat akan berbicara sendiri dan berperilaku aneh.Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Di tengah-tengah Pak Kromo sedang melakukan ritualnya, terdengar suara keras yang mengagetkan seluruh orang di situ.“Brrraaaaaakkkkkk .......” suara seperti ada yang jatuh di luar rumah.Seketika juga Pak Kromo berhenti. Sementara itu, Ayah melihat keluar rumah dari jendela. Lalu, dia memutuskan untuk ke luar rumah untuk melihat lebih dekat.Ada batang pohon di halaman rumah yang patah dan jatuh ke tanah. Memang, di halaman rumah itu ada pohon mangga yang cukup rimbun. Kenangan Lydia beserta adiknya saat kecil juga ada di pohon tersebut. Ayah lalu menyingkirkan batang itu ke pinggir. Sementara yang lainnya melihat dari dalam rumah, tidak ikut keluar. Lydia begitu kaget dan takut ketika di rerimbunan pohon mangga itu seperti ada yang duduk di sebuah batang. Hanya kelihatan bayangan hitam saja. Namun secara perlahan, Lydia melihat sepasang matanya mulai membuka dan warnanya merah menyala. Sosok yang ditakuti Lydia hadir lagi dan sekarang berada tepat di atas ayahnya.“Ibu .... ibu ..... dia datang lagi bu!!” ujar Lydia sembari mengapit erat tangan kiri ibunya.
“Siapa Lydia?! Tidak ada orang di sana .... hanya ada ayahmu saja di bawah pohon itu ....” lanjut sang ibu yang dibuat bingung.“Nggak bu ....!! Di situ, di atas ayah ada bayangan hitam berambut panjang dan bermata merah ......” tutur Lydia terbata-bata, lalu menutup kedua matanya.Ibunya segera merangkul dan membawa Lydia ke dalam. Sementara itu, Pak Kromo yang juga tidak melihat apa-apa, ikut ke halaman rumah menuju ayah Lydia. “Ada apa pak? Kenapa anak saya ketakutan seperti itu??” tanya ayah Lydia.“Kata anakmu, di atas bapak itu ada bayangan makhluk bermata merah .....” jawab Pak Kromo.Keduanya kompak mendongak ke atas. Tidak terlihat apa-apa di atas mereka. Hanya batang, ranting, dan daun mangga yang tertiup angin kecil. Namun, keanehan segara terasa. Ayah Lydia dan Pak Kromo merasakan angin yang berhembus terasa hangat dan semakin kencang.“Kenapa ini pak ....!?” tanya ayah Lydia ketakutan.Dia memegang tangan kiri Pak Kromo yang masih serius melihat di atasnya. Bibirnya kumat-kamit seperti membaca sesuatu. Seketika itu juga tidak ada hembusan angin lagi dan begitu sunyi tak ada suara.“Aaaaarrrggghhh ......” teriak Pak Kromo.Tubuhnya terlempar ke belakang beberapa meter. Dia melotot seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Tanpa mempedulikan pecinya yang jatuh, Pak Kromo segera lari ke dalam rumah. Sementara ayah Lydia, wajahnya menunjukkan ekspresi antara kebingungan dan ketakutan. Segera dia menyusul Pak Kromo, lalu menutup pintu rumahnya.Sehari setelah peristiwa menyeramkan itu, ayah Lydia menyuruh beberapa orang untuk menebang pohon mangga di halaman rumahnya. Tidak ada kejanggalan atau peristiwa aneh saat proses penebangannya. Lancar-lancar saja hingga seluruhnya dibakar habis tak tersisa.*
Setelah berkonsultasi dengan keluarga besar, diputuskan Lydia akan dipindah ke Jawa untuk melanjutkan sekolahnya. Ayah dan ibu Lydia tak mau putrinya tersebut bermasalah dengan studi sekolah, apalagi mendekati ujian nasional. Lydia akan bertolak menuju kota Solo, Provinsi Jawa Tengah. Di mana pamannya dari pihak ibunya Lydia bekerja dan tinggal di kota tersebut cukup lama.
“Jangan lupa salam untuk pamanmu di Solo dari ayah ibu di sini Lydia .....” tutur halus sang ibu.Lydia terlihat masih sibuk dengan barang bawaannya. Terlihat satu tas ransel cukup besar serta sebuah travel bag warna merah siap dibawanya. Ibunya yang sedari tadi memperhatikan Lydia senyum-senyum sendiri. Dia berharap masa depan anak gadisnya itu lebih cerah saat pindah ke Jawa. Khususnya keistimewaan dari Lydia yang memiliki ‘Mata Ketiga’ karena dapat melihat penampakan makhluk halus, semoga tidak menghalanginya meraih cita-cita di kemudian hari.Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Ayah Lydia terlihat berjalan cepat menuju ke dalam rumah.“Lydia ...... ayo berangkat!!” seru ayahnya.“Maaf nak .... ibu nggak bisa mengantarkan sampai bandara. Kamu akan diantarkan oleh ayahmu ....” ujar sang ibu.“Nggak apa-apa bu ...... doain Lydia ya bu ....” tutur gadis 15 tahun itu yang langsung memeluk ibunya.Setelah itu, Lydia masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya. Bersama sang ayah, Lydia diantarkan sampai di bandara. Dia akan terbang langsung menuju bandara Adi Sucipto Solo. Di sana sudah menanti pamannya yang akan menjemputnya.Lydia begitu bersemangat dan bergembira dengan perjalanannya tersebut. Dia sangat berharap ada perubahan dalam dirinya setelah tinggal di kota Solo nanti. Sambil melihat keluar melalui jendela mobil, Lydia melamun. Dia membayangkan masa kecilnya di sini hingga tumbuh seperti sekarang. Lydia baru tersadar dari lamunannya saat melihat di pinggir jalan yang dilalui mobil taksi itu seorang wanita berambut panjang. Dia berpakaian serba hitam dengan rambut terurai hingga pinggang. Lydia terus memperhatikannya dan sang wanita itu tertawa kepadanya. Dia teringat dengan sosok menyeramkan yang dilihat di rumahnya beberapa hari lalu. Meskipun hanya terlihat bayangannya, tetapi Lydia yakin sosok itu seorang wanita.“Berarti dia itu ......” bisik Lydia sambil memegang tangan ayahnya.“Ada apa Lydia??” tanya sang ayah.Lydia tidak menjawabnya dan hanya menggelengkan kepalanya. Perasaannya mengatakan bahwa dia akan tetap bisa melihat sosok-sosok menyeramkan seperti itu saat di Solo nanti. Namun demikian, Lydia sangat yakin dia bisa menghadapinya. Lagipula masih ada keluarga dan teman-teman barunya nanti yang siap mendampinginya.Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari keci
Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t
“Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan
Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.Wanita itu sedang menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar yang ditanya tetap ber