“Janjimu dulu harus kau tepati Bachtiar ...” ucap Mbah Parjo sambil menghisap rokok kreteknya.
“I ..iya mbah, saya dah berjanji ...” jawab Pak Bachtiar.“Nah ... sekarang, aku menagih janjimu itu ...” lanjut Mbah Parjo melirik Pak Bachtiar yang ada di sampingnya.Terlihat Pak Bachtiar menghela napas panjang. Matanya menatap ke kaca mobil di depannya. Pikirannya kembali ke lima tahun yang lalu. Dimana dia dan istrinya baru saja sampai di kota Solo untuk mengadu nasib. Bertemulah sepasang suami istri itu dengan Mbah Parjo yang sempat menolongnya.Mbah Parjo mengajak Pak Bachtiar dan istrinya ke rumahnya di daerah Pasar Kliwon, Solo. Sebuah gerbang besar dilewati mobil yang ditumpangi ketiga orang itu, lalu berhenti di depan rumah Joglo besar, rumah adat Jawa kuno. Pak Bachtiar turun dari mobil dan melihat sekelilingnya. Dia melihat sebuah rumah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi, seperti benteng. Halaman cukup luas di depan rumah. Sementara itu, ada beberapa pohon besar berada di sekitar rumah.“Ayo masuk ....” ajak Mbah Parjo.Pak Bachtiar dan istrinya menganggukkan kepala dan mengikuti orang tua yang ada di depannya masuk ke dalam rumah.“Ayo ... silakan duduk”, Mbah Parjo mempersilakan.“Aku tinggal sendiri di rumah ini .... kalian lihat sendiri kan sepi sekali rumah ini” terang Mbah Parjo lalu menyalakan rokok kreteknya.“Kalian berdua namanya siapa??” tanya Mbah Parjo.“Nama saya Bachtiar pak .... ini istri saya, namanya Cyntia” jawab Pak Bachtiar.“Panggil ak Mbah Parjo ... ya ...” tutur Mbah Parjo sambil tersenyum.“Nggih mbah ...” jawab lagi Pak Bachtiar.Singkat cerita, Mbah Parjo mempersilakan Pak Bachtiar dan istrinya tinggal dan menginap sementara di rumahnya yang besar tersebut. Sudah pasti suami istri langsung mengiyakan karena uang atau harta simpanannya tinggal sedikit. Selain itu, mereka berdua tidak memiliki sanak saudara atau teman di Solo. Di sana Pak Bachtiar membantu membersihkan rumah beserta halaman rumah Mbah Parjo yang luas itu. Sementara Cyntia, dia membantu memasak dan mempersiapkan semua konsumsi yang dibutuhkan.Mbah Parjo diketahui hanya tinggakl seorang diri di rumah. Istrinya sudah meninggal dan tidak memili anak. Untuk makan dan minum sehari-hari, Mbah Parjo membeli dari warung sebelah rumahnya alias tetangganya sendiri.“Jadi, Yu Jum (pemilik warung) itu tiap pagi nganterin makanan dan minuman ke sini untuk aku. Ditinggal di sini .... besok baru wadahnya diambil lagi, sambil nganterin makanan yang baru untukku ...” terang Mbah Parjo saat itu menjelaskan kepada Pak Bachtiar dan istrinya.Mbah Parjo sendiri yang menyapu atau sekedar membersihkan barang-barang rumah semampunya saja. Sementara untuk halaman rumahnya, Mbah Parjo biasanya menyuruh tetangganya juga seminggu sekali membersihkannya.“Umurku sudah enampuluh tahun lebih ... tinggal sendiri .... ya beginilah keadaannya, hahaha ...” tutur Mbah Parjo sambil tertawa terkekeh.Pak Bachtiar dan istrinya manggut-manggut saja mendengar perkataan Mbah Parjo. Dalam hati kecilnya, Pak Bachtiar membatin di mana Mbah Parjo mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pasalnya, Pak Bachtiar melihat orang tua itu tidak bekerja sama sekali dan hanya beraktivitas di rumahnya saja. Mungkin hanya keluar rumah sesekali sambil mengendarai mobil Volvonya yang lawas itu.Pak Bachtiar dan istrinya sudah tinggal di rumahnya Mbah Parjo 15 hari. Mereka berdua merasa senang karena semua kebutuhannya selalu terpenuhi dan diberikan gratis oleh Mbah Parjo. Pada suatu pagi saat Pak Bachtiar mau membersihkan halaman rumah.“Bachtiar .... ayo ikut aku!!?” kata Mbah Parjo sedikit teriak.Pak Bachtiar yang mendengarnya langsung mendatangi Mbah Parjo dengan berlari-lari kecil.“Mau kemana Mbah??” tanya Pak Bachtiar bingun. Tumben sekali Mbah Parjo mengajaknya keluar rumah. Sejak datang ke rumah ini hingga saat ini, Pak Bachtiar dan istrinya belum pernah keluar dari gerbang rumah ini.“Dah ... nggak usah banyak tanya kamu .... ikut aku saja sekarang?!” tandas Mbah Parjo.“Saya ganti baju dulu mbah ...” tutur Pak Bachtiar.“Nggak usah .... itu saja, ayo masuk mobil cepat” lanjut Mbah Parjo.Mbah Parjo dan Pak Bachtiar masuk ke dalam mobil. Lalu, mesin mobil menyala dan mulai berjalan meninggalkan rumah.Cyntia yang mengetahui suaminya pergi bersama Mbah Parjo agak terkejut dan heran.“Mau kemana itu bapak e sama Mbah Parjo??” lirih suaranya bertanya-tanya sendiri.*
Tempat itu begitu teduh dan sepi. Banyak pohon kamboja tumbuh di situ yang membuat suasana semakin horor atau menakutkan. Sebuah tempat yang mungkin sebagian besar orang tak ingin mengunjunginya. Namun, berbeda dengan Mbah Parjo dan Pak Bachtiar yang ternyata mengunjunginya. Tempat itu adalah kompleks pekuburan atau pemakaman.
Berbeda dengan komplek pekuburan lainnya yang biasanya banyak kuburan di situ. Pekuburan yang ini hanya ada beberapa kuburan dan jarak antara satu dengan lainnya berjauhan. Mbah Parjo menghentikan mobilnya. Dia keluar dari mobil dan langsung diikuti Pak Bachtiar.“Ngapain Mbah Parjo mengajakku ke sini??” tanya Pak Bachtiar dalam hati.Dia tak langsung menanyakannya kepada Mbah Parjo karena memang tidak enak hati.“Ayo ikuti aku ...” ajak Mbah Parjo.Mbah Parjo jalan duluan diikuti Pak Bachtiar di belakangnya. Mereka berdua melewati beberapa kuburan yang terlihat tidak terawat lagi. Berjamur, kotor, dan banyak guguran daun kering di atasnya. Ternyata, sebuah rumah kecil yang ditujunya. Tanpa mengetuk pintu atau permisi, Mbah Parjo langsung membuka pintu dan masuk ke dalamnya.Pak Bachtiar masih mematung di depan pintu sambil celingukan, seperti orang bingung. Dia masih ragu dan bingung dengan tempat tersebut.“Ayo masuk dulu .... nanti aku ceritakan ...” tutur Mbah Parjo.Setelah masuk, Pak Bachtiar baru paham kalau rumah ini merupakan tempat untuk bertapa, pemujaan spiritual, melakukan ritual perdukunan, atau sejenisnya. Pasalnya, di dalam rumah Cuma ada satu ruangan, dan di tengah ruangannya ada meja kecil yang di atasnya terdapat beragam barang serta pernak-pernik perdukunan, seperti keris, bunga setaman, patung-patung kecil, tempat menyan, dan lain sebagainya.“Mbah Parjo mau ngapain ya??!” batin Pak Bachtiar.“Mari duduk sini ....” ajak Mbah Parjo.“Kamu pasti bingung dengan tempat ini .... inilah tempat aku bersemedi dan melakukan ritual khusus ....” lanjut Mbah Parjo.“Jadi ... jenengan itu dukun mbah??” tanya Pak Bachtiar polos.“Hahahaaahhaaa ......” Mbah Parjo malahan tertawa kencang.“Ya seperti itulah, hahaha .... bisa juga disebut dukun ....” ujar kakek tua itu.Setelah suara tertawa Mbah Parjo hilang, diganti dengan suasana hening. Mbah Parjo memulai ritual perdukunannya. Dia menyalakan menyan di hadapannya. Lalu, mengambil keris dan mengeluarkannya dari sarungnya. Sambil berucap sesuatu yang tidak begitu jelas, seperti mantra atau sejenisnya. Mbah Parjo menyembah-sembah keris tersebut.“Inilah pusakaku .... keris Ki Langgeng !!” katanya sambil mengangkat tinggi-tinggi keris itu.“Semua kekayaan, kesehatan, panjang umur, dan semua yang aku miliki sekarang ..... karena keris ini, Bachtiar .....” lanjutnya.“Kamu sekarang ngerti tho ....!?” tanya Mbah Parjo yang disambut dengan anggukan Pak Bachtiar.“Kalau kamu ingin kaya raya, banyak harta, sehat terus, dan ingin umur panjang ..... keris ini bisa mengabulkan semua keinginan kamu ....” terang Mbah Parjo.“Tapi .... mendapatkan keris ini nggak gratis .... ada ritual dan pantangannya .... sekarang aku tanya, kamu pengin kaya dan punya uang banyak??” tanya Mbah Parjo.Dijawab anggukan Pak Bachtiar.“Kamu mau memiliki keris ini??!” ditanya lagi.“Mmmm ...mau .... mbah...” jawab Pak Bachtiar.“Kalau mau .... kamu harus mengorbankan satu nyawa manusia untuk keris ini!!!” tandas Mbah Parjo.“Hhhaaaah ......” pekik Pak Bachtiar kaget.*
Mobil Volvo tua yang di dalamnya ada Mbah Parjo dan Pak Bachtiar sudah memasuki halaman rumah. Cyntia yang mengetahuinya langsung lari tergopoh-gopoh menyambutnya. Mbah Parjo keluar dari mobil langsung masuk ke dalam rumah, tanpa berkata apa-apa. Cyntia melihat suaminya keluar dari dalam mobil, wajah Pak Bachtiar tegang dan bingung.
“Pak ... ada apa tho? Kamu tadi kemana sama Mbah Parjo?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar hanya diam saja. Dia melamun dan masih memikirkan omongan Mbah Parjo. Tumbal nyawa manusia menjadi kalimat yang sangat ditakutinya. Dia ingin menjadi kaya raya agar bisa membahagiakan istrinya. Namun, harus menumbalkan nyawa manusia ..... sebuah pekerjaan yang menakutkan.“Paaakk .... Paaaakk ee ....” teriak Cyntia yang masih ngotot memanggil Pak Bachtiar.Cyntia belum mengetahui rahasia dari Mbah Parjo. Namun sebentar lagi, dia akan diberitahu semuanya oleh Pak Bachtiar. Semuanya .... tak terkecuali perihal tumbal nyawa manusia.Pagi itu di rumah Mbah Parjo suasana masih hening. Hanya terdengar kicauan burung perkutut dan kokokan ayam jantan bersahutan. Lampu di teras rumah Mbah Parjo masih menyala yang berarti para penghuninya masih terlelap tidur atau ada aktifitas lainnya.“ Aaahh ... aaahh .... ayo pak lebih cepet .... ak dah mau keluar ..... ssttttt... ssttttt” bisik Cyntia sambil terus berdesis seperti ular.Wanita itu sedang menikmati saat-saat bercinta dengan suaminya tercinta. Pak Bachtiar masih terus bergerak dan semakin cepat. Tanpa suara sedikit pun dan terus menuntaskan tugasnya hingga memuncak.“Uuuhhh ... paaakk ....” kata Cyntia lirih.Keduanya tidur berdampingan dengan sisa-sisa keringat dan keletihan yang masih dirasakan. Lalu, Pak Bachtiar beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Dia meninggalkan istrinya yang masih sedikit tersengal-sengal selepas aktifitas pagi hari itu.“Kemarin sama Mbah Parjo kemana pak?” tanya Cyntia.Pak Bachtiar yang ditanya tetap ber
Namanya Lydia, dan sekarang sudah berumur 15 tahun. Dia hidup di sebuah desa di provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setiap hari dihabiskan waktunya untuk sekolah, bermain bersama teman, dan berkumpul bersama keluarga kecilnya. Hingga datanglah pada malam itu ........Selepas Maghrib, Lydia memang dibiasakan mengaji bersama adik semata wayangnya bernama Firman. Selesai melakukannya, dia kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan keperluan sekolahnya esok hari sekaligus belajar. Saat duduk di meja belajarnya, dia merasa ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari balik jendela kamar. Sosok wanita berambut panjang dengan sorot mata merah menyala.Saat melihat pertama kali, sudah pasti Lydia sangat takut. Namun, rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya. Langkah demi langkah dia berjalan mendekati jendela kamarnya. Hingga di dekat gordyn jendelanya, Lydia mengintip dari celah yang sangat sempit hanya berharap bisa memenuhi rasa penas
Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari keci
Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan t