Beranda / Horor / Mata Ketiga / Bab 2 Sumur Tua

Share

Bab 2 Sumur Tua

Penulis: Iping
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-21 10:51:41

Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.

Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.

“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.

Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari kecil menghampirinya, sembari melambaikan tangan kanannya. Pria itu mengembangkan senyumnya dan terus menghampiri Lydia.

“Kamu dah lama nunggu, nduk?” tanya pria itu.

“Hayoo .... kamu mesti lupa sama aku tho?! Aku pamanmu, nduk?” ujar sang pria yang ternyata paman Lydia.

Untuk beberapa saat, Lydia dibuat bengong saat melihat pamannya tersebut. Dia mencoba mengingat-ingat sewaktu masih kecil, pamannya yang satu ini masih bertubuh kurus. Sekarang, mungkin sudah mempunyai berat badan lima kali lipatnya.

“Paman .....” ucap Lydia sambil mencium tangan kanan pamannya.

“Kamu mesti pangling (red-lupa) sama aku. Namaku Bachtiar, pamanmu. Terakhir aku melihatmu masih umur satu tahun. Dibawa sama bapak ibumu ke sini. Waktu itu kamu rewel banget lho ..... nangis terus. Kata orang pinter di sini kamu diikuti setan .....” kata Bachtiar.

Lydia terlihat mengerutkan dahinya mendengar cerita singkat pamannya. Sambil membenarkan kacamata minusnya, dia mencoba merangkai dan menganalisis cerita pamannya tersebut dengan beberapa kejadian horor yang dilihatnya waktu terakhir ini.

“Sudah lah .... ceritanya disambung nanti saja di rumah. Sekarang, ayo pulang. Paman bawa mobil sendiri” ajak paman Lydia.

Selanjutnya, Lydia dan pamannya bergegas pulang ke rumah. Perjalanan dari bandara udara menuju rumah Bachtiar cukup jauh. Lydia terlihat terus menerus menolehkan pandangannya di kaca mobil. Dia melihat ramai lalulintas dan hiruk pikuk kota Solo yang makin lama membuatnya pening. Mungkin tak ada bedanya dengan kota-kota besar di Indonesia, di mana banyak kendaraan bermotor, lalulintas padat, polusi udara, dan tentu saja udara panas menyengat. Beruntung AC mobil paman Lydia cukup dingin untuk menghalau hawa panas di luar sana.

Ternyata, rumah Bachtiar masih satu kompleks dengan Keraton Kasunanan Solo. Alamatnya di Kampung Gondorasan, Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. Orang-orang di sini lebih akrab menyebut lokasi tersebut ‘Njero Beteng’, yang artinya di dalam sebuah beteng. Memang benar, kompleks keraton ini berada di dalam sebuah benteng dengan tembok besar dan tinggi mengelilinginya. Pada empat arah mata angin terdapat Lawang Gapit pintu besar sebagai jalan keluar masuk orang-orang. Sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat Lydia di Kalimantan sana.

Entah kenapa, Lydia mulai gelisah dan merasakan ketidakenakan pada dirinya semenjak masuk kawasan keraton ini. Apalagi semakin mendekati rumah pamannya, sepertinya ada yang memperhatikan dirinya. Namun, sosok yang memperhatikannya itu tidak kasat mata. 

“Ayo, masuk dulu Lydia. Saya kenalkan sama bibimu yang mungkin kamu belum mengingatnya”, ujar Bachtiar.

Lydia semakin merasakan keanehan saat memasuki rumah pamannya. Dia lalu bertemu dengan istri pamannya yang diketahui bernama Cyntia. Setelah berjabat tangan dan sedikit berbasa-basi, akhirnya Lydia dapat beristirahat di dalam kamar. Namun, perasaan takut bercampur gelisah lagi-lagi datang menghampirinya. Gadis belia itu memaksakan diri untuk menutup kedua matanya dan terlelap tidur. Rasa capeknya mau tidak mau membuat Lydia sejenak melupakan semua pengalaman horornya saat melakukan perjalanan dari Kalimantan sampai Solo.

*

Kedua mata Lydia masih terpejam. Namun, dibalik mata tersebut terlihat bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Pertanda pemiliknya sedang mengalami sesuatu yang hebat. Sesuatu yang membuatnya gelisah hingga ketakutan. Memang benar, Lydia sedang bermimpi di dalam tidurnya.  Mimpi kali ini tidak menyeramkan seperti biasanya. Gadis berparas ayu itu memang sebulan ini sering bermimpi aneh. Terkesan menakutkan, tetapi sosok makhluk yang ada mimpinya masih berwujud manusia. Entah sosok tersebut setan atau bukan, yang penting ingin berkomunikasi dengan Lydia. Untuk urusan yang ini, Lydia belum memberitahukan siapa pun. Bahkan, orang tuanya di Kalimantan juga belum mengetahuinya. Sepertinya mata batin atau indra keenam Lydia mulai terbuka. Hal itulah yang membuatnya bisa melihat makhluk gaib, seperti setan, jin, hantu, makhluk astral, atau apapun namanya. Lydia pun sedikit demi sedikit mulai paham bahwa kelebihan pada dirinya merupakan pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, dia berkomitmen untuk selalu menjaga dan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Tuhan tak akan memberikan kelebihan dan kekuatan kepada hamba-Nya, jika tidak ada alasannya.

“Tolooong akuuuu ......” terdengar suara lirih.

Lydia masih bermimpi dan dia seperti di sebuah ruangan yang gelap gulita. Suara seorang wanita yang didengarnya tersebut tak jauh dari tempat berdirinya sekarang. Saat menengok kanan kiri, yang ada hanya warna hitam. Tiba-tiba ....

“Tolooong akuuuu ......” suara itu terdengar lagi.

“Aaaarrgh ....” jerit Lydia.

Sebuah tangan memegang pundak kanan Lydia. Sontak Lydia kaget dan langsun8g menghindar untuk berlari. Namun, suara itu terdengar lagi dan memelas minta pertolongan. Untuk yang kesekian kalinya, Lydia memberanikan diri untuk menemuinya. Dia menunggu suara itu memanggilnya dan ingin melihat sosoknya.

“Tolooong akuuuu .....” suara memelas minta tolong itu terdengar lagi.

Untuk yang ini, Lydia hanya tenang saja meskipun masih takut. Pundak kanannya lagi-lagi dipegang tangan. Lydia pelan-pelan memalingkan mukanya untuk melihat wajah sosok wanita yang memanggilnya itu. Ternyata, wanita yang memanggilnya itu hanya terlihat bagian rambut panjangnya yang terburai di depan menutupi wajahnya. 

“Siapa kamu .....?” tanya Lydia.

“Sumur .... belakang rumah ......” tutur sosok wanita itu.

Sekejap semuanya menghilang. Lydia baru terbangun dari tidurnya, seperti ada yang membangunkannya. Namun, di tengok kanan kiri tak ada siapa pun. Masih terngiang di ingatannya peristiwa dalam mimpinya. Mulai dari sosok wanita misterius yang meminta tolong, hingga keberadaan sumur di belakang rumah.

Dilihat jam di smartphone-nya menunjukkan pukul 16.05. Berarti hampir lima jam dirinya tertidur. Lalu, Lydia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Beruntung sekali kamar tidurnya sudah dilengkapi dengan kamar mandi dalam, sehingga lebih mudah menjangkaunya.

“Sudah bangun, Lydia?” tanya pamannya yang melihat sang keponakan sudah duduk manis di ruang tamu.

“Iya, paman ...” jawab Lydia.

“Bagaimana kondisimu? Sudah lebih enakan setelah bangun tidur, kan?” ujar Bachtiar.

Lydia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

“Apakah di belakang rumah ada sumur, paman?” tanya Lydia.

Bachtiar yang baru saja duduk di dekat Lydia sempat kaget.

“Bagaimana kamu tahu? Padahal paman belum bercerita sama kamu?!” kata Bachtiar merasa aneh.

“Mmmm .... nebak aja paman. Biasanya, model rumah seperti ini punya sumur timba di belakang rumah .....” jawab Lydia seadanya.

“Tebakanmu benar. Di belakang rumah ini memang ada sumur, tetapi sudah tak terpakai. Sudah lama paman tutupi karena juga sudah nggak ada airnya lagi. Sekarang, rumah ini sudah pake air ledeng dari PAM” lanjut Bachtiar.

“Kamu mau lihat sumurnya?” Bachtiar menawari Lydia.

Lydia terlihat mengerutkan dahinya dan langsung mengangguk mengiyakan. Rasa penasarannya akan segera terobati, setelah bisa melihat sumur tua di belakang rumah pamannya. Selanjutnya, Bachtiar dan Lydia segera menuju halaman di belakang rumah. Lydia melihat halaman belakang rumah pamannya masih berupa tanah kosong yang dibatasi dengan tembok tinggi. Di pinggiran tembok pembatas itu, tumbuh beberapa pohon pisang. Sementara itu, di pojok bagian kanan Lydia melihat bangunan seperti sumur yang sudah ditumpuki dengan kayu-kayu besar di atasnya. Tangan kanan Bachtiar menunjuk sumur tua itu.

“Jangan mendekat ke sana Lydia .....!!” perintah Bachtiar saat melihat gelagat keponakannya mau mendekati sumur tua tersebut.

“Kenapa paman?” tanya Lydia penuh selidik.

Bachtiar terlihat kebingungan mencari alasan untuk menjawab pertanyaan keponakannya.

“Mmmmhhhh ...... ini sudah sore Lydia. Sebentar lagi Magrib. Menurut orang Jawa, tidak baik keluyuran sore hari apalagi seorang gadis kaya kamu. Ntar ada yang mengganggu ....” jawab Bachtiar sembari bercanda.

Lydia patuh saja dengan perkataan pamannya. Namun demikian, Lydia masih sangat penasaran dengan keberadaan sumur tua tersebut. Apakah masih berhubungan dengan mimpinya? Lalu, kenapa Bachtiar mencegahnya mendekati bangunan tersebut? Semua pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Lydia. Di lubuk hatinya terdalam, Lydia percaya ada ‘sesuatu’ yang harus ditolongnya. Sesuatu yang ada di dalam sumur tua itu.

Bab terkait

  • Mata Ketiga   Bab 3 Tolong Aku

    Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Mata Ketiga   Bab 4 Panggil Aku Mbah Parjo

    “Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • Mata Ketiga   Bab 5 Tumbal Anak Gadis

    Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.Wanita itu sedang menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar yang ditanya tetap ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-17
  • Mata Ketiga   Bab 1 Pengalaman Horor Pertama

    Namanya Lydia, dan sekarang sudah berumur 15 tahun. Dia hidup di sebuah desa di provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setiap hari dihabiskan waktunya untuk sekolah, bermain bersama teman, dan berkumpul bersama keluarga kecilnya. Hingga datanglah pada malam itu ........Selepas Maghrib, Lydia memang dibiasakan mengaji bersama adik semata wayangnya bernama Firman. Selesai melakukannya, dia kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya esok hari sekaligus belajar. Saat duduk di meja belajarnya, dia merasa ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari balik jendela kamar. Sosok wanita berambut panjang dengan sorot mata merah menyala.Saat melihat pertama kali, sudah pasti Lydia sangat takut. Namun, rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya. Langkah demi langkah dia berjalan mendekati jendela kamarnya. Hingga di dekat gordyn jendelanya, Lydia mengintip dari celah yang sangat sempit hanya berharap bisa memenuhi rasa penas

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21

Bab terbaru

  • Mata Ketiga   Bab 5 Tumbal Anak Gadis

    Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.Wanita itu sedang menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar yang ditanya tetap ber

  • Mata Ketiga   Bab 4 Panggil Aku Mbah Parjo

    “Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan

  • Mata Ketiga   Bab 3 Tolong Aku

    Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t

  • Mata Ketiga   Bab 2 Sumur Tua

    Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari keci

  • Mata Ketiga   Bab 1 Pengalaman Horor Pertama

    Namanya Lydia, dan sekarang sudah berumur 15 tahun. Dia hidup di sebuah desa di provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setiap hari dihabiskan waktunya untuk sekolah, bermain bersama teman, dan berkumpul bersama keluarga kecilnya. Hingga datanglah pada malam itu ........Selepas Maghrib, Lydia memang dibiasakan mengaji bersama adik semata wayangnya bernama Firman. Selesai melakukannya, dia kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya esok hari sekaligus belajar. Saat duduk di meja belajarnya, dia merasa ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari balik jendela kamar. Sosok wanita berambut panjang dengan sorot mata merah menyala.Saat melihat pertama kali, sudah pasti Lydia sangat takut. Namun, rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya. Langkah demi langkah dia berjalan mendekati jendela kamarnya. Hingga di dekat gordyn jendelanya, Lydia mengintip dari celah yang sangat sempit hanya berharap bisa memenuhi rasa penas

DMCA.com Protection Status