Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku.
"Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku. "Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku. "Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku. "Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara ketakutan dan kemarahan menguasai diriku. Bobi menyeringai, seolah menikmati momen ini. "Kau tanya aku mau apa? Aku akan menghajarmu sampai puas!" Ucap Bobi. "Apa salahku?" Tanyaku dengan gemetar. "Apa salahmu? Gara-gara kau melaporkanku pada Pak Udin, aku dihukum lari 20 keliling lapangan di bawah terik matahari. Itu sangat melelahkan, tau! "Tapi itu salahmu! Aku tidak mengadu, Pak Udin yang bertanya padaku!" jawabku dengan suara yang berusaha tegar, meski ketakutan masih menyelimuti hatiku. Aku teringat jelas kejadian di sekolah siang tadi saat jam istirahat. Bobi dan dua temannya menyeretku ke halaman belakang sekolah. Riko dan Jejen memegang tanganku dengan kuat, tak memberi ruang untuk melawan. "Matamu bagus sekali. Satu biru, satu hijau. Seperti mata kucing. Atau jangan-jangan kamu keturunan alien?" Bobi melontarkan ledekan, tawanya menggelora di udara. Tiba-tiba, ia menengadahkanku, jari-jarinya menahan kelopak mataku agar tak bisa terpejam. "Mari kita lihat apa yang terjadi kalau mata seperti ini diberi sinar matahari!" serunya, dan aku terpaksa menatap matahari yang begitu menyilaukan. Air mata mulai mengalir dari sudut mataku, kepalaku terasa berputar, dan rasa pedih menjalar. Aku memberontak, tetapi Riko dan Jejen menahan tubuhku, tawa mereka menggelegar di sekelilingku. Waktu terasa terhenti. Dalam hitungan detik, rasa pusing menyergapku, dan aku merasakan tangan mereka mulai melepaskanku. Suara tawa mereka semakin menjauh, langkah kaki meninggalkanku dalam kegelapan. Aku terduduk, memejamkan mata, berusaha meredakan dunia yang berputar. Ku rasakan diriku terjatuh berkali-kali sebelum akhirnya bisa berdiri. Namun, pandanganku semakin kabur. Aku berhasil masuk ke kelas walau dengan langkah sempoyongan. Bel berbunyi, menandakan istirahat telah usai. Kepalaku berdenyut-denyut, gelap menutupi pandanganku, sampai semuanya benar-benar hitam. "Apakah aku buta?" pikirku, ketakutan menyelubungi hatiku. Aku terus mengucek mataku. Suara langkah kaki mendekat; aku mengenali suaranya, Pak Udin. "Thomas, kamu kenapa?" tanyanya. "Aku tak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap." jawabku, suaraku bergetar. "Apa yang terjadi?" tanya Pak Udin. "Tadi Bobi, dia memaksaku melihat matahari," kataku dengan napas terputus-putus. "Astaga, Bobi! Apa yang kamu lakukan? Itu sangat berbahaya! Bagaimana jika Thomas jadi buta?" kemarahan Pak Udin membahana, memecah kesunyian. "Tedi, tolong bawa Thomas ke Ruang UKS. Beritahu anggota PMR, minta mereka melakukan penanganan segera!" perintahnya tegas. Tedi membopongku, langkahnya tergesa-gesa menuju Ruang UKS. Di sana, aku diberi obat tetes mata dan disuruh memejamkan mata, beristirahat dalam kegelapan yang menyesakkan. "Heh! Tetap saja itu namanya kamu melapor kepada guru!" teriak Bobi, membuyarkan lamunanku. Ketakutan menyergapku. Apa yang harus kulakukan? Aku berpikir keras, lalu dengan spontan, aku berkata, "Memalukan! Beraninya keroyokan. Kalau mau, kita satu lawan satu." Walau aku tahu, hasilnya mungkin aku akan tetap dihajar Bobi. Namun, jika Riko dan Jejen tidak menahanku, setidaknya aku bisa berusaha melawan. "Wow! Ide yang bagus. Aku suka. Kau pikir aku akan takut? Yang ku takutkan malah kalau ternyata ini cuma caramu agar Riko dan Jejen melepaskanmu, lalu kau lari. Hahaha.. Kau tidak terpikir untuk melakukan itu, kan?" ucap Bobi dengan wajah sinis. Aku tertegun. Sebenarnya aku tidak pernah terpikir untuk melakukannya. Bobi malah memberi ide itu. Tapi, aku tidak akan melakukannya. "Jika aku melakukannya, itu sama saja aku tak punya harga diri. " kataku berusaha tegas, meski hatiku bergetar oleh ketakutan. "Bagus! Aku suka keberanianmu. Tantanganmu kuterima," jawab Bobi, lalu memberi isyarat kepada Riko dan Jejen untuk melepaskanku. Sejak tadi aku berharap ada seseorang yang lewat sehingga aku bisa meminta perlindungan padanya, atau setidaknya membubarkan kami. Namun jalan ini sangat sepi. Jarang ada yang lewat sini. Seperti saat ini. Belum juga ada yang lewat. "Baiklah, siap? Terima ini!" teriak Bobi, ia mulai menyerangku. Aku pasrah dengan keadaan ini kalaupun aku akan babak belur dihajar Bobi. Aku akan melawan semampunya saja. Namun sepersekian detik saat aku menatap mata Bobi dan seketika itu, aku bisa membaca ke mana arah pukulannya. Tanpa ku sadari, dengan cepat, aku bisa menghindar, dan pukulan Bobi hanya mengenai udara. Keterkejutan tampak di wajahnya. Sama terkejutnya denganku. "Oh hebat juga ya. Kau bisa menghindar dari pukulanku. Rasakan ini!" Ucap Bobi dengan kembali menyerangku, namun karena aku bisa membaca gerakannya, aku bisa menghindar dari serangan Bobi. Bobi terus menyerangku berusaha agar pukulannya mengenaiku. Namun setiap kali ia mengarahkan pukulannya padaku, aku bisa menghindarinya. Bibirnya yang tadinya tersenyum kini berubah, menunjukkan frustrasi yang mulai menyelimuti. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan!" ucap Bobi, suaranya mulai meninggi. Ia kembali menyerangku, namun aku selalu bisa menghindari serangannya. Riko dan Jejen yang tadinya bersorak kini terdiam, saling berpandangan, merasakan ketegangan yang semakin membesar. Bobi terlihat semakin lelah. "Jangan hanya menghindar! Ayo, kalau berani, serang aku!" teriaknya, napasnya tersengal-sengal, tanda bahwa ia mulai kehabisan tenaga. Tubuhku terasa lemah, sisa-sisa kelelahan setelah tadi menolong Tedi masih terasa jelas di pundakku yang sakit. Tapi aku berusaha untuk tetap tegak. Aku tak pandai berkelahi. Jika aku menyerang, Bobi mungkin bisa dengan mudah menangkap tanganku, lalu dia akan menghajarku tanpa ampun. Bobi terlihat mulai kehabisan tenaga. Dia masih mencoba menyerangku dengan sisa kekuatannya, namun kali ini saat dia melayangkan pukulan, aku berhasil menangkap tangannya, lalu memelintir pergelangannya dengan gerakan yang tak kusangka bisa kulakukan. Lalu ku dorong tubuh Bobi hingga tersungkur ke tanah. Brugh!!! suara Bobi terjatuh. Wajahnya penuh amarah dan ketidakpercayaan. Aku melirik ke arah Riko dan Jejen yang berdiri tak jauh dariku. Mata mereka saling bertatapan, kebingungan jelas terlihat di wajah mereka. Aku, meski gemetar karena kelelahan, tak bisa menahan amarah yang meluap. Dengan suara serak yang terdengar lebih seperti raungan, aku berteriak pada mereka, "Ayo! Siapa lagi yang mau maju?" Bobi bangkit perlahan dari tanah. Matanya menatapku tajam. Bobi melirik kedua temannya seperti memberi isyarat. Apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya? Akankah mereka maju serentak dan menghajarku dan tak ada lagi satu lawan satu?Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan
"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu
Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di
Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu
"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan
Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta
Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen
Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di